I. PENDAHULUAN
1
II. EPIDEMIOLOGI
III. DEFINISI
PSIKOSIS POSTPARTUM
Psikosis postpartum ialah suatu sindrom yang ditandai oleh depresi berat dan
waham. Umumnya terjadi pada minggu pertama dalam 6 minggu setelah melahirkan.
Perempuan yang menderita bipolar disorder atau masalah psikotik lainnya yang disebut
Skizoafektif disorder mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena postpartum
psikosis. Gejalanya antara lain mengalami delusi, halusinasi, gangguan saat tidur dan
obsesi mengenai bayinya. Penderita dapat terkena perubahan mood secara drastis, dari
depresi ke gusaran dan berganti menjadi euforia dalam waktu yang singkat.(2)
2
IV. PENYEBAB PSIKOSIS POST PARTUM
Penyebab depresi postpartum hampir sama penyebabnya dengan psikosis
postpartum. Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan empat faktor penyebeb depresi
dan psikosis postpartum sebagai berikut :(1,4,5,6)
a. Faktor konstitusional.
Gangguan postpartum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri
pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada
komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak
pada wanita primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena
setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu
hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya
ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.(1,4,5,6)
b. Faktor fisik.
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental
selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan
dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara
drastis setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran
dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan.
Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun secara cepat setelah
melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.(1,4,5,6)
c. Faktor psikologis.
Peralihan yang cepat dari keadaan dua dalam satu pada akhir kehamilan
menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian
psikologis individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan
pentingnya cinta dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai
hubungan baik antara ibu dan anak. (1,4,5,6)
d. Faktor sosial.
3
Paykel dan Regina dkk (2001), mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak
memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu-ibu, selain kurangnya
dukungan dalam perkawinan. (1,4,5,6)
V. PATOGENESIS
1) Faktor Hormon
Kadar hormon estrogen dan progesteron menurun drastis
saat persalinan. Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron pada saat
kehamilan memicu peningkatan ikatan pada reseptor dopamin dan penurunan
kadar hormon saat persalinan menyebabkan terjadinya suatu supersensitivitas
reseptor dopamin yang mencetuskan terjadinya psikotik postpartum. (1,4,5,6)
Tidak ada hubungan yang konsisten, kadar estrogen dan perubahan pada
estrogen dengan depresi post partum yang benar-benar terbukti. OHara dkk
menemukan hubungan kadar estradiol pada usia kehamilan 36 minggu dan
depresi postpartum pada penelitian terhadap 182 perempuan. Penelitian lain
terhadap blue syndrome dan depresi postpartum menemukan kadar estrogen
yang sama pada ibu-ibu yang mengalami gangguan mood dan yang tidak
mengalami gangguan mood. Ada bukti menunjukkan interaksi estrogen dengan
neurotransmitter (Joffe & Cohen 1988). Sebagian data mendapatkan estradiol
mungkin memberi efek pada system transmitter dan menganggu fungsi kognitif
dan proses emosional. Reseptor estrogen menyebar luas dalam otak pada
manusia (Osterlund et al. 2000a, 2000b). Efek estrogen yang paling di akui
adalah interaksinya dengan reseptor dopamine terutama efek menghambat.
Estrogen juga memberi efek terhadap reseptor norepinephrine, adrenalin dan
serotonin. (11)
Penelitian sebelumnya menyatakan aktifitas dopamine mungkin
(10)
berkurang pada pasien depresi. Hormon ovarium ditemukan memberi
perubahan pada aktifitas dopamine, primernya pada nigrostriatal dan jalur
mesolimbik. Thompson dkk telah melakukkan penelitian yang serial
4
menyatakan estrogen menghambat uptake dopamine pada area ini, sehingga
mekanisma pasti masih ditelusuri. Ada bukti menyatakan perubahan aktifitas
dopamine oleh estrogen akibat berubahnya protein G pada reseptor D2
dopamin.(9)
Norepinefrin juga dipercaya berperanan sebagai faktor utama
patofisiologi depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara
regulasi reseptor B-andrenergic postsinaps dengan respons antidepresan, yang
mana menunjukkan efektivitas antidepresan dengan efek norandrenergik.
Selain itu, terjadi peningkatan densitas reseptor a2-andrenergik dilaporkan
pada pasien depresi dan cubaan bunuh diri. Peningkatan regulasi ini juga
mungkin disebabkan kekurangan relative norepinefrin di sinaps.(10)
Banyak dari penelitian gangguan mood, secara umumnya difokuskan
ke system serotonergik, yang mana system ini mengalami efek pada korteks
prefrontal, system limbic, aktifitas pituitary, dan perilaku seks. Sistem
serotonergik telah diketahui sensitive terhadap estrogen dan progestron. Bethea
dkk melakukkan penelitian lanjut terhadap primate bukan manusia atas
hormone ovarian dengan system serotonergik, dengan hasil terjadi pada system
serotonergik, akibat efek perubahan dari hormone ovarium dalam susunan saraf
(9)
pusat.
Kadar prolaktin yang rendah dan berkurangnya respon prolaktin
terhadap test D-fenfl uramine ditemukan pada pasien depresi. Ini mungkin
hubungannya dengan depressi post partum yang mana kadar prolkatin rendah
(10)
pada saat kelahiran. Abou Salah dkk menyatakan ibu postpartum yang
mengalami depresi menunjukkan penurunan kadar prolaktin plasma yang
signifikan dibanding ibu yang tidak mengalami depresi. Dan pada ibu-ibu yang
melakukkan Inisiasi menyusu Dini mendapatkan skor mood yang lebih baik
dan kadar prolaktin lebih tinggi.(9)
2) Faktor Psikososial
5
Penelitian psikodinamik menunjukkan bahwa pada gangguan
postpartum terdapat konflik antara sang ibu dengan tugasnya sebagai ibu yang
harus mengasuh anaknya, dengan kelahiran anaknya yang baru dengan
suaminya. Konflik ini mempunyai peranan dalam menentukan identitas dirinya
sebagai seorang ibu yang tak dapat berkomunikasi dengan bayinya,
menghambat ibu ini menemukan jati dirinya dan ini merupakan hambatan dini
hubungan timbal balik antara ibu dan anak. Walaupun wanita ini mempunyai
pengalaman dengan ibunya, tetapi pengalaman masa kanak-kanak memaksanya
menolak figur ibunya untuk ditiru dan didentifikasi. Penolakan ini
mengakibatkan seorang ibu kehilangan arah dan menjadi bingung. Gangguan
identifikasi ini menyebabkan perasaan terganggu, mereka sebagai ibu yang
tidak tahu bagaimana seharusnya bertindak, dan melahirkan anak tetapi tidak
tahu bagaimana merawatnya. (1,4,5,6)
3) Faktor Biologis
Korteks
profrontal
Sistem Sistem
Estrogen/Pro Serotonin
serotonergik Limbik
g
6
Dopamin Aktifitas
Norepinefrin Pituatari
VI. FAKTOR RESIKO
Seorang wanita kemungkinan akan mengalami depresi dan psikosis
postpartum, jika ia memiliki:
1. Riwayat mengidap depresi atau penyakit mental lainnya
2. Pernah mengalami depresi postpartum. Wanita yang pernah menderita depresi
postpartum setelah melahirkan memiliki resiko kekambuhan sekitar 25%.
3. Riwayat keluarga yang mengidap depresi
4. Mengalami stress di rumah atau tempat kerja selama hamil. Perempuan yang
berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara
tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja tau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah
tangga dan orang tua dari anak-anaknya.
5. Kurang mendapat dukungan emosional. Banyaknya kerabat keluarga yang
membantu pada saat kehamilan, persalinan, dan pascasalin, beban seorang ibu
karena kehamilannya akan semakin berkurang.
6. Memiliki masalah pernikahan atau masalah hubungan. (1,4,5,6)
7
VII. GEJALA PSIKOSIS POST PARTUM
Gejala psikosis postpartum
Pada psikosis postpartum gejala dapat terjadi dalam jangka waktu setahun
setelah melahirkan anak. namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau
minggu ketiga setelah persalinan. Gejala yang khas pada psikosis postpartum yaitu:
1. Agitasi.
2. Gelisah.
3. Emosi yang labil.
4. Kegembiraan yang berlebihan.
5. Insomnia.
6. Menangis.
7. Bingung.
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan gambaran
mania dan delirium.(2)
VIII. DIAGNOSIS
Menurut DSM-IV-TR, tidak ada kriteria bagi gangguan depresi dan psikosis
pada postpartum, namun diagnosis bisa ditegakkan apabila depresi dan psikosis yang
terjadi mempunyai hubungan dengan persalinan dan perlangsungannya hanya
sementara.(4,5,6)
Sedang menurut PPDGJ-III, maka pedoman diagnostik untuk gangguan
psikiatrik pada postpartum (F.53) yaitu:(7)
F.53.1 Gangguan Mental dan Perilaku Berat yang Berhubungan dengan Masa Nifas
YTK
Termasuk : psikosis masa nifas YTT.
8
dilakukkan. Untuk skrinning depresi postpartum dapat dipergunakan kuesioner
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas
yang terujiyang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama tujuh
hari pasca persalinan. Pertanyaannya berhubungan dengan lailitas perasaan,
kecemasan, perasaan bersalah, keingginan bunuh diri, serta hal-hal lain yang terdapat
pada depresi post partum. Kuesioner EPDS (terlampir) terdiri dari sepuluh pertanyaan
di mana setiap pertanyaan memiliki empat pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor
dan harus dipilih satu sesuai gradasi perasan yang dirasakan ibu postpartum.
Pertanyaan harus dijawab oleh ibu sendiri oleh ibu dan rata dapat diselesaikan dalam
waktu 5 menit. Jumlah skor dari sepuluh pertanyaan yang diajukan dalam EPDS 30
skor, semakin besar jumlah skor gejala depresi semakin berat. Skor di atas 12 memiliki
sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% utnuk mendiagnosis kejadian depresi
postpartum.(5)
IX. PENATALAKSANAAN
Psikosis postpartum
Psikosis postpartum merupakan suatu kondisi emergensi dan memerlukan
perhatian dan penanganan segera. Pasien mungkin akan membutuhkan terapi obat
untuk jangka waktu tertentu, seperti haloperidol atau flufenazin, keduanya diberikan
dalam dosis 2-5 mg per os 3 kali perhari. Bila agitasi maka pasien membutuhkan anti
psikotika berpotensi tinggi dan diberikan IM. Mood stabilizer seperti lithium, valproid
acid, carbamazepine digunakan sebagai terapi akut yang dikombinasi dengan obat anti
psikotik dan benzodiapezine.(4)
Indikasi pemakaian ECT sama seperti psikosis tanpa persalinan tetapi
dianjurkan ditunda sampai satu bulan postpartum untuk menghindari terjadinya
emboli(4)
X. PROGNOSIS
9
Prognosis psikosis postpartum relatif lebih jelek dibanding gangguan psikotik
(1,2,3,4,5)
pada postpartum lainnya.
XI. PENCEGAHAN
Berikut adalah beberapa cara pencegahan dari terjadinya gangguan psikotik dan
depresi pada postpartum :
1. Wanita yang beresiko tinggi untuk terjadinya gangguan psikotik dan depresi
pada postpartum harus diidentifikasi sebelum persalinan. Deteksi dini psikosis
dan depresi post partum dapat dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan ibu
hamil dan imunisasi.
2. Psikosis dan depresi post partum dapat dicegah dengan memberikan
pemahaman kepada masyarakat khususnya ibu hamil tentang faktor resiko
terjadinya depresi.
3. Pengobatan farmakologis dan non-farmakologis sangat diperlukan bagi wanita
atau ibu dengan psikosis dan depresi post partum. Wanita dengan gangguan
bipolar atau dengan riwayat psikosis dan depresi postpartum dapat diberikan
lithium yang diberikan pertama kali sebelum atau 24 sebelum persalinan.
(1,2,3,4,5,6,7)
10
3. Dampak fisik; tubuh sakit, psikosomatis, jika ada sakit lebih cenderung
mengalami komplikasi, kecepatan pemulihan kondisi kesehatan lebih lama dan
lambat.
4. Dampak sosial; sering timbul konflik dalam keluarga, ketidakmampuan
menjalankan fungsi dan peran sebagai orangtua yang baik, perceraian, putusnya
persahabatan, perilaku yang merugikan diri sendiri, dan atau orang lain. Seperti
mabuk, penggunaan obat-obatan terlarang.
11
DAFTAR PUSTAKA
12
13