Anda di halaman 1dari 37

GANGGUAN MENTAL &

PERILAKU YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN MASA NIFAS
YTK

Pembimbing :
dr. Dewi Suriany, Sp.KJ
“ Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan
postpartum psychosis. Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca
persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung saat
masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini kadang tidak menyadari bahwa yang sedang
dialaminya merupakan penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang
sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap
pasca melahirkan.
Depresi postpartum tidak berbeda dari depresi yang dapat terjadi setiap saat lainnya dalam kehidupan
wanita. Masa pasca-melahirkan adalah waktu yang paling rentan bagi wanita untuk mengembangkan penyakit
kejiwaan.
“ Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang
timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada 10%-15% wanita pada tahun pertama
setelah melahirkan. Pasien akan mengalami gejala affektive selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu setelah melahirkan.
Depresi postpartum paling sering terjadi dalam 4 bulan pertama setelah melahirkan, tetapi dapat terjadi kapan pun pada tahun
pertama. Depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah,
gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Tingkat keparahan
depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang
berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum
yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif
mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
“ Depresi postpartum merupakan sebuah permasalahan kesehatan serius di dunia. Sebuah review
yang luas pada 59 studi didapat bahwa 13% dari primipara mengalami depresi postpartum selama 12
minggu pasca melahirkan. Laporan yang terbaru didapatkan sama tingginya pada 15% sampel komunitas.
Prevalensi keinginan bunuh diri pada periode postpartum antara 0.2%-15.4% diantara populasi berbeda.
Menurut penelitian yang dilakukan Chandran, et al. kepada 359 perempuan di daerah Tamil Nadu
di India, didapat insiden depresi postpartum 11% (95% CI 7,1 - 14,9).Pendapatan rendah, kelahiran
seorang anak yang sangat diinginkan, kesulitan hubungan dengan ibu mertua dan orang tua, peristiwa
hidup yang merugikan selama kehamilan dan kurangnya bantuan fisik
“ Depresi postpartum tidak berbeda secara mencolok dengan gangguan mental atau
gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab
tapi pencetus timbulnya gangguan emosional. Penyebab nyata terjadinya gangguan pasca
melahirkan adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan
kehamilan dan persalinan. Faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini
adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau orang
tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam
pernikahan.
“ Perempuan yang memiliki riwayat masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini,
kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol
eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi. Karakteristik wanita yang berisiko
mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah mengalami
depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang
mendapatkan dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah
melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya
misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama
kehamilan.

Depresi pascasalin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

1. Biologis, Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai


lain :

akibat kadar hormon seperti estrogen, proges teron dan prolaktin yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon
tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.

2.Karakteristik ibu, yang meliputi :
~ Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang
optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan
dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang
ibu.
~ Faktor pengalaman. Depresi pascasalin ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara,
mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang
sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres.
“ ~ Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan
aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak
mereka.
~ Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis
yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat
persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
~ Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan
dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
“ Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab
depresi postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena
adanya ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan
karakteristik ibu.

Hormon yang berperan dalam sistem endokrin postpartum sebagai berikut :
a.Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama tahap kala III persalinan, hormon
oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah pendarahan.
Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin yang dapat membantu uterus kembali
kebentuk normal.

Hormon yang berperan dalam sistem endokrin postpartum sebagai berikut :
b. Prolaktin
Menurunnya kadar estrogen menimbulkan terangsangnya kelenjar pituitari bagian belakang untuk
mengeluarkan prolaktin. Hormon ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu.
Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan folikel
dalam ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14
sampai 21 hari setelah persalinan, sehingga merangsang kelenjar bawah depan otak yang mengontrol ovarium
kearah permulan pola produksi estrogen dan progesteron yang normal, pertumbuhan folikel ovulasi dan

menstruasi.

Hormon yang berperan dalam sistem endokrin postpartum sebagai berikut :
c. Estrogen dan progesteron
Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun mekanismenya secara penuh belum
dimengerti. Diperkirakan bahwa tingkat estrogen yang tinggi memperbesar hormon antidiuretik yang
meningkatkan volume darah. Disamping itu, progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi
perangsangan dan peningkatan pembuluh darah yang sangat mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus,
dinding vena, dasar panggul, perineum dan vulva, serta vagina.

Hormon yang berperan dalam sistem endokrin postpartum sebagai berikut :
d. Hormon plasenta
Hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. Human chorionic gonadotropin (HCG) menurun dengan
cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke 7 postpartum dan sebagai omset pemenuhan mammae pada hari ke 3
postpatum. Penurunan hormone human plecenta lactogen (Hpl), estrogen dan kortiosol, serta placenta enzyme insulinasi membalik
efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula darah menurun secara yang bermakna pada masa puerperium. Kadar estrogen
dan progesterone menurun secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar terendahnya di capai kira-kira satu minggu pacapartum.
Penurunan kadar ekstrogen berkaitan dengan pembekakan payudara dan dieresis ekstraseluler berlebih yang terakumulasi selama
masa hamil. Pada wanita yang tidak melahirkan tidak menyusui kadar ekstrogen mulai meningkat pada minggu ke 2 setelah
melahirkan dan lebih tinggi dari pada wanita yang menyusui pada postpartum hari ke 17.

Hormon yang berperan dalam sistem endokrin postpartum sebagai berikut :
e. Hormon hipofisis dan fungsi ovarium
Waktu mulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan tidak menyusui berbeda. Kadar proklatin serum yang tinggi pada
wanita menyusui berperan dalam menekan ovulasi karena kadar hormone FSH terbukti sama pada wanita menyusui dan tidak menyusui, di
simpulkan ovarium tidak berespon terhadap stimulasi FSH ketika kadar prolaktin meningkat. Kadar prolaktin meningkat secara pogresif sepanjang
masa hamil. Pada wanita menyusui kadar prolaktin tetap meningkat sampai minggu ke 6 setelah melahirkan. Kadar prolaktin serum dipengaruhi oleh
kekerapan menyusui, lama setiap kali menyusui dan banyak makanan tambahan yang diberikan. Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui
akan mempengaruhi lamanya ia mendapatkan menstruasi. Sering kali menstruasi pertama itu bersifat anovulasi yang dikarenakan rendahnya kadar
estrogen dan progesteron. Di antara wanita laktasi sekitar 15 % memperoleh menstruasi selama 6 minggu dan 45% setelah 12 minggu dan 90%
setelah 24 minggu. Untuk wanita laktasi 80% menstruasi pertama anovulasi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50% siklus pertama anovulasi.

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
a. Norepinephrine
• Memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus serta dalam konsentrasi
sekunder dalam hippocampus, amygdala, dan kortex cerebral.

• Selain itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf simpatis.

• Dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke penyimpanan melalui proses


reuptake aktif.

• Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi;
mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory.

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
a. Norepinephrine
• Gejala Defisit:

Ketumpulan, Kurang energi (Fatique), Depresi

• Gejala Berlebihan:

Anxietas, kesiagaan berlebih, Penurunan rasa awas, Paranoia, Kurang napsu makan.

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
b. Serotonin (5HT)
• Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis gangguan jiwa
yang mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi seksual,
tidur, kognitif, dan gangguan makan.

• Banyak tindakan dalam perawatan gangguan jiwa adalah dengan jalan


mempengaruhi sistem serotonin tersebut.

• Fungsi Utama dari Serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur, persepsi
nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku
aggresi atau marah dan libido.

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
b. Serotonin (5HT)
• Gejala Defisit:

Irritabilitas & Agresif , Depresi & Ansietas, Psikosis, Migren, Gangguan fungsi
seksual, Gangguan tidur & Gangguan kognitif, Gangguan makan, Obsessive
compulsive disorder (OCD)

• Gejala Berlebihan:

Sedasi, Penurunan sifat dan fungsi aggresi, Pada kasus yang jarang: halusinasi.

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
c. Dopamine (DA)

• Berlokasi di CNS dan diproduksi dalam substantia nigra.

• Dopamine (DA) dipindahkan dari celah synaptic oleh enzim MAO.

• Fungsi Utama Dopamine (DA) adalah mengatur fungsi pikiran, pengambilan keputusan, perilaku
reward-seeking

• Berperan dalam mengintegrasikan kognisi.



Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
c. Dopamine (DA)
• Gejala Defisit: - Ringan:
Kurang control impuls , Kurang spatiality, Kurang kemampuan berpikir abstrak.
- Berat:
Parkinson’s, Gangguan Endocrine, Gangguan pergerakan, Substance abuse
• Gejala Berlebihan: - Ringan:
Meningkatkan kreativitas, Kemampuan generalisasi, Peningkatan spatialitas.
- Berat:
Schizophrenia, Disorganized thinking, Loose association, Tic, Stereotypic behavior

Adapun kelainan pada neurotransmiter pada depresi postpartum :
c. Dopamine (DA)
Periode pasca persalinan adalah periode dimana terjadi perubahan yang cepat dari
konsentrasi beberapa hormon. Selama 48 jam pertama persalinan konsentrasi estrogen,
progesteron dan kortisol menurun.. Perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estriol
dapat menjadi terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah
melahirkan, ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase. Kadar
estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan, ternyata estrogen memiliki efek supresi
aktifitas enzim monoamine oksidase. Yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi baik
noradrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi

Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam Gangguan Mood dan onset gejala adalah dalam
4 minggu pascapersalinan
Diagnosa berdasarkan PPDGJ III
F.53 Gangguan Mental dan Perilaku yang Berhubungan dengan Masa Nifas YTK

• Klasifikasi ini hanya digunakan untuk gangguang jiwa yang berhubungan dengan masa
nifas ( tidak lebih dari 6 minggu setelah persalinan ), yang tidak memenuhi kriteria di tempat lain

F53.0 Gangguan Mental dan Perilaku Ringan yang Berhubungan dengan Masa Nifas YTK

• Termasuk : Postpartum Depression YTT



Diagnosis berdasarkan DSM V
Saat DSM-5 baru diterbitkan, ada revisi penting untuk Diagnosis Mayor Depressive Disorder. Pada
klasifikasi DSM sebelumnya, individu dengan gejala depresi signifikan yang terjadi dalam dua bulan setelah
hilangnya orang yang dicintai, itu tidak termasuk didalamnya. DSM-5 menyatakan bahwa sementara gejala
dapat diidentifikasi, dokter harus mempertimbangkan dengan hati-hati kemungkinan Mayor Depressive
Disorder disamping kesedihan normal akibat dari kehilangan.

Dalam DSM-5 diagnosis depresi selama periode postpartum masih menggunakan format specifier onset.
Namun specifier telah berubah sekarang berjudul "dengan onset peripartum" yang didefinisikan sebagai
episode terbaru terjadi selama kehamilan dan juga dalam empat minggu setelah melahirkan. Namun sayangnya
periode setelah melahirkan tidak diperpanjang untuk mengetahui bahwa gejala sebenarnya sering terjadi selama
tahun pertama.
“Paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala depresi
seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering
timbul sebagai keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah,
pikiran mau bunuh
kelelahan, sukar konsentrasi, hingga
diri. Keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada
kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran – pikiran ingin bunuh diri,
waham–waham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya. Tetapi dibandingkan dengan
gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain
1. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi – mimpi yang menakutkan, individu itu
sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.

2. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan dan
depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.

3. Fobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau
ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah
Caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar
akan merasakan emosi yang bermacam–macam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya
terhadap apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah
Caesar pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan operasi
dan jarum.
4. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya.

5. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian
diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu
harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap
dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri
dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan
sensitivitas ibu.
“P erubahan mood. Depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut: kurang nafsu makan,
sedih – murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu
dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam
kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi
lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta
mengotori kain yang baru diganti.

Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–
benar memusuhi bayinya. Depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur,
rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian.
“Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan
postpartum psychosis.

Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang
bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung saat masa nifas,
dimana para wanita yang mengalami hal ini kadang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan
penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa
menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca melahirkan.

Biasanya, depresi pasca melahirkan berkembang secara diam-diam selama 3 bulan pertama pasca
melahirkan, meskipun gangguan tersebut mungkin memiliki onset yang lebih akut. Depresi postpartum lebih
persistent dan melemahkan daripada postpartum blues.
A.
“ Terapi Psikofarmaka

I ndikasi pemberian obat pada pasien depresi post partum adalah pasien dengan depresi
berulang, ada kecenderungan untuk berbuat mencelakai diri sendiri atau orang lain, depresi berat
atau tidak murni depresi saja semisal bipolar. Hal tersebut dikarenakan menimbang efek negatif nya
bila tidak diberikan obat. Karena pasien depresi rawan untuk minum-minum alkohol atau berbuat
mencelakai diri dan orang lain dan membahayakan kandungan dan dirinya, maka lebih baik
digunakan pengobatan psikofarmaka. Apabila pasien hanya mengalami depresi ringan saja maka
pilihan pengobatan psikofarmaka tidak menjadi pilihan utama. Dapat digunakan terapi lain seperti
psikoterapi, meminimalisasi stress, perbanyak olahraga dan melakukan meditasi.
“Obat yang umum digunakan antara lain golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), SNRI,
dan Tricyclic Antidepressants. Obat anti depressant tidak dapat digunakan hanya 1-2 minggu, karena efeknya
baru terasa setelah 2 minggu. Obat yang paling baik digunakan pada depresi post partum adalah dari golongan
SSRI, sebagai contoh adalah sertraline. Menurut penelitian dari Bloch, et.al. yang melakukan meta analisis
mengenai perbandingan terapi antidepresan terhadap penurunan gejala depresi post partum, dikatakan bahwa
sertraline memiliki efek terbaik dalam menurunkan gejala depresi post partum.10 Pemberian sertraline menurut
penelitian lain diberikan selama 12 minggu dan diberikan secara bertahap, yaitu minggu pertama diberikan 25
mg per hari, minggu kedua-tiga diberikan 50 mg/hari dan sisanya diberikan 100 mg/hari.11 Pada pasien yang
sudah mengalami resistensi maka pilihan terapi pun berbeda. Pilihan pertama tetap diberikan SSRI terlebih
dahulu, bila tidak membaik maka diberikan antidepresan golongan lain dan bila masih belum membaik maka
diberikan neuromodulasi.
“B anyak orang tua yang takut mengenai efek samping pemberian psikofarmaka kepada kesehatan
janinnya. Beberapa resiko terhadap bayi dari ibu yang mengkonsumsi antidepresan selama
kehamilannya yaitu PPHN (Persistent Pulmonary Hypertension of Newborn), keguguran, preterm,
low birth weight, asfiksia, dll.Beberapa antidepresan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah
paroxetin yang dalam klasifikasi FDA masuk ke dalam kelas D. Sedangkan yang aman dikonsumsi
adalah sertraline, fluoxetine, citalopram dan amitriptilin masuk ke dalam kelas C. Menurut FDA,
obat terbaik pada ibu hamil yang mengalami depresi adalah golongan SSRI dan yang terbaik ketika
menyusui adalah sertraline dan paroxetine.
B.
“ Terapi Psikologis dan Terapi Psikososial

P sikoterapi antara lain talking therapy, terapi interpersonal dan kognitif/ perilaku dan terapi
psikodinamik. Talking therapy membantu pasien mengenali masalah dan menyelesaikannya melalui
give anta take verbal dengan terapis. Pada terapi kognitif/perilaku, pasien belajar mengidentifikasi
dan mengubah persepsi menyimpang tentang dirinya serta menyesuaikan perilaku untuk mengatasi
lingkungan sekitar dengan lebih baik. Salah satu bentuk terapi psikologi adalah Interpersonal
Therapy dan Cognitive Behavior Therapy sedangkan contoh terapi psikososial adalah Psikodinamik
Psikoterapi, Non directive Conseling dan Peer Support. Baik terapi psikologis dan terapi psikososial
dapat menurunkan gejala dari depresi.
C.
“ Terapi Hormonal

Terdapat penurunan drastis hormon estrogen dan progesteron dari tubuh ibu yang sedang
melahirkan. Hal ini dihipotesiskan dapat menyebabkan terjadinya depresi post partum. Pada
penelitian dari Gregoire yang memberikan pengobatan menggunakan estrogen pada wanita yang
mengalami depresi post partum, dikatakan bahwa terdapat perbaikan gejala yang dihitung dari skor
EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale).Tetapi terapi estrogen dalam jangka lama dapat
menyebabkan hiperplasia endometrial, endometrial cancer dan tromboembolisme.
D.
“ Terapi Lain
S alah satu terapi alternatif dari depresi post partum adalah pemberian omega 3 polyunsaturated fatty acid
(PUFA). Docosahexaenoic acid (DHA) dan Eicosapentaenoic Acid (EPA) adalah sumber dari terbentuknya
PUFA. DHA dikonsumsi oleh ibu hamil sebanyak 300 mg per hari.Terdapat perbedaan hasil penelitian dari
pemberian nutrisi ini. Penelitian dari Freeman, et al mengatakan bahwa terdapat penurunan gejala dari skala
EPDS setelah pemberian omega 3 fatty acid pada pasien dengan depresi post partum yang diberikan selama
peripartum.Sedangkan pada penelitian keduanya mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada pemberian depresi post partum selama 8 minggu ke depan.Terdapat juga penelitian yang memberikan
terapi berupa gabungan omega 3 fatty acid yang digabung dengan terapi psikososial terhadap depresi post
partum, dan hasilnya signifikan.
“I dentifikasi dan intervensi secara dini prognosenya pada wanita yang mengalami
depresi postpartum adalah baik. Beberapa kasus yang pernah dilaporkan tertangani
dengan baik jika efek depresi post partum ini diketahui sejak awal. Pencegahan yang
paling utama adalah informasi tentang faktor resiko terjadinya depresi postpartum di
masyarakat sebagai nilai penting untuk mencegah terjadinya depresi ini. Skrining
awal terjadinya depresi postpartum ini dapat diketahui saat ibu membawa bayinya
pada tempat pelayanan kesehatan untuk dilakukan imunisasi sehingga pencegahan
terjadinya depresi postpartum dan depresi secara umum dapat dihindari.
Thank you


Anda mungkin juga menyukai