SEMESTER 2
FARMAKOLOGI
BUKU
ModulPENUNTUN
ini digunakan hanya untukPRAKTIKUM
proses pendidikan
FARMAKOLOGI
Di Prodi Kedokteran FK Universitas Tadulako
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2020
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2019 | FK UNIVERSITAS TADULAKO
BUKU PENUNTUN PRAKTIKUM SEMESTER 2 3
SEMESTER 2
FARMAKOLOGI
TIM PENYUSUN
dr. Nur Syamsi, M.Sc
dr. Christin R. Nayoan, Sp.THT-KL
dr. Asrawati Sofyan, Sp.KK.,M.Kes
dr. Andi Alfia Muthmainah, M.Biomed
dr. Junjun Fitriani
Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
Visi
Pada tahun 2030 Program Studi Profesi Dokter FK Untad : Unggul dalam
Pengabdian kepada Masyarakat terutama di bidang Penyakit Tropis dan
Traumatologi melalui pengembangan Pendidikan & Penelitian Kedokteran”
Misi
PENILAIAN
dr. Nursyamsi, M. Sc
NIP. 198408192010122004
PRAKTIKUM I
ABSORBSI, DISTRIBUSI, DAN EKSKRESI OBAT
Latar Belakang
Hampir semua obat diberikan secara oral dan pasti melewati
dinding usus untuk masuk ke dalam aliran darah. Proses absorpsi ini
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti:
1. Formulasi obat
2. Stabilitas enzim dan asam
3. Motilitas usus
4. Makanan di dalam lambung
5. Derajat pertama metabolisme
6. Solubilitas lipid (sangat bergantung pada pK obat dan pH
lingkungan)
Namun biasanya yang paling berperan adalah kelarutan lipid obat.
Sehingga, absorpsi molekul yang tidak terionisasi lebih mudah karena
lebih larut lipid dibandingkan obat yang terionisasi dan dilapisi oleh
molekul air. Obat terutama diabsorpsi dari usus kecil karena
permukaannya lebih besar. Obat yang diserap dari traktus
gastrointestinal umumnya langsung memasuki sirkulasi portal
sedangkan beberapa dimetabolisme saat melewati hepar (metabolisme
first-pass).
Obat-obat yang cukup larut lemak dan diberikan secara oral,
langsung didistribusikan ke seluruh kompartemen air di dalam tubuh. Di
antara obat-obat tersebut ada yang berikatan longgar pada albumin
plasma dan ada yang tidak. Obat yang terikat pada protein plasma
berarti terikat ke sistem vaskular dan tidak dapat mengeluarkan aksi
farmakologisnya.
Percobaan
a. Tujuan
Untuk memahami apa yang terjadi dengan obat setelah masuk ke
dalam tubuh.
b. Subjek
Enam probandus sehat, pria dan wanita, usia antara 20 40 tahun
yang telah diberikan informed consent untuk berpartisipasi dalam
eksperimen ini. Semua subjek dalam kondisi sehat dan akan
dinilai dengan riwayat medis dan pemeriksaan fisik, dan tanpa
riwayat penyakit hepar, ginjal atau lambung dan tidak ada riwayat
alergi obat. Setiap subjek akan menerima dosis oral KJ (0.3g)
dengan 200 ml air
c. Peralatan
Tabung tes dan rak untuk tabung tes
Pipet pasteur
Pipet pengukur
Gelas beaker
d. Bahan dan Obat
0.3 g KJ (dalam kapsul)
Larutan 1% KI
Larutan 10% NaNO2
Larutan H2SO4 encer
Larutan 1% amilum
e. Prosedur ]
1. Setiap kelompok mahasiswa memilih satu probandus
2. Anamnesis singkat dilakukan untuk probandus sebelum
melakukan eksperimen untuk memastikan bahwa probandus
sehat (tanda-tanda vital normal) dan tidak memiliki riwayat
alergi terhadap obat yang akan dipelajari
3. Informed consent tertulis harus ditandatangani oleh probandus
menunjukkan bahwa mereka menunjukkan persetujuan
terhadap eksperimen
4. Semua probandus mengosongkan kandung kemih sebelum
mengkonsumsi obat (KI). Ambil 5 ml sampel urin dan 2 ml
saliva untuk kontrol
5. Setiap subjek menerima 0.3 g KI secara oral dengan 200 mL
air. Sampel saliva dikumpulkan 5 menit setelah pemberian
LEMBAR PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)
Nama :................................................ .
Umur : ................................................
Alamat : ................................................
Oleh karena itu, saya setuju untuk berpartisipasi secara sukarela dalam
percobaan tanpa mengabaikan hak saya untuk ditarik dari percobaan
setiap saat selama saya masih terdaftar.
Palu,
Saksi, Probandus,
(..................................................... (.....................................................
.) .)
NIM. NIM.
Pengawas,
(.............................................)
Catatan
PRAKTIKUM II
JALUR PEMBERIAN OBAT
Latar Belakang
Obat-obatan akan mencapai organ target melalui darah.
Sebelumnya obat-obat tersebut harus dimasukkan dulu ke dalam darah,
Kecepatan proses tersebut ditentukan oleh rute dan metode aplikasinya.
Dalam hal ini yang paling cepat adalah injeksi intravena, sedikit lebih
lambat adalah injeksi intramuscular, dan paling lambat dengan injeksi
subkutan.
Pemberian intravena dimana obat langsung dimasukkan ke dalam
pembuluh darah biasanya untuk obat-obat yang hancur jika diberikan
melalui jalur gastrointestinal. Berbeda dengan injeksi intravena,
pemberian subkutan atau intramuscular tidak langsung masuk ke dalam
aliran darah tetapi berdifusi dulu. Ketiga prosedur tersebut merupakan
tindakan yang invasive dengan menimbulkan luka pada kulit bagian luar,
oleh karena itu, persyaratannya harus ketat termasuk teknik
pelaksanaan. Oleh karena itu, jalur oral merupakan pilihan yang lebih
sering digunakan.
Kekurangan pemberian obat secara oral adalah obat tersebut
harus melewati hati (metabolisme lintas pertama) dalam perjalanan
sirkulasi secara umum. Cara pemberian seperti ini memungkinkan obat
tersebut cepat diubah atau diinaktifkan dalam hati (melewati eliminasi
tahap pertama di hati). Ketika obat tersebut diberikan melalui rektal,
setidaknya hanya sebagian kecil dari obat yang masuk sirkulasi umum
melalui vena porta. Sementara untuk pemberian via bukal atau
sublingual tidak akan melalui metabolism lintas pertama karena
pembuluh darah vena dari rongga mulut akan mengalir langsung ke
dalam vena cava superior. Hal yang sama berlaku pada pemberian
melalui inhalasi.
Dalam kondisi tertentu, obat juga dapat diberikan perkutan melalui
pemberian transdermal. Dalam hal ini, obat secara perlahan dilepaskan
dari reservoir (wadah) yang kemudian menembus epidermis dan
jaringan ikat subepidermal yang selanjutnya akan memasuki kapiler
darah. Hanya sangat sedikit jenis obat yang menggunakan cara
pemberian ini karena harus mempertimbangkan sifat fisikokimia obat
dan persyaratan terapeutik lainnya..
Percobaan
a. Tujuan
Untuk mengetahui dan membandingkan efek obat pada berbagai
jalur pemberian obat.
b. Subjek
Tikus
c. Peralatan
Syringe 1 ml
Stomach tube
Kandang tikus
Fixator tikus
Alkohol 70%
Air hangat
e. Prosedur
1. Mahasiswa dibagi menjadi 4 kelompok
2. Tiap kelompok bekerja dengan empat tikus.
Tikus A: diberikan 10 mg/kg diazepam oral
Tikus B: diberikan 10 mg/kg diazepam intramuscular
Tikus C: diberikan 10 mg/kg diazepam intravena
Tikus D: diberikan 10 mg/kg diazepam intraperitoneal
3. Bersihkan area injeksi dengan air hangat/panas dan kemudian
dengan 70% alcohol (gunakan kapas) sebelum menginjeksi
obat.
4. Observasi dan buat catatan/rekaman waktu interval selama
pemberian obat dengan onset sedasi, waktu sedasi, dan waktu
tidur dari setiap tikus.
5. Untuk menilai tikus sudah tersedasi/tertidur atau tidak, balik
tubuh tikus. Tikus tersedasi jika tampak hipoaktivitas dan
dikatakan tidur jika tidak ada respon. Waktu tidur adalah
interval waktu antara tidur dan bangun.
Onset of sleep
PRAKTIKUM III
HUBUNGAN DOSIS DENGAN EFEK OBAT
Efek suatu zat yang timbul tergantung pada berapa jumlah yang
diberikan, misalnya dosis. Jika dosis yang dipilih di bawah indeks
terapeutik maka tidak ada efek yang ditimbulkan sedangkan jika dosis
ditingkatkan secara bertahap, maka akan timbul efek dengan intensitas
yang juga meningkat. Contohnya, efek obat antipiretik atau hipertensi
dapat dikuantifikasi dengan cara bertingkat, dengan menilai tingkat
penurunan suhu tubuh atau tekanan darah.
Hubungan efek-dosis dapat bervariasi tergantung pada sensitivitas
orang yang menerima obat. Oleh karena itu, untuk menghasilkan efek
yang sama mungkin diperlukan dosis yang berbeda untuk individu yang
berbeda. Variasi sensitivitas antar individu sangat jelas dengan rentang
efek all-or-none.
Hal tersebut dapat diilustrasikan melalui percobaan ekor Straub
(Gambar-A). Tikus bereaksi terhadap morfin dengan melihat bentuk
postur abnormal pada ekor dan anggota badan (eksitasi). Percobaan ini
juga berhasil menggambarkan hubungan peningkatan dosis morfin
dengan efek yang timbul. Pada dosis rendah, hanya tikus yang paling
sensitif yang tereksitasi sedangkan pada dosis tertinggi semua hewan
tereksitasi (Gambar-B).
Terdapat pula hubungan antara frekuensi hewan yang merespons
dengan dosis yang diberikan. Pada 2 mg/kg, hanya satu dari 10 hewan
yang bereaksi sedangkan pada dosis 10 mg/kg terdapat 5 ekor dari 10
ekor yang merespons. Jika frekuensi kumulatif (jumlah total hewan yang
merespons pada dosis yang diberikan) diplot terhadap logaritma dosis,
akan menghasilkan kurva bentuk sigmoid (Gambar-C). Titik belok kurva
Namun, jika dosis tinggi (100) diterapkan, ada periode waktu yang
lama di mana konsentrasi obat dalam plasma akan tetap dalam kisaran
konsentrasi (antara 90 dan 20) di mana perubahan konsentrasi tidak
menyebabkan perubahan efeknya. Jadi, pada dosis tinggi (100), kurva
efek-waktu menunjukkan semacam dataran tinggi. Efeknya menurun
hanya ketika konsntrasi obat dalam plasma telah kembali (di bawah 20)
ke dalam rentang di mana perubahan konsentrasinya menyebabkan
perubahan intensitas efek.
Pada percobaan ini hubungan dosis-efek ditunjukkan melalui
peningkatan jumlah saliva setelah pemberian Neostigmin dengan dosis
bertingkat.
Percobaan
a. Tujuan
Untuk mengetahui hubungan dosis dengan efek obat
b. Subjek
Tikus
c. Peralatan
Syringe 1 mL
Timbangan analitis
e. Prosedur
1. Setiap kelompok bekerja dengan 2 tikus
2. Hitung dosis (volume) ketamine dan neostigmine yang
dibutuhkan untuk setiap tikus (berdasarkan berat tikus)
3. Bersihkan area injeksi dengan alkohol 70% (menggunakan
kapas) sebelum menginjeksikan obat.
4. Tikus kemudian dianestesi dengan ketamine (100mg/kg berat
badan, intraperitoneal)
5. Sebelum menginjeksi neostigmine, masukkan absorbent foam
secara sublingual selama 10 detik. Timbang absorbent foam.
Jumlah saliva yang dihasilkan dihitung berdasarkan perubahan
berat absorbent foam.
6. Injeksikan dosis I neostigmine secara intraperitoneal.
7. Sepuluh menit setelah injeksi, masukkan absorbent foam yang
sudah ditimbang secara sublingual selama 10 detik, dan
timbang kembali.
8. Ulangi prosedur no.6 dan 7 dengan dosis II dan III neostigmin.
9. Hitung rerata jumlah saliva tiap pengumpulan dan bandingkan
dengan rerata untuk menilai signifikansi.
Kelom 1
pok 1
2
Kelom 3
pok 2
4
Kelom 5
pok 3
6
Kelom 7
pok 4
8
Rerata
SD
DAFTAR PUSTAKA
Nama :
NIM :
Tanggal :
ek
di
ni
si
R
o
b
Nama :
NIM :
Tanggal :
ek
di
ni
si
R
o
b
Nama :
NIM :
Tanggal :
ek
di
ni
si
R
o
b
Nama :
NIM :
Tanggal :
be
ni
di
si
R
k
o