Laporan Antiseptik
Laporan Antiseptik
Bahan
1. Biakan murni Staphyllococcus aureus dalam medium nutrien cair umur 1 x
24 jam
2. Biakan murni Eschericia coli dalam medium nutrien cair umur 1 x 24 jam
3. Medium lempeng NA
4. Bahan-bahan antisseptik, misalnya: sabun cuci, obat untuk luka
5. Kertas penghisap
6. Cotton bud steril
F. Cara Kerja
G. Data Pengamatan
Table. Pengujian daya antimikroba antiseptic terhadap bakteri
Diameter Zona Hambat (Cm)
Nama
No Betadin (1) Iodine (2) Detol (3)
Bakteri
U1 U2 U1 U2 U1 U2
1 E.coli 1,5 cm 1,5 cm 1,2 cm 1,2 cm 3,3 cm 3,2 cm
Rata-rata 1,5 cm 1,2 cm 3,25 cm
2 S. aereus 1,7 cm 1,7 cm 1,8 cm 1,5 cm 3,7 cm 3,5 cm
Rata-rata 1,7 cm 1,65 cm 3,6 cm
Keterangan:
o Betadin providone iodine 10 % (1)
o Iodium pavidon providon iodine 10% setara iodium 1% (2)
o Detol chloroxylenol 4,8 % (3)
H. Analisis Data
Berdasarkan hasil data pengamatan dapat diketehui bahwa diameter zona
hambat pada pertumbuhan bakteri E.coli menggunakan antiseptic betadin
sebesar 1,5 cm, pada iodine sebesar 1, 2 cm. dan pada detol sebesar 3,25 cm.
Dari penganalisaan dapat diketahui bahwa diameter zona hambat pada
pertumbuhan bakteri E.coli yang terdapat di sekeliling kertas penghisap yang
telah direndam detol adalah yang paling besar zona hambatnya.
Sedangkan pada diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri
S.aureus menggunakan antiseptic betadin sebesar 1,7 cm, pada iodine sebesar 1,
65 cm. dan pada detol sebesar 3,6 cm. Dari penganalisaan dapat diketahui bahwa
diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri S.aureus yang terdapat di
sekeliling kertas penghisap yang telah direndam detol adalah yang paling besar
zona hambatnya.
I. Pembahasan
Dalam praktikum ini, metode yang kami gunakan adalah metode Paper
disk. Metode cakram kertas merupakan metode yang biasa digunakan untuk
menguji aktivitas antimikroba suatu antibiotik terhadap mikroorganisme patogen
penyebab penyakit. Metode ini lebih dikenal dengan metode Kirby-Bauer
(Cappucino and Sherman, 2001; Tortora et al., 2002). Metode cakram kertas
dapat juga dilakukan menggunakan suatu silinder tidak beralas atau sumuran dan
diisi dengan antibiotik dalam jumlah tertentu, disebut agar well difussion.
Kepekaan mikroorganisme patogen terhadap antibiotik terlihat dari ukuran zona
bening yang terbentuk (Cappucino & Sherman, 2001).
Dalam uji ini bakteri yang digunakan adalah Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Menurut Jawetz et al.(2005) Staphylococcus merupakan sel
Gram positif berbentuk bola dengan diameter 1 m yang tersusun dalam bentuk
kluster yang tidak teratur seperti anggur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad,
dan berbentuk rantai juga tampak dalam biakan cair. Staphylococcus bersifat
patogen, nonmotil, dan memproduksi katalase.
Staphylococcus tumbuh baik dalam kaldu pada suhu 37C. Batas-batas
suhu pertumbuhannya ialah 15C dan 40C, sedangkan suhu pertumbuhan
optimum ialah 35C, kuman ini bersifat anaerob fakultatif dan dapat tumbuh
dalam udara yang hanya mengandung hidrogen dan pH optimum untuk
pertumbuhan ialah 7,4. Staphylococcus tahan pada kondisi kering, temperatur
50C selama 30 menit, dan natrium klorida 9% dan dihambat oleh heksaklorofen
3% (Jawetz et al., 2005).
Escherichia coli berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif,
ukuran 0,4-0,7 m x 1,4 m, sebagian besar gerak positif, dan beberapa strain
mempunyai kapsul. E. coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa
dipakai di laboratorium mikrobiologi. E. coli bersifat mikroaerofilik. E. coli
bersifat aerob dan juga fakultatif anaerob serta dapat memfermentasi laktosa
(Levinson, 2004). Beberapa strain E. coli menghasilkan hemolisis agar darah
(Jawetz et al., 2005).
Dalam praktikum ini antibiotic yang kami gunakan adalah Dettol,
Betadine, dan Iodine povidone. Bahan aktif dalam Dettol adalah Chloroxylenol,
dan bahan aktif yang terdapat pada Betadine dan Iodine povidone adalah
Povidone Iodine.
Selanjutnya adalah mengamati pengaruh antibiotic Dettol terhadap
mikroba Staphylococcus aureus dan E.coli. Pada kemasan Dettol tertera
memiliki bahan aktif Chloroxylenol. Berdasarkan pengamatan, kami
mendapatkan zona hambat dari medium dengan mikroba Staphylococcus aureus
adalah 3,6 cm, sedangkan zona hambat pada medium dengan E.coli adalah 3,25
cm. Hal ini menunjukkan bahwa zona hambat medium dengan E.coli adalah 3,6
cm lebih kecil 0,35cm dibandingkan dengan medium dengan mikroba
Staphylococcus aureus. Hal ini berarti bahwa E.coli lebih resisten terhadap zat
aktif Chloroxylenol dari Dettol, dengan hasil zona hambat lebih kecil.Namun,
selisih zona hambat hanya selisih sedikit dan sangat kecil sehingga daya
resistensi dari kedua bakteri tersebut juga tidak jauh berbeda.
Hl ini sesuai dengan peryataan dari Agung (2009) bahwa Chloroxylenol
(CH9ClO) dapat membunuh bakteri dengan mengganggu membran sel bakteri
yang akan menurunkan kemampuan membran sel untuk memproduksi ATP
sebagai sumber energi. Chloroxylenol mempunyai spektrum antimikroba yang
luas, sehingga efektif digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif,
jamur, ragi dan lumut. Chloroxylenol memiliki keunggulan dalam hal toksisitas
dan sifat korosif yang rendah.
Hasil berbeda pengamat dapatkan saat mengamati pengaruh antibiotic
Betadine pada kedua bakteri tersebut. Zat aktif yang ada di dalam betadine
adalah iodine povidone. Zona hambat pada medium dengan mikroba
Staphylococcus aureus adalah 1,7 cm, sedangkan zona hambat medium dengan
mikroba E.coli adalah 1,5 cm. hal tersebut menunjukkan bahwa E.coli lebih
resisten terhadap zat aktif pada betadine. Hal tersebut terkait dengan dinding sel
pada E.coli lebih kompleks dinadingkan Staphylococcus aureus seperti yang
dijelaskan sebelumnya.
Yodium atau iodine biasanya digunakan dalam larutan beralkohol
(disebut yodium tinktur) untuk sterilisasi kulit sebelum dan sesudah tindakan
medis. Larutan ini tidak lagi direkomendasikan untuk mendisinfeksi luka ringan
karena mendorong pembentukan jaringan parut dan menambah waktu
penyembuhan. Generasi baru yang disebut iodine povidone (iodophore), sebuah
polimer larut air yang mengandung sekitar 10% yodium aktif, jauh lebih
ditoleransi kulit, tidak memperlambat penyembuhan luka, dan meninggalkan
deposit yodium aktif yang dapat menciptakan efek berkelanjutan. Keuntungan
antiseptik berbasis yodium adalah cakupan luas aktivitas antimikrobanya.
Yodium menewaskan semua patogen utama berikut spora-sporanya, yang sulit
diatasi oleh disinfektan dan antiseptik lain (Majalah Kesehatan, 2011).
Seperti antibiotic Betadine yang juga mengandung iodine povidone.
Menurut Agung (2011) Povidone iodine merupakan salah satu antiseptik dari
golongan halogen. Povidone iodine merupakan kompleks antara iodium dengan
polivinilpirolidon. Bentuk kompleks ini merupakan bentuk iodofor, yaitu
campuran iodium dengan surfaktan yang bekerja sebagai pembawa dan pelarut
iodium. Golongan ini berdaya aksi dengan cara oksidasi, namun tidak efektif
untuk membunuh beberapa jenis bakteri gram positif dan ragi.
Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan, zona hambat pada
medium dengan mikroba Staphylococcus aureus adalah 1,65cm, sedangkan pada
medium dengan mikroba E.coli adalah 1,2 cm. hal ini sama dengan pengamatan
pada antibiotic Betadine bahwa E.coli lebih resisten terhadap Iodine
dibandingkan dengan Staphylococcus aureus, karena dinding sel E.coli lebih
kompleks dibandingkan dengan Staphylococcus aureus.
Pada pengujian daya antibakteri beberapa macam antiseptik dengan
menggunakan metode paper disck memiliki kelabihan dan kekurangan.Sesuai
peryataan dari Jawetz et al., (2005) Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak
memerlukan peralatan khusus dan relatif murah. Sedangkan kelemahannya
adalah ukuran zona bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi,
inokulum, predifusi dan preinkubasi serta ketebalan medium. Apabila keempat
faktor tersebut tidak sesuai maka hasil dari metode cakram kertas relatif sulit
untuk. Selain itu, metode cakram kertas ini tidak dapat diaplikasikan pada
mikroorganisme yang pertumbuhannya lambat dan mikroorganisme yang
bersifat anaerob obligat.
J. Kesimpulan
1. Dettol memiliki daya antibakteri yang tinggi terhadap S. aureus dan
memiliki daya antibakteri rendah terhadap E.coli. E.coli lebih resisten
dibandingkan dengan S. aureus.
2. Betadin memiliki daya antibakteri yang tinggi terhadap S. aureus dan
memiliki daya antibakteri rendah terhadap E.coli. E.coli lebih resisten
dibandingkan dengan S. aureus.
3. Iodin povidone memiliki daya antibakteri yang tinggi terhadap S. aureus dan
memiliki daya antibakteri rendah terhadap E.coli. E.coli lebih resisten
dibandingkan dengan S. aureus.
4. Daerah zona hambat paling besar dimiliki oleh Dettol. Sehingga dettol
memiliki daya antibakteri yang tinggi dibandingkan dengan Betadine, dan
Iodin povidone.
K. Diskusi
1. Adakah perbedaan pengaruh masing-masing antiseptic terhadap kedua
spesies bakteri ini? Jelaskan !
Ada perbedaan, berdasarkan hasil data pengamatan dapat diketehui
bahwa diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri E.coli
menggunakan antiseptic betadin sebesar 1,5 cm, pada iodine sebesar 1, 2 cm.
dan pada detol sebesar 3,25 cm. Dari penganalisaan dapat diketahui bahwa
diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri E.coli yang terdapat di
sekeliling kertas penghisap yang telah direndam detol adalah yang paling
besar zona hambatnya.
Sedangkan pada diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri
S.aureus menggunakan antiseptic betadin sebesar 1,7 cm, pada iodine
sebesar 1, 65 cm. dan pada detol sebesar 3,6 cm. Dari penganalisaan dapat
diketahui bahwa diameter zona hambat pada pertumbuhan bakteri S.aureus
yang terdapat di sekeliling kertas penghisap yang telah direndam detol
adalah yang paling besar zona hambatnya.
Kandungan Betadin dan Iodin adalah Povidon Iodin bekerja
mengeluarkan iodine (bahan aktifnya) yang berperan dalam membunuh dan
menghambat pertumbuhan kuman seperti jamur, bakteri, virus dan protozoa.
Betadine yang digunakan untuk persiapan operasi (membersihkan areal
operasi) berbeda dengan betadine yang dikemas untuk penggunaan sehari-
hari. (Tin, 2012)
Kandungan dari dettol adalah chloroxylenol yang merupakan disinfektan
yang representatif dan antiseptik. Merupakan senyawa antimikroba yang
digunakan untuk mengendalikan bakteri, ganggang, dan jamur dalam
perekat, emulsi, cat, dan tangki pencuci, digunakan juga oleh lembaga
kesehatan seperti rumah sakit atau klinik. Chloroxylenol mempunya rumus
molekul dengan rumus : C8H9ClO. Chloroxylenol juga sering digunakan
dalam sabun antibakteri seperti Dettol dan salep. Chloroxylenol dapat
antibakterial karena gangguan membran sel potensi. (Ali, 2012)
Kedua jenis bakteri E.coli dan S.aereus memiliki kerentangan yang
berbeda, yang mana merupakan sifat spesifik dari bakteri tersebut dalam
kemampuan memepertahankan hidupnya.
2. Mengapa bakteri yang diuji harus dibiakkan lebih dulu dalam medium cair
selama 1x24 jam?
Agar bakteri tersebut dapat berkembang biak sehingga dapat diperoleh data
yang valid karena dapat terlihat zona hambat nya.
3. Mengapa terbentuk zone hambat disekitar kertas penghisap yang telah
direndam dalam antiseptic?
Karena antibiotic melakukan beberapa mekanisme, menurut Tin (2012)
memaparkan mekanisme dari kerja antibiotic sebagai berikut.
Mekanisme kerja antibiotik antara lain:
1. Antibiotik menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan
menghambat sintesis ensim atau inaktivasi ensim, sehingga
menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis.
Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin,
ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel
terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri
menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam
sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya.
Di dalam sel terdapat sitoplasma ailapisi dengan membran sitoplasma
yang merupakan tempat berlangsungnya proses biokimia sel. Dinding sel
bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri gram positif struktur
dinding selnya relatif sederhana dan gram negatif relatif lebih komplek.
Dinding sel bakteri gram positif tersusun atas lapisan peptidoglikan
relatif tebal, dikelilingi lapisan teichoic acid dan pada beberapa spesies
mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatif
mempunyai lapisan peptidoglikan relatif tipis, dikelilingi lapisan
lipoprotein, lipopolisakarida, fosfolipid dan beberapa protein.
Peptidoglikan pada kedua jenis bakteri merupakan komponen yang
menentukan rigiditas pada gram positif dan berperanan pada integritas
gram negatif. Oleh karena itu gangguan pada sintesis komponen ini dapat
menyebabkan sel lisis dan dapat menyebabkan kematian sel. Antibiotik
yang menyebabkan gangguan sintesis lapisan ini aktivitasnya akan lebih
nyata pada bakteri gram positif. Aktivitas penghambatan atau
membinasakan hanya dilakukan selama pertumbuhan sel dan
aktivitasnya dapat ditiadakan dengan menaikkan tekanan osmotik media
untuk mencegah pecahnya sel. Bakteri tertentu seperti mikobakteria dan
halobakteria mempunyai peptidoglikan relatif sedikit , sehingga kurang
terpengaruh oleh antibiotik grup ini. Sel selama mensintesis
peptidoglikan memerlukan enzim hidrolase dan sintetase. Untuk menjaga
sintesis supaya normal, kegiatan kedua enzim ini harus seimbang satu
sama lain. Biosintesis peptidoglikan berlangsung dalam beberapa
stadium dan antibiotik pengganggu sintesis peptidoglikan aktif pada
stadium yang berlainan. Sikloserin terutama menghambat enzim
racemase dan sintetase yang berperan dalam pembentukan dipeptida.
Vankomisin bekerja pada stadium kedua diikuti oleh basitrasin, ristosetin
dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin yaitu menghambat
transpeptidase. Perbedaan antara sel mamalia dan bakteri yaitu dinding
sel luar bakteri tebal dengan membran sel menentukan bentuk sel dan
memberi ketahanan terhadap tekanan osmotik. Karena struktur dinding
sel mamalia tidak sama dengan dinding sel bakteri, maka antibiotik yang
mempunyai aktivitas mengganggu sintesis dinding sel mempunyai
toksisitas selektif sangat tinggi.
2. Antibiotik mengganggu membran sel mikroba.
Dinding sel bakteri bagian bawah adalah lapisan membran sel
lipoprotein yang dapat disamakan dengan membran sel pada manusia.
Membran ini mempunyai sifat permeabilitas selektif dan berfungsi
mengontrol keluar masuknya substansi dari dan ke dalam sel, serta
memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi waste products. Selain
itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis
dinding sel. Oleh karena itu substansi yang mengganggu fungsinya akan
sangat lethal terhadap sel. Beberapa antibiotik yang dikenal mempunyai
mekanisme kerja mengganggu membran sel yaitu antibiotik peptida
(polimiksin, gramisidin, sirkulin, tirosidin, valinomisin) dan antibiotik
polyene (amphoterisin, nistatin, filipin). Membran sel merupakan lapisan
molekul lipoprotein yang dihubungkan dengan ion Mg. Sehingga agen
chelating yang berkompetisi dengan Mg selama pembentukan membran,
dapat meningkatkan permeabilitas sel atau menyebabkan sel lisis.
Beberapa antibiotik bersatu dengan membran dan berfungsi sebagai
iondphores.yaitu senyawa yang memberi jalan masuknya ion abnormal.
Proses ini dapat mengganggu biokimia sel, misalnya gramicidin.
Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat
pada fosfolipid membran sel. Sehingga polimiksin lebih aktip terhadap
bakteri gram negatif daripada gram positif yang mempunyai jumlah
fosfor lebih rendah. Antibiotik polyene hanya bekerja pada fungi tetapi
tidak aktif pada bakteri. Dasar selektivitas ini, karena mereka bekerja
berikatan dengan sterol yang ada pada membran fungi dan organisme
yang lebih tinggi lainnya. Secara in vitro polyene dapat menyebabkan
hemolisis, karena diduga membran sel darah merah mengandung sterol
sebagai tempat aktivitas antibiotik polyene. Amfoterisin B juga dapat
digunakan untuk infeksi sistemik tetapi sering disertai efek samping
anemia hemolitik. Kerusakan membran sel dapat menyebabkan
kebocoran sehingga komponen-komponen penting di dalam sel seperti
protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain dapat mengalir keluar.
Diduga struktur membran ini ada pada mamalia, oleh karena itu
antibiotik ini mempunyai toksisitas selektif relatif kecil dibanding
antibiotik yang bekerja pada dinding sel bakteri, sehinggadalam
penggunaan sistemik antibiotik ini relatip toksik, untuk mengurangi
toksisitasnya dapat digunakan secara topical.
3. Antibiotik menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba.
Sel mikroba dalam memelihara kelangsungan hidupnya perlu
mensintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama
dengan mRNA dan tRNA, gangguan sintesis protein akan berakibat
sangat fatal dan antimikroba dengan mekanisme kerja seperti ini
mempunyai daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini
meliputi aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin,
kloramphenikol, novobiosin, puromisin. Penghambatan biosintesis
protein pada sel prokariot ini bersifat sitostatik, karena mereka dapat
menghentikan pertumbuhan dan pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke
media bebas antibiotik, mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik
berkurang dari sel kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas
bakterisida. Pengaruh zat ini terhadap sel eukariot diperkirakan
sitotoksik. Beberapa penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan
sikloheksimid sangat toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak
digunakan untuk terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relatip
kecil bila digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat
biosintesis protein yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin
berikatan dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom
30s dan menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga
terbentuk protein abnormal dan non fungsional. Asam nukleat
merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan sel. Untuk
pertumbuhannya, kebanyakan sel tergantung pada sintesis DNA, sedang
RNA diperlukan untuk transkripsi dan menentukan informasi sintesis
protein dan enzim. Ada beberapa jenis RNA yaitu t-RNA, r-RNA, m-
RNA, masing-masing mempunyai peranan pada sintesis protein. Begitu
pentingnya asam nukleat bagi sel, maka gangguan sintesis DNA atau
RNA dapat memblokir pertumbuhan sel. Namun antimikroba yang
mempunyai mekanisme kegiatan seperti ini pada umumnya kurang
selektif dalam membedakan sel bakteri dan sel mamalia. Antimikroba ini
umumnya bersifat sitotoksik terhadap sel mamalia. Sehingga penggunaan
antimikroba jenis ini harus hati-hati dan selektif yaitu yang sifat
sitotoksiknya masih dapat diterima. Seperti asam nalidiksat dan
rifampisin, karena aktivitasnya sangat kuat dalam menghambat
pertumbuhan, maka anti mikroba dengan mekanisme seperti ini sering
digunakan sebagai anti-tumor. Antimikroba yang mempengaruhi sintesis
asam nukleat dan protein mempunyai mekanisme kegiatan pada tempat
yang berbeda, antara lain: Antimikroba mempengaruhi replikasi DNA,
seperti bleomisin, phleomisin, mitomisin, edeine, porfiromisin.
Antimikroba mempengaruhi transkripsi, seperti aktinomisin, kromisin,
ekonomisin, rifamisin, korisepin, streptolidigin. Antimikroba
mempengaruhi pembentukan aminoacyltRNA, seperti borrelidin.
Antimikroba mempengaruhi translasi, antara lain kloramphenikol,
streptomisin, neomisin, kanamisin, karbomisin, crytromisin, linkomisin,
fluidic acid, tetrasiklin. Antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein
dan asam nukleat, mayoritas aktif pada bagian translasi dan diantara
mereka banyak yang berguna dalam terapi. Karena mekanisme translasi
antara sel bakteri dan sel eukariot berbeda, maka mungkin mereka
memperlihatkan toksisitas selektif .
4. Antibiotik mengganggu metabolisme sel mikroba.
Antibiotik dapat dikatakan sebagai perusak kehidupan, atau dapat
disebut juga suatu zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang mempunyai kemampuan, dalam larutan encer, untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya.
Dari beberapa mekanisme dari kerja antibiotic (antiseptic) dapat
diketahui bahwa terbentuknya zona hambat dikarenakan mekanisme dari
kerja antibiotic (antiseptic).
Menurut Islamiyah, dkk (2010) faktor perbedaan ukuran zona
hambat dapat disebkan sebagai berikut.
karena adanya perbedaan konsentrasi senyawa aktif yang bersifat
sebagai antimikroba pada masing-masing konsentrasi dan jenis sampel
uji. Konsentrasi bahan kimia akan mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Dalam konsentrasi kecil bersifat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme (Lay,1994) dan dengan konsentrasi yang
tinggi akan menyebabkan lebih banyak kematian mikroorganisme
(Hewitt dan Stephen, 1989). Juga, menurut Barnet (1992) perbedaan
besarnya daerah hambatan untuk masing-masing konsentrasi dapat
diakibatkan antara lain perbedaan besar kecilnya konsentrasi atau banyak
sedikitnya kandungan zat aktif antimikroba yang terkandung di dalamnya
serta kecepatan difusi bahan antimikroba ke dalam medium (Lay, 1994).
Faktor-faktor lain yang juga dianggap dapat mempengaruhi antara lain
kepekaan pertumbuhan bakteri, reaksi antara bahan aktif dengan medium
dan temperatur inkubasi. Beberapa faktor yang juga mempengaruhi hal
ini antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas obat,
ukuran inokulum, waktu inkubasi dan aktivitas metabolik
mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Sri. 2009. Pemeriksaan Bilangan Bakteri Dan Pengaruh Beberapa Perlakuan
Terhadap Penurunan Bilangan Bakteri Pada Mouthpiece Alat Musik Tiup Marching
Band Di Jatinangor. Farmaka, Volume 7
Nomor1,April2009.(Online),3http://farmasi.unpad.ac.id/farmaka/files/2011/05/PEM
ERIKSAAN-BILANGAN-BAKTERI-DAN-PENGARUH-BEBERAPA-
PERLAKUAN-TERHADAP-PENURUNAN-BILANGAN-BAKTERI.pdf diakses
27 November 2011).
Ali. 2012. Chloroxylenol. (online), (http://thelounge-kaskus.
com/2012/01/chloroxylenol-si-antiseptik-efektif.pdf), diakes pada tanggal 26
November 2013
Cappuccino, J. G. & Natalie. S. 1983. Microbiology A Laboratory Manual. Addison-
Wesley Publishing Company, New York.
Dwijoseputro. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : Djembatan
Islamiyah.dkk. (2010). Potensi Ekstrak Metanol Cacing Tanah Lokal Makasar Perionyx
Excavatus Sebagai Antibakteri Terhadap Beberapa Spesies Bakteri Patogen.
(online), (http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fmipa201029.pdf),
diakses pada tanggal 26 November 2013
Jawetz, E., Joseph M., and Edward A., 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Nugrogo, E.,
Maulany, R. F., alih bahasa; Setiawan, I., editor. Jakarta : Penerbit EGC. Halaman :
188-190.
Lutfi Ahmad. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
Majalah Kesehatan. 2011. Mengenal Antiseptik. (Online),
(http://majalahkesehatan.com/mengenal-antiseptik/, diakses 27 November 2013
Putra, 2011. Metode Cakram. (Online),
(http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2011/06/03/metode-cakram/, diakses 23
November 2013)
Titin, S. 2012. Laporan Praktikum Antibiotik. (online), (sunshinetitin.
com/2012/07/laporan-praktikum-antibiotika.pdf), diakses pada tanggal 26
November 2013
Widjajanti, U, Nuraini, 1996. Obat-obatan. Kanisus, Yogyakarta