Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dari
kehidupan seseorang. Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi kebutuhan
mendasar dan tentunya menjadi kewajiban negara dalam upaya pemenuhannya.
Kesehatan juga komponen pembangunan yang memiliki nilai investatif, hal ini
dikarenakan berbicara tentang kesehatan maka akan membicarakan juga tentang
ketersediaan tenaga siap pakai dalam hal ini Sumber Daya Manusia yang sehat dan
produktif tentunya. Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan
nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi
bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah.
Tak bisa kita pungkiri, pergantian tampuk pemerintahan ternyata belum
memberikan nuansa baru dalam pembangunan kesehatan. Bisa dikatakan kesehatan
belum menjadi isu utama dalam strategi pembangunan di Indonesia padahal kita
sadari betul bahwa kesehatan juga merupakan factor penentu dalam pembangunan
suatu bangsa. Lemahnya pembangunan disektor kesehatan dapat kita lihat dari
angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) negara kita
selalu stagnan pada kisaran 117-112 dari sekitar 175 negara, meskipun pada tahun
2008 sempat naik ke peringkat 109 tetapi pada tahun 2009 justru kembali turun
pada posisi 112. Sebagai catatan, HDI adalah ukuran keberhasilan pembangunan
nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi,
kesehatan dan pendidikan. Ironisnya, rentetan pergantian tampuk kekuasaan selama
beberapa dekade terakhir, pun tak kunjung membawa angin perubahan.

Akhir tahun 2009, dalam hal masalah kesehatan justru ditutup dengan
pemberitaan pada sebuah koran lokal kota Makassar tentang meningkatnya kasus
gizi buruk disalah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya sangat
menyedihkan dimana Sulawesi Seletan sendiri merupakan lumbung pangan

1
Indonesia tetapi justru bisa ditemukan kejadian seperti ini. Belum lagi melihat
problem-problem kesehatan semacamnya diberbagai daerah di Indonesia tentunya
semakin menguatkan pandangan kita bahwa kesehatan bangsa ini masih sangat jauh
dari harapan. Dan sebuah pukulan besar bagi penyelenggara pembangunan
kesehatan dalam hal ini pemerintah adalah munculnya Fenomena Ponari. Hal
ini jelas menunjukkan kegagalan pemerintah dalam promosi kesehatan dan perilaku
kesehatan masyarakat. Selain itu fenomena ini juga menunjukkan bahwa minimnya
kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan diperparah dengan sulitnya mengakses
pelayanan kesehatan sehingga masyarakat cenderung selalu mencari pengobatan
alternatif.

B. Tujuan
1. Mengidentifikasi trend dalam keperawatan komunitas di Indonesia
2. Mengidentifikasi isu dalam keperawatan komunitas di Indonesia
3. Mengetahui implikasi trend dan isu keperawatan komunitas perawat di Indonesia.

C. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman perawat terhadap perkembangan trend dan isu keperawatan
komunitas di Indonesia
2. Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan komunitas
3. Mengetahui keterkaitan keperawatan komunitas dengan trend dan isu yang
berkembang dalam bidang kesehatan
4. Sebagai landasan dalam melakukan penelitian baik klinik dan preklinik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Sehat merupakan hak yang fundamental bagi seluruh warga negara di Indonesia.
Strategi Kementerian Kesehatan dalam pembangunan kesehatan adalah dengan berbasis
preventif dan promotif. (2010-2014). Hal tersebut disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu
Sedyaningsih, MPH, Dr. PH dalam Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian
Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Promotif yang diselenggrakan oleh
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro pada hari Sabtu, 13 Maret 2010
di Semarang.
Pembangunan kesehatan mencakup preventif dan promotif untuk mewujudkan
masyarakat yang mandiri dan berkeadilan. Rencana pembangunan kesehatan Indonesia
tahun 2005-2025 seperti yang terdapat dalam UU No. 17 tahun 2007 merupakan
pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengedepankan SDM yang berkualitas dan
berdaya saing. Pembangunan kesehatan tersebut dilakukan dengan peningkatan kesadaran,
kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat untuk meningkatkan derajat
kesehtan masyarakat setinggi-tingginya.
Menkes mengatakan, SDM Indonesia harus tangguh, produktif dan mampu
bersaing dengan tantangan yang ada. Selain itu, pembangunan kesehatan tahun 2005-2025
memberikan perhatian yang khusus terhadap penduduk yang rentan yaitu ibu, bayi, anak,
usia lanjut dan penduduk miskin, dengan sasaran pembangunan kesehatan di akhir tahun
2014 adalah peningkatan dasar kesehatan masyarakat melalui peningkatan derajat
kesehatan yang terdapat di MDGs. Meningkatanya derajat kesehatan masyarakat melalui
percepatan pencapaian MDGs antara lain:

1. Meningkatnya umur harapan hidup menjadi 72 tahun

2. Menurunnya angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup

3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 118 per 100.000 kelahiran
hidup, serta

4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi kurang dari 15%

3
Visi pembangunan kesehatan seperti yang diktakan Menkes yaitu mewujudkan
masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan, meningkatkan pelayanan kesehatan yang
merata dan mandiri, menjamin tersedianya sumber daya kesehtaan yang bermutu dan
berkeadilan, menata pemerintahan kesehatan yang baik, pembiayaan kesehatan yang
terjangkau, ketersediaan obat, manajemen kesehatan yang transparan.
Seperti yang disampaikan Menkes, Angka Kematian Neonatal turun menjadi 20 per
1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Anak Balita turun menjadi 44 per 1000 kelahiran
hidup, Angka Kematian Bayi menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup. Prevalensi gizi buruk di
19 Provinsi masih di atas prevalensi nasional, dimana prevalensi nasional 18,4%.

Pada aspek ketersediaan pelayanan kesehatan, Pemerintah telah membangun 8.548


Puskesmas, 22.337 Pustu(Puskesmas Pembantu), 6711 Puskesmas keliling roda 4, serta 858
Puskesmas keliling perahu/kapal.

Menurut Menkes upaya kesehatan dasar harus menunjukkan peduli terhadap


kelompok yang berisiko tinggi yaitu masyarakat miskin, bayi, ibu, anak, dan penduduk usia
lanjut. Revitalisasi Puskesmas merupakan kebijakan pembangunan kesehatan dengan arah
preventif dan promotif. Dimana visi Puskesmas antara lain:
1. Pusat pembangunan wilayah berwawasan kesehatan
2. Pusat pemberdayaan masyarakat
3. Pusat pelayanan kesehtan masyrakat primer
4. Pusat pelayanan kesehatan perorangan primer.

Menkes juga mengatakan, ada 3 level pencegahan ( 3 level of prevention) sebagai


pendekatan pelaksanaan visi Puskesmas, yaitu health promotion and specific protection,
early detection, and prompt treatment, dan rehabilitation and disability limitation.
Di UPTD Kab/Kota pembiayaan pemerintah dilakukan dengan subsidi melalui BOK
(Bantuan Operasional Kesehatan). BOK tersebut digunakan untuk membangun Puskesmas.
Untuk membangun Puskesmas, keberhasilan program kesehatan tergantung juga pada
Dinkes dan lembaga lain di bawahnya serta pembangunan kesehatan harus didukung oleh
semua aspek kesehatan, ujar Menkes.

4
Yang harus dipahami oleh mahasiswa Kesehatan Masyarakat antara lain mengenai,
Jaminan Sosial Nasional, BOK, revitalisasi UPTD, system pengadaan distribusi penjagaan
dari kualitas obat/harga obat(generik), pemanfaatan SDM kesehatan yang saat ini telah
banyak yang bersinergi dengan pelayanan kesehatan, serta masalah infeksi dan penyakit
(misalnya penyediaan air bersih yang ada ditangan PU), tutur Menkes. Pembangunan
kesehatan hendaknya dapat menciptakan Indonesia yang damai, sejahtera, mandiri, merata
dan berkeadilan
Dicetuskannya Visi Indonesia Sehat 2010 pada tahun 1999 seakan memberikan
angin segar dan harapan dalam pembagunan kesehatan. Diharapakan pada tahun 2010,
bangsa Indonesia akan mencapai tingkat kesehatan tertentu dengan ditandai dengan
penduduknya yang;
1. Hidup dalam lingkungan yang sehat.
2. Mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Mampu menyediakan dan memanfaatkan (menjangkau) pelayanan kesehatan yang
bermutu.
4. Memiliki derajat kesehatan yang tinggi.
Selain itu secara garis besar visi ini juga memberikan gambaran bertahap tentang
pembangunan kesehatan yaitu; Desa Sehat akan terwujud pada tahun 2003, kecamatan sehat
pada tahun 2004, kabupaten sehat pada 2005, dan berturut-turut propinsi dan negara sehat
pada tahun 2006 dan 2007. Tetapi, tanpa melihat indikator-indikator kecilnya saja secara
garis besar dapat kita simpulkan bahwa Visi Indonesia Sehat 2010 ini tidak tercapai.
Mencermati hal diatas, sampai pada akhir tahun 2009 ini ada beberapa Tren mendasar
dalam pembangunan kesehatan diantaranya;
1. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif)
dan pencegahan (preventif) masih terlihat sangat kurang. Pemerintah selama ini hanya
berkutat dan menghabiskan banyak anggaran di bidang pengobatan (kuratif) dan
rehabilitatif. Pemerintah ternyata masih belum beranjak dari paradigma sakit.
Kualitas pelayanan rumah sakit sebagai sarana pelayanan rujukan masih dirasakan
sangat kurang. Dengan keadaan seperti ini tidak mengherankan bila derajat kesehatan

5
masyarakat di Indonesia belum memuaskan. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yakni masing-masing 50/1000 kelahiran hidup. dan
373/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan umur harapan hidup masih rendah, yakni rata-rata
66,2 tahun.

2. Pembiayaan Kesehatan
Dalam hal pembiyaian kesehatan, negara kita sangatlah jauh dari ideal. Terget biaya
kesehatan yang seharusnya 15 % per tahun 2010 dalam anggaran APBD ternyata hanya
terpenuhi 5,8 % per 2008. Untuk tahun 2009 , pemerintah hanya mengalokasikan anggaran
pembangunan kesehatan sebesar 2,5% dari total APBN. Sungguh mengecewakan!
Keadaan ini diperparah dengan tidak meratanya anggaran kesehatan dari masing-
masing daerah akibat desentralisasi. Pengalokasian dana bersumber pemerintah belum
efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif dan sementara itu
besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas.
Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan
masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan
dari masyarakat masih terbatas serta bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat
yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni kurang dari 20% penduduk. Metoda
pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran tunai
sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara
berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan. Demikian pula penerapan teknologi canggih
dan perubahan pola penyakit sebagai akibat meningkatnya umur harapan hidup akan
mendorong meningkatnya biaya kesehatan tidak dapat dihindari. Tingginya angka kesakitan
juga berdampak terhadap biaya kesehatan yang pada gilirannya akan memperberat beban
ekonomi. Hal ini terkait dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk berobat, serta
hilangnya pendapatan akibat tidak bekerja. Sebagai contoh beban dan atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan penyakit TBC di Indonesia diperkirakan tidak kurang dari Rp 2,5
triliun/tahun.

3. Sumber Daya Manusia Kesehatan


Sumber daya kesehatan, teritama sumber daya manusia di negara ini masih belum
memadai. Terlibih masalah distribusi tenaga kesehatan. Distribusi tenaga kesehatan sampai

6
saat ini belum bisa dikatakan menggembirakan. Sekalipun sejak tahun 1992 telah diterapkan
kebijakan penempatan tenaga dokter dan bidan dengan sistem PTT. Tercatat rasio dokter
terhadap Puskesmas untuk kawasan Indonesia bagian barat, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah bagian timur. Rasio tenaga dokter terhadap Puskesmas di Provinsi Sumatera
Utara = 0,84 dibanding dengan Provinsi NTT = 0,26 dan Provinsi Papua = 0,12. Belum lagi
soal tenagar kesehatan para medis lainnya.
Mutu SDM Kesehatan masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari
rendahnya kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. permasalahan yang terdapat
di dalam pembangunan kesehatan berbasis preventif dan promotif terltak pada ketersediaan
SDM kesehatan selain pelayanan kesehatan dan sistem manajemen kesehatan, yang mana
permasalahan tersebut juga fundamnental.
Pembangunan kesehatan Indonesia pada masa kabinet Indonesa Bersatu ke-2
mengarah pada suatu kondisi atau program kesehatan yang memegang prinsip paradigma
sehat yang berupaya secara komprehensif dalam upaya promotif dan preventif. Upaya ini
dilaksanakan demi terwujudnya suatu kondisi sehat yang mandiri dari masyarakat sehingga
derajat kesehatan masyarakat dapat menunjukkan suatu peningkatan yang optimal dan
menyeluruh serta mengubah suatu paradigma dari paradigma sakit menjadi paradigma
sehat.

Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan peran serta dari seluruh lapisan
masyarakat serta peran pemerintah maupun tenaga kesehatan. Kondisi sehat yang
komprehensif tidak akan tercapai apabila ketersediaan dan distribusi SDM atau tenaga
kesehatan hanya berkutat pada kawasan atau daerah yang tergolong maju serta mengabaikan
kesehatan di daerah teringgal, terpencil, kepulauan maupun perbatasan. Kesehatan di daerah
tertinggal menjadi salah satu kebutuhan dasar masyarakat (basic need). Tetapi sejauh mana
kondisi kesehatan masyarakat tentu kita dapat melihatnya sendiri.
Pembangunan kesehatan di daerah tertinggal pada dasarnya diupayakan dalam hal
peningkatan mutu SDM yang cerdas, sehat serta produktif. Dan pembangunan kesehatan di
daerah tertinggal akan menunjukkan hasil yang nyata maupun menunjukkan peningkatan
dan pemeliharaan kesehatan yang berkesinambungan apabila tersedia layanan kesehatan
serta SDM kesehatan yang merata, peningkatan mutu SDM kesehatan, tersedianya jaminan
kesehatan maupun tersedianya upaya pendidikan dan promosi kesehatan untuk

7
mengembangkan kesadaran masyrakat dalam mewujudkan perilaku hidup sehat demi
tercapainya pningkatan derajat kesehatan masyarakat yang mandiri.

Upaya tersebut dihadapkan pada beberapa hambatan yang cukup signifikan,


khususnya di daerah-daerah tertinggal. Pertama, sebanyak 30 persen puskesmas di
kabupaten tertinggal (53 kabupaten) memiliki beban melayani lebih dari 20.000 jumlah
penduduk. Kedua, sebanyak 70 persen puskesmas di kabupaten tertinggal (102 kabupaten)
memiliki beban melayani penduduk dengan luas wilayah lebih dari 200 km2. Ketiga,
ketersediaan bidan desa (18.213 bidan desa) baru memenuhi 50 persen jumlah desa yang
membutuhkan. Keempat, jumlah dan fungsi upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(UKBM) masih jauh dari kebutuhan. Terjadi banyak masalah kesehatan yang
berhubungan dengan ketersediaan tenaga Kesehatan yang berada di daerah terpencil,
kepulauan, perbatasan dan daerah tertinggal. Masih kurangnya tenaga kesehatan di daerah
tersebut menyebabkan banyak terjadi masalah kesehatan. Kesulitan dalam
menjangkau daerah tersebut menyebabkan kurang berminatnya tenaga kesehatan untuk
datang ke daerah tersebut. Sehingga kondisi geografis maupun infrastruktur suatu daerah
menjadi salah satu indikator maupun faktor yang mempengaruhi pelaksanaan dari
pembangunan kesehatan. Selain itu, pemerintah memegang peranan penting dalam distribusi
SDM kesehatan.
Masalah ketersediaan dan distribusi SDM kesehatan di daerah terpencil, tertinggal,
perbatasan dan kepulauan (DPTK) terletak pada faktor efisiensi, efektifitas, maupun mutu
dari SDM kesehatan yang meliputi, distribusi SDM kesehatan yang belum merata,
perencanaan program kesehatan belum optimal, rendahnya mutu SDM kesehatan, informasi
yang tidak akurat mengenai kondisi suatu daerah, serta keterbatasan sumber daya
pendukung.
Ketersediaan, kualitas dan distribusi tenaga kesehatan di daerah terpencil, tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan merupakan masalah sekaligus sebagai tantangan di dalam
pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia. Hal ini tampak dari paparan program 100
hari Departemen Kesehatan yang merencanakan program peningkatan jumlah, jenis dan
mutu di DTPK. Tantangan yang sedang dihadapi sekarang ialah tenaga kesehatan itu sendiri
yang kurang motivasi untuk menjangkau daerah tersebut. Banyak faktor karena daerah-
daerah tersebut kurang menjadi daya tarik da daya dorong untuk menempati daerah tersebut

8
masih kecil, sehingga hamper tak dilirik oleh tenaga kesehatan untuk menempati daerah
tersebut.

4. Pemberdayaan Masyarakat

Pembangunan kesehatan di Indonesia dilaksanakan dengan pemberdayaan


masyarakat. Untuk itu berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat banyak
didirikan, antara lain dalam bentuk Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, serta Pos Upaya
Kesehatan Kerja. Sedangkan dalam bidang pembiayaan kesehatan pemberdayaan
masyarakat diwujudkan melalui bentuk dana sehat serta berbagai yayasan peduli dan
penyandang dana kesehatan seperti yayasan kanker Indonesia, yayasan jantung Indonesia,
yayasan thalasemia Indonesia, serta yayasan ginjal Indonesia. Pemberdayaan masyarakat
dilaksanakan pula dalam bentuk berbagai gerakan, seperti Koalisi Indonesia Sehat, Gebrak
Malaria, Gerdunas TB, Gerakan Sayang Ibu, gerakan anti madat serta gerakan pita putih
(kesehatan ibu) dan gerakan pita merah (HIV/AIDS). Sayangnya pemberdayaan masyarakat
dalam arti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat dalam
mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan masih dilaksanakan
secara terbatas. Kecuali itu lingkup pemberdayaan masyarakat masih dalam bentuk
mobilisasi masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan,
advokasi kesehatan serta pengawasan sosial dalam program pembangunan kesehatan belum
banyak dilaksanakan.
5. Manajemen Kesehatan
Dalam hal manajemen kesehatan pun dianggap mengecewakan, Inkonsistensi antara
pengambilan dan implementasi kebijakan pembangunan kesehatan menjadi salah satu
kendala mencapai tujuan pembangunan kesehatan.
Tidak Tercapainya Visi Indonesia Sehat 2010, ketidak jelasanSistem Jaminan Sosial
Nasional, dan Sistem Kesehatan Nasional seakan ikut menggambarkan buramnya prospek
kesehatan bangsa ini. Pada sisi lain, desentralisasi pembangunan menyisakan beberapa hal
negatif. Disparitas yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam
program pembangunan kesehatan, adalah fakta yang sangat jelas menunjukkan tidak
tercapainya Visi Indonesia Sehat 2010.

9
Secara sederhana, demikianlah potret pembangunan kesehatan di Indonesia. Dengan
adanya refleksi ini bisa memberikan masukan agar reformasi kesehatan bisa segera terwujud
dan harapan masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang tinggi juga bisa terwujud.
Dalam empat isu yang menjadi landasan penyusunan program 100 hari DEPKES
pelaksanaannya melalui program 100 hari sangat erat kaitannya dengan jumlah , jenis, mutu
dan distribusi tenaga kesehatan.
1. Isu yang pertama mengatakan bahwa pemenuhan hak setiap individu untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dengan program jaminan kesehatan masyarakat dan
sebagainya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tiap individu berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa memandang status sosial yang dimiliki oleh
orang tersebut. Sehingga tiap individu berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
dijamin oleh pemerintah. Pemenuhan hak setiap individu untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan tampak dari sasaran program 100 hari Departemen Kesehatan
yang mencakup seluruh rakyat miskin, seluruh wilayah Indonesia terutama wilayah
dengan daya ungkit tertinggi maupun seluruh jajaran kesehatan, lintas sektor, swasta
dan segenap komponen masyarakat baik di Pusat maupun daerah agar ikut berperan
aktif sebagai pelaku maupun objek program 100 hari DEPKES tersebut. Terjaminnya
hak setiap individu secara menyeluruh juga dapat diperoleh melalui program jaminan
kesehatan semesta dimana seluruh lapisan masyarakat memiliki hak untuk
mendapatkan jaminan kesehatan. Jamkesmas secara bertahap akan dikelola
menggunakan sistem asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan tersebut akan
menjangkau seluruh populasi, tidak hanya masyarakat miskin. Premi untuk masyarakat
miskin terhadap asuransi kesehatan tersebut akan dibayar oleh pemerintah, berbeda
halnya dengan mereka yang bekerja, premi akan ditanggung oleh perusahaan bagi
mereka yang bekerja, sementara premi akan dibayar sendiri bagi mereka yang
mampu. Program Jaminan Kesehatan Semesta masih dalam tahap penyusunan
roadmap sehingga dapat terlaksana dengan baik.

10
2. Isu yang kedua peningkatan kesehatan masyarakat melalui percepatan dan pencapaian
target tujuan pembangunan milenium (MDGs) seperti mengurangi angka kematian
bayi, angka kematian ibu melahirkan dan sebagainya. Seperti yang telah ditetapkan
oleh pemerintah republik Indonesia bekerjasama dengan PBB untuk menekan angka
yang menyebabkan kemunduran suatu Negara diantaranya angka-angka yang berkaitan
dengan kesehatan. Dengan upaya yang demikian diharapkan suatu Negara dalam
perkembangannya akan berdampak positif bagi Negara itu sendiri. Angka kematian
bayi dan angka kematian Ibu merupakan suatu faktor demografi yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan penduduk dan dinamika kependudukan serta
menceminkan atau sebagai indikator yang menggambarkan kondisi kesehatan dan
kependudukan di suatu Negara. Pemerintah Indonesia melalui Kabinet Indonesia
Bersatu ke- 2 telah menyusun suatu program atau upaya yang terdapat dalam program
100 hari DEPKES No. 2 dan 7. Upaya tersebut berguna untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat melalui upaya mengurangi angka kematian bayi dan angka kematian Ibu
yang meliputi pendataan Ibu Hamil dan penyediaan Buku KIA bagi ibu hamil baru,
dll. Selain itu juga melakukan peningkatan Universal Child Immunization (UCI)
sebesar 98 % desa di 5 provinsi Jawa (Jatim, Jabar, Banten dan DKI Jakarta.

3. Isu yang ketiga yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan akibat
bencana. Sedang terjadi trend peningkatan berbagai wabah penyakit dan virus yang
selalu berkembang dan merupakan penyakit menular, oleh karena itu perlu adanya
penanggulangan apabila gejala tersebut dapat diidentifikasi, sehingga penanganannya
dapat dilakukan semenjak dini sebelum virus atau penyakit tersebut menjadi wabah
yang mematikan. Dan untuk penaggulangan bencana perlu adanya badan yang
mengkaji berbagai pencegahan sebelum bencana tersebut terjadi, sehingga apabila
terjadi bencana yang tak dapat dicegah dapat diminimalisir, sehingga kerugian atas
bencana tersebut dapat ditekan. Upaya yang dilakukan untuk menangani hal tersebut
telah dipaparkan di dalam program 100 hari DEPKES No. 5, 6, 7 dan 10 yang meliputi
upaya penanggulangan HIV/AIDS, penanggulangan penyakit TB, penanggulangan
malaria, serta penanggulangan bencana.

11
4. Isu yang keempat adalah pemerataan dan distribusi tenaga kesehatan di daerah
terpencil, kepulauan, perbatasan dan daerah tertinggal. Ini yang menjadi tinjauan utama
dalam pembuatan makalah ini. Penulis berpendapat bahwa wilayah terpencil,
kepulauan, perbatasan dan daerah tertinggal kurang diminati oleh tenaga kesehatan
karena berbagai hal. Hal ini yang akan diulas oleh penulis dalam makalah ini. Dalam
program no.11 disebutkan bahwa peningkatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan
dalam jumlah, jenis dan mutu terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan
kepulauan (DTPK). Disusunnya permenkes tentang praktik tenaga kesehatan (perawat
dan bidan) di DTPK dan peraturan kepmenkes tentang pemberian insentif bagi tenaga
kesehatan strategis (dokter, perawat, bidan, SKM, sanitarian, ahli gizi, asisten apoteker
dan analisis), dan terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis (perawat, bidan,
sanitarian, gizi, analis kesehatan, asisten apoteker) sebanyak 131 orang di 35
puskesmas dari 101 puskesmas DTPK.

Namun untuk dapat menjamin pemenuhan hak setiap individu dalam


memperoleh pelayanan kesehatan, mengurangi angka kematian bayi dan angka
kematian ibu hamil serta pengendalian penyakit dan penanggulangan masalah
kesehatan akibat bencana maka jumlah, mutu dan distribusi tenaga kesehatan harus
baik dalam arti jumlah tenaga kesehatan berada dalam kuantitas dan kualitas yang baik,
serta insentif yang sesuai dengan daerah dimana mereka akan ditempatkan. Jika hal
tersebut dipenuhi maka distribusi tenaga kesehatan dapat diatur secara merata meliputi
seluruh wilayah RI baik daerah maju maupun DTPK. Maka setiap individu akan
terjamin haknya terhadap pemenuhan akan pelayanan kesehatan baik individu di
daerah maju maupun di DTPK. Pelaksanaan upaya kesehatan tersebut tidak akan
mengalami hambatan yang berat apabila faktor SDM kesehatan dan akses terhadap
pelayanan kesehatan tersebut mudah dan baik.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut diantaranya


adalah kekurangan tenaga ahli kesehatan di Indonesia atau rasio tenaga ahli terhadap
jumlah penduduk Indonesia masih sangat rendah. Kualitas tenaga kesehatan juga perlu
ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak
mempunyai dokter umum maupun petugas kesehatan profesi lainnya. Akibatnya
banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau

12
tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro,
2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa
tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya
dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan
kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul
keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya mal praktek dokter.

Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan diperburuk oleh distribusi tenaga


kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada
di Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah
lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Untuk jenis tenaga
kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relative cukup, bahkan
produksinya terus meningkat. Namun ada beberapa tenaga kesehatan yang langka,
diantaranya adalah analis kesehatan, terapis wicara, refraksionis optisien, fisioterapis,
radiographer, epidemiolog, ahli human resource management, dan lainnya. Mutu SDM
kesehatan masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari rendahnya
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Rata-rata sebuah puskesmas di daerah tertinggal mempunyai tenaga kesehatan


yang lebih sedikit yaitu 27,14 tenaga, dibandingkan dengan kabupaten tidak tertinggal
yaitu 33,03 tenaga. Hampir seluruh jenis tenaga kesehatan pada kabupaten tertinggal
mempunyai rasio tenaga per puskesmas yang lebih kecil daripada kabupaten tidak
tertinggal, kecuali rasio tenaga teknis medis dan rasio perawat gigi. Dari seluruh tenaga
tersebut yang perbedaan yang relative besar adalah pada tenaga bidan dan SKM. Jika
dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga kesehatan
per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan 27,59 pada
daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas lebih
tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi
kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan honor daerah. Secara umum kebijakan
tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas atau mutu, antara
lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

13
1. Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang
kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3), dan
2. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21).

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan
pelatihan kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya
saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi
pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting untuk dapat
menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan.

Pola penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata juga menyebabkan


terjadinya keterlambatan dalam hal pelayanan kesehatan terhadap individu. Hal ini
berdampak pada ketidakseimbangan pelayanan kesehatan pada suatu daerah
dibanding daerah lain. Daerah yang termasuk DTPK akan susah mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai karena infrastruktur penunjang belum
terbangun dengan baik. Hal ini juga akan memperlambat penanganan masalah
kesehatan di suatu tempat yang termasuk DTPK.

Faktor reward juga mempengaruhi tenaga kesehatan dalam mencapai


daerah-daerah tersebut. Seharusnya semakin rendah fasilitas atau infrastruktur
dalam wilayah tersebut, maka reward semakin besar. Namun berbeda
kenyataannya, justru infrastruktur yang memadai membuat tenaga kesehatan ini
dibayar mahal. Ini yang menyebabkan tenaga kesehatan jarang melirik daerah yang
termasuk DTPK karena dengan fasilitas yang serba terbatas juga dengan reward
yang kecil menyebabkan tenaga kesehatan malas untuk menjangkaunya.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan sarana dan prasarana yang memadai
untuk wilayah-wilayah tersebut dan dibangun infrastruktur yang memadai sehingga
akses kesehatan untuk daerah tersebut tidak tertinggal dengan daerah yang sudah
maju, jalur distribusi serta pemerataan dan pengadaan tenaga kesehatan untuk
daerah-daerah tersebut distandarisasi, serta kualitas pendidikan tenaga kesehatan
ditingkatkan kualitasnya. Untuk daerah-daerah tersebut reward yang ditawarkan
harus besar sehingga daerah tersebut memiliki daya tarik untuk membina karir

14
tenaga kesehatan yang menjamin masa depan kehidupan tenaga kesehatan tersebut.
Perlu adanya desentralisasi daerah untuk wewenang dari tingkat pusat ke daerah,
sehingga kinerja dari masing-masing daerah dapat dilakukakan secara maksimal
sesuai kebutuhan masing-masing daerah. Selain itu diperlukan perencanaan yang
matang atas usaha-usaha diatas (program 100 hari DEPKES) sehingga terjadi
efektifitas dan efisiensi dari kinerja rencana tersebut dapat terjadi serta unsur atau
faktor pengadaan dan penempatan atas SDM kesehatan harus sesuai dengan
kebutuhan dari masing-masing daerah di Indonesia

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan untuk


masyarakat miskin mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak terampas
haknya selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan
perlu dipertajam dengan jalan antara lain :
1. Meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang banyak
berkaitan dengan penduduk miskin. Misalnya program pemberantasan penyakit
menular, pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.
2. Meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak
melayani penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang
rawat inap kelas III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional
rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik eksploitasi dan
pemalakan pasien miskin atas nama biaya perawatan.
3. Mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung membantu
masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan
alat kedokteran canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
4. Mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan yang
jarang dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-
rumah sakit stroke.

16
DAFTAR PUSTAKA

American Nurses Association, Council of Community Health Nurses, 1986. Standards of


Community Health Nursing Practice. Kansas city: ANA.

American Nurses Association.1986. Standards of Community Health Nursing Practice.


Washington DC: Author

Departemen RI.1993. Perawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI Departemen


RI.1998. Proyek Peningkatan Pelayanan Puskesmas, Modul A-E, pengembangan Program
Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan Dasar.

Notoatmojo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta

17
18

Anda mungkin juga menyukai