Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH ANTROPOLOGI

KAJIAN KOMPARASI ARSITEKTUR TRADISIONAL


JAWA DAN BALI

Oleh :

Hendro Trieddiantoro Putro

13/356033/PTK/09150

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013
Daftar Isi
Latar Belakang ........................................................................................................................... 4

Arsitektur Tradisional .............................................................................................................. 4

Konsep Inti ............................................................................................................................. 5

Hakekat Ruang....................................................................................................................... 7

Analisa dan Pembahasan .......................................................................................................... 9

Arsitektur Tradisional Jawa ..................................................................................................... 9

Lingkungan Geografis ......................................................................................................... 9

Sistem Masyarakat ............................................................................................................10

Filosofi ...............................................................................................................................10

Bentuk-Bentuk Rumah .......................................................................................................11

1. Rumah bentuk Panggang-pe ...................................................................................11

2. Rumah bentuk kampung .........................................................................................12

Zonasi rumah kampung ..............................................................................................12

3. Rumah bentuk Limasan...........................................................................................12

Zonasi rumah limasan.................................................................................................12

4. Rumah bentuk Tajug ...............................................................................................13

Zonasi rumah tajug .....................................................................................................13

5. Rumah bentuk Joglo ...............................................................................................13

Zonasi rumah joglo .....................................................................................................15

Pengukuran .......................................................................................................................18

Satuan Pengukuran Horizontal .......................................................................................18

Satuan Pengukuran Vertikal ...........................................................................................21

Pamindangan .................................................................................................................22

Warna dan orientasi angka neptu: ..................................................................................23

Detil ................................................................................................................................24
Arsitektur Tradisional Bali ......................................................................................................26

Lingkungan Geografis ........................................................................................................26

Sistem Masyarakat ............................................................................................................27

Filosofi ...............................................................................................................................28

Bentuk-Bentuk Rumah .......................................................................................................29

Zonasi .........................................................................................................................34

Pengukuran .......................................................................................................................35

Kesimpulan ...............................................................................................................................41

Arsitektur Selaku Cerminan Hidup .........................................................................................41

Tabel Komparasi ...................................................................................................................44

Daftar Pustaka ..........................................................................................................................50


Latar Belakang

Arsitektur Tradisional

Amos Rapoport (1969) membagi bangunan ke dalam kelompok sebagai berikut:

Arsitektur tradisi besar merupakan karya yang umumnya bersifat monumental, megah,
dan dibuat untuk kepentingan bersama, pemerintah, atau sekelompok orang untuk
menunjukkan kekuasaannya.

Sedangkan arsitektur tradisi rakyat, menurut Amos Rapoport, merupakan terjemahan


langsung dari kebutuhan dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang dilakukan secara sadar
ke dalam bentuk fisik suatu budaya.

Bangunan primitif dipahami sebagai bangunan yang dihasilkan oleh kelompok sosial
yang didefinisikan sebagai primitif oleh ahli antropologi. Menurut Redfield, salah satu ciri
bangunan primitif adalah penggunaan teknologi yang sederhana.

Rumah merupakan objek studi yang sangat penting untuk memahami arsitektur
vernakular di suatu tempat. Lebih dari sekadar bangunan, rumah merepresentasikan siapa dan
apa yang dilingkupinya. Di dalam arsitektur sebuah rumah terangkum aspek-aspek yang terlihat
maupun tak terlihat, kerangka waktu dalam pada mana ia ada, serta kekuatan sosial budaya
yang melatarbelakanginya. Selain itu, rumah mencerminkan gagasan perancangan yang secara
disadari ataupun tidak dipahami oleh pemilik rumah dan perancangnya. Rumah tradisional
memiliki makna dan posisi lebih dibandingkan rumah-rumah vernakular pada umumnya.
Arsitektur tradisional merupakan bentukan arsitektur yang diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Mempelajari bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi
masyarakat yang lebih dari sekadar tradisi membangun secara fisik. Masyarakat tradisional
terikat dengan adat yang menjadi konsesi dalam hidup bersama. Untuk memahaminya, perlu
dibahas orientasi umum masyarakat tradisional terlebih dahulu, sehingga dapat menampilkan
gambaran keterkaitan antara morfologi bangunan tradisional dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Konsep Inti

Di seluruh kepulauan Indonesia, rumah dan bangunan tradisional Indonesia sebagai


sebuah struktur yang kompleks sangat terkait dengan penghuni atau pengguna serta
lingkungannya, baik alami maupun sosial,

Terdapat beberapa model sikap manusia terhadap lingkungan, antara lain:

Menurut Yi Fu Tuan dalam Man and Nature (1974):


1. Idealisme Eden (model surgawi)

2. Idealisme Cosmos
3. Pemisahan kota-alam

Menurut Florence Kluckhon (1953):


1. Tahap mitis:
manusia berada di bawah kekuatan alam dan hidup penuh kekhawatiran di bawah
ancaman keganasan alam.
2. Tahap ontologis:
manusia mulai menguasai alam, namun belum sepenuhnya melepaskan diri dari
alam.
3. Tahap fungsional.
Menurut Eko Prawoto1:

lingkungan

manusia Arsitektur

1
Tradisi merupakan rekaman dari pengetahuan dan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan
alam, seperti yang ditulis dalam makalah Eko Prawoto Rumah yang berdamai dengan Alam pada
Seminar Nasional ECO Design, Jur Desain Interior FSD UK Petra, 27 Mei 2008
Hakekat Ruang
Ruang dapat dipahami sebagai satu daerah teritori yang sangat personal, karena
sebuah ruang tercipta didasari oleh pengetahuan dan kebutuhan penghuni dan dari ruang inilah
hakekat/esensi arsitektur itu muncul. Dalam wacana arsitektur tradisional ruang yang tercipta
merupakan ekspresi dari pengetahuan masyarakat masa lalu dalam upaya hidup laras,
menyatu dengan lingkungan alam, dan bahkan merupakan dialog antara manusia dengan alam.
Alam tidak saja dianggap sebagai musuh yang harus ditaklukan tetapi alam diposisikan sebagai
bagian dari kehidupan manusia itu, oleh karena itu cara-cara tradisional menciptakan sebuah
ruang adalah dengan belajar dari fenomena alam yang terjadi.

Seperti juga yang dikemukakan oleh Van Romont ruang adalah tempat hidup manusia
dengan bahagia. Ruang meliputi semua ruang yang terjadi baik yang dibuat oleh manusia
maupun yang terjadi karena suatu proses alam seperti misalnya gua, naungan pohon dan
sebagainya. Naungan dari panas matahari, angin dan hujan, tempat berlindung dari gangguan-
gangguan dan sebagai tempat melakukan segala bentuk kegiatan guna aktualisasi diri itu
tercermin dalam ruang yang tercipta. Keindahan dan kebahagian adalah sebagai unsur
kenyamanan bagi yang berada didalamnya maupun bagi yang melihatnya. Keindahan
dirasakan oleh panca indera, sedang kenyamanan dirasakan oleh jiwa.

Kepercayaan dari suatu masyarakat pada masa itu (terutama pada masyarakat agraris)
juga mempengaruhi terbentuknya ruang, pengaruh kekuatan-kekuatan alam pada umumnya
menjadi dasar dari kepercayaan yang terbentuk. Kepercayaan mengandung ajaran-ajaran
serta petunjuk-petunjuk yang harus ditaati oleh masyarakat, hal ini diwujudkan dalam adat
istiadat dan kemudian ditingkatkan menjadi aturan-aturan yang dipakai sebagai pedoman untuk
membuat sebuah bangunan (ruang).
Dengan berbekal adat istiadat dan aturan serta ditunjang oleh adanya kebutuhan
berinteraksi dengan manusia lain, mereka berupaya menempatkan diri dan mengatur ruang
dengan cara yang sangat berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya (Tuan, 1977:3). Adat
istiadat dan aturan menjadi satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat bisa disebut
budaya. Beberapa analisis terhadap perbedaan budaya, seperti yang dinyatakan oleh ahli
pengetahuan sosial Edward T. Hall, menghasilkan sintesis yang menyatakan bahwa: manusia
dengan budaya yang berbeda memiliki pengertian dan membentuk ruang yang berbeda (Hall,
1966).

Selanjutnya ruang dapat dipahami apabila lingkungan dan kehidupan masyarakat dapat
pula dimengerti. Oleh karena itu ruang dapat dipahami berdasarkan pada fungsi dan
penghuninya, bagaimana ruang itu tercipta akan selalu merupakan cerminan dari kondisi,
setting dan waktu dimana ruang itu berada.
Analisa dan Pembahasan

Arsitektur Tradisional Jawa


Rumah merupakan manifestasi dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos serta
pandangan hidup masyarakat Jawa. Pembagian ruangan pada bangunan Jawa didasarkan atas
klasifikasi simbolik yang diantaranya berdasarkan dua dua kategori yang berlawanan atau
saling melengkapi yang oleh Tjahjono (1990) disebut sebagai dualitas (duality). Selain itu ada
pemusatan (centralitas) dalam tata ruang bangunan. Rumah Jawa yang ideal paling tidak terdiri
dari dua atau tiga unit bangunan, yakni pendopo (ruang untuk pertemuan), pringgitan (ruang
untuk pertunjukan) dan dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang
disebut dengan emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding. Bagian dalam terdiri dari
dua bagian (depan dan belakang) atau tiga bagian (depan, tengah dan belakang). Bagian
belakang terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen serta sentong tengah. Orientasi bangunan
adalah arah selatan.

Bangunan tradisional Jawa menurut Dakung (1987) dibedakan menjadi lima klasifikasi
menurut bentuk atapnya, yaitu: atap Panggang Pe, atap Kampung, atap Limasan, atap Joglo
dan atap Tajug. Dari klasifikasi tersebut terdapat hirarki kesempurnaan atau keutamaan dilihat
dari kompleksitas strukturnya, teknik pengerjaannya, jumlah material bangunan, biaya serta
tenaga yang digunakan. Menurut Tjahjono perbedaan bentuk pada rumah Jawa menunjukkan
status social, sedangkan persamaan dalam susunan ruang menandakan adanya pandangan
hidup yang diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah tangga.

Lingkungan Geografis

Masyarakat suku Jawa mendiami bagian tengah Pulau Jawa (Provinsi Jawa Tengah)
dan sebagian Pulau Jawa bagian timur (Provinsi Jawa Timur). Lingkungan geografis di mana
suku ini tinggal terdiri dari pegunungan, pantai, maupun dataran. Menurut Alvin L. Bertrand
(sebagaimana ditulis dalam buku Arsitektur Tradisional D.I. Yogyakarta, 1983), daerah Jawa
yang terdiri dari perbukitan dan dataran melahirkan pola kampung sebagai berikut:

Pola perkampungan yang penduduknya hidup dan tinggal secara bergerombol


membentuk kelompok (nukleus),
Pola perkampungan yang penduduknya mengelompok di sepanjang jalur sungai atau
lalu-lintas darat maupun air membentuk sederetan perumahan,
Pola perkampungan yang penduduknya tinggal menyebar di daerah pertanian.

Sistem Masyarakat

Masyarakat Jawa tradisional memiliki beragam mata pencaharian. Sebagian besar di


antaranya bekerja sebagai petani, sementara sebagian yang lain bekerja sebagai nelayan,
tukang kayu, tukang batu, pengrajin batik, pengrajin perak, pandai besi, pembuat keris, dan
abdi dalem (abdi keraton).

Filosofi

Arsitektur tradisional Jawa telah mengalami suatu proses perkembangan bentuk dari
masa ke masa. Hal tersebut disebabkan adanya kebutuhan hidup yang lebih luas dan akhirnya
membutuhkan tempat yang lebih luas pula. Oleh karena itu arsitektur rumah tradisional Jawa
juga berkembang sesuai dengan proses terbentuknya suatu kebudayaan, yaitu dari taraf yang
sederhana ke taraf yang kompleks.2

Secara umum, arsitektur tradisional Jawa mempunyai tipologi atau bentuk keseluruhan
rumah tempat tinggal yang dapat dilihat dalam denah berupa bujur sangkar atau persegi
panjang, sedangkan arsitektur yang tipologinya oval atau bulat tidak terdapat pada bangunan
arsitektur tradisional Jawa3, hal tersebut dikarenakan pandangan estetika orang Jawa yang
menggunakan simbol konsep keblat papat limo pancer yaitu simbol kemantapan dan sekaligus
keselarasan yang merupakan lambang empat penjuru mata angin dengan pusat di tengahnya.

Neptu (angka gaib) = empat lima

Dalam ilmu kejawen, perhitungan neptu berarti pencarian angka-angka yang


berhubungan dengan kepentingan dalam penentuan tanggal upacara. Namun perhitungan
neptu empat lima ini mencerminkan sikap manusia terhadap alam yang telah merosot dan
menjadi takhayul.

2
Sugiyarto Dakung. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982) hal 24
3
ibid, hal 25.
Rangka Lima

Tuhan menciptakan manusia Jawa dalam rangka lima :

Kakang kawah (kendangan, pacenta)


Adi ari-ari (embing-embing,tuntutan,fluidum amnoticum)
Rah/ banyu (air ketuban, vernic caseosa)
Tali pusar (funisumbiliscus)
Sedulur tunggal pertapaan (saudara tungga pertapaan, guwagarba ibu)

Panca Kreti (lima tingkah laku)


Trapsila (sopan santun)
Ukara (tutur kata)
Sastra (kepandaian dan kesenian)
Susila (moralitas)
Karya (pekerjaan)

Bentuk-Bentuk Rumah

Masyarakat Jawa mengenal beberapa istilah untuk menyebut rumah, antara lain omah,
pomah, dan dalem. Masyarakat Jawa mengenal beberapa istilah untuk menyebut rumah, antara
lain omah, pomah, dan dalem.

Secara garis besar, rumah tradisional Jawa dapat dibedakan menjadi bentuk panggang-
pe, kampung, limasan, tajug, dan joglo. Masing-masing bentuk mengalami perkembangan
berupa penambahan elemen-elemen bangunan. Berikut ini adalah bentuk rumah tradisional
Jawa dan bentuk pengembangannya:

1. Rumah bentuk Panggang-pe


2. Rumah bentuk kampung
3. Rumah bentuk Limasan
4. Rumah bentuk masjid dan Tajug
5. Rumah bentuk Joglo

1. Rumah bentuk Panggang-pe

Panggang berarti dipanggang (dipanaskan di atas api). Pe dari kata epe yang artinya
dijemur dibawah terik matahari. Rumah seperti ini termasuk bentuk rumah yang sederhana,
lebih sederhana dibandingkan dengah rumah bentuk kampung. Dahulu, rumah panggang-pe di
pedesaan Jawa bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk menjemur barang-barang seperti
daun the, pati, ketela pohon dan lainnya. Ada sebuah atap dan empat buah tiang atau lebih dan
barang yang dijemur diatasnya lekas kering karena terhindar dari penguapan air tanah.
Rumah Panggang-pe digunakan sebagai warung, gubug ditengah sawah untuk
mengusir burung dan rumah kecil di tengah pasar untuk berjualan (bango).

2. Rumah bentuk kampung

Kata kampung dalam bahasa jawa berarti halaman desa, orang desa yang tidak
mempunyai sawah dan polisi desa. Belum jelas benar, namun pada umumnya yang dipakai
lapisan rakyat jelata adalah rumah-rumah yang berukuran seperti itu.

Rumah bentuk kampung dianggap rumah orang tidak mampu atau miskin pada
jamannya. Kemudian istilah tersebut menjadi umum, orang kampung-rumah bentuk kampung
dan panggang pe, orang golongan menengah-rumah limasan, orang golongan kaya-rumah
joglo.

Zonasi rumah kampung


Keterangan :
1. ruang depan / emper
2. ruang tengah / ruang keluarga
3. ruang belakang / kamar
a. senthong kiwo
b. senthong tengah
c. senthong tengen
4. kamar tambahan

3. Rumah bentuk Limasan

Kata limasan belum diketahui maksudnya. Tetapi ada yang mengatakan daging
kerbau. Rumah limasan memiliki denah empat persegi panjang dan dua buah atap (kejen dan
cocor) serta dua atap lainnya (brunjung) yang bentuknya jajaran genjang sama kaki. Kejen atau
cocor berbentuk segi tiga sama kaku seperti tutup keyong. Karena cenderung untuk berubah,
maka rumah limasan mengalami penambahan sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau
atap emper. Karena hal ini, tentulah timbul rumah limasan dengan namanya masing-masing.

Zonasi rumah limasan


Keterangan :
1. ruang depan
2. ruang tengah
3. ruang belakang
a. senthong kiwa
b. senthong tengah
c. senthong tengen
4. kamar tambahan

4. Rumah bentuk Tajug

Masjid adalah tempat beribadat orang yang beragama Islam. Tajug atau tajub berfungsi sama
dengan masjid dan untuk mengajarkan agama Islam, misalnya mengaji Alquran.

Bentuk masjid di Indonesia, khususnya di Jawa lebih menyerupai bentuk candi, sedangkan
canti lebih tua dari masjid yang timbul setelah Agama Islam masuk ke Jawa.

Rumah bentuk masjid dan tajug atau mempunyai denah bujur sangkar, dan bentuk inilah yang
masih mempertahankan bentuk denah aslinya sampai sekarang. Jika ada variasi, tidak akan
mengubah bentuk denah bujur sangkar.

Zonasi rumah tajug

Susunan ruang dalam bangunan Tajug terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

1. mikrab : atau pengimaman, terletak di sebelah barat bangunan, bentuknya menonjol


yang berfungsi sebagai tempat chotib saat memimpin ibadah.
2. liwan : ruang besar memanjang di dalam bangunan utama yang letaknya di tengah
sebagai tempat umat mengikuti ibadah.
3. serambi : atau emper, terletak di bagian depan bangunan berfungsi sebagai tempat
tambahan jika ruangan dalam penuh.
4. ruang wudhu : atau ruang air pembersih yang terletak di sebelah kanan bangunan.4

5. Rumah bentuk Joglo

Rumah ini pada kenyataannya hanya dimiliki oleh orang-orang yang mampu. Sebab
untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lebih
mahal. Joglo umumnya terbuat dari kayu Jati. Sebutan Joglo mengacu pada bentuk atapnya,
mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. Stilasi bentuk gunung bertujuan untuk pengambilan
filosofi yang terkandung di dalamnya dan diberi nama atap Tajug, tapi untuk rumah hunian atau
sebagai tempat tinggal, atapnya terdiri dari 2 tajug yang disebut atap Joglo/Juglo / Tajug Loro.
Dalam kehidupan orang Jawa gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan dan

4
Gatut Murniatmo. Op.cit. hal 78.
banyak dituangkan kedalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan
dengan sesuatu yang magis atau mistis. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa
gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para
Dewa.

Rumah tradisional Jawa hampir selalu terdiri dari dua tipe utama. Tipe pertama berupa
satu unit dasar atau lebih dan perluasaannya yang ternaungi oleh saatu struktur atap. Tipe
rumah tradisional Jawa ini berdiri di tengah kebuh rumah yang terlingkupi oleh dinding atau
pagar. Variasi yang utama pada tipe rumah tradisional ini adalah pada jenis struktur atap ini,
tipe pertama dari rumah Jawa terbagi menjadi tiga tipe spesifik:

1. Kampungan
2. Limasan
3. Tipe rumah joglo

Tipe kedua rumah tradisional berbentuk berupa sekumpulan bangunan yang dilingkupi
oleh dinding tinggi. Ini meliputi beberapa bangunan yang berbeda-beda dan terpisah-pisah
dengan ukuran bervariasi, diatur dengan beberapa pola umum.

Bentuk dasar rumah tradisional Jawa tipe pertama sangat terstandarisasi. Rumah ini
biasanya didirikan diatas pelataran tanah yang ditinggikan kurang lebih 30 cm yang ditutupi
dengan bata. Ruang tempat tinggal dibangun di atas pelataran ini. Unit dasar rumah utama
meliputi satu kamar bujur sangkar yang dinaungi oleh struktur atap yang didukung oleh struktur
tiang dan blandar. Di dalam kasus tipe rumah tradisional kampungan, bagian inti mempunyai
atap miring dua sisi yang diletakkan selebar rumah utama. Sebuah rumah dapat terdiri atas dua
unit dasar itu atau sering pula lebih, tergantung pada kekayaan penghuni, diatur dalam barisan
satu di belakang lainnya. Di bagian depan, struktur atap diperluas yang dipergunakan untuk
menaungi ruang beranda (emperan): di belakang, perluasan seperti itu digunakan untuk
menciptakan ruang tidur atau gudang. Atap biasanya terbuat dari genteng. 5

Tipe rumah tradisional Jawa joglo, di masa lalu merupakan karakteristik bagi Istana
yang dihuni oleh ningrat Jawa, adalah perluasan selanjutnya dari tipe rumah tradisional

5
Ini disebabkan oleh peraturan Belanda tentang wabah penyakit.
limasan, yang dibuat dengan mempertinggi bagian tengah, menambahi kolom pada keempat
sisi, dan memperluas struktur atap lebih banyak lagi. 6

Zonasi rumah joglo

Susunan ruang dalam bangunan tradisional Jawa pada prinsipnya terdiri dari beberapa bagian
ruang yaitu :

1. Pendapa, difungsikan sebagai


tempat melakukan aktivitas yang
sifatnya formal (pertemuan,
upacara, pagelaran seni dan
sebagainya). Meskipun terletak di
bagian depan, pendapa bukan
merupakan ruang penerima yang
mengantar orang sebelum
memasuki rumah. Jalur akses
masuk ke rumah yang sering
terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui
bagian samping rumah.
2. Pringgitan, lorong penghubung
(connection hall) antara pendapa
dengan omah njero. Bagian
pringgitan ini sering difungsikan
sebagai tempat pertunjukan
wayang kulit / kesenian / kegiatan
publik. Emperan adalah teras
depan dari bagian omah-njero.
Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan
kegiatan umum yang sifatnya nonformal.
3. Omah njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata
omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti
kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.

6
Thahjono, Architecture, op.cit (catatan 5), 33-34.
a. Senthong-kiwa, dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai
tempat penyimpanan beras dan alat bertani.
b. Senthong tengah (krobongan), sering juga disebut sebagai boma, pedaringan,
atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak
senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah
ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini
seringkali menjadi ruang pamer bagi keluarga penghuni rumah
tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang
sering menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga
menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah.
c. Senthong-tengen, fungsinya sama dengan sentong kiwa
4. Gandhok, bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang bangunan inti.
Pada rumah Joglo bangsawan biasanya juga menggunakan pagar dan berpintu yang disebut
regol. Regol pada rumah Joglo jika memakai dua buah daun pintu yang disebut kupu tarung,
sedangkan satu daun pintu disebut inep siji.7 Terdapat juga sebuah ruangan yang berupa gang
kecil antara pendopo dengan pringgitan yang disebut longkang, berfungsi sebagai jalan untuk
kereta atau mobil. Ada pula bangunan yang menjorok di depan pendopo sebagai pemberhentian
kendaraan yang disebut kuncung. Ruangan memanjang di sekitar bangunan utama disebut
dengan gandhok, gandhok sebelah kiri disebut gandhok kiwa, dan sebelah kanan disebut
gandhok tengen. Untuk bangunan tambahan yang berfungsi sebagai tempat perabot atau gudang
disebut gadri. Diantara dalem dengan masing-masing gandhok terdapat pintu kecil yang disebut
seketheng sebagai pembatas halaman depan dengan halaman belakang. Biasanya bangunan Joglo
menghadap ke selatan, hal tersebut dikarenakan orientasi kepada sang penguasa laut selatan yaitu
Nyai Roro Kidul sebagai sumber kekuatan disamping Dewi Sri sebagai sumber kemakmuran
yang tergambar pada senthong tengah.8

Keterangan :
1. regol
2. rana
3. sumur
4. langgar
5. kuncung
6. kandang kuda
7. pendopo
8. longkang
9. seketheng
10. pringgitan
11. dalem
12. senthong kiwa
13. senthong tengah
14. senthong tengen
15. gandhok
16. dapur, gadri, dll
II. halaman luar
III. halaman dalam (belakang)

7
Emiliana Sadilah. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang pada Masyarakat di Daerah Istimewa
Yogyakarta: Studi Mengenai Proses Adaptasi. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998)
hal 37.
8
Johan Silas. Arsitektur Jawa atau Rumah Jawa? (Yogyakarta: Proyek Javanologi. 1983). hal 4.
Pengukuran

Berdasarkan pengalaman sejarah, dalam budaya Jawa dikenal aturan dan ukuran
keindahan dalam bidang arsitektur dan pembentukan ruang dan lingkungan. Aturan tersebut
secara sistematis dikembangkan dalam berbagai bagian pembangunan.

Dalam struktur ruang tradisonal rumah tinggal Jawa, benda dan alat menggunakan
ukuran yang sesuai dengan badan manusia. Rumah tinggal tradisional terletak di alam
menengah dan hendaknya tidak dibangun didalam tanah. Karena itu perlu pembedaan satuan
ukuran, ada yang berarah horisontal maupun vertikal.

Satuan Pengukuran Horizontal

Satuannya merupakan ukuran panjang dari anggota badan pemilik rumah. Jadi, ukuran
pada rumah satu agak berbeda dengan rumah yang lain jika diukur dengan satuan ukuran yang
tidak berdasar ukuran badan manusia (misal meter). Satuan yang dipakai dalam bangunan
tradisional adalah sebagai berikut :
1. Depo,
satuan ukuran ini adalah panjang dua tangan yang
direntangkan, dihitung dari ujung jari tangan satu
sampai ujung jari tangan yang lain ( 1.70 m)

2. Hasta,
satuan ukuran ini adalah jarak antara ujung jari tangan dan
ujung siku. 4 hasta = 1 depo

3. Kilan,
satuan ukuran ini adalah jarak antara ujung jempol dan ujung
jari kelingking apabila jari tangan direntangkan. ( 16 20
cm) 2 kilan = 1 hasta

4. Pecak atau tapak,


Satuan ukuran ini adalah panjang telapak kaki dari tumit
sampai ujung jari kaki. 1 tapak = 10 jempol (22-28cm)
5. Tumbak atau ru,
satuan ukuran inidipakai dalam menentukan lebar dan
panjang pekarangan dtau kapling rumah. 1 tumbak (ru)
= 12 kaki (3,767m)

6. Kaki,
satuan ukuran ini adalah panjang antara tepi luar dari
dua kepalan tangan kanan dan kiri dengan ibu jari yang
direntangkan dan ditautkan ujungnya. 1 kaki = 12
jempol = 31, 4 cm

7. Nyari atau jempol,


satuan ukuran ini adalah lebar jempol tangan (2,6cm)
Satuan Pengukuran Vertikal

Satuannya merupakan tinggi salah satu anggota badan pemilik rumah, untuk
meninggalkan bidang manusia menuju arah atap yang merupakan tempat keramat atau untuk
dewa. Satuan ukuran vertikal bangunan tradisional adalah sebagai berikut :

1. Sakpengwe (awean),
satuan ukuran ini adalah tinggi badan Antara telapak kaki
dan tangan menyudut yang direntangkan. 1 awean = 12
cengkang (162 198 cm)

2. Sakdedeg (dedeg),
satuan ukuran ini adalah tinggi badan manusia.

3. Cengkang,
satuan ukuran ini adalah jarak antara ujung ibu jari dan ujung jari
telunjuk apabila jarijari tersebut direntangkan (13,5-16,5 cm)

4. Tebah,
satuan ukuran ini adalah selebar telapak tangan ( 9 cm)
Pamindangan

Pamindangan dalam rumah tradisional untuk menentukan panjang dan lebar rumah.
Pamindangan tidak tergantung pada bentuk rumah / kedudukan pemilik rumah, tetapi pada
fungsi rumah.

Pamindangan ialah sisi ruangan dalam rumah yang dibentuk oleh pertemuan antara
blandar dan pengerat, serta tinggi sunduk dan kili di atas lantai. Panjang dan lebar
pamindangan rumah tradisional ditentukan dengan angka neptu sedemikian rupa sehingga dari
bilangan satuan ukuran blandar atau pengerat dikurangi sekian kali 5 (sacred five) sampai
terdapat sisa 0 dan 4. Sisa tersebut menjadi angka neptu yang berarti 1 = sri, 2 = kitri, 3 = gana,
4 = riyu dan 0/5 = pokah. Sehingga dapat dikatakan pamindangan adalah penentuan panjang,
lebar dan tinggi rong-rongan. Pamindangan penting untuk penentuan angka neptu yang
berhubungan dengan penggunaan ruang dan proporsi gaib.

Sri (=1), Dewi Sri dipandang sebagai dewi padi, pelindung dan kesuburan. Sri juga
berarti harta benda, kebahagiaan dan terang. Rumah tempat tinggal berarti juga badan rumah
(dalem) dan gandok, yaitu bagian rumah untuk tidur keluarga. Bilangan pamindangan : 6, 11,
16, 21, 26, 31, dst.

Kitri (=2), berarti tanaman atau kebun sebagai pelindung dan tempat berteduh. Pendopo
adalah bagian kepala, terletak di bagian depan dan berfungsi untuk menerima tamu. Bilangan
pamindangan : 7, 12, 17, 22, 27, dst.

Gana (=3), berarti kepompong, yaitu bentuk peralihan dari kehidupan ulat menjadi kupu-
upu. Gandok biasanya terletak di kanan kiri yang menempel dengan rumah belakang (gadri,
dapur) sebagai kaki rumah. Bagian rumah ini sebagai peralihan dan perkembangan untuk
dapur, ruang makan. Masjid sebagai tempat ibadah juga harus jatuh pada Gana. Bilangan
pamindangan : 8, 13, 18, 23, 28, dst.

Liyu (=4), bararti rasa lesu, sehingga cocok untuk regol supaya orang yang masuk regol
tidak dihinggapi maksud jahat. Arti bagian rumah tersebut sebagai tempat lewat yang bersifat
sementara, sekedar istirahat untuk melepas lelah. Bilangan pamindangan : 9, 14, 19, 24, 29,
dst.
Pokah (=5) berarti penuh, sesak. Bagian rumah atau lumbung untuk dipakai menimpan
barang. Arti bagian rumah tersebut adalah banyak kegunaan dan manfaat dan dapat
mencukupi kebutuhan meskipun barang yanga dan tidak banyak. Bilangan pamindangan : 5,
10, 15, 20,25, dst.

Warna dan orientasi angka neptu:


1 = sri wetan (Timur) biru
2 = kitri kidul (Selatan) hitam
3 = gana kulon (Barat) merah
4 = liyu lor (Utara) kuning
5 = pokah tengah (Pusat) putih

PERUNTUKAN PAMANJANG PENYELAK TIPE SISA SEBUTAN

Dalem 26 kaki 16 kaki Limasan 1 Sri

Pendopo 17 kaki 12 kaki Joglo 2 Kitri

Gandhok 43 kaki 23 kaki Kampung 3 Gana

Masjid 18 kaki 18 kaki Masjid 3 Gana

Pringgitan - 2 Kitri

Langgar, - 3 Gana
pawon

Regol, Bangsal - 4 Liyu

Lumbung, - 5 Pokah
gudang

Tabel 1. Patokan Ukuran Blandar Bangunan Rumah Tradisional Jawa


Sumber : Josef Prijotomo, Petungan Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. 1995.
Detil

gambar 1. Ismunandar, 2001 ( telah diolah )

1. Molo (mulo / sirah / suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai
kepala bangunan.
2. Ander (saka-gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai
penopang molo.
3. Geganja, konstruksi penguat / stabilisator ander.
4. Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka
rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan
dengan blandar.
5. Santen, Penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.
6. Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan / goyangan.
7. Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.
8. Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok / tumpang-sari
pada brunjung.
9. Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok pengerat yang melintang di tengah tengah
pamidhangan.
10. Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12. Emprit-Ganthil, Penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang
terhimpit.
13. Kecer, Balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14. Dudur, Balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan
penangkur dengan molo.
15. Elar (sayap), Bagian perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap.
16. Songgo-uwang, Konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif
Arsitektur Tradisional Bali

Lingkungan Geografis

Bali terletak di daerah khatulistiwa dengan daerah tropis dengan suhu rata-rata 26oC.
Umumnya, perkampungan di Bali menggunakan pola Pempatan Agung yang disebut Nyatur
Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang desa, Timur dan Barat serta Utara-
Selatan membentuk silang pempatan sebagai pusat desa. Balai Banjar sebagai pusat
pelayanan sub lingkungan menempati keempat arah ke arah sisi desa dengan jalan-jalan
sublingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama.

Di Pempatan Agung sebagai pusat lingkungan, Pura desa dan Pura Puseh atau Puri
menempati zone kaja kangin, Balai Banjar atau wantilan desa menempati zone kaja kauh,
lapangan desa menempati zone kelod kangin, dan zone kelod kauh ditempati pasar desa.
Kuburan desa ditempatkan di luar desa pada arah kelod atau kauh yang merupakan zone
bernilai rendah. Tata letak perumahan dan bangunan-bangunan pelayanan disesuaikan dengan
keadaan alam dan adat kebiasaan setempat.

Potensi dan kondisi alam lingkungan lokasi desa banyak mempengaruhi pola
perkampungan. Desa nelayan umumnya memanjang sepanjang pantai menghadap ke arah
laut, pola lingkungan mendekati bentuk linier dengan jalan searah pantai. Ruang-ruang terbuka
untuk aktivitas bersama diletakkan di dekat pantai karena penggunaannya berkaitan dengan
matapencaharian masyarakat sebagai nelayan.

Pola perkampungan petani umumnya berorientasi ke arah tengah dengan ruang-ruang


terbuka di tengah sebagai ruang bersama. Arah ke luar desa digunakan untuk kandang-
kandang ternak dan hubungan ke tempat kerja di luar desa.

Desa-desa di pegunungan umumnya berorientasi ke arah puncak gunung, di mana


lintasan jalan yang membentuk pola lingkungan disesuaikan dengan kemiringan lahan dan
lereng. Puncak tertinggi digunakan sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama dan
tempat untuk pemujaan di masing-masing keluarga ditempatkan di bagian yang lebih tinggi atau
ke arah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng ke beberapa arah menjadikan tempat suci
tidak hanya ke arah kaja atau kangin. Pola perkampungan di desa yang lokasinya di dataran
dengan latar belakang laut atau pegunungan umumnya mendekati pola-pola tradisional yang
umum berlaku.

Pola perkampungan berpusat di tengah dengan Pempatan Agung sebagai pusat desa.
Penataannya disesuaikan dengan keadaan lokasi dan sistem kemasyarakatannya. Lokasi desa
ada di pegunungan, di dataran, dan di pantai. Desa-desa di pegunungan umumnya
menggunakan pola menyebar, cenderung mendekati tempat-tempat kerja di perkebunan atau
ladang pertanian. Pola perkampungan menyebar membentuk sub-sub lingkungan yang
berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk. Pamerajan atau sanggah
dadia dan kawitan ada di desa induk. Balai banjar ada di desa induk dan juga dibangun di sub-
sub lingkungan.

Sistem Masyarakat

Adat kebiasaan setempat adalah sebagian dari aturan yang telah melandasi kehidupan
masyarakatnya. Kosmologi, filosofi, norma-norma agama dan kepercayaan, sikap hidup dan
alam lingkungan merupakan dasar-dasar Arsitektur Tradisional Bali yang dipengaruhi pula oleh
faktor-faktor wilayah dan keadaan.

Masyarakat primitive, tradisional maupun modern memandang bumi sebagai suatu


kehidupan. Pandangan serupa itu membawa sikap tunduk pada alam bagi masyarakat primitif,
sikap hormat pada alam bagi masyarakat tradisional dan sikap menundukkan alam bagi
masyarakat modern.

Masyarakat tradisional menempatkan dan memperlakukan alam dengan anggapan


mempunyai persamaan unsur dengan dirinya. Demikian pula arsitekturnya dipandang sebagai
suatu kehidupan Antara manusia dan alamnya. Tata nilai fisiknya manusia yang dibedakan
antara kepala, badan, dan kaki, menyelaraskan pula penilaiannya terhadap alam dengan
mebedakan nilai pegunungan, dataran pemukiman dan pantai laut. Arsitektur tradisional dibagi
pula dengan pembagian atap sebagai kepala, tiang dinding tembok sebagai badan, dan lantai
pondasi sebagai kaki.

Di bumi, pegunungan sebagai ketenangan tempat suci, dataran pemukiman sebagai


tempat aktifitas kehidupan manusia, laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di
bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke arah laut. Pada manusia, kepala sebagai pusat panca
indra, badan sebagai pusat aktifitas kerja, dan kaki sebagai penerus berat badan ke bumi.

Vasthu-Purusha-Mandala dalam pernyataannya sehari-hari di Bali, suatu dialektik


sintesa hidup laras (sebelum didatangi pariwisata) antara Yang Luar dan Yang Dalam,
Yang Horizontal dan Yang Vertikal, Yang transenden dan Yang Immanen, Yang Alam
dan Yang Kebudayaan

Filosofi

Secara umum arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan ruang untuk


menampung aktifitas kehidupan manusia dengan pengulangan- pengulangan bentuk dari satu
generasi kegenerasi berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan sama sekali, dilandasi
oleh norma-norma dan potensi alam lingkungannya,9

Gusti Ayu Made Suartika (2010) menuliskan bahwa perwujudan praktik dan bentuk
budaya spasial di Bali mengacu pada penerapan Konsep Tri Angga dan Sanga Mandala.
secara umum arah timur laut memiliki nilai religius yang signifikan dalam kaitannya dengan
orientasi kosmik dan alamiah, Dalam praktik zona ini sangat di sakralkan dan merupakan zona
tempat struktur stuktur berfungsi ritual ditempatkan. Kombinasi antara konsep hirarki Tri
Angga, Konsep keseimbangan Tri Hita Kharana dan Konsep Perbedaan Rwa Bhineda, telah
mengarahkan absennya demarkasi absolut antara zona satu dengan zona lainnya.Lebih lanjut
setiap zona dibagi dalam tiga tingkatan mikro zona yang diorientasikan dari utara selatan
(orientasi kosmik) dan timur barat (orientasi alamiah). Dalam skala rumah tangga, pekarangan
sebuah rumah tradisional, zona yang dianggap paling sakral ( utama=kepala) adalah lokasi
pura rumah tangga (sanggah/merajan) berada. Area ditempat anggota keluarga tinggal
diklasifikasikan sebagi zona madya (badan), dan area tempat pembersihan diklasifikasikan
sebagai zona nista (kaki). Pada skala yang lebih besar, dalam level Bali sebagai sebuah pulau
secara keseluruhan, zona utama adalah tempat gunung (arah utara, area tertinggi) sedangkan
area permukiman adalah zona madya dan area pembersihan direpresentasikan tempat air atau
laut (arah selatan) berlokasi.

9
Purnawan,2009, mengutip Galebet, 1982 : 10
Dari hal tersebut diatas terlihat jelas dalam tataran spasial budaya Bali terdapat
pembagian zona yang hirarkhis menurut konsep Tri Angga (utama, madya dan nista) serta
perspektif dalam berbagai skala mengacu Konsep Sanga Mandala. Skala dapat dimaknai
dalam berbagai aspek, mulai dari aspek mikro (individu), meso (rumah beserta tapak), sampai
dengan aspek makro (permukiman/ hunian dalam skala kawasan).

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga


Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
Konsep proporsi dan skala manusia
Konsep court, Open air
Konsep kejujuran bahan bangunan

Bentuk-Bentuk Rumah

Warisan arsitektur tradisional masyarakat bali merupakan contoh percampuran Antara bentuk
dan fitur lama dan baru. Ini sebagian besar merupakan hasil kelompok masyarakat elite migrasi
Hindu-buddha dari jawa Timur ke Pulau Bali untuk menghindari dominasi raja-raja islam.
Kehadiran mereka yang lama dan dominasi politis serta pengaruh budaya mereka mengubah
dan mengganti tradisi arsitektural masyarakat yang lebih tua di daerah dataran rendah di
sebagian besar pulau itu. Rumah tradisional bali dapat dijumpai pula di bagian barat Pulau
Lombok. Namun, tradisi vernacular dan langgam bangunan kuno tetap dipraktiikkan oleh
masyarakat Aga, sekelompok masyarakat yang mendiami daerah pedalaman dan pegunungan
Bali. Dengan demikian, dua tipe rumah tradisional Bali dapat diperlihatkan10:

1. Tipe rumah kelompok permukiman masyarakat Bali


2. Rumah tradisional Bali Aga

Tipe rumah tradisional dalam kelompok permukiman masyarakat Bali umumnya merupakan
sekelompok bangunan yang secara fungsional berbeda yang diatur dengan cara yang khusus

10
Tjahjono, Architecture, op.cit (catatan 5), 36-39.
dalam kelompok (kuren) yang dilingkupi oleh pagar dinding, sama dengan rumah tradisional
tipe kumpulan bangunan dari masyarakat Jawa. Ada tujuh elemen dasar :
1. Pintu masuk
2. Ruang tidur berupa beranda terbuka
3. Lumbung atau tempat penyimpanan padi
4. Bangunan dapur
5. Kamar mandi
6. Ruang kerja
7. Tempat pemujaan keluarga
Elemen ini diatur sedemikian rupa sehingga bagian yang suci dan sakral, seperti tempat
pemujaan keluarga dan bagian pribadi, berlokasi di bagian paling ujung atas dari kumpulan
bangunan ini, mengarah pada gunung dan bagian yang lebih duniawi atau secara ritual
merupakan bagian yang lebih kotor terletak di bagian ujung bawah mengarah ke laut (pola ini
dibalik di Bali utara). Berbagai bangunan dibangun dengan cara yang sama dengan rumah
tradisional jawa, di atas umpak batu di tanah dan biasanya memakai struktur tiang dan blandar
yang mendukung struktur atap. Umumnya, dinding penutup hanya dua sisi dan terbuat dari
bata. Hanya lumbung atau penyimpanan padi yang merupakan unit bangunan dibangun dengan
struktur tiang dan blandar yang identik dengan langgam bangunan tradisi kuno arsitektur
vernakular Austronesia. 11

Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakapat, bangunan bertiang empat.
Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan dan bertiang dua
belas. Dari bangunan bertiang dua belas dikembangkan dengan emper ke depan, dan ke
samping dan beberapa variasi masing-masing dengan penambahan tiang jajar. Tembok
penyengker (batas) pekarangan, Kori dan lumbung dalam bangunan perumahan, tipologinya
disesuaikan dengan tingkatan perumahan yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai
berikut :

11
Dawson and Gillow, The Traditional Architecture of Indonesia, op.cit. (catatan 11), 86-87
1. Sakepat

Bangunan sakapat dilihat dari luas ruang


tergolong bangunan sederhana yang luasnya sekitar 3 m
x 2,5 m, bertiang empat denah segi empat. Satu bale-
bale mengikat tiang. Atap dengan konstriiksi kqmpiah
atau limasan. Variasi dapat ditambahkan dengan satu
tiang parba dan satu atau dua tiang pandak. Dapat pula
tanpa bale-bale dalam fungsinya untuk Bale Patok atau
fungsi lain yang tidak memerlukan adanya bale-bale.
Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau
canggahwang.

2. Sakanem
Bangunan sakanem dalam perumahan
tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaiannya
sederhana. Dapat pula digolongkan madya bila
ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem yang
ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem yang
dibangun dengan bahan dan penyelesaiannya
madya. Bentuk sakanem segi empat panjang, dengan
panjang sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan sekitar
6 m x 2 m, mendekati dua kali luas sakapat.
Konstruksi bangunan terdiri atas 6 berjajar
tiga-tiga pada ke dua sisi panjang. Keenam tiang
disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada
satu bale-bale, dan dua tiang di teben pada satu bale-
bale dengan dua saka pandak. Hubungan bale-bale dengan konstruksi perangkai
sunduk waton, Hkah, dan galar. Dalam variasinya, sakanem dengan satu bale-bale yang
hanya mengikat empat tiang dan dua tiang di teben sehingga memakai canggahwang
karena tidak ada sunduk pengikat.
Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin
atau Kelod untuk fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai
Paon ditempatkan di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale
Piyasan di Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di
tengah diganti sati tiang dengan canggahzvang panjang disebut Bale Panca Sari.
Konstruksi atap dengan kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya
disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya.
3. Sakatus
Bangunan sakatus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi
tunggal sebagai tempat tidur yang disebut Bale Meten. Letaknya di bagian Kaja
menghadap Kelod ke natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam proses
membangun rumah, sakatus merupakan bangunan awal yang disebut paturon. Jaraknya
delapan tapak kaki dengan mengurip angandang, diukur dari tembok pekarangan sisi
Kaja. Selanjutnya bangunan-bangunan lainnya ditentukan letaknya dengan jarak-jarak
yang diukur dari Bale sakatus.
Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m.
Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua bale-bale.
Masing-masing bale memanjang Kaja Kelod dengan kepala ke arah luan Kaja. Tiang-
tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan
sistem lait pada pepurus sunduk dengan lubang tiang. Canggahwang tidak terdapat
pada bangunan sakutus.
Konstruksi atap dengan sistem kampiah bukan limasan, difungsikan sebagai
sirkulasi udara selain udara yang melalui celah antara atap dengan kepala dinding.
Selain dalam bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut
dan empat pada sisi masing-masing. Untuk lumbung yang besar selain Jineng dengan
empat tiang terdapat juga Kelingking atau Gelebeg dengan enam atau delapan tiang.
Dalam variasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula yang
dilengkapi dengan emper dengan empat tiang berjajar di depan dengan lantai emper
yang lebih rendah dari lantai utama. Lantai bale sakutus lebih tinggi dari bangunan
lainnya dimaksudkan sebagai estetika, filosofi, dan fungsinya.
4. Sakaroras
Sakaroras merupakan bangunan utama untuk
perumahan utama. Bahan bangunan, konstruksi dan
penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk
bangunan berdenah bujur sangkar dengan konstruksi
atap limasan berpuncak satu. Petaka sebagai titik ikatan
konstruksi di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah
tiang 12 buah dengan pembagian empat-empat
sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua bale-bale
masing-masing mengikat empat tiang dengan sunduk,
waton, dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang
sederet di teben dengan canggahwang sebagai stabilitas
konstruksinya.
Bangunan tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah
natah. Ke arah teben tertutup dengan dinding setengah terbuka namun ada pula yang
terbuka. Letak bangunan di bagian Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah.
Fungsi bangunan sakaroras sebagai Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan
serba guna memiliki luas sekitar 6m x 6m, mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga
kali luas sakenem atau satu setengah kali luas tiang sanga. Dalam tipologi bangunan
perumahan tradisional Bali, sakepat dengan bale-bale sisi panjang sepanjang tiang dan
sisi lebar dua pertiga panjang tiang merupakan modul dasar. Panjang tiang ditentukan
oleh sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing jenis kasta, peranan
penghuni, dan kecenderungan yang ingin dicapai.
Bangunan sakeroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale
mengikat empat tiang dibagian tengah. Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila
difungsikan sebagai Bale Meten dengan dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya di
bagian Kaja menghadap ke natah.
Zonasi

Secara umum arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan ruang untuk


menampung aktifitas kehidupan manusia dengan pengulangan- pengulangan bentuk dari satu
generasi kegenerasi berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan sama sekali, dilandasi
oleh norma-norma dan potensi alam lingkungannya, (Purnawan,2009, mengutip Galebet, 1982 :
10).

gambar 2. Konsep Sanga Mandala (sumber: Eko Budiharjo, 1983).

Pola zonasi rumah tinggal era Bali Madya memiliki pola teratur, dengan konsep ruang
sanga mandala, yang membagi pekarangan menjadi 9 bagian area (pah pinara sanga sesa
besik). Tata nilai ruangnya ditata dari area atau zona Utamaning utama sampai zona Nistaning
nista untuk bangunan paling provan. Jadi konsep zonasi unit bangunan di dalam pekarangan
rumah tradisional Bali Madya, ditata sesuai dengan fungsi dan nilai kesakralan dari unit
bangunannya. Zona parahyangan untuk tempat suci, zona pawongan untuk bangunan rumah
dan zona palemahan untuk kandang ternak, teba dan tempat servis/ pelayanan. Filosofi
Trihitakarana sangat jelas diterapkan pada zonasi ruang rumah tinggal era Bali Madya, karena
zona ruangnya telah didesain agar keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dengan sesama dan ala lingkungan tetap terjaga, sehingga pemilik dan pemakai bangunan
memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.

Pengukuran

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata
bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang
sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi
perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan
yadnya.

Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak
lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa
dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu
di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.

Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah
ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis
dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma
sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan,
Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita
Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam
kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap
laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu
diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan
upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari
pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta
restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif
bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa
bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah
bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang
ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam
tersebut.Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra
Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.

Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka
tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:

Musti (ukuran atau dimensi untuk


ukuran tangan mengepal dengan ibu
jari yang menghadap ke atas),
Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan
manusia dewata dari pergelangan
tengah tangan sampai ujung jari tengah
yang terbuka)
Depa (ukuran yang dipakai antara dua
bentang tangan yang dilentangkan dari
kiri ke kanan)

Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos).
Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti :
Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi,
yang berhubungan dengan materialisme
Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu
menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.

1. Agemel
Agemel merupakan suatu satuan pengukuran berdasarkan
genggaman tangan. Dari asal katanya, agemel bias diartikan satu
genggaman tangan (a=satu, gemel=genggam). Agemel merupakan
besaran yang dihitung dari lingkaran luar tangan yang mengepal.

2. Acengkang
Acengkang merupakan satuan pengukuran yang
berdasarkan panjang telunjuk dan ibu jari. Panjang
acengkeng didapat dengan mengukur panjang dari jari
telunjuk dengan ibu jari yang terbuka dan dikangkankan.
3. Akacing
Dari asal katanya, akacing dapat diartikan satu kelingking
(a=satu, kacing=kelingking). Satuan akacing diperoleh dengan
mengukur panjang jari kelingking.

4. Alek (Acelek)
Satuan pengukuran alek atau acelek didapat dengan cara
mengukur panjang jari tengah.

5. Amusti
Satuan ukuran amusti diperoleh dengan cara mengukur batas
pergelangan tangan dengan ibu jari dimana jari-jari selain ibu jari
dalam keadaan dikepalkan

6. Atapak Batis (atampak)


Atapak Batis (atamoak) merupakan satuan pengukuran
yang paling sering digunakan selain depa. Dari asal
katanya atapak batis diartikan satu telapak kaki (a=satu,
tapak=telapak, batis=kaki). Satuan atampak biasanya
digunakan untuk mengukur dan mentukan letak atau
posisi suatu bangunan terhadap bangunan lain dalam
suatu pekarangan. Misalnya letak Bale dangin yang diukur melalui letak bale daja
dengan ukuran yang menurut Astawara Indra. Satuan atampak diperoleh dengan
mengukur panjang dari tumit kaki sampai ibu jari kaki.

7. Atapak Batis Ngandang


Atampak batis ngandang dari asal katanya bias diartikan
selebar tapak kaki (a=satu, batis= kaki, ngandang = lebar).
Satuan pengukuran atampak batis ngandang didapat dengan
cara mengukur lebar dari telapak kaki. Satuan pengukuran ini biasanya digunakan
sebagai tambahan pengukuran dalam menentukan jarak antar satu bangunan dalam
pekarangan rumah.
8. Auseran
Dari asal katanya auseran dapat diartikan selingkaran. Auseran
merupakan satuan ukuran yang menggunakan jari telunjuk. Satuan
auseran didapat dengan cara menekan terus memutar jari telunjuk
secara vertikal dengan arah benda yang ditekan. Satuan auseran
bisa digunakan untuk menentukan panjang tiang balai.
9. Atengah Depa Agung
Ukurang atengah depa agung merupakan
satuan ukuran yang digunakan untuk
menentukan ukuran pekarangan dari suatu
rumah. Ukuran ini untuk menentukan luas
pekarangan dari suatu rumah, dihitung dari
arah timur laut pekarangannya. Atengah depa agung didapat dengan mengukur panjang
tangan yang direntangkan dari bahu sampai ujung jari tengah. Dengan catatan jari
tangan dalam keadaan terbuka.

10. Atengah Depa Alit


Ukuran Atengah depa alit hampir sama dengan
atengah depa agung. Bedanya, jika pada
atengah depa agung jari dalam keadaan terbuka,
namun atengah depa alit, jari tangan dalam
keadaan tertutup.
11. Duang Nyari
Dari asal katanya duang nyari dapat diartikan dua jari (duang=dua,
nyari=jari). Satuan ukuran duang nyari biasanya menggunakan jari
telunjuk dan jari tengah. Ukuran duang nyari didapat dengan
menghitung lebar antara jari tengah dan telunjuk secara horizontal.
12. Petang Nyari
Dari asal katanya, petang nyari diartikan empat jari (petang=empat,
nyari=jari). Satuan ukuran petang nyari biasanya menggunakan jari
telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Ukuran petang nyari
didapat dengan menghitung lebar keempat jari tersebut secara
horizontal.

13. Ahasta
Satuan pengukuran ahasta didapat dengan cara mengukur
panjang dari siku dengan ujung genggaman tangan dimana
posisi siku ditekuk sampai tangan dan lengan membentuk
sudut siku-siku.

14. Atampak Lima


Dari asal katanya, atampak lima diartikan satu telapak tangan
(a=satu, tampak=telapak, lima=tangan). Panjang atampak lima
didapat dengan cara mengukur panjang dari ibu jari dan pinggiran
tangan yang berlawanan dalam posisi horizontal dimana jari
tangan dalam keadaan terbuka
Kesimpulan

Arsitektur Selaku Cerminan Hidup


Hendaknya janganlah kita mengira, solah-olah alasan-alasan gaib atau magis itu satu-
satunya alasan atau pedoman berarsitektur bagi manusia kuno. Mereka pun cerdas dalam
neganalisa realita dan penanganan praktis permasalahan permukiman serta bangunan-
bangunan. Salah satu contoh yang bagus ialah tata bangunan istana atau perumahan
penduduk biasa di Jawa Tengah. Dalam contoh berikut ini tampak, betapa selaras dan logis
perpaduan antara dimensi-dimensi religious dengan pandangan yang realistis dan teknis
praktis, segi-segi roh dan materi.

Susunan rumah tani desa tradisional maupun istana raja Jawa, terbagi dalam dua
komponen. Pertama yang bersifat privat intim atau keramat disebut Dalem (dalam) atau
Petanen (tempat sang petani) dan yang luar, yang bergaul dengan masyarakat diberi nama
Pelataran atau Njaba (halaman luar). Pelataran tersebut termasuk wilayah rumah, akan tetapi
pelataran juga diperuntukkan bagi umum, untuk permainan anak-anak sedesa, untuk
perjamuan, dan dengan bebas tanpa minta permisi setiap orang boleh lalu-lalang dalam
pelataran njaba itu. Di dalam pelataran terjadilah pertemuan dialog (pergaulan) antara penghuni
rumah dari Ndalem dengan msyarakat. Di Bali tempat itu ada di muka Candi Bentar atau pintu
gerbang halaman. Di situ dibangun Pendopo artinya bangunan tambahan, tempat tuan rumah
bertemu dengan tamu-tamunya. Di situ pula diadakan pesta yang menghadap masyarakat.
Namun tempat tinggal yang sesungguhnya adalah Dalem atau Petanen tadi, artinya rumah
Sang Tani.

Sang Tani bukan manusia si petani pemilik rumah, melainkan para dewata, atau
tegasnya Dewi Sri (Dewi Pratiwi, menjadi Ibu Pertiwi). Di dalam Dalem atau Petanen disimpan
harta pusaka yang bermakna gaib. Tetapi juga jadi panenan pertama, selaku lambing: Dewi Sri-
lah yang menjadi pemilik dan Nyonya rumah sebenarnya. Di situ diadakan upacara-upacara
adat dan agama, seperti khitanan, perkawinan, dan sebagainya. Di dalam Dalem itu pun
terdapat Senthong Tengah (kamar tengah) yakni kamar yang selalu kosong, namun lengkap
dengan ranjang, kasur, bantal, dan sebagainya. Itu kamar malam pertama para mempelai baru,
dimana yang dihayati bukan perihal cinta manusia, melainkan peristiwa kosmis penyatuan
Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan.
Sedangkan si manusia petani tinggal di tepi, suatu emperan yang ditutup secukupnya, dan yang
disebut Gandok (tambahan tempat menumpang). Si petani, pelayan, abdi, bahkan bayangan,
wayang belaka dari Sang Petani, sumber kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan.
Tabel Komparasi

Faktor
Arsitektur Tradisional Jawa Arsitektur Tradisional Bali
Pembanding

Pola perkampungan yang penduduknya hidup Pola perkampungan berpusat di tengah dengan Pempatan
dan tinggal secara bergerombol membentuk Agung sebagai pusat desa. Penataannya disesuaikan
kelompok (nukleus), dengan keadaan lokasi dan sistem kemasyarakatannya.
Pola perkampungan yang penduduknya Lokasi desa ada di pegunungan, di dataran, dan di pantai.
Pola
mengelompok di sepanjang jalur sungai atau Desa-desa di pegunungan umumnya menggunakan pola
perkampungan
lalu-lintas darat maupun air membentuk menyebar, cenderung mendekati tempat-tempat kerja di
sederetan perumahan, perkebunan atau ladang pertanian. Pola perkampungan
Pola perkampungan yang penduduknya tinggal menyebar membentuk sub-sub lingkungan yang berjauhan
menyebar di daerah pertanian. yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk.

Masyarakat Jawa tradisional


memiliki Potensi dan kondisi alam lingkungan lokasi desa banyak
beragam mata pencaharian. Sebagian besar di mempengaruhi pola perkampungan. Desa nelayan
antaranya bekerja sebagai petani, sementara umumnya memanjang sepanjang pantai menghadap ke
Sistem
sebagian yang lain bekerja sebagai nelayan, arah laut, pola lingkungan mendekati bentuk linier dengan
masyarakat
tukang kayu, tukang batu, pengrajin
batik, jalan searah pantai. Ruang-ruang terbuka untuk aktivitas
pengrajin perak, pandai besi, pembuat keris, dan bersama diletakkan di dekat pantai karena penggunaannya
abdi dalem (abdi keraton). berkaitan dengan matapencaharian masyarakat sebagai
nelayan.

Pola perkampungan petani umumnya berorientasi ke arah


tengah dengan ruang-ruang terbuka di tengah sebagai
ruang bersama. Arah ke luar desa digunakan untuk
kandang-kandang ternak dan hubungan ke tempat kerja di
luar desa.

1. Rumah bentuk Panggang-pe


2. Rumah bentuk kampung 1. Tipe rumah kelompok permukiman masyarakat Bali
Bentuk-bentuk 3. Rumah bentuk Limasan
2. Rumah tradisional Bali Aga
4. Rumah bentuk masjid dan Tajug
rumah 5. Rumah bentuk Joglo
Hirarki

zonasi

Keterangan :

1. regol
2. rana
3. sumur
4. langgar
5. kuncung
6. kandang
kuda
7. pendopo
8. longkang
9. seketheng
10. pringgitan
11. dalem
12. senthong
kiwa
13. senthong
tengah
14. senthong
tengen
15. gandhok
16. dapur,
gadri, dll
II. halaman luar
III. halaman dalam (belakang)
Filosofi
Pengukuran

Detil
Daftar Pustaka
Budiharjo, Eko. (1983). Menuju Arsitektur Indonesia. Bandung: Alumni.

Dakung, S, 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud,


Proyek Infentarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Yogyakarta.

Gelebet, I Nyoman., 1978. Arsitektur Tradisional Bali Dalam Rangka Pengembangan


Kepariwisataan.

Hall, Edward T, 1973. The Silent Language, Anchor Books, New York: Anchor Press,
Garden City.

Ign. Arinton Puja (ed) 1985. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Tahun 1981/1982.

Josef Prijotomo. 1995. Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.

K, R. Ismunandar,1993. Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Semarang: Effhar Offset.

Mangunwijaya Y.B., 1988, Wastu Citra Pengantar ke ilmu Budaya Bentuk Arsitektur
Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis. Jakarta: PT Gramedia.

Nas, Peter J.M., 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Rapoport, Amos, 1969. House Form and Culture, Prentice Hall, London.

Tjahjono, Gunawan, 1989. Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural


tradition : The Simbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi,
University of California, Berkeley.

Yuan,Yi Fu, 1977. Man and Space. USA: University of Minesota Prees.

Anda mungkin juga menyukai