Sejarah Wajib)
Kelompok 6
Kelas : XI MIA 4
Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat,
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu
tugas mata pelajaran Sejarah Wajib.
Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini.
Maksud serta tujuan kami membuat makalah ini adalah untuk memberikan
infornasi mengenai Pemberontakan PETA di Blitar.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, kami menyadari bahwa masih adanya
kesalahan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
membangun akan kami terima dengan senang hati demi perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa-siapa
saja yang membacanya.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 17
3.2 Saran.............................................................................................................................. 17
Daftar Pustaka................................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia mengenal permainan bola voli sejak tahun 1928 pada jaman penjajahan
olahraga pada umumnya dan bola voli khususnya. Disamping guru-guru pendidikan
jasmani, tentara Belanda banyak andilnya dalam pengembangan permainan bola voli.di
Dengan dasar itulah maka pada tanggal 22 Januari 1955 PBVSI ( Persatuan Bola
Voli Seluruh Indonesia )didirikan di Jakarta bersamaan dengan kejuaraan nasional yang
pertama. PBVSI sejak itu aktif mengembangkan kegiatan-kegiatan baik kedalam maupun
keluar negeri sampai sekarang.Perkembangan permainan bola voli sangat menonjol saat
menjelang Asian Games ke IV dan Ganefo I di jakarta baik untuk pria dan wanita
Indonesia.
Oleh karena itu, untuk dapat menguasai permainan bola voli diperlukan
pengetahuan tentang teknik-teknik dasar dalam bermain bola voli. Salah satunya adalah
c. Bagaimana cara melakukan passing bawah dan passing atas dalam permainan bola
voli?
d. Apa kelebihan dan kekurangan passing bawah dan passing atas dalam permainan bola
voli?
- Mengetahui cara melakukan passing atas dan passing bawah dalam permainan bola voli
- Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari passing atas dan passing bawah dalam
Metode pengumpulan data yang kami gunakan dalam menyusun makalah ini
1.5 Sistematika
- Bab I (pendahuluan) berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
- Bab II (pembahasan) berisi Sejarah Permainan Bola Voli, Peraturan Permainan Bola
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama
pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk
bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang
diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan
untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang tewas
akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para prajurit PETA
juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat
wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di
Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada
aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat
prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan
terhina.
Dalam buku "Tentara Gemblengan Jepang" yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dan diterjemahkan oleh
Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh
Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.
Pertemuan-pertemuan rahasia sudah digelar sejak bulan September 1944. Shodancho Supriyadi
merencanakan aksi itu bukan hanya sebagai pemberontakan, tetapi juga sebuah revolusi menuju
kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemberontak PETA tersebut menghubungi komandan-komandan
batalyon di berbagai wilayah lain untuk bersama-sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan
rakyat.
Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan
pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di
Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi
perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat
pemberontakan di daerah-daerah lain.
Walaupun rencana pemberontakan telah dipersiapkan secara baik, akan tetapi terjadi hal yang tidak
diduga. Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan besar
seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata
sudah mencium rencana aksi Shodancho Supriyadi dan kawan-kawan. Supriyadi pun cemas dan khawatir
mereka ditangkap sebelum aksi dimulai.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi
sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-
apanya dibandingkan jumlah tentara Kekaisaran Jepang. Namun, jika perlawanan dibatalkan pun tentara
Kekaisaran Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para
pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno.
Dalam perbincangan yang berlangsung cukup seru, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi
dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi
pemberontakan PETA ternyata gagal total.
Alkisah, ketika Sukarno pulang ke Blitar - kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya -,
datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. "Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami
ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang
menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan,
"Kita akan berhasil!"
"Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan
gerakan semacam itu pada waktu sekarang," tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan
pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang
penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa
tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu,
Bung Karno lantas menyatakan, "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya
sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua."
"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?", tanya seorang pemuda. "Tidak. Saudara anggota
tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis," jawab Bung Karno seraya
menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno
tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi,
Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang
intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir
dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945.
Tanggal 13 Februari 1945 malam hari, Shodancho Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan tetap
harus dilaksanakan. Siap atau tidak siap, inilah saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara
Jepang. Shodancho Supriyadi juga berharap bahwa pengorbanan darah dan nyawa para pemberontak
PETA akan mengobarkan semangat perjuangan segenap bangsa Indonesia menuju kemerdekaan,
meskipun semua orang sudah tahu mereka akan kalah menghadapi tentara Kekaisaran Jepang.
Tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para
pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi,
semua orang Jepang wajib dibunuh.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi
menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang.
Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah
dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang
lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka"
dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!".
Ilustrasi Aksi Shodancho Supriyadi Memimpin Pemberontakan PETA di Museum PETA Kota Bogor
Aksi Shodancho Supriyadi Memimpin Pemberontakan PETA dalam Diorama Museum PETA Kota Bogor
Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal
menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah
diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk
memadamkan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas
Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak,
dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. Ini adalah isyarat janji seorang
samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan
Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang
pun melanggar janjinya.
Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam
penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada
tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat
kesalahan.
Persidangan Mahkamah Militer Jepang Terhadap Tentara Anggota Pemberontakan PETA Tahun 1945
Akan tetapi, nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara
misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho
Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini
Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar. Sebagian orang
pun ada yang meyakini Shodancho Supriyadi melakukan ritual dengan cara menceburkan dirinya ke
dalam kawah Gunung Kelud dekat Kota Blitar. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa Shodancho
Supriyadi sesungguhnya masih hidup hingga saat ini, hanya saja keberadaannya tidak diketahui atau
sering hidup di alam ghaib. Namun satu hal yang pasti, hilangnya Shodancho Supriyadi adalah suatu
misteri sejarah nasional Indonesia yang belum jelas hingga saat ini.
Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri
Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah
muncul lagi untuk selama-lamanya, hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian, saat para menteri
dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena
Supriyadi benar-benar tidak muncul lagi, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam
Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui jasa-jasa Supriyadi dan akhirnya mengangkatnya sebagai
salah satu pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Untuk mengenang perjuangan pemberontakan tentara PETA pimpinan Shodancho Supriyadi, tepat di
lokasi perlawanan didirikan Monumen PETA yang terdiri atas tujuh buah patung tentara PETA dalam
posisi siap menyerang, di mana patung Shodancho Supriyadi diletakkan tepat di tengah monumen
sebagai pemimpin pemberontakan PETA.
Monumen Pemberontakan PETA Pimpinan Shodancho Supriyadi di Kota Blitar
Asrama militer PETA di Kota Blitar sendiri kini telah menjadi sekolah SMP dan SMA Negeri. Namun, jika
dilihat secara seksama bentuk bangunannya, pasti langsung terlihat kesan itu merupakan bangunan
bekas asrama militer. Adapun tugu tempat pengibaran bendera merah-putih oleh Shodancho Parto
Hardjono saat terjadinya pemberontakan PETA kini dikenal sebagai "Monumen Potlot". Monumen
Potlot sendiri diresmikan di Kota Blitar pada tahun 1946 oleh Bapak TNI (Tentara Nasional Indonesia)
Panglima Jenderal Besar Soedirman.
Soeprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 - tidak diketahui) adalah pahlawan
nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap
pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai Menteri
Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial, tetapi digantikan oleh Imam Muhammad
Suliyoadikusumo pada 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan
di mana Supriyadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Kehidupan awal
Dalam laporan tahun 1945 ini, Menteri Pertahanan masih "beloem diangkat" akibat
ketidakjelasan nasib Supriyadi.
Supriyadi lahir di Jawa Timur, Hindia Belanda, pada tanggal 13 April 1923. Sesudah
menamatkan Europeesche Lagere School (setingkat Sekolah Dasar), Soeprijadi melanjutkan
pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat Sekolah Pertama), dan kemudian
memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang. Namun, Jepang menyerbu Hindia Belanda
sebelum ia lulus. Ia kemudian mengikuti pelatihan Seimendoyo di Tangerang, Jawa Barat.[1]
Pemberontakan Blitar
Saat Soekarno sedang mengunjungi orangtuanya di Blitar, pasukan PETA memberitahunya
bahwa mereka sedang merencanakan pemberontakan dan meminta pendapat Soekarno. Soekarno
meminta mereka untuk mempertimbangkan akibatnya, tetapi Supriyadi yakin pemberontakan
akan berhasil.
Pada 14 Februari 1945, tentara PETA mulai memberontak. Namun, Jepang berhasil
memadamkan pemberontakan ini. Enam (atau delapan[2]) orang dihukum mati dan sisanya
dipenjara antara tiga tahun hingga seumur hidup. Namun, Supriyadi tidak dihukum mati. Ada
yang mengatakan Supriyadi melarikan diri dan bersembunyi dari Jepang dan tidak pernah
ditemukan sesudahnya.[1][3]
Hilang
Pada 6 Oktober 1945, pemerintah Indonesia yang baru didirikan menyatakan Supriyadi sebagai
Menteri Keamanan Rakyat. Namun, ia tidak pernah muncul, dan pada tanggal 20 Oktober
digantikan oleh menteri ad interim Imam Muhammad Suliyoadikusumo. Hingga kini nasibnya
masih misterius.[1][4]
Ia secara resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 Agustus 1975
berdasarkan Keputusan Presiden No. 063/TK/1975.
Kisah Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar Tanggal 14 Februari 1945
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembela_Tanah_Air
http://indrasr.blogspot.com/2014/02/kisah-pemberontakan-peta-di-blitar-14-februari-1945.html
https://pecintawisata.wordpress.com/2012/05/04/perlawanan-peta-14-februari-1945/