Anda di halaman 1dari 7

FENOMENA PENYAKIT BUDOK PADA TANAMAN NILAM

I. Latar Belakang
Nilam (Pogostemon cablin Benth) atau dilem wangi (Jawa), merupakan
tanaman yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tanaman nilam banyak
ditanam untuk diambil minyaknya. Minyak nilam banyak dibutuhkan untuk industri
kosmetik, parfum, antiseptik, dan lain-lain. Tanaman nilam merupakan salah satu
komoditas yang cukup penting sebagai sumber devisa dan pendapatan petani.
Salah satu penyakit yang banyak dijumpai dan spesifik pada pertanaman
nilam adalah budok. Penyakit budok ini disebabkan oleh jamur Synchytrium
pogostemonis menurunkan produktivitas dan mutu minyak secara nyata. Penyakit
budok yang biasa dikenal dengan kudis, buduk atau kutil saat ini merupakan salah
satu masalah utama dalam budidaya nilam.
Penyakit Budok ini dapat ditemukan di hampir semua sentra pertanaman
nilam, diantaranya di Jawa Timur penyakit Budok dapat ditemui di Kabupaten
Malang dan Kabupaten Trenggalek. Di Kabupaten Malang serangan penyakit
Budok tinggi, sedangkan di Kabupaten Trenggalek serangan penyakit Budok lebih
ringan. Hal ini terjadi karena berbagai aspek yang mempengaruhinya.
Di Kabupaten Malang produksi tanaman Nilam terus mengalami
penurunan karena penyakit Budok, hal ini mengakibatkan luasan pertanaman
Nilam juga menurun. Bahkan saat ini tanaman Nilam kebanyakan hanya sebagai
tanaman sela di perkebunan Kakao. Tanaman kakao sendiri kurang mendapat
perawatan, sampah daun ada dimana-mana, dan kurangnya pemangkasan. Hal ini
mengakibatkan lahan menjadi lembab dan gelap sehingga penyakit Budok semakin
merajalela, karena kurangnya pencahayaan.
Di Kabupaten Trenggalek beberapa petani masih bertahan untuk
bertanam Nilam, apalagi saat ini harga minyak yang dihasilkan Nilam semakin
tinggi. Contohnya petani yang ada di Desa Jombok, Kecamatan Pule Kabupaten
Trenggalek, disana bibit tanaman Nilam yang digunakan adalah dari Sidikalang
yang menurut petani setempat bibit tersebut tahan terhadap penyakit Budok. Lahan
yang terpusat pada satu tempat membuat perawatan tanaman menjadi lebih
maksimal. Dengan tanaman peneduh yang tidak terlalu rindang membuat tanaman
1
Nilam cukup mandapat sinar matahari (Gambar 1). Dari pengamatan sementara
tanaman Nilam pada ketinggian diatas 600 700dpl tidak ada serangan penyakit
Budok. Dan sebaliknya pada ketinggian di bawah 600dpl ada beberapa tanaman
Nilam yang terserang Budok, hal ini berkaitan dengan tingkat kelembaban tanah
yang mempengaruhi penyebaran penyakit.

Gambar 1. Lahan pertanaman Nilam di Kabupaten Trenggalek


Sumber : Koleksi pribadi

II. Mengenal penyakit Budok/Buduk


Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam
yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti kudis
menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab penyakit ini
diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip dengan tanaman
yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun kecil atau keriting. Gejala
roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi pada stadia lebih lanjut
(Wahyuno dkk., 2011).

2.1 Organisme Penyebab Penyakit Budok


Menurut Wahyuno et al. 2007 dalam Wahyuno dkk, 2011, struktur
bertahan cendawan Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding
tebal konsisten ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang
maupun daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati. Hal ini
membuat Synchytrium mampu bertahan di jaringan tanaman yang telah
terserang untuk waktu yang lama Dari hasil pengujian menggunakan penularan

2
buatan memperkuat asumsi di atas, bahwa cendawan Synchytrium merupakan
organisme penyebab penyakit budok pada tanaman nilam di Indonesia yang
juga ditemukan pada pertanaman nilam di India
Jamur Synchytrium pogostemonis bersifat parasit obligat yaitu jamur
yang hanya bisa tumbuh pada jaringan yang hidup, oleh sebab itu jamur
Synchytrium pogostemonis tidak bisa diisolasi pada media buatan. Sehingga
mengalami kesulitan menguji jamur Synchytrium pogostemonis pada skala
laboratorium.

2.2. Gejala Penyakit


Gejala dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan
berwarna putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun
khususnya yang ada di dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil terlihat
berwarna putih, dan pada stadia lanjut struktur bertahan Synchytrium pogostemonis
berupa spora yang sebenarnya merupakan prosorus berwarna kuning terlihat
ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang terbentuk bervariasi antara 1
- 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi. Serangan Synchytrium
pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman yang masih muda, kecuali
akar tanaman (Nurmansyah, 2011).
Gejala serangan patogen Synchytrium pogostemonis di lapang
ditandai dengan terjadinya pembengkakkan atau terbentuk kutil berupa benjolan
kecil-kecil pada pangkal batang, cabang atau ranting yang dekat dengan
permukaan tanah (Gambar 2). Gejala tersebut berkembang ke batang, cabang,
ranting, dan tulang daun sehingga permukaannya kelihatan kasar dengan warna
hitam kecokelatan. Daun yang baru terbentuk berukuran kecil-kecil, kaku,
keriting, tebal berwarna merah keunguan kadang-kadang berbentuk roset.
Gejala ini terus berkembang menyerang tulang daun, helaian daun dan pucuk.
Secara umum tanaman yang terserang terlihat kerdil dan akhirnya mati hal ini
sesuai dengan Nurmansyah (2011).

3
a b

c d
Gambar 2. Gejala Penyakit Budok pada tanaman Nilam di Kabupaten Trenggalek(a dan b)
dan Kabupaten Malang (c dan d)
a. Gejala nampak pada pangkal batang (mengalami pembengkaan),
b. Pada permukaan bawah daun terdapat kutil/bintil (daun mengalami
penebalan)
c. Pangkal batang mengalami penebalan
d. Daun baru berukuran kecil, tebal dan berwarna keunguan
Sumber : Koleksi pribadi

4
2.3. Eko-Biologi Synchytrium pogostemonis
a. Stadia dan siklus hidup
Pada tanaman yang telah terserang Synchytrium pogostemonis
dapat dilihat struktur tahannya yaitu berupa spora bulat, kuning dan
berdinding tebal mudah ditemukan karena jumlahnya yang banyak. Lensa lup
sederhana dapat digunakan untuk membantu menemukan struktur tersebut
pada gejala yang telah lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya.
Wahyuno, 2010 dalam Wahyuno, dkk., 2011 mendiskripsikan adanya stadia
aseksual dan seksual yang terbentuk pada tanaman nilam terserang
Synchytrium pogostemonis.

b. Penyebaran jamur Synchytrium pogostemonis


Synchytrium pogostemonis juga mempunyai zoospora yang aktif
berenang pada air atau media tumbuh yang mengandung air. Zoospora pula
yang memungkinkan (Wahyuno dan Sukamto (2010) dalam Wahyuno dkk.,
2011). Zoospora pula yang berperan dalam menyebarkan penyakit dalam
jarak dekat, yaitu antar tanaman dalam satu petak lahan dengan air sebagai
media perantaranya. Adanya spora bertahan memungkinkan Synchytrium
pogostemonis terbawa melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa
tanaman terserang yang tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang
baru.

c. Kondisi Lingkungan yang cocok untuk perkembangan jamur Synchytrium


pogostemonis
Sebagai cendawan obligat parasit, Synchytrium pogostemonis sangat
tergantung pada kondisi tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang. Pada
tanaman yang masih hidup, hampir semua stadia Synchytrium pogostemonis
dapat ditemukan. Pada jaringan tanaman yang sudah mati hanya spora
bertahan yang ditemukan sangat dominan. Selain mempengaruhi siklus dan
stadia Synchytrium pogostemonis yang ada, lingkungan berperan penting di
dalam penyebaran zoospora khususnya ketersediaan air baik yang di lapisan
partikel tanah maupun yang terdapat pada permukaan tanaman yang berguna
untuk menyebar ke bagian lain yang masih sehat (Wahyuno dkk, 2011).
5
III. Pengendalian
Beberapa usaha pengendalian yang dapat dilakukan antara lain :
1. Penggunaan bibit Nilam yang bebas patogen
2. Melakukan rotasi tanaman
3. Memusnahkan tanaman nilam yang menunjukkan gejala terkena
penyakit budok
4. Sanitasi lahan
5. Mengatur sistem drainase yang dapat meminimalkan terjadinya penularan ke
tanaman di sekitar.
6. Melakukan pengolahan tanah, pemberian mulsa untuk mengurangi
penyebaran penyakit.
7. Eradikasi di tempat dengan membakar sekelompok tanaman yang telah
terserang.
8. Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g
kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan
penyakit budok.
9. Aplikasi fungisida menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan
gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun (Wahyuno
dkk., 2011).

6
DAFTAR PUSTAKA

Amalia. 2011. Karakteristik Tanaman Nilam di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman


Obat dan Aromatik. Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111.

Djazuli. 2011. Budidaya Nilam Organik. Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111.

Nurmansyah. 2011. Pengaruh Penyakit Budok Pada Produksi Tanaman Nilam. Bul.
Litrro. Vol. 22. No. 1, 2011, 65 73. Kebun Percobaan Laing Solok - Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Wahyuno dkk. 2011. Penyakit Penting Tanaman Nilam dan Usaha


Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Jln. Tentara
Pelajar No. 3 Bogor 16111.

Oleh:
Asri Maria W, SP
POPT Pertama

Anda mungkin juga menyukai