Anda di halaman 1dari 21

PEMIKIRAN FRIEDRICH NIETZSCHE

Alasan pemilihan filsafat Nietzsche dalam makalah ini adalah ketertarikan untuk
mengetahui lebih banyak tentang riwayat hidup Nietszche dan pemikirannya. Filsafat
Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat
perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach
Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan
peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar
dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada
paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap
kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan
setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru
sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (berwindung der Nihilismus)
dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai
manusia purna bermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Knstlerphilosoph) dan banyak
mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis
Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann.
Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk
me-transformasi-kan tragedi hidup.

Latar Belakang Filosofi Nietzsche

Filsafat Nietzsche banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang ia kagumi dan para
filsuf sebelum dirinya. Selain itu, Filsafatnya juga dipengaruhi oleh unsur filologis yang
berisi tentang Yunani. Hal ini dikarenakan oleh ketertarikannya terhadap filologi yang
bercerita tentang legenda-legenda Yunani. Dan juga Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara
memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga
dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi
dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan
tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato
dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian,
sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan
kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche
tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk
menaklukan nihilisme (berwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan
(Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna bermensch dengan
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Dalam filsafat Nietzsche dijelaskan bahwa hidup adalah penderitaan dan untuk
menghadapinya kita memerlukan seni. Seni yang dimaksud oleh Nietzsche ada dua jenis,
yaitu Apolline dan Dionysian. Sehingga Nitzsche mengagumi Richard Wagner yang ikut
mempengaruhi gaya filsafatnya. Oleh karena itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman
(Knstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20,
seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert
Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang
memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

Riwayat Hidup

Nietzsche merupakan tokoh yang menggali makna hidup manusia. Ia akhirnya


menemukan bahwa eksistensi manusia berakhir pada absurditas. Ia melihat bahwa nilai-nilai
yang dihayati manusia itu berasal dari kaum lemah yang akhirnya melemahkan dan
memperbudak manusia sejati. Karena itu, nilai-nilai yang sekarang dihayati manusia harus
dirombak dan harus digantikan dengan nilai-nilai yang berasal dari kehendak manusia yang
berkuasa. Nilai-nilai moral, religius itu omong kosong karena yang ada hanyalah nilai-nilai
material, badani, duniawi. Marilah kita menyimak bagaimana filsuf ini mengemukakan
pandangan-pandangan dan usahanya yang sangat revolusioner itu.

Friedrich Nietzshe lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844, lahir
di Rocken, Prusia, Jerman Timur, di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Ayahnya seorang
pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari turun temurun dari
keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran yang menduduki jabatan cukup
tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat.

Nietzcshe menjadi anak yatim pada saat usianya 5 tahun, ibu, nenek, kakak-
kakaknya serta tantenya yang memelihara dan mendidiknya. Sehingga dia tumbuh seperti
pendeta cilik yang menghormati keteraturan, kerapihan dan kejujuran. Ia membenci teman-
teman yang nakal, suka mencuri serta merusak milik orang lain. Di Univiersitas ia terkenal
sebagai seorang peminat seni klasik dan mahasiswa filologi. Usia 18 tahun, ia mulai
kehilangan kepercayaannya pada agama Kristen dan mulai mencari Tuhan dan kepercayaan
baru. Sejalan dengan itu gaya hidupnyapun berubah total, ia mulai hidup bebas, tidak
beraturan, pesta pora, mabuk-mabukan dan memuaskan hasrat seksualnya.

Beberapa waktu kemudian, ia kembali menjadi seorang agamis, yang mengatakan


bahwa orang yang minum bir dan menghisap tembakau tidak memiliki pangan yang jernih
dan pemikiran yang mendalam. Tahun 1865, ia membeli buku Schopenhauer, Die Welt als
Wille und Vorstellung (1818) atau The World as Will and Idea (Dunia sebagai kehendak dan
Ide). Buku ini memberikan semangat dan menghasilkan pemikiran spektakuler. Usia 23
tahun, ia bergabung dengan tentara untuk ikut perang tapi karena kesehatannya tidak
mendukung ia kembali ke dunia ilmiah dan akademik.

Tahun 1869, usia 25 tahun, ia menjadi guru besar Filologi di Universitas Basel
Swiss, ia sangat mengagumi musikus Richard Wagner. Disini dia bersahabat dengan Richard
Wagner dan istrinya Cosima seorang komponis masyhur. Kemudian Nietzcshe membencinya
karena Wagner dianggap tetap menjunjung tinggi agama. Tahun 1879, Nietzshe terpaksa
pensiun karena sakit-sakitan lalu pindah ke Swiss. Sesudah itu, ia menggelandang di Swiss,
Italia, dan Prancis. Pada tahun 1889 ia sakit jiwa di Torino, Italia lalu dipelihara oleh ibu dan
kakaknya. Nietzsche meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900. Saat-saat terakhir hidup
Nietzsche adalah saat yang paling tragis. Ia ditimpa sakit jiwa. Dan selama dua tahun terakhir
masa hidupnya, ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa, dan tidak dapat lagi berfikir.
Bahkan ia sudah tidak tahu lagi kalau ibunya meninggal.

Karya-karya Nietzsche

Karya-karya Nietszche dari tahun 1879-1910 adalah:

1. 1872 : Die Geburt der Tragodie aus dem Geistes der Musik
2. 1873-1876 : Unzeitgemsse Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
3. 1878-1880 : Menschliches, Allzumenschliches/ Human all, to Human (Manusiawi,
terlalu manusiawi)
4. 1881 : Morgenrthe/ The Dawn of Day (Merahnya pagi)
5. 1882 : Die frhliche Wissenschaft/ The Joyfull Wisdom (Ilmu yang gembira)
6. 1883-1885 : Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
7. Buku ini menyampaikan gagasan utamanya "Manusia Unggul dan Pengulangan
Abadi"
8. 1886 : Jenseits von Gut und Bse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
9. 1887 : Zur Genealogie der Moral/ The Genecology of Moral (Mengenai silsilah
moral)
10. 1888 : Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
11. The Anti Crist, 1888
12. 1889 : Gtzen-Dmmerung (Menutupi berhala)
13. 1889 : Der Antichrist (Sang Antikristus)
14. 1889 : Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
15. 1889 : Dionysos-Dithyramben
16. 1889 : Nietzsche contra Wagner
17. 1910 : The Will to Power diterbitkan Anumerta, 1910

Buku-buku ini di tulis pada masa ia berkelana untuk mengobati berbagai penyakit yang
dideritanya dan masa frustasi. Tahun 1888, ia didiagnosa gila oleh dokter karena
tingkahlakunya makin aneh dan tahun 1900, ia meninggal dan tulisan-tulisannya berhasil di
sunting oleh kakaknya Elizaberth.

Pemikiran Nietzcshe dalam Karyanya

1. Die Geburt der Tragdie/ The Birth of Tragedy (Kelahiran tragedi)

Pemikiran Nietzsche tentang seni tertuang dalam bukunya Die Geburt der
Tragodie aus dem Geistes der Musik (1872), yang dalam versi bahasa Inggris
diterjemahkan menjadi The Birth of Tragedy out of the spirit of Music (Kelahiran
Tragedi dari Semangat Musik). Di buku tersebut, Nietzsche menggambarkan tentang
kesempurnaan kehidupan subjek dalam seni, dengan menampilkan dua roh yang saling
memberikan kehidupan yang dinamis. Baginya, Apollonian dan Dionysian merupakan
perpaduan yang dapat menghidupkan subjek dalam seni dalam rangka proses kesadaran
manusia modern.

Dalam realitas Nietzsche, sejak era Sokrates hingga Hegel telah terjadi
penghilangan satu roh, yaitu Dionysian. Dengan hilangnya Dionysian ini, maka matilah
kehidupan subjek dalam seni, dan yang ada hanya sifat-sifat tunduk, indah, malu, tak
percaya diri, dan dekadensi. Realitas matinya subjek dalam seni ini, telah mendorong
manusia modern ke arah jiwa yang lemah, seperti penurut dan tunduk pada grand
narrative. Dominasi Apollonian telah menjadikan manusia modern cenderung ke arah
primasi rasio yang beridentifikasi. Proses identifikasi ini, menurut Nietzsche telah
membelenggu manusia modern hingga ke tatanan decenden, proses penurunan drastis
kesadaran manusia. Decenden inilah yang menjerumuskan pada ketidakbebasan manusia
modern untuk berkreasi dalam seni. Seni disini telah terkungkung dalam lingkaran
Apollonian yang membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi. Apollonian tidak
menyisakan ruang bagi adanya transvaluasi nilai. Apollonian telah mengantarkan kepada
ide yang fiksatif yang diidentifikasi secara fixed yang dipejalkan dan dimapatkan sebagai
yang final, yang transenden. Realitas ide fixed ini menurut Nietzsche sebagai puncak
kematian subjek. Dalam ide fixed ini subjek dituntut tunduk pada yang Transenden, yang
Ilahi. Di dalam suasana ide fixed ini kebebasan subjek hilang sama sekali, dan yang ada
hanyalah kesadaran yang cogito. Pemikiran Nietzsche tentang kematian subjek dalam
seni menyadarkan bahwa perkembangan seni tidak mengenal kata akhir. Dengan
demikian selalu terbuka kritik membangun guna kemajuan seni. Nietzsche banyak
mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis
Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas
Mann.

2. Die frhliche Wissenschaft/ The Joyfull Wisdom (Ilmu yang gembira)

Metafora Nietzsche dalam satu bagian yang indah dari Die Frohliche
Wissenschaft itu adalah pahlawan dan matahari. Mungkin orang macam itu termasuk
yang oleh Zarathustra disebut sebagai manusia tertuntas yang datang ketika bintang
tak dilahirkan lagi. Manusia macam ini bertanya sambil mengerdip, apa itu cinta, apa itu
ciptaan, apa itu rindu, dan apa itu bintang. Ia jenis manusia yang membuat segalanya
kecil; ia merasa menemukan bahagia dan kesejahteraan dalam hidup yang nyaman, di
mana setiap orang menginginkan hal yang sama, setiap orang sama, dan yang berpikir
lain akan pergi sukarela ke rumah sakit jiwa. Orang macam ini menolak untuk
merangkum dan menempuh. Ia hanya diri yang definitif, titik tunggal, dari mana
segala berangkat dan ke mana segala menuju: tidak mengalir, tidak membuka, tidak
merasa berlebih, tidak memberi, tidak inklusif, untuk segala yang lain. Yang tak sama,
yang lain yang bukan-diri hanya tersedia untuk dijadikan bagian dari diri: dalam
arti tertentu, ditiadakan, ditaklukkan. Berbeda dengan si orang kecil, maka seseorang
yang memandang sejarah manusia dalam keseluruhan sebagai sejarahnya sendiri tidak
bertolak dan berhenti pada dirinya. Seperti sang surya, ia memberi sepenuhnya: ia
memperkaya yang lain. Dalam keadaan ini, tulis Nietzsche dalam Gotzen-Damerung,
orang memperkaya segalanya dari kepenuhan dirinya sendiri: apapun yang ia lihat,
apapun yang ia kehendaki, terlihat kembang, kencang, kuat, dengan tenaga yang
melimpah-limpah.

Itu semua bisa terjadimenurut Nietzschejika kita bertaut kembali dengan


kekuatan yang kita sebut yakni suatu tenaga, suatu daya, yang menumbuhkan kita dan
menggerakkan sejarah: apa yang oleh Nietzsche sering hanya disebut sebagai sang
kehendakkependekan dari der Wille zur Macht, kehendak-untuk-kuasa. Saya
barangkali bisa menganalogikan kehendak itu dengan libido Freudian, namun barangkali
tidak sepenuhnya tepat. Betapapun, ketika Nietzsche mengatakan bahwa hidup adalah
der Wille zur Macht, yang terkesan dari pasangan kata itu adalah tenaga yang mungkin
tak bisa diartikan sebagai sesuatu yang psikis maupun yang fisik, tetapi yang
menjelaskan kenapa dalam kehidupan ada gairah, nafsu, keberanian, syukur, rasa
bahagia, belas kasih, pengetahuan, bahkan sikap zuhud dan pelbagai fenomen di dalam
dan di luar alam manusia. Hidup hanyalah satu kasus yang istimewa dari kehendak-
untuk-kuasa, kata Nietzsche: dengan itu kita membayangkan, di balik benda dan
bentuk, di dalam diri kita, ada suatu dorongan yang menitahkan, ada hasrat yang
memotivasi, mendesak, merengkuh, menumbuhkan daya untuk menambah kekuatan atau
kuasayang menyebabkan makhluk (dalam arti luas, dalam arti being, segala yang ada)
mengubah, memperkukuh dan memperluas menjangkau ke luar, menggebu ke atas dan
ke segala arah.

Para penafsir Nietzsche berdebat adakah doktrin tentang kehendak-untuk-kuasa


itu suatu doktrin kosmologis atau bukan, suatu teori a priori atau suatu pengertian
empiris yang datang dari proses penyimpulan dari pengalaman, atau jangan-jangan ia
semacam penjelasan psikologis semata yang kemudian oleh Nietzsche dikenakan ke
pelbagai hal. Yang ingin saya masalahkan tentu saja bukan itu di sini, melainkan adakah
dengan semangat yang tersirat di sana Nietzsche menawarkan sesuatu yang lebih bisa
meyakinkan tentang manusia dan emansipasinya.

3. Gtzen-Dmmerung (Menutupi berhala)

Nietzsche dalam Jenseits von Gut rind Bose, tentang kehendak adalah sesuatu
yang kompleks yang kita hanya punya satu kata untuk menamakannya. Sedangkan
kesadaran menurut Nietzsche, kesadaran ada karena (atau sebagai sesuatu yang)
dirumuskan di bawah desakan perlunya komunikasi. Kebutuhan akan komunikasi
memerlukan sesuatu yang mantap, yang dibuat sederhana, bisa diukur persis. Dengan
demikian dunia yang disadari adalah dunia yang dibuat sama untuk siapa saja, hanya
sebuah permukaan-permukaan, dan lebih kikir. Lebih kikir, karena tiap saat
sebenarnya kita berpikir terus menerus tanpa kita sadari, namun hanya bagian yang
paling permukaan dari pemikiran itu saja yang masuk ke kesadaran. Bahan-bahan yang
disediakan pancaindera, direduksikan hingga jadi garis besar yang kasar, dibuat sama.
Dibawa dan dikemas oleh kesadaran dan untuk kesadaran, sifat kabur dan kacau dari
kesan-kesan yang diterima lewat penginderaan pun ditertibkan, dikendalikan,
diamankan. Maka jadilah konsep, dan semua mengikuti logika, menuruti sistemdan
tidak lagi hidup dalam khaos dan dalam spontanitas pradiskursif (pra-telaah), tak lagi
hidup dalam galau dan gairah primal.

Lalu, manakah yang hendak kita akui sebagai yang benar: hidup dengan
kesadaran, sebagai kekuatan yang menjaga ketertiban dan keamanan dunia? Ataukah
hidup dengan khaos? Nietzsche, dengan sedikit berlebihan, memang pernah mengatakan
bahwa kita memiliki seni agar kita tidak punah oleh kebenaran, dan kita ingat pelbagai
cemoohnya kepada para filosof, yang dianggapnya seperti vampir: menghisap darah
kehidupan. Apa gerangan yang mendorong dan yang merangsang semangat orang-orang
yang paling arif, kalau bukan kehendak-untuk-kebenaran, yang sebenarnya, seperti
dikatakan oleh Zarathustra, adalah satu ekspresi dari kehendak-untuk-kuasa juga, tapi
dengan arah yang berlainan? Kehendak itu, ujar Zarathustra, adalah kehendak untuk
membuat segala yang ada dapat dipikirkan, dapat dikonsepkan, sehingga segala hal yang
ada menyerah dan merunduk, menyediakan diri kepadamu, menjadi rata-licin bagaikan
cermin di mana pikiran sang filosof dipantulkan. Untuk memperoleh cermin itu, yang
kacau, hidup, dan berubah-ubah, yang berbeda tak habis-hahisnya, (Nietzsche berbicara
khususnya tentang khaosnya data-data penginderaan), harusnya disederhanakan dan
ditata. Dengan cara itu khaos dan hidup sebenarnya ditampik. Kehendak-untuk-
kebenaran sebab itu mungkin lebih dekat kepada ideal asketik. Manusia umumnya tak
tahan dengan eksistensi yang galau dan dengan sesuatu yang tak bisa dijangkau, dan
ingin menyulapnya.

4. Jenseits von Gut und Bse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)

Nietzsche menyimpulkan dalam Jenseits von Gut and Bose. dalam semua
hasrat untuk tahu, selalu ada setitik kekejaman. Hasrat untuk tahu akhimya
mengandalkan diri pada konsep, dan setiap konsep tumbuh dari penyamaan apa yang
sebenarnya tidak sama, dari penghapusan yang individual untuk dicetak jadi yang
general, di mana pelbagai macam daun dengan pelbagai macam harum dan pelbagai
macam bentuk dan wama, (yang masing-masing berganti tiap hari dan tiap musim), akan
bisa jadi satu, kekal, tetap, ketika diletakkan dalam konsep daun. Dengan konsep,
sesuatu pun dipatok, dibatasi, ditampilkan sebagai sesuatu yang rapi dan konstan, hingga,
melalui kesepakatan sosial, bisa diterima untuk bertukar pikiran.

Ada sesuatu yang sama-sama represif di sana terhadap yang tidak-sama, yang
aneka, yang kualitatif dan yang indrawi. Bisakah kita merdeka hanya dengan memilih
dunia dalam pengalaman estetik, seraya kita ogahi pemikiran diskursif, kita remehkan
tuntutan praktis yang mendorong kita membangun konsep? Pada Nietzsche ada
kecenderungan memuja para kesatria jaman lama, dan kerinduan kembali kepada masa
yang aristokratik.

5. Zur Genealogie der Moral/ The Genecology of Moral (Mengenai silsilah moral)

Dalam Zur Genealogie der Moral (terbit 1887), Nietzsche menyebut akan
datangnya manusia masa depan, yang akan menebus dari ideal yang berkuasa sampai
sekarang (ideal, dalam arti asas, konsepsi atau tujuan tentang apa yang sempurna dan
layak untuk diundi), yakni ideal yang pada dasarnya memandang hidup, kenikmatan,
khaos, keragaman dan avonturnya, sebagai sesuatu yang harus dijauhi, bahkan ditampik,
karena layak dicurigai sebagai sesuatu yang menyesatkan. Bagi ideal ini, semua yang ada
di dalam hidup itu semuanya yang fana, tak bisa dijadikan pegangan. Maka ideal
asketik atau zahid ini pun mengutamakan sikap menahan diri dari gairah hidup,
seperti yang didapatkan terutama dalam tema Budhisme, dalam ajaran para padri dan
rohaniawan. Bagi ideal ini, hidup tak punya harga dalam dirinya sendiri. Tapi tidak
berarti manusia harus jatuh ke dalam nihilisme yang bunuh diri. Sebab, sabda para
padri, nun di balik sana dari dunia yang sekarang, jika kita bisa menahan diri dengan
sempurna kelak akan ada nirwana atau surga. Hidup punya arti, lantaran ada sebuah
kelak yang seperti itu.

Tapi bagi Nietzsche, ideal asketik hanya mengandung dendam, mungkin benci.
Sebab itu manusia masa depan-nya akan menebus dari ressentiment itu: ia akan datang
ibarat dentingan genta yang menandai siang dan keputusan besar yang akan
membebaskan kehendak kembali, memulihkan tujuannya ke bumi dan mengembalikan
harapan dirinya kepada manusia. Nietzsche menyebut manusia masa depan itu
sekaligus antikristus dan antinihilis, pemenang atas Tuhan dan atas ketiadaan.
Nietzsche menghadirkan Zarathustra sebagai sebuah ideal tandingan.

6. Pemikiran Nietzsche tentang tuhan mati (God is Dead)

Pemikirannya tentang Tuhan mati, tertera dalam karyanya yang berjudul


Zarathustra (bukan tokoh agama terkenal di Iran, hanya nama hayalan saja untuk orang
bijaksana). Ia menggambarkan Zarathustra yang telah lama bertapa di atas gunung
kemudian turun dan, ketika melalui seorang yang sedang bertapa di suatu tempat, berkata
: Aneh orang ini belum tahu kalau Tuhan telah mati. Kemudian di kota, Zarathustra
masuk ke dalam pasar dan menuduh orang banyak telah membunuh Tuhan. Lengkapnya
dapat diperhatikan sebagai berikut :

Si gila. Tidakkah kalian dengar tentang si gila yang menyalakan sebuah lentera
pada jam-jam pagi yang terang benderang; ia lari masuk pasar dan berteriak: Saya
mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan! Si gila terbahak-bahak kegirangan di tengah-
tengah orang banyak yang berdiri. Mereka sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang
di antara mereka berkata: Apakah ia telah tersesat seperti seorang bocah? Atau
bersembunyikah ia? Takutkah ia kepada kita? Mengembarakah ia? Atau telah pindah?
Demikianlah ocehan mereka sambil tertawa. Si gila kemudian meloncat ke tengah
mereka dan menembus mereka bersama lenteranya. Dia berteriak: Kemanakah Tuhan
larinya? Aku akan jelaskan kepadamu semua. Kita telah membunuhnya kalian dan aku.
Kita semua adalah pembunuh Bukankah lentera harus dinyalakan ketika pagi?
Belumkah kita dengar para penggali pusara yang sedang menguburkan Tuhan? Tuhan
telah mati. Tuhan tetap mati (God is dead. God remains dead).

Ungkapan Nietzsche itu menurut Karel A. Steenbrink, ada yang menyatakan


bahwa Nietzsche hanya mengemukakan bahwa dalam kebudayaan pada zamannya
Tuhan telah mati dalam hati manusia. Saat itu yang dipentingkan hanyalah materi belaka,
apalagi cara berpikirnya didominasi oleh ilmu pasti alam telah menjauhkan manusia dari
kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Kecuali itu, ada yang menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan kritik Nietzsche kepada agama Kristen, yang umumnya melarang
kekayaan, seks dan seni. Di semua bidang ini, agama memberikan petunjuk yang
umumnya bersifat larangan semata. Agama tidak membina manusia menjadi pribadi
yang aktif dan bertanggungjawab. Dasar kepercayaan adalah kelemahan, sehingga
manusia harus menyerahkan diri kepada Tuhannya dan harus taat kepada petunjuk yang
datang dari luar dirinya. Maka agama Kristen merupakan hambatan bagi perkembangan
pribadi manusia untuk menjadi manusia super dan Uebermensch.

Dari interpretasi karya Nietzsche itu, pada tahun 1960-an, teologi di Eropa dan
Amerika Utara timbul puluhan karangan yang berpangkal dari anggapan bahwa Tuhan
telah mati dan bahwa masih bisa dilanjutkan suatu agama tanpa Tuhan. Dan ada yang
hendak mengarang teologi yang tidak terfokus kepada Tuhan, tetapi terfokus kepada
Yesus. Bagi mereka Tuhan telah mati merupakan petunjuk penyaliban Yesus dan
penderitaan sesama manusia di dunia ini. Dan juga ada yang hendak mengkritik ide teis
tentang Tuhan dan hanya ingin menyempurnakannya, tetapi dengan menggunakan kata-
kata yang keras dan kontroversial.

Ungkapan Nietzsche tersebut merupakan ekspresi krisis manusia sekuler dalam


hubungannya dengan konsepsi tentang Tuhan. Skeptisisme Nietzsche ini sebenarnya
merupakan rumusan tajam tentang implikasi pandangan hidup ateistik-nihilistik dari
humanisme sekuler yang melanda umat manusia. Di sini terlihat kelemahan teologi
Kristen yang melalui usahanya untuk menerapkan ide baru dan mendekati kebudayaan
modern, kadang-kadang menghasilkan banyak ide yang saling bertentangan. Memang di
Barat ditemukan: In God We Trust, kepada Tuhan kami percaya di atas mata uang
mereka (Amerika). Tetapi, tidak ada hubungan organiknya dengan kehidupan praktik
mereka. Hal ini akan tampak pada kebijaksanaan yang diambil oleh pemegang kekuasaan
dan politik luar negeri mereka, ternyata mereka tidak mengambil etik dari ungkapan
tersebut. Mereka meneriakkan Principles of Human Right, prinsip-prinsip hak asasi
manusia, tetapi kepada negara lain, mereka tidak segan-segan menyokong setiap rezim
yang paling tirani sekalipun, asal rezim ini memihak mereka, menguntungkan mereka.
Jadi bukan lagi pertimbangan double standard yang dipakai, tetapi multiple standard,
standard etik sudah tidak ada lagi. Seperti pembelaan mereka terhadap Israil,
perseteruannya terhadap Irak, Libia, sikap mereka terhadap Bosnia dan sebagainya.
Demikian itu, karena mereka berpegang pada dua prinsip, yaitu:

a. Sesuatu harus dikerjakan jika secara teknis memang mungkin untuk dikerjakan,
something has to be done when it is technically possible to do it. Membuat bom
nuklir mungkin secara teknologis, maka mereka lakukan. Soal akibatnya di luar
pertimbangan.
b. Semakin banyak engkau menghasilkan sesuatu dan semakin banyak engkau
konsumsi, adalah semakin baik, the more you produce, the more you consume, the
better. Jadi hidup adalah hidup yang konsumtif, dan ini merupakan penyakit yang
telah menyebar ke mana-mana, terutama di kalangan pemegang kekuasaan politik
dan ekonomi tanpa mempertimbangkan kepada yang hidup di bawah garis
kemiskinan.

Tragedi Nietzsche itu merupakan fenomena intelektual di Barat, dimana agama


gagal dalam memberikan jawaban yang memuaskan terhadap tuntutan intelektual
manusia yang mencari sesuatu di balik yang ada ini. Betul Nietzsche, bahwa secara
simbolik Tuhan telah mati di Barat. Sebab orang sudah tidak menghiraukan tindakan
moral apapun. Yang ada adalah etik yang situasional dan individual. Tidak ada etik yang
bersumber dari wahyu, yang berlaku secara universal yang menyebabkan orang Barat
telah kehilangan kiblat yang sebenarnya.7 Jadi, Nietzsche sebenarnya masih merindukan
sesuatu yang bermakna, meskipun ia telah menjadi agnostik, jika tidak ateis. Keadaan di
Barat tersebut, dapat terjadi di mana saja, termasuk di dunia Islam jika masyarakatnya
telah meninggalkan ajaran wahyu. Untuk itu dalam zaman modern yang ditandai dengan
rasionalisme, humanisme dan perubahan yang cepat, serta post modern yang ditandai
dengan tidak adanya hal yang definitif, maka umat Islam harus bisa menjaga diri dengan
sikap istiqamah, dalam arti teguh hati dan konsisten atas ajaran wahyu, seperti
diungkapkan firman Allah SWT : Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus
di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rizki yang banyak).8 Air adalah lambang kehidupan dan kemakmuran.
Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten di jalan yang benar akan mendapatkan
hidup yang bahagia.

7. Nihilisme

Nihilisme adalah sebuah kepastian peradaban. Inilah yang ingin disampaikan


Nietzsche kepada dunia, dunia yang ketika itu ia tinggali, Eropa, dan yang akan menjadi
arus utama peradaban dunia mendatang. Nietzsche menggunakan nihilisme sebagai nama
bagi sebuah pergerakan kesejarahan yang dialah kali pertama menyadari hal tersebut dan
yang telah mengendalikan abad sebelumnya sementara mendefinisikan abad yang akan
datang. Dialah yang mengatakan untuk pertama kali sebagai seorang nihilis sejati Eropa.
Bukan karena pilihan, tapi oleh keadaan, dan karena dia terlalu besar untuk menolak
warisan masanya. Bersama Nietzsche, Nihilisme nampaknya menjai sesuatu yang
profetik. adalahlebih awal dari nabiseorang pendiagnosa. Pendiagnosa memiliki
kesamaan dengan nabikeduanya berfikir dan beroperasi dalam jangkauan masa depan.
Nietzsche seorang filsuf Jerman yang mampu melihat laju pergerakan sejarah manusia
menuju kiamat, dan ia selalu berbicara tentang kiamat itu, tidak dalam kerangka untuk
memujinya, namun untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijkkan, dan dalam
aspek kalkulatif, kiamat ini akhirnya akan mengasumsikan, tapi dalam kerangka untuk
menghndarinya dan mentransformasinya dalam sebuah renaisssance.

Nihilisme merupakan sebuah renungan, renungan yang pada intinya adalah


sebuah renungan tentang munculnya krisis kebudayaan pada masa itu, di Prusia-Jerman,
dan juga Eropa secara keseluruhan. Nietzsche mendiagnosa dalam dirinya dan orang lain
ketidakmampuan untuk meyakini dan juga ketiadaan kemunculan/kehadiran fondasi
primitif dari semua keyakinansebut saja keyakinan dalam hidup. Nietzsche melukiskan
bahwa gerak kebudayaan Eropa pada waktu itu bagaikan aliran sungai yang menggeliat
kuat saat mendekati bibir samudra. Metafor ini ditujukan kepada orang-orang Eropa yang
tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung. Inilah satu dari
ratusan tanda datangnya Nihilisme. Nietzche merengkuh dengan pandangan profetik
tentang telah dekatnya keruntuhan dukungan tradisional dari berbagai nilai yang mana
manusia modern telah mengikatkan diri padanya. Gairah optimisme lebih jauh
dihidupkan oleh kemajuan gemilang dari sains dan teknologi. Dengan berani Nietzsche
meramalkan bahwa kuasa politik dan perang-perang kejam akan terjadi dimasa depan.
Apa yang ia rasakan adalah semakin mendekatnya periode nihilisme, benih-benih telah
ditabur.

Fakta terbesar baginya bukanlah kekuatan militer ataupun terbukanya tabir-tabir


kemajuan ilmu pengetahuan tapi lebih pada sebuah fakta bahwa kepercayaan dalam
Tuhan Kristen telah secara drastis menurun hingga pada titik dimana ia bisa
mengatakan dalam istilah singkat-tepat: God is dead/Tuhan sudah mati. Yakni untuk
mengatakan, Tuhan Kristen telah kehilangan kuasa dan determinasiNya terhadap
manusia. Tuhan Kristen dalam hal ini juga menjadi wakil untuk yang transenden
dalam maknanya yang umum maupun dalam maknanya yang beragamyang ideal dan
norma, prinsip dan aturan, Tujuan dan nilai, yang diletakkan diatas manusia
dengan maksud untuk memberi manusia sebuah keseluruhan tujuan, sebuah tatanan,
danyang terekspresikan secara singkat denganmakna/meaning. Nihilisme merupakan
proses kesejarahan dimana dominansi dari yang Transenden menjadi kosong dan tidak
ada, sehingga seluruh makhluk kehilangan nilai/harga dan makna. Nihilisme adalah
sebuah sejarah manusia itu sendiri, melalui kematian Tuhan Kristen itu sendiri dimana
secara perlahan menuju kepastian.

Bertentangan dengan berbagai pendapat dari para kritikus Kristen, Nietzsche


tidaklah menyajikan sebuah proyek untuk membunuh Tuhan. Dia menemukanNya mati
dalam jiwa orang-orang masa kini. Dialah orang yang kali pertama memahami besarnya
kepentingan dari peristiwa tersebut dan memutuskan bahwa pemberontakan ini diantara
orang-orang tidak dapat menuju renaisssance kecuali jika ia dikendalikan dan diarahkan.
Seluruh sikap lain yang mengarah pada hal tersebut, apakah ia disesali atau hanya untuk
kepuasan sendiri, harus mengarah pada kiamat itu. Dengan demikian Nietzsche tidak
menformulasi sebuah filsafat tentang pemberontakan, tapi mengonstruksi sebuah filsafat
yang memberontak.

Nietzsche sendiri memahami filsafatnya sebagai sebuah pengenalan kepada


sebuah era baru. Dia memimpikan masa yang akan datangyakni, masa yang sedang
berjalan sekarang, abad keduapuluhsebaga start dari sebuah era yang pergolakannya
tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang telah dikenal sebelumnya. Meskipun
pemandangan dari teater dunia ini masih tetap sama, namun permainan dalam
performanya akan menjadi berbeda. Faktanya adalah bahwa tujuan-tujuan awal sekarang
menjadi hilang dan nilai sebelumnya terdevaluasi dialami tidak hanya sebagai sekedar
penghancuran dan disesalkan sebagai percuma dan salah, tapi ia dimaknai sebagai
sebuah liberasi, dipuja sebagai sebuah pencapaian yang tak munkin kembali lagi, dan
dipersepsi sebgai pemenuhan. Nihilisme adalah sebuah meningkatnya kebenaran
dominan bahwa semua tujuan utama dari manusia telah menjadi berlebihan, sia-sia. Tapi
transformasi ini dari relasi sementara kepada nilai yang mengendalikan, nihilisme telah
juga menyempurnakan dirinya untuk tugas yang bebas dan murni dari sebuah penilaian
baru. Nietzsche menggambarkan metafisikanya dengan nama ini dan menyusunnya
sebagai serangan terhadap semua metafisika yang ada sebelumnya. Nama nihilisme
kemudian kehilangan makna yang berupa sekedar kerangka penghancuran yang mana itu
berarti perusakan dan pemusnahan nilai-nilai yang ada sebelumnya, hanya sekedar
penegasian dari yang ada dan kesia-siaan sejarah manusia. Nihilisme mengindikasikan
kebebasan dari nilai-nilai sebagai kebebasan untuk menilai ulang nilai-nilai. Nietzsche
menggunakan ekspresi revaluation of all values hitherto berdampingan dengan kata
kunci nihilisme sebagai rubrik utama yang dengannya ia meletakkan posisi metafisika
fundamentalnya tempat definitnya bersamaan dengan sejarah dari metafisika-metafisika
Barat.

Dari penilaian ulang nilai-nilai (revaluation of values), kita memperkirakan


bahwa nilai-nilai tergantikan dipostulatkan ditempat yang sebelumnya. Tapi bagi
Nietzsche revaluasi berartai bahwa tempat untuk sebelumnya itu sendiri hilang, tidak
sekedar nilai itu sendiri jatuh. Hal ini secara tidak langsung, bahwa hakikat dan arah dari
penilaian, dan definisi dari esesnsi nilai tertransformasikan. Revaluasi berpikir Ada untuk
pertama kali sebagai nilai. Dengannya, metafisika mulai menjadi pemikiran nilai.
Bersamaan dengan transformasi ini, nilai utama tidak sekedar mengalah/mati untuk
devaluasi, tapi diatas itu semua, kebutuhan atas nilai dalam bentuk awal dan tempat
sebelumnyayakni untuk mengatakan, tempat mereka dalam yang transendendicerabut.
Pencerabutan masa lalu membutuhkan penggantian secara pasti dengan penguatan
penumbuhan ketidakpedulian dari nilai kuno dan dengan penghapusan sejarah melalui
sebuah perevisian ciri-ciri dasarnya. Revaluasi nilai utama terutama adalah memorfosis
dari semua penilaian dari dulu hingga sekarang dan pelahiran dari sebuah kebutuhan
terhdap nilai-nilai. Jika esensi metafisika berdasar pada pendasaran kebenaran dari
manusia sebagai keseluruhan, maka The revaluation of all values, sebagai pendasaran
dari prinsip untuk sebuah penilaian baru, adalah metafisika itu sendiri. Apa yang
Nietzsche rasa dan postulasikan sebagai karakter dasar dari manusia sebagai keseluruhan
adalah apa yang ia sebut dengan will to power (kehendak akan kuasa). Konsepnya
tidak sekedar membatasi apa seorang manusia dalam mengadanya adalah: Frase
Nietzsche, will to power, yang dalam berbagai hal menjadi familiar, berisi
interpretasinya dari esensi kuasa. Setiap kuasa adalah kuasa hanya selama ia lebih kuasa;
yakni untuk mengatakan, sebuah peningkatan dalam kuasa. Kuasa dapat
mempertahankan dirinya dalam dirinya, yakni, dalam esensinya, hanya jika ia
mengambil alih dan menguasai tingkatan kuasa yang telah dicapainya
overpowering/melampaui kuasa adalah eksprei yang digunakan. Segera setelah kuasa
berada pada sebuah tingkat kuasa tertentu, ia kemudian menjadi powerless/tak berkuasa.
Will to power tidak sekedar bermakna hasrat romantis dan petualangan oleh mereka
yang tidak punya kuasa; lebih pada, will to power bermakna pertumbuhan kuasa oleh
kuasa demi pelampauian kuasa.

Will to power adalah sebuah nama tunggal untuk karakter dasar dari manusia dan
esensi kuasa. Nietzsceh seringkali mensubstitusi daya/force untuk will to power dalam
sebuah cara yang seringkali disalahpahami. konsepsinya tentang karakter dasar dari
manusia sebagai will to power bukanlah penemuan atau tingkah dari seroang pelaku
fantaswan yang telah tersesat dari mengejar chimeras (ide-ide yang tak masuk akal). Itu
adalah pengalaman fundamental dari seorang pemikir/thinker; yakni, satu dari para
indvidual yang tidak mempunyai pilihan kecuali untuk mencari kata-kata untuk apakah
seorang manusia pada hakikatnya dalam sejarah dari pengadanya (Being). Setiap
manusia, sejauh sebagaimana adanya, dan adalah sebagai hal itu, adalah will to power.
Karena semua manusia sebagai will to poweryakni, sebagai pelampauian kuasa diri
yang tak putus-putusnyaharusnya menjadi seorang becoming yang terus menerus, dan
karena becoming yang demikian tidak dapat bergerak menuju sebuah akhir diluar dirinya
yang lebih jauh dan seterusnya, tapi adalah secara tak henti-hentinya masuk dalam
peningkatan siklis atas kuasa dimana ia kembali, kemudian menjadi manusia secara
keseluruhan juga, ketika penyesuaian-kuasa kemenjadian, dirinya harus selalu
mengulang lagi dan menghadirkan yang sama. Dengan demikian. Karakter dasar dari
manusia sebagai will to power adalah juga didefinisikan sebagai an eternal recurrence of
the same. Yang akhir ini menentukan rutbrik utama yang lain dalam metafisika
Nietzsceh dan, lebih lagi, secara tidak langsung berdampak sesuatu yang esensial: hanya
melalui esensi tersusun yang adekuat tentang will to power dapatlah ia menjadi jelas
mengapa Ada dari manusia sebagai sebuah keseluruhan harus menjadi keterulangan
abadi yang sama (the eternal recurrence of the same). Demikian juga sebaliknya: hanya
melalui esesnsi the eternal recurrence of the same dapatlah esensi paling pusat dari will
to power dan berbagai kebutuhannya diperoleh.
8. Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)

Ada 2 konsep penting yang dikemukakan Nietzcshe melalui bukunya Thus Spake
Zarathustra, 1884 yaitu Kembalinya Segala Sesuatu (eternal recurrence of the same) atau
pengulangan abadi serta uberbermensch (overman, superman). Nietzcshe menyatakan
bahwa segala sesuatu pergi segala sesuatu datang kembali berputarlah roda hakekat itu
secara abadi. Konsep ini juga mengemukakan tentang alam yang tidak berawal dan
berakhir. Masa depan kita ditentukan sendiri oleh pikiran-pikiran tindakan kita sekarang.
Alasannya adalah karena ini dapat mendorong manusia untuk mencari kebahagiaan
dalam hidup karena kebahagiaan itu kelak berulang lagi sehingga manusia tidak perlu
takut mati.

9. Gtzen-Dmmerung (Menutupi berhala)

Nitezsche dalam Gotzen-Dammerung di tahun 1889, tentang gairah hidup dan


kemerdekaan pudar. Gemanya masih hingga kini, rasa kecewa terhadap alternatif yang
ditawarkan oleh Marxisme.

10. Ubermensch

Ubermensch adalah manusia super yang menentukan sendiri makna dan tujuan
hidupnya, sebagai pengganti manusia yang ditentukan oleh Tuhan yang sudah mati. Ada
istilah lain yang sama maksudnya dengan konsep ubermensch Nietzsche yaitu der letzte
mensch atau the last man atau manusia terakhir. Manusia unggul adalah upaya untuk
mencapai terus menerus keunggulan manusia. Tracy B. Strong menjelaskan bahwa sikap
Zarathustra dibentuk dari sintesa Yesus dengan Socrates. Socrates kritis terhadap
kebiasaan-kebiasaan lokal yang ada pada kebudayaan yunani dengan metode dialektis
yang menyatakan tidak pada segala sesuatu. Yesus tumbuh besar dilingkungan kekafiran.

Super manusia adalah manusia yang tahu mengikuti dan langsung sambung pada
irama tari hidup. Dialah yang menerima seluruhnya, dialah yang menghargai seluruhnya,
dialah yang mengagungkan seluruhnya, dialah yang tidak pernah menolak apa-apa yang
dianugerahkan oleh hidup yaitu baik maupun buruk, indah maupun buruk, suka maupun
duka. Super manusia merupakan formula sesanti dari penegasan "ya" penuh yang lahir
dari kepenuhan diri yang samasekali tidak pernah mau peduli dengan duka sendiri,
kesalahan sendiri, problem, dan masalah eksistensi. Untuk dapat mencapai manusia
super, manusia mesti melewati metamorfosis ganda, yaitu:

a. metamorfosis pertama, akan mengubah eksistensi unta berbeban dan mudah taat
(yaitu manusia baik, rendah hati, tunduk, religius, moralis) menjadi singa yang
agresif (yaitu roh kebebasan, otonom, tuan pada diri sendiri, penentu mutlak tindak-
tanduk dan perbuatannya sendiri).
b. metamorfosis kedua, akan mengubah manusia dari singa yang ganas tadi menjadi
kanak-kanak murni yang selalu mengagumi dan mencintai realitas dalam semua
ungkapannya dan sisinya. Ia akan berseru gembira dan menyatu dengan hidup.

Hidup yang dipunyai manusia super dalam ujudnya yang paling penuh pada saat
yang sama mempunyai pula hukum-hukumnya yang tegas yang oleh Nietzsche diungkap
dengan istilah eterno ritorno (pulang ke keabadian). Artinya semua yang ada secara abadi
kembali dan kita juga kembali. Kita sudah menyatu dengan semua dan semua ke kita.
Hadirlah tahun menjadi yang sama dengan sebuah roda putar. Semua harus membalik
lagi agar selalu dapat habis. Pada dentang waktu tersebut semua tahun sama baik yang
besar maupun yang kecil. Semua akan kembali lagi, berputar lagi secara abadi dalam
lingkar putar eksistensi. Semua akan mati dan akan bangkit lagi. Semua yang pecah
berkeping-keping akan diutuhkan kembali. Secara kekal semuanya akan membangun
rumah yang sama dari eksistensi. Semuanya saling dipisahkan dan diruntuhkan lagi.
Yang selalu setia pada diri sendiri adalah domba eksistensi. Pada setiap penantian, waktu
dan eksistensi kembali mulai berputar lagi . Lautan kehidupan tidak dapat melahirkan
selain menjadi rahim dari serentetan eksistensi. Itu pun selalu membaharui diri kembali
secara kekal dalam roda tertutup dan putar yang pasti.

Dalam hukum kembali ke keabadian kekal tentu saja termasuk manusia di


dalamnya, baik manusia kecil maupun besar, baik pengecut, baik, pemberani, maupun
manusia super. "Manusia secara kekal kembali! Manusia yang lebih najis, rendah akan
kembali juga" , manusia super juga akan kembali secara kekal karena keduanya ambil
bagian dalam tari irama kehendak kuasa dari kehidupan. Figur simbol dari yang "ya"
terhadap hidup yang terus berputar kembali secara abadi mempunyai modelnya, yaitu
Dionisius. Di sini kuletakkan Dionisius dari orang-orang Yunani, yaitu penegasan "ya"
tegar yang religius terhadap dunia dari dalam hidup tanpa satu titik "tidak" pun.
Dionisius adalah simbol waktu dari hidup yang penuh dan dari penerimaannya yang
riang terhadap hidup. Dionisius melambangkan becoming (menjadi) hal-hal yang dalam
kebutuhan serta kemendesakannya menyatakan seluruhnya menjadi satu baik duka
nestapa maupun suka cita, ketakutan maupun keberanian, cinta maupun dengki. Di
samping itu Dionisius melambangkan pula kondisi manusia super yang menerima
semua ekspresi saling bertentangan dari eksistensi dengan penuh syukur (BM 80). Dalam
kerangka karyanya "Perubahan/penggantian nilai-nilai," Nietzsche secara sistematis
menyusun perlawanan dan perang tanding antara figur Dionisius dengan tokoh Kristus.
Nietzsche mau mengungkapkan motif yang menunjukkan ungkapan yang paling
menyeluruh dari nihilisme, sikap "tidak" terhadap hidup, roh menyerah, takluk serta
penyangkalan diri.

Bisa dikatakan bahwa Dionisius adalah Tuhannya Nietzsche. Dalam salah satu
karyanya yang terakhir Nietzsche menulis, "Setelah mendapat pukulan terberat palu dari
Tuhan Yesus, juga setelah matinya Tuhan dari orang-orang Kristiani, dewa-dewa baru
masihlah mungkin muncul (Nietzsche sendiri tiap kali mengingatkan naluri religius,
yaitu naluri hidup bagi dewa-dewa baru tersebut). Di sini Nietzsche melancarkan perang
pembasmian melawan nilai-nilai absolut serta melawan ideologi-ideologi pokok yang
mendasari nilai-nilai tersebut, yaitu filsafat, moral, agama, (Kristiani). Tuduhan pokok
Nietzsche terhadap filsafat, moral, agama Kristen yang mendukung nilai-nilai absolut
adalah karena ketiga-tiganya membentuk dan membina dusta kolosal yang membelenggu
umat manusia dan menghalanginya untuk meneguk cawan kehidupan secara bebas. Ia
mengatakan dustalah kalau ada nilai-nilai mutlak lain di luar hidup ini, dustalah nilai-
nilai transenden di seberang hidup sekarang kini ini, dustalah bila dikatakan bahwa ada
jiwa/roh abadi dalam diri manusia, dalam tubuhnya, dustalah bila dikatakan ada dunia
akherat yang spiritual di seberang dunia material yang ada di depan mata ini, dan
terutama dustalah bila ditegaskan bahwa manusia tidak mampu menjadi yang tertinggi
lantaran di atas manusia hanya ada Tuhan.

Menurut Nietzsche, moral merupakan gumpalan kondisi-kondisi pemelihara


manusia-manusia malang, lemah sebagian atau gagal seluruhnya. Dari buku ini jelaslah
bahwa Nietzsche sebenarnya mau memaklumkan perang terhadap moral karena moral
merupakan wujud paling laknat dari kehendak dusta yang mengajari untuk menilai
rendah dan meremehkan naluri-naluri dasariah pokok dari hidup. Moral hanya mengajar
nilai-nilai dekaden, keruntuhan sebagai nilai-nilai tertinggi. Moral mengajak untuk
mendorong orang berlaku dan melaksanakan tindak-tanduk muluk yang tidak ada
karena tidak adalah tindakan altruis itu, tidak ada pulalah tindakan suci. Moral mengajar
keutamaan-keutamaan yang tidak ada (jiwa, roh, kehendak bebas). Moral juga mengajari
hakekat-hakekat yang tidak ada, misalnya Tuhan, malaekat. Moral mendidik manusia
pada ordo yang tidak ada. Adakah ordo moral di dunia dengan hadiah/pahala dan
hukuman? Dengan semua ajaran dan petunjuk dusta ini, moral merendahkan, malahan
meniadakan:

a. nilai sungguh-sungguh dari tindakan manusia yaitu egoistis.


b. nilai tubuh.
c. tipe-tipe manusia yang sungguh-sungguh berharga, bernilai, naluri-naluri manusia
yang berharga.
d. seluruh motif dan dasar hidup yang bertolak dari mau tahu.

Cara berpikir di atas yang menjunjung tinggi salah satu macam manusia, berjalan
dan bekerja dari pengandaian absurd sebagai berikut: memandang baik dan jahat sebagai
realitas yang berlawanan satu sama lain (dan bukan sebagai konsep pelengkap dari nilai
yang sebenarnya merupakan realitas), menasehati untuk memihak ke yang baik dengan
alasan merasa bahwa yang baik itu akan menolak dan menentang yang jahat sampai ke
akar dasarnya dan dengan begitu cara berpikir ini telah menolak hidup dalam realitas
yang mempunyai baik "ya" maupun "tidak" dalam seluruh nalurinya. Barangkali tidak
ada ideologi yang begitu berbahaya selama ini selain kehendak untuk berbaik tersebut
karena di sini diluhurkan tipe manusia. Alim fanatik yang membawa hidup pada
keilahian; dan hanya ditunjuk kelakuan si alim sebagai kelakuan baik, yang ilahi
(Nietzsche, Framenti Postumi, hal. 260).

Dalam seri karangan pendek lain, Nietzsche lebih agresif dan ganas dalam
mengecam moral. Ia mengatakan bahwa moral merupakan kandang, sangkar, penjara
yang memperkirakan dengan jeruji-jeruji besi akan berguna bagi kebebasan yang tertutup
ke dalam, tempat kubang binatang-binatang yang menerima perjuangan dengan kebuasan
roh yang bernama "iman". Dalam kata pengantar karyanya Genealogia della Morale,
Nietzsche menulis bahwa kita memerlukan sebuah kritik terhadap nilai-nilai moral yang
mesti mulai dengan mempertanyakan nilai/harga diri nilai-nilai ini.

Nietzsche mempertanyakan bahwa sampai hari ini mereka mempropagandakan


perkembangan kebahagiaan manusia padahal itu tidak lain hanyalah ungkapan
pemiskinan, degenerasi kehidupan; atau sebaliknya mesti diwahyukan, diwartakan
kepenuhan hidup sendiri, kekuatannya, kehendak hidup itu, keberaniannya, kepastian
dan jaminannya, masa depan hidup itu sendiri (no 3). Terhadap pertanyaan-pertanyaan
sendiri, Nietzsche menjawab lebih dengan "suara perutnya daripada otaknya". Nietzsche
beranggapan bahwa sumber kesalahan berat dari nilai-nilai mutlak adalah Plato yang
merasa menemukan adanya Roh yang baik dalam dirinya. Nietzsche menganggap bahwa
metafisika mempunyai tiga kepalsuan, yaitu:

a. Palsu terhadap diri sendiri


b. Palsu terhadap hal-hal yang ada.
c. Palsu terhadap manusia.

Palsu terhadap diri sendiri. Metafisika bersifat palsu terhadap diri sendiri karena
tidak tahu-menahu tentang motivasi sejati dari teori/ajaran yang sungguh-sungguh.

Palsu terhadap hal-hal yang ada. Metafisika bersifat palsu terhadap hal-hal yang
ada karena menghantar masuk adanya hukum kedua dari realitas, yaitu adanya idea,
Tuhan, substansi terpisah, Roh mutlak, dan seterusnya. Dengan itu metafisika
meniadakan nilai-nilai, menghampakan nilai efektif mereka. Prinsip perlawanan yang
mendukung kerangka pendapat dunia yang sejati tempat pencarian, penapakan jalan ke
sana tak bisalah bertentangan dalam dirinya sendiri, tak bisalah merubah, tak mungkin
menjadi, tak mungkin pula mempunyai prinsip dan tujuannya sendiri. Salahlah bila
percaya pada ungkapan-ungkapan alasan ukuran realitas untuk menguasai realitas demi
memberi tanda kurung bagi realitas. Maka semuanya merupakan bencana:

a. Bagaimana mungkin mampu membebaskan diri dari dunia palsu, dunia tidak sejati?
Padahal hanya ada satu dunia ini
b. Bagaimana mungkin menjadi diri sendiri secara penuh apabila tidak menghormati
dunia nyata ini?
c. Seluruh orientasi nilai-nilai berjalan ke arah "menjelek-jelekkan dan memfitnah
hidup"

Karena itu, kelirulah metafisika manusia yang mau membuang "being sejati"
serta mau menindas (mengekang) afeksi, insting, naluri, kekuatan kuasa, dan mereduksi
semuanya ke kepala, akal budi, dan pikiran! Semua yang berkait pada yang bukan rasio,
yang bebas, yang naluriah, yang dibenci oleh para metafisikawan aliran keliru tersebut.
Konsekuensinya, mereka menolak elemen fundamental dalam essere (ada pada dirinya
sendiri), dan menerima sebagai yang utama apa yang disebut rasionalitas dan finalisme
absolut.

Di sini kita melihat Nietzsche memang mau membasmi agama yang melawan
hidup dan menggantinya dengan agama dari kehidupan (agama dari Dionisius) dan
berusaha menyingkirkan moral dekaden untuk menggantinya dengan moral yang dinamis
(moralitas manusia super). Cara yang ditempuhnya adalah dengan melebur sampai ke
akar-akarnya filsafat being/essere yang sama dengan metafisika yang
membuahkan/menjadi semua filsafat yang menjauhkan diri dari bumi, ia mau
menggantinya dengan filsafat yang setia pada kehendak yang kuasa. Filsafat tidak bisa
lagi berkeinginan abstrak, tujuan-tujuan spekulatif tetapi mesti menjadi praktis dan
konkret.

Filsuf-filsuf sejati adalah mereka yang memimpin/berkuasa memerintah dan


mampu menegaskan ini "harus hidup kembali!" harus hidup begitu! Mereka mesti
menentukan pertama-tama "ke mana" dan "demi tujuan mana" manusia hidup dan begitu
menawarkan lengkap pokok-pokok dasar filsafat menuju masa depan di dalam dan
melalui tangan kreatif si manusia sendiri yang menjadi alat, gaman, piranti untuk
mencapai tujuan. "Mengerti" mereka mesti menjadi sama dengan mencipta! Penciptaan
mereka mesti menjadi penentuan hukum dari kehendak kebenaran yang adalah kehendak
kuasa.

Fungsi sejati filsafat menurut Nietzsche mesti sama dengan peran seni, yaitu
sebagai hasil karya mendalam penciptaan/transformasi material menjadi seni tetapi
bukan demi indah sendiri tetapi demi menjadikan cermin, pantulan kekuatan dahsyat
manusia, cermin bias kekuatan/daya hidup. Filsafat mesti mempunyai kekuatan dari
dalam yang magis yang:

a. Mampu mengubah setiap hal,


b. Mampu menilai lagi semua nilai,
c. Mampu membaharui lagi semua nilai,
d. Mampu membebaskan manusia dari semua belenggu metafisika, moral, Kristianisme,
begitu rupa sehingga mampu berucap "lantang" yang tegar pada semua yang ada
pula bila hal-hal tersebut di jaman lalunya merupakan hal terlarang, tidak dihargai
dan dipandang jahat (berdosa).

Dalam salah satu karangan, Nietzsche menulis Seni Filsafat dengan tugas rangkap
tiga, yaitu (fungsi filsafat):

a. filsafat mesti menjadi penebusan bagi manusia dalam soal pemahaman (BM 90-91)
dan problema eksistensi manusia.
b. filsafat mesti menjadi penebusan tindakan konkret manusia agar mampu menjadi
daya hidup untuk menausia yang mau menjadi pahlawan dengan kekuatan
kehendaknya.
c. filsafat mesti menjadi penebusan bagi orang-orang malang sebagai jalan masuk untuk
mengangkat mereka yang menerima sengsara sebagai yang dikehendaki, dilahirkan
menuju kesadaran bahwa sengsara itu kenikmatan.

Model ideal filsuf seniman menurut Nietzsche adalah tokoh Dionisius. Dialah
filsuf sejati, unik dan satu-satunya yang mengetahui mengambil bagian secara kreatif
dalam tarian abadi kehidupan cerah masa mendatang. Dia juga mengetahui
menempatkan dan menampilkan diri sebagai pencipta, sang pemberi pada segala apa
yang ada. Demikianlah Nietzsche tidaklah kebetulan bila dalam bagian akhir tulisannya
memilih memberi judul Dionysos Philosophos untuk bagian itu.

Dengan judul tersebut, ia mau merangkum seluruh makna kegiatan sastranya


sebagai berikut, "Tulisan-tulisanku, buku-bukuku, dari garis ke garis, dari baris ke baris
merupakan pantulan-pantulan nyata dari kehendak hidup. Tulisan-tulisan itu merupakan
hasil karya sang pencipta kehidupan, menjadi duta dari hidup itu sendiri".

Skeptisisme Epistemologis

Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau ciptaan


manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai spesis.
Pengetahuan dan kebearan sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai tujuan bukan
entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak mungkin efektif karena hasil
konstruksi manusia dan selalau upaya melayani kepentingan dan tujuan tertentu manusia.

Kritik Nietzcshe Terhadap Rasionalitas dan Kebenaran

Nietzsche tidak menghargai rasionalitas, bahkan mendekonstruksi rasionalitas dan


menghargai klaim-klaim dogmatisnya sendiri untuk meruntuhkan dasar-dasar miliknya dan
lebih banyak lebih baik wissenschaft atau kebudayaan. Untuk mudahnya kita akan
memulainya dengan melihat pars construensnya yang merupakan konsep yang hidup tentang
realitas. Dalam visinya, realitas itu muncul sebagai ledakan dahsyat dari kekuatan hidup.
Nietzsche menyebutnya sebagai "sebuah kekuatan hebat tanpa awal dan tanpa akhir, sang
keindahan yang membebaskan diri dari kekuatan cinta dan kebencian, suka cita dan duka,
keberanian dan ketakutan, kebebasan dan ketundukan yang menyeruak keluar, yang
membebaskan diri secara dahsyat tanpa aturan, tanpa kontrol apa pun.

Realitas merupakan hidup itu sendiri dalam semua ungkapannya yang paling
mencekam, menarik. Hidup itu sendiri merupakan kehendak untuk berkuasa yang tak terukur,
tak terbilang, tak mampu dikalkulasi. Nilai tertinggi bagi Nietzsche sama dengan kehendak
untuk berkuasa, lebih persis lagi sama dengan kualitas maksimal kuasa yang berhasil
direngkuh dan dimiliki oleh si manusia. Filsafatnya sama dengan jawaban tak bersyarat untuk
menjawab "ya" terhadap hidup yang menggeser semua "tidak", semua larangan, dosa,
dakwaan. Perbedaan "ya" dan "tidak", positip dan negatif, baik dan buruk merupakan
kejahatan yang tidak bisa diampuni terhadap kehidupan. Berkata "ya" pada hidup merupakan
suatu kekuatan. Mengatakan "tidak" pada hidup merupakan penurunan derajad. Hidup adalah
nihilisme. Siapa pun yang berkata "ya" kepada hidup akan bebas termasuk juga bila itu
termasuk yang imoral. Yang menjawab "tidak" pada hidup itu termasuk budak, juga bila itu
termasuk sesuatu yang moral/baik.

Untuk semua orang kuat dan alamiah, mereka membuat semuanya bersama-sama
dalam satu tindakan hidup baik cinta maupun benci, balas budi atau balas dendam, kebaikan
dan kemarahan, penolakan dan pengiyaan. Bila baik, manusia perlu tahu juga yang jelek. Bila
jelek, itu disebabkan karena manusia tidak lagi tahu apa yang baik. Sebagaimana yang
dirumuskan Zarathrusta, hukum tertinggi hidup adalah perlu untuk "tenggang rasa" pada tiap
"penolakan" atau penerimaan dalam hidup. Kristianisme adalah racun terhadap nilai ini,
imoral, melawan hidup, melawan natura. Dalam konsepsi realitas Nietzsche, nilai "baik"
sebagai ketaatan terhadap hukum moral dipandang sebagai "parasit," artinya hidup dengan
memperalat kehidupan sendiri, seperti benalu yang menghisap darah hidup, seperti epikuris
yang menikmati "kebahagiaan kecil" dengan menolak kebahagiaan besar yang immoral

Hidup yang selalu menjadi tema sentral Nietzsche mempunyai batas-batas yang
jelas, yaitu hidup di dunia ini, fisik, dalam tubuh karena tidak ada dunia lain di luar dunia
material, tidak ada pula hidup badani kita di sini. Manusia lahir untuk berada di bumi ini
(esistere sulla terra). Roh/jiwa yang semestinya menjadi subjek eksisitensi di dunia sekarang
itu tidak ada. Manusia hanyalah yang bertubuh ini: "saya adalah si tubuh ini seluruhnya tanpa
yang lain." Dunia Nietzsche meluas, merangkum imanensi dunia ini. Memisahkan dunia
idea yang asli, yang sejati dengan dunia semu (di bumi ini) merupakan dusta yang amat
memalukan yang dibuat Plato dan Kristianisme. Dunia hanya ada satu, yaitu yang ada di
depan mata kita. Dalam dunia ini tidak ada lagi tempat bagi Tuhan. Zarathrusta mengatakan
bahwa Tuhan sudah mati. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah ada karena tidak mampu ada.

Tuhan sama dengan proyeksi kebutuhan-kebutuhan kaum lemah. Tuhan ditemukan


oleh jiwa yang lemah, jiwa yang sakit, yang diracuni oleh perasaan-perasaan luhur melawan
orang-orang yang benar-benar sehat, kuat, dan kuasa. Tuhan adalah hasil kreasi manusia
sebagaimana dewa-dewa yang lain pula. Derita dan ketidakmampuanlah yang menciptakan
semua yang suci di seberang dunia nyata ini. Manusia kelelahan karena menari sendiri
dengan meloncat-loncatkan kakinya ke maut untuk menggapai puncak, kelelahan karena
tidak memahami yang disebabkan karena tidak mampu mengingini. Tubuhlah yang
menentukan langkah-langkah dan bukan jari telunjuk yang menunjuk ke atas. Dunia manusia
dan dunia non manusia, dunia yang dikejar sebagai adikodrati itu tidak lain adalah surga dari
ketiadaan yang merupakan rahim dari Ada, Being.

Hanyalah si sakit, si lemah yang meremehkan tubuh dan kehidupan, serta


menggantinya dengan surga dan tetesan darah penebusan namun toh akhirnya tetap
memutuskan hubungan mereka dari tubuh mereka sendiri serta dari bumi (dalam ketiadaan).
Hidup ini ada dalam perjalanan gemilangnya melalui satu jurusan perkembangan dari tahap
manusia. Super manusia adalah makna dari bumi ini. Kehendak berseru: manusia super
adalah arti dari bumi (Nietzsche, idem hal 6) dan inilah undangan dari Nabi Zarathrusta untuk
umat manusia ( BM, 78). Zarathrusta mau mengajar umat manusia mengenai makna dari
keberanian mereka yang tidak lain adalah manusia super. Hidup, kehendak berkuasa,
mengekspresikan diri paling puncak pada manusia super. Di sana nilai seluruhnya
mewujudkan diri, menemukan realisasinya yaitu menjadikan kehendak kuasa mengada dan
diadakan dalam ketegangan-ketegangan yang agresif dan meledak-meledak dalam jatung hati
manusia.

Kesimpulan

Filsafat Nietzsche banyak membahas mengenai kehidupan. Dalam filsafat Nietzsche


disebutkan bahwa hidup adalah sebuah penderitaan. Dalam filsafat ini diuraikan mengenai
hal-hal apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam menghadapi kehidupan yang
merupakan penderitaan itu. Dalam filsafat ini dijelaskan mengenai moral. Moral yang ada
tentang kebaikan umum berbeda dengan moral yang ada pada Kristianitas. Selain itu,
Nietzsche juga banyak membahas mengenai Kekuatan. Menurut Nietzsche kekuatan adalah
hal yang dibutuhkan setiap masyarakat untuk tetap bertahan. Orang yang kuat adalah orang
tidak menyerah pada paham martabat.

Dalam filsafat Nietzsche juga disebutkan bahwa moralitas ada dua, yaitu moralitas
tuan dan moralitas budak. Moralitas tuan pada awalnya adalah moralitas yang baik. Yang
menganut moralitas tuan adalah kaum yang kuat sedangkan yang menganut moralitas budak
adalah kaum yang lemah. Pada awalnya kaum kuat berada di atas. Namun, semakin lama
mereka semakin menerima pula moralitas budak. Sehingga kaum yang kuat semakin
berkurang jumlahnya. Akibatnya kaum yang lemah menjadi semakin banyak dan pada
akhirnya mereka yang lemah dan tertindas ini membalikkan keadaan. Sehingga moralitas
tuan yang tadinya dianggap moralitas yang baik berganti menjadi moralitas yang buruk,
begitu pula sebaliknya.

Meskipun tidak semua pemikiran Nietzsche dapat diterima, namun ia tetap diakui
sebagai pemikir besar, karena ia mengajukan berbagai permasalahan yang orisinil yang
belum dipertanyakan sebelumnya. Banyak pemikir yang terpengaruh oleh Nietzsche mungkin
Jacques Derrida termasuk yang paling jelas dan dalam pengaruhnya. Pengaruh ini terlihat
pada metode dekonstruksi penolakannya pada kebenaran objektif dan universal, anti
fundasionalisme, skeptisisme, anti metafisika, dll. Dan Nietzsche juga telah banyak sekali
mengilhami Filsuf-filsuf barat untuk melakukan kritik terhadap kebudayaan Barat dan
asumsi-asumsinya. Karl Jaspers, Martin Heidegger, Michel Fouchault, Jacques Derrida,
bahkan Muhammad Iqbal adalah barisan Filosof yang mengikuti jejak intelektual Nietzsche.
Nietzsche merupakan cerminan para intelektual barat dalam memandang agama. Dan agak
aneh memang, bahwa pengabaian terhadap keberadaan Tuhan ini lahir dari seorang Kristiani
yang taat dan menggenggam teguh keyakinan ajaran agamanya. Dari semula yang hanya
mempertanyakan kemurnian ajaran agamanya, perlahan beranjak menggugat Tuhannya, dan
akhirnya membunuh-Nya, ialah Nietzsche, sang Nabi besar Atheisme dari Eropa.
Daftar Referensi

Almustapha. (2008). Tuhan Sudah Mati! Filsafat Friedrich Nietzsche.


http://forum.detik.com/showthread.php?t=44469. 15 Mei 2012

Jagad, Wiwaraneng. (2008). Eksistensialime Nietzsche (Ubermensh).


http://dzmiko.multiply.com/journal/item/40. 15 Mei 2012

Muhammad, Goenawan. (1996). Zarathustra ditengah pasar.


http://goenawanmohamad.com/esei/zarathustra-di-tengah-pasar.html. 15 Mei 2012

R.J. Hollingdale. (1976). Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra. New York: Penguin
Books.

http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/nietzsche.htm. 15 Mei 2012

Sastrowardoyo, Aji. (2009). Friedrich Nietzsche (2-habis) Berakhir di Adimanusia


http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=366db7a591a75efd125cb446411
24f2e&jenis=d82c8d1619ad8176d665453cfb2e55f0. 15 Mei 2012

Stevans Teritory Weblog. (2008). Filsafat Nietzsche.


http://stevan777.wordpress.com/2008/02/04/filsafat-nietzsche/ 15 Mei 2012

Sunarto. (2009). Mengkaji Pemikiran Nietzsche 1944-1900: Sunarto Raih Doktor. Filsafat
UGM. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=954. 15 Mei 2012

Wuryanta, AG. Eka Wenats. (2007). Friedrich Nietzsche: Memutarbalikkan nilai-nilai.

http://filsafat-eka wenats.blogspot.com/2007_04_22_archive.html. 15 Mei 2012

Yusuf, Akhyar. (2009). Makalah Hasil Penelitian, Pemikiran Nietzcshe: Pengaruhnya


terhadap Pemikiran Posmodernis.

Anda mungkin juga menyukai