Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk
permukaan bumi sebagai akibat adanya pengaruh tenaga asal dalam dan
tenaga asal luas bumi (hujan, angin, penyinaran dan pemanasan matahari,
benturan benda asal ruang angkasa serta aliran air dan gletser) yang
menghasilkan proses-proses geomorfik yang berakibat terubahnya bentuk-
bentuk permukaan bumi. Obyek utama geomorfologi ialah bentuk lahan,
proses geomorfologi, genesa dan evolusi pertumbuhan bentuk lahan,
beserta hubungannya dengan aspek lingkungan. Bentuk lahan adalah
bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk topografis khas, akibat
pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada material batuan,
dalam skala ruang dan waktu kronologis tertentu.
Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuk lahan
berdasarkan genesisnya menjadi 10 (sepuluh) macam bentuk lahan asal
proses, yaitu bentuk lahan asal proses vulkanik, bentuk lahan proses
struktural, bentuk lahan asal fluvial, bentuk lahan asal proses solusional,
bentuk lahan asal proses denudasional, bentuk lahan asal proses aeolin,
bentuk lahan asal proses marine , bentuk lahan asal glasial, bentuk lahan
asal organik, dan bentuk lahan asal antropogenik.
Bentuk lahan asal organik itu sendiri adalah bentuk lahan atau
landform yang secara alamiah terbentuk dari proses kegiatan makhluk
hidup serta bentuk lahan yang dihasilkan oleh aktivitas organisme,
contohnya adalah bentuk lahan terumbu karang dan pantai
bakau/mangrove. Pentingnya bentuk lahan organik yang semakin
berkurang akibat aktivitas manusia membuat penulis tertarik, oleh karena
itu makalah ini akan membahas mengenai bentuk lahan asal organik yang
terdapat di Indonesia dan kaitan terumbu karang sebagai bentuk lahan
dengan aktivitas masyarakat di Desa Wosi, Kabupaten Halmahera Selatan,
Provinsi Maluku Utara

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan geomorfologi dan geologi? Bagaimana
kaitannya ?
2. Apa saja yang dimaksud bentuk lahan (landform)?
3. Apa yang dimaksud dengan lahan organik?
4. Apa saja yang termasuk dalam lahan orgnaik?
5. Bagaimana potensi lahan organik di Indonesia?
6. Bagaimana kaitan antara terumbu karang sebagai lahan organik dengan
aktivitas masyarakat di Desa Wosi, Kabupaten Halmahera Selatan,
Provinsi Maluku Utara?

1.3 Manfaat penelitian


1. Dapat mengetahui pengertian geomorfologi dan geologi
2. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan bentuk lahan
3. Dapat mengetahui apa yang dimaksud lahan organik
4. Dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam lahan organik
5. Dapat mengetahui potensi lahan organik di Indonesia
6. Dapat mengetahui keterkaitan antara terumbu karang sebagai lahan
organik dengan aktivitas masyarakat di Desa Wosi, Kabupaten
Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Geologi dan Geomorfologi

Geomorfologi berasal dari bahasa Yunani yaitu geo beerarti bumi,


morphe berarti bentuk, dan logos berarti ilmu. Sehingga, geomorfologi
dapat diberi pengertian sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk
lahan permukaan bumi. Perlu diketahui bahwa geomorfologi tidak hanya
mengkaji bentuk-bentuk permukaan bumi, tetapi juga gaya dan proses-
proses yang mengakibatkan bentuk-bentuk demikian, serta perkembangan
proses dan bentuk-bentuk tersebut. Atas dasar kajian bentuk, gaya, dan
proses serta perkembangan bentuk-bentuk permukaan bumi itu, maka
lahirlah konsep-konsep yang dapat dipakai sebagai dasar bagi kepentingan
manusia dalam hidupnya yang disebut geomorfologi terapan (applied
geomorphology). Geomorfologi sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-
bentuk lahan di permukaan bumi, dengan penekanan pada sifat-sifat alami,
proses perkembangannya, komposisi material penyusun, serta hubungan-
hubungan antara bentuk-bentuk lahan tersebut.

Geomorfologi berasal dari 3 kata Yunani yaitu geo berarti bumi,


morfhe berarti bentukdan logos berarti ilmu. Jadi geomorfologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk permukaan bumi,
tetapi juga gaya dan proses-proses, serta perkembangan bentuk-bentuk
permukaan bumi itu, maka lahirlah konsep-konsep yang dapat dipakai
sebagai dasar kepentingan manusia dalam kehidupannya yang disebut
Geomorfologi Terapan (Applied Geomorphology).

Ada berbagai definisi tentang geomorfologi menurut para ahli, yaitu:

a. Strahler (1970), the science of morphology treats the origin


and systematic development of all types of landforms and is a
major part of physical geography.
b. Cook dan Doornkamp (1978), geomorfologi merupakan ilmu
yang mengkaji tentang bentuk lahan, khususnya mengenai
sifat, asal pembentukan, proses-proses perkembangan dan
komposisi materialnya.
c. Van Zuidam (1979), geomorfologi adalah ilmu yang
mendiskripsikan (secara genetis)bentuk lahan dan proses-
proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuk lahan tersebut
serta mencari hubungan antara bentuk lahan dengan proses-
proses susunan keruangan.
d. Versteppen (1983), gepmorphology can be defined as the
science dealing with landforms making up the earth surface,
both above and below sea level and stressing their genesis and
future development, as well as their environment context.

Dari keempat definisi di atas dapat diartikan bahwa geomorfologi


merupakan ilmu tentang terbaginya bentuk lahan di permukaan bumi baik
di atas maupun di bawah permukaan laut dengan penekanan studinya pada
asal sifat, proses perkembangan, susunan material dan kaitannya dengan
lingkungan.
Geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang bentuk
lahan (landform), khususnya mengenai sifat, asal pembentukan, proses-
proses perkembangan dan komposisi materialnya (Cook dan Doornkamp,
1978). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui, bahwa objek utama
yang diteliti dalam geomorfologi adalah bentuk lahan (landform).
Pada dasarnya geomorfologi mempelajari bentuk-bentuk bentang
alam; bagaimana bentang alam itu terbentuk secara kontruksional (yang
diakibatkan oleh gaya endogen; aktivitas tektonik atau struktur geologi),
dan bagaimana bentang alam tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar
berupa gaya eksogen seperti pelapukan, erosi, sedimentasi, dan air, angin,
es, sebagai agent yang merubah batuan atau tanah membentuk bentang
alam yang bersifat dektrusional, dan mengasilkan bentuk-bentuk alam
darat tertentu (landform). Pengaruh struktur (perlipatan, pensesaran,
pengangkatan, intrusi, ketidakselarasan, termasuk didalamnya jenis-jenis
batuan) yang bersifat konstruksional, dan proses yang bersifat
destruksional (pelapukan, longsoran kerja air, angin, gelombang,
pelarutan,dan lainnya), sudah diakui oleh para ahli geologi dan
geomorfologi sebagai dua buah paramenter sangat penting dalam
pembentukan rupa bumi.
Sedangkan geologi adalah ilmu pengetahuan bumi, mengenai asal,
struktur, komposisi dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan),
serta proses-proses yang telah menyebabkan keadaan bumi seperti
sekarang ini (Whitten dan Brooks, 1972: 204). Geologi adalah ilmu yang
mempelajari planet bumi terutama mengenai materi penyusunnya, proses
yang terjadi padanya, hasil proses tersebut, sejarah planet itu dan bentuk-
bentuk kehidupan sejak bumi terbentuk (Bates dan Jackson, 1990: 272).
Geologi sangat berkaitan dengan:
a. Fisika, yang berkaitan dengan gaya-gaya di bumi.
a. Kimia, yang berkaitan dengan materi penyusun bumi.
b. Biologi, yang berkaitan dengan kehidupan masa lalu, yang kini
dijumpai sebagai fosil. Fosil dalah sisa-sisa organisme yang
terawetkan secara alami, umumnya berwujud padat dan keras,
serta telah berumur 11.000 tahun atau lebih.

2.1.1 Keterkaitan antara geomorfologi dengan geologi


Objek kajian geologi adalah bumi secara keseluruhan.
Termasuk di dalamnya asal kejadian, struktur, komposisi, dan
sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), dan proses
alamiah yang membuat perkembangannya hingga sampai pada
keadaan sekarang (Katili, 1959).
W.M. Davis menyatakan hubungan geomorfologi dan
geologi serta geografi dengan istilah geomorfogeni
(geomorphogeny) dan geomorfografi (geomorphography).
Geomorfogeni adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk
permukaan bumi pada masa lampau. Ini berarti geomorfogeni lebih
erat kaitannya dengan geologi. Geomorfografi adalah ilmu yang
mempelajari bentuk-bentuk permukaan bumi dengan penekanan
pada bentuk-bentuk permukaan bumi yang sekarang. Ini berati
lebih erat kaitannya dengan geografi.
2.2 Geologi Maluku Utara

Tektonik regional Pulau Halmahera terbagi atas dua mandala


utama geologi yaitu Mendala Geologi Halmahera Timur atau Lengan
Timur dan umumnya berwarna hitam, getas, kebanyakan terpecah,
terbreksikan, setempat mengandung asbes dan garnierit. Basal didalam
komplek ini berwarna kelabu kehitaman, getas, kebanyakan terbreksikan
dan terpecah. Batuan metamorf dan rijang terdapat di beberapa tempat
yang tak terpetakan.

Batuan vulkanik di adalah Formasi Bacan (Tomb) diendapkan kala


Oligosen Miosen Bawah terdiri dari lava, breksi dan tufa, dengan sisipan
konglomerat dan batupasir. Breksi gunungapi, kelabu kehijauan dan
coklat, umumnya terpecah, mengandung barik kuarsa yang sebagian
berpirit. Breksi memiliki komponen andesit dan basal, setempat
batugamping. Diantara komponen batuan beku yang dapat dikenal adalah
andesit piroksen, kristal halus, afanitik kelabu, porfiritik berwarna merah
dengan piroksen sebagai fenokrisnya, andesit piroksen warna kehijauan,
basal porfiritik kelabu tua dengan fenokris piroksen dan feldspar.

Sementara itu Formasi Weda (Tmpw) yang merupakan batuan


sedimen diendapkan terakhir kala Miosen Pliosen tersusun oleh
batupasir berselingan dengan batulempung, batulanau, napal, batugamping
dan konglomerat. Batupasir terdiri dari batupasir arkosa, gampingan
berbutir sedang, warna kuning dan kelabu, batupasir konglomeratan
berfragmen cangkang, batupasir kelabu tua, kehitaman berbutir halus,
keras, menunjukkan struktur perlapisan tipis dan graiwacke berwarna
kelabu tua kehitaman. Batulempung kelabu, kehitaman, kehijauan, kelabu
tua dan coklat tua.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Fisiografi Pulau Halmahera dibagi menjadi 3 (tiga) bagian utama,


yaitu Mandala Halmahera Timur, Halmahera barat, dan Busur Kepulauan
Gunung Api Kuarter.
a. Mandala Fisiografi Halmahera Timur
Mandala Halmahera Timur meliputi Lengan Timur Laut, Lengan
Tenggara dan beberapa pulau kecil di sebelah Timur Pulau Halmahera.
Morfologi mendala ini terdiri dari pegunungan berlereng terjal dan torehan
sungai yang dalam, serta sebagian mempunyai morfologi karst. Morfologi
pegunungan berlereng terjal merupakan cerminan batuan keras. Jenis
batuan penyusun pegunungan ini adalah batuan ultrabasa. Morfologi karst
terdapat pada daerah batugamping dengan perbukitan yang relatif rendah
dan lereng yang landai.
b. Mandala Fisiografi Halmahera Barat
Mandala Halmahera Barat bagian Utara dan lengan Selatan
Halmahera. Morfologi mandala berupa perbukitan yang tersusun atas
Batuan Sedimen, pada Batugamping berumur Neogen dan morfologi karst
dan di beberapa tempat terdapat morfologi kasar yang merupakan
cerminan batuan gunung api berumur oligosen.
c. Mandala Busur Kepulauan Gunungapi Kuarter
Mandala ini meliputi pulau-pulau kecil di sebelah barat pulau
Halmahera. Deretan pulau ini membentuk suatu busur kepulauan gunung
api kuarter. Sebagian pulaunya mempunyai kerucut guugunung api yang
masih aktif.
2.3 Geomorfologi Maluku Utara

Kawasan Maluku Utara adalah kawasan yang didominasi oleh


perairan, dengan perbandingan luas daratan dan laut adalah 1 : 3.
Kawasan ini terdiri atas 353 pulau dengan luas kira-kira 32.000 km, yang
tersebar di atas perairan seluas 107.381 km. Kawasan kepulauan ini
berbatasan dengan Samudra Pasifik di utara, Samudra Indonesia dan Laut
Arafura di selatan, Pulau Sulawesi di barat dan Pulau Irian di timur.

Gugusan kepulauan di kawasan Maluku Utara terbentuk oleh


relief-relief yang besar, Palung-palung Samudra, dan Punggung
Pegunungan yang sangat mencolok saling bersambung silih berganti.
Secara umum struktur fisiografi kawasan Maluku Utara terbentuk dari
zona pertemuan dua sistem bentang alam.

Kedua sistem bentang alam tersebut antara lain adalah Sistem


Bentang Alam Sangihe dan Sistem Bentang Alam Ternate, dengan
batasnya adalah Cekungan Celebes di barat dan Cekungan Halmahera di
timur. Pada kedua sistem bentang alam tersebut terdapat dua busur
pegunungan yang bersifat vulkanik dan non vulkanik. Pada Sistem
Bentang Alam Sangihe terdapat:

1. Busur dalam vulkanik : Busur kepulauan Sangihe


2. Busur luar non vulkanik : Busur kepulauan Talaud-Maju

Sistem Bentang Alam Ternate terdiri dari:

1. Busur dalam vulkanik : Busur kepulauan Zona Ternate, Morotai-


Bacan, termasuk bagian barat Pulau Halmahera utara
2. Busur luar non vulkanik : Busur kepulauan Sellius-Maju-Obi
Fisiografi Maluku Utara
Sumber: Van Bemmelen, (1977), dengan modifikasi.

Laut Maluku yang terletak di antara Sistem Bentang Alam Sangihe


dan Sistem Bentang Alam Ternate merupakan zona benturan dua sistem
bentang alam tersebut. Zona benturan Laut Maluku merupakan bagian
yang paling rumit di kawasan ini. Lempeng Laut Maluku, yaitu sebuah
lempeng benua kecil mengalami tumbukan ke Palung Sangihe di bawah
Busur Sangihe di barat dan ke arah timur di bawah Halmahera, sedangkan
di sebelah selatannya terikat oleh Patahan Sorong. Busur dalam Halmahera
yang bersifat vulkanis berkembang di sepanjang pantai barat Halmahera
dan menghasilkan pulau-pulau lautan yang bersifat vulkanis, antara lain
adalah: Ternate, Tidore, Makian dan Moti. Mare terbentuk dari material
vulkanis yang terangkat, sedangkan Kayoa berasal dari terumbu karang
yang terangkat. Mayu dan Tifore yang terletak di sepanjang gigir tengah
Laut Maluku yang meninggi merupakan keping Melange aktif, yaitu
kedudukan keping-keping batuan yang acak sehingga tidak dapat
dibedakan stratifikasi umur berdasarkan urutan pembentukan batuan.
Fenomena tersebut terjadi pada zona tumbukan antar lempeng benua yang
masih aktif.
Bentang lahan pada pulau-pulau di kawasan Maluku Utara
mayoritas merupakan perbukitan dan pegunungan. Paparan dataran rendah
yang tidak terlalu luas hanya dapat dijumpai di sepanjang pantai dan
muara sungai. Pada beberapa barisan pegunungan terdapat puncak-puncak
gunung berapi, dan beberapa diantaranya masih aktif. Gunung api yang
paling aktif adalah Gunung Gamalama atau Gunung Kie-Tobona (Piek
Van Ternate) di pulau Ternate dan Gunung Kie-Mutubu di Pulau Tidore,
yang termasuk dalam Kepulauan busur vulkanik Zona Ternate.

2.4 Pengertian Bentuk Lahan

Istilah bentang lahan berasal dari kata landscape (Inggris) atau


landscap (Belanda) dan landschaft (Jerman), yang secara umum berarti
pemandangan. Arti pemandangan mengandung dua aspek, yaitu aspek
visual dan aspek estetika pada suatu lingkungan tertentu (Zonneveld, 1979
dalam Widiyanto., dkk. 2006). Ada beberapa penulis yang memberikan
pengertian mengenai bentang lahan, antara lain:

a. Bentang lahan merupakan gabungan dari bentuk lahan (landform).


Bentuk lahan merupakan kenampakan tunggal seperti bukit atau
lembah sengai. Kombinasi dari kenampakan tersebut membentuk
suatu bentang lahan, seperti daerah perbukitan yang baik bentuk
maupun ukurannya bervariasi atau berbeda-beda, dengan aliran air
sungai di sela-selanya (Tuttle, 1975).
b. Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri
atas sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdepedensi
antara bentuk lahan, batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air,
udara, tumbuhan, hewan, laut, tepi pantai, energi, dan manusia
dengan segala aktivitasnya, yang secara keseluruhan membentuk
satu kesatuan (Hadisumarno, 1982).
c. Bentang lahan merupakan bentang permukaan bumi dengan
seluruh fenomenanya, yang mencakup: bentuk lahan, tanah,
vegetasi, dan atribut-atribut lain, yang dipengaruhi oleh aktivitas
manusia (Vink, 1983).

Berdasarkan pengertian bentang lahan tersebut, maka dapat


diketahui bahwa terdapat delapan unsur penyusun bentang lahan, yaitu:
udara, batuan, tanah, air, bentuk lahan, flora, fauna, dan manusia dengan
segala aktivitasnya. Kedelapan unsur bentang lahan tersebut merupakan
faktor-faktor penentu terbentuknya bentang lahan, yang terdiri atas faktor
geomorfik (G), litologik (L), edafik (E), klimatik (K), hidrologik (H),
osenik (O), biotik (B), dan faktor antropogenik (A). Dengan demikian,
berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, bentang lahan (Ls) dapat
dirumuskan:

Ls = f (G, L, E, K, H, O, B, A)
Keterangan :
Ls: bentang lahan H: hidrologik
G: faktor geomorfik O: osenik
L: litologik B: biotik
E: edafik A: antropogenik
K: klimatik

Dikaitkan dengan konsep-konsep dasar geomorfologi, maka


bentang alam mencakup dua, yaitu bentang alami dengan inti kajian
bentuk lahan, dan bentang budaya dengan inti kajian manusia dengan
segala perilakunya terhadap lahan.

Bentang lahan sebagai inti kajian bentang alami menurut Tittle


(1975), benyang lahan atau landscape merupakan kombinasi atau gabunga
dari bentuk lahan. Mengacu pada definisi bentang lahan tersebut, maka
dapat dimengerti bahwa unit analisis yang sesuai adalah unit bentuk lahan.
Oleh karena itu, untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bentang lahan
selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuk lahan (landform).
Bentuk lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang mempunyai
karakteristik bentuk yang khas, akibat pengaruh kuat dari proses dan
struktur kulit bumi terhadap material batuan dalam periode waktu tertentu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu: relief (bentuk muka
bumi), proses, struktur kulit bumi, material batuan dan kronologi (periode
waktu pembentukan) tersebut. Karena bentuk lahan merupakan objek
kajian geomorfologi, maka dapat diketahui bahwa lingkup penelitiannya
sangat luas, yang meliputi seluruh permukaan bumi baik daratan maupun
yang di bawah permukaan laut (lantai samudera).

Bentuk lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki


bentuk topograms khas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur
geologis pada material batuan, dalam skala ruang dan waktu kronologis
tertentu. Berdasarkan pengertian ini, faktor-faktor penentu bentuk lahan
(Lf) dapat dirumuskan:

Lf: f (T, P, S, M, K)
Keterangan:
T: topografi M: material batuan
P: proses alam K: ruang dan waktu kronologis
S: strukur geologi

Oleh karena untuk menganalisis bentang lahan lebih sesuai dengan


didasarkan pada bentuk lahan, maka klasifikasi bentang lahan juga akan
lebih sesuai jika didasarkan pada unit-unit bentuk lahan penyusunnya.
Verstappen (1993) telah mengklasifikasikan bentuk lahan berdasarkan
genesisnya menjadi sepuluh macam bentuk lahan asal proses, yaitu:
a. Bentuk lahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar
satuan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api.
Contoh bentuk lahan ini antara lain: kerucut gunung api, medan
lava, kawah, dan kaldera,
b. Bentuk lahan asalproses struktural (S), merupakan kelompok besar
satuan bentuk lahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur
geologis. Pegunungan lipatan, pegunungan patahan, perbukitan,
dan kubah, merupakan contoh-contoh untuk bentuk lahan asal
struktural.
c. Bentuk lahan asal fluvial (F), merupakan kelompok besar satuan
bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran banjir,
rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam merupakan contoh-
contoh satuan bentuk lahan ini.
d. Bentuk lahan asal proses solusional (S), merupakan kelompok
besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada
batuan yang mudah larut. Batu gamping dan dolomite, karst
menara, karst kerucut, doline, uvala, polyve, goa karst, dan logva,
merupakan contoh-contoh bentuk lahan ini.
e. Bentuk lahan asal proses denudasional (D), merupakan kelompok
besar satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses degradasi
seperti longsor dan erosi. Contoh satuan bentuk lahan ini antara
lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan rusak.
f. Bentuk lahan asal proses eolin (E), merupakan kelompok besar
satuan bentuk lahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh
satuan bentuk lahan ini antara lain: gumuk pasir barchan, parallel
perabolik, bintang, lidah dan transversal.
g. Bentuk lahan asal proses marine (M), merupakan kelompok besar
satuan bentuk ahan yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga
gelombang, arus, dan pasang surut. Contoh satuan bentuk lahan ini
adalah: gisik pantai (beach), bura (spit), tombolo, laguna dan
benting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat
dikatakan bermuara ke laut, maka seringkali terjadi bentuk lahan
yang terjadi akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine.
Kombinasi ini disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh satuan
bantuk lahan yang terjadi akibat proses fluvio marine ini antara lain
delta dan estuari.
h. Bentuk lahan asal glasial (G), merupakan kelompok besar satuan
bentuk lahan yang terjadi akibat proses gerakan es (gletser).
Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain lembah menggantung
dan morine.
i. Bentuk lahan asal organik (O), merupakan kelompok besar satuan
yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan
fauna). Contoh satuan bentuk lahan ini adalah mangrove dan
terumbu karang.
j. Bentuk lahan asal antropogenik (A), merupakan kelompok besar
satuan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk,
kota, dan pelabuhan, merupakan contoh-contoh satuan bentuk
lahan hasil proses antropogenik.

2.5 Pengertian Bentuk Lahan Organik

Pada proses bentuk lahan asal organik ini, di proses melalui bentuk
lahan yang dihasilkan oleh aktivitas organisme contohnya adalah terumbu
karang dan pantai bakau. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem
dengan efisiensi yang sangat tinggi. Lokasinya yang dekat pantai
mengakibatkan pertemuan berbagai komponen biotik yang memberikan
banyak masukan dan mengakibatkan pertemuan berbagai komponen biotik
yang memberikan banyak masukan dan menghasilkan energi yang besar.
Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang
masih terkena cahaya matahari kurang lebih 50 meter di bawah permukaan
laut. Beberapa tipe terumbu karang tersebut tidak bersimbiosis dengan
zooxanhellae dan tidak membentuk karang.
Menurut Verstappen (1977), bentuk lahan organik itu bukan hanya
terumbu karang saja, melaikan juga termasuk di dalamnya adalah pesisir
bakau (mangrove coast) serta rancah gambut (peat bog). Terumbu karang
(coral reef) merupakan suatu bentukan yang terjadi di dalam lingkungan
laut oleh aktvitas organisme. Bentukan tersebut terjadi dan endapan batu
gamping-cangkang dengan struktur tegar yang tahan terhadap pengaruh
gelombang laut. Sedangka pantai bakau atau mangrove, menurut Snedaker
(1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompk jenis
tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.
Sedangkan menurut Tomlison (1986), kata mangrove berarti tanaman
tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah
intertidal adalah wilayah di bawah pengaruh pasang surut sepanjang garis
pantai, seperti laguna, estuarin, pantai, dan river banks. Mangrove
merupakan ekosistem yang spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai
pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan terlindungi dari
ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh masukan air
dan lumpur dari daratan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan dan bentuk
terumbu adalah temperatur, salinitas, kedalaman laut, sirkulasi air laut,
persediaan nutrisi, turbulensi, dan turbiditas (Siswandono, 1987). Ditinjau
dari pertumbuhan karangnya maka syarat-syarat yang diperlukan antara
lain: air yang relatif panas (23C-25C), sekurang-krangnya air subtropis,
mempunyai tranmisi matahari yang tinggi, airnya bebas dari pelumpuran
dan turbiditas, serta syarat sekundernya adalah salinitas air laut yang
relatif konstan (Marshall, 1982; di dalam Siswandono, 1987).
Karang dibangun oleh organisme Algae Calcareous dan Koral.
Binatang Koral biasanya hidup di laut yang tidak dalam, kurang dari 50
meter, cahaya matahari masih tembus sampai ke dasar, temperatur tinggi
(sekitar 21C-26C), airnya tenang dan tidak keruh. Karang tersebut
dibangun mulai dari dasar laut mengarah ke atas.
Indonesia yang terletak di daerah iklim tropis mempunyai
kepentingan besar untuk mempelajari hal ihwal tentang terumbu karang.
Sebab, kebanyakan terumbu karang hidup atau terjadi di daerah tropis
yang berekosistem bahari. Hal ini memberikan peluang bagi kita untuk
memmanfaatkan terumbu karang ini sebagai sumberdaya lahan.
Sumberdaya lahan yang terkandung di dalamnya dalah potensi pariwisata,
ekosistem botik, dan yang terpenting bahwa dari berbagai penelitian telah
terbukti bahwa terumbu berperan sebagai buatan resevoir minyak yang
baik.
Terumbu karang terbentuk oleh aktivitas binatang karang dan jasad
renik lainnya. Proses ini terjadi pada areal cukup luas di laut-laut
Indonesia terutama di Laut Flores dan Laut Banda. Menurut Bird dan
Ongkosongo (1980) karang dapat tumbuh dan berkembang biak pada
kondisi:
a. Air jernih
b. Suhu tidak pernah kurang dari 18C
c. Kadar garam antaraa 27-38 bagian perseribu
d. Ada gerakan air (sirkulasi air)
Dengan demikian di sebagian besar laut Indonesia karang dapat
tumbuh baik kecuali di laut dangkal yang berlumpur seperti di dekat
muara sungai (kadar garam rendah dan berlumpur), daerah sebelah barat
dan selatan Kalimantan, dan di sebelah utara Jawa. Walaupun demikian di
beberapa tempat di daerah tersebut misalnya di Teluk Jakarta terdapat pula
secara lokal.
Proses tektonik sering berpengaruh pula terhadap pertumbuhan
terumbu karang. Cincin karang (atol) merupakan basil kombinasi proses
aktivitas binatang karang dengan proses tektonik yang berupa subsidence
(tanah turun).
Terumbu karang yang muncul ke permukaan banyak terdapat di
Indonesia. Pada pulau-pulau karang yang terangkat umumnya terdapat
endapan puing dan pasir koral di lepas pantainya. Ukuran butir puing dan
pasir lebih kasar ke arah datangnya ombak yang lebih besar dan pasir atau
yang lebih halus ke arah membelakangi ombak. Bagian ini kadang-kadang
berselang-seling dengan lagun yang dangkal. Pada lagun ini kadang-
kadang tumbuh bakau.
Pada dasarnya terumbu karang yang terbentuk berasal dari endapan
kalsium karbonat atau kapur yang dihasilkan oleh organisme karang dan
tambahan dari alga berkapur serta organisme lain yang mensekresi
kalsium karbonat lain. Proses pembentukan terumbu karang membutuhkan
waktu jutaan tahun yang lalu sebelum masehi. Terumbu karang terbentuk
secara organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya
campur tangan manusia dalam pertumbuhannya.
Terumbu karang adalah masa endapan kapur (limestone/CaCO3) di
mana endapan kapur ini terbentuk dari hasil sekresi biota laut
pensekresikapur (coralkarang). Koral sendiri adalah koloni dari biota laut
yang dinamakan polyp, hewan ini dicirikan memiliki bentuk tubuh seperti
tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh
tentakel. Polyps hidup optimal di lautan dengan suhu berkisar 20 derajat
Celcius dengan kedalaman lebih dari 150 kaki atau 45 meter.
Sebagian besar polyps nelakukan simbiosis dengan
algazooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis
zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organic melalui
fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang
menghasilkan komponen inorganic berupa nitrat, fosfat dan
karbondioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Kedua organisme
laut ini sama-sama menghasilkan atau mensekresi zat kapur.

2.6 Terumbu Karang di Perairan Indonesia


Terumbu karang di Indonesia mempunyai keragaman yang paling
tinggi di dunia. Stehli dan Wells(1971) menyatakan bahwa kawasan Indo
Pasifik adalah salah satu pusat kenekaragaman karang dunia. Indonesia
berada di wilayah segi tiga terumbu karang (triangle coral reef) yang
mencakup sekitar 52% terumbu karang dunia. Kawasan yang di sebut segi
tiga terumbu arang mencakup kawasan yang luas di perairan tegah dan
timur Indonesia, Timor Leste, Filiphina, Sabah Malaysia, Papua Nugini,
dan Kepulauan Solomon di Samudera Pasifik.

Segitiga terumbu karang ini menjadi episenter kehidupan laut yang


memiliki keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi, yaitu juga di sebut
Amazon of the sea. Di beberapa areal segi tiga terumbu karang, seperti
perairan raja ampat dan Maluku Utara terdapat sekitar 600 spesies koral
atau lebih dari 75% spesies yang dikenal di dunia. Di terumbu karang yang
tersebar perairan di enam negara juga di huni sekitar 3.000 spesies ikan,
serta memiliki hutan mangrove yang paling luas di dunia. Segi tiga
terumbu karang juga menjadi tempat bertelur dan berkembang biaknya
ikan tuna dan jumlah yang terbesar di dunia.

Luas ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan


sekitar 85.707 km2 yang terdiri dari 50.223 km2 terumbu penghalang,
19.540 km2 terumbu cincin (atol), 14.542 km2 terumbu tepi, dan 1.402 km2
oceanic platform reef (Tomascik et al., 1997). Luas terumbu karang
Indonesia mewakili 18% dari total luas terumbu karang yang ada di dunia
(Dahuri, 2003), sedangkan terumbu karang tepi (fringing reef) yang
terdapat di seluruh kawasan Asia Tenggara meliputi 30% dari wilayah
terumbu karang dunia (Romihmotarto dan Juwana, 2001). Dari luas
tersebut, di perkirakan hanya sekira 7% terumbu karang kondisinya masih
sangat baik, sedangkan 33 dalam kondisi baik, 46 rusak, dan 15 lainnya
sudah kritis.

Di Indonesia, spesies karang yang paling banyak atau yang paling


beragam terdapat di kawasan Maluku dan Sulawesi, dan makin ke arah
timur Indonesia atau kearah barat Indonesia keanekaragamannya makin
berkurang. Di kawasan barat Indonesia, terutama di pantai barat Sumatera
dari pulau Simuelue di bagian utara sampai pulau Enggano di bagian
selatan banyak di temukan spesies Porites dan Goniastrea. Di daerah
rataan terumbu karang (reef flat) dengan substrat dasar lunak jenis koral
yang dominan adalah Acropora dan Montipora (Suharsono, 1998). Di
bagian utara pantai timur Sumatera, jenis karang tidak beragam karena
banyaknya sungai-sungai besar dengan beban sedimen yang tinggi
bermuara, kecuali Riau Kepulauan, Pulau Bangka, dan Belitung banyak di
temukan jenis koral bercabang seperti Acroporam Echinopora,dan jenis
karang masif seperti Favitas dan Favia.

Terumbu karang yang paling tinggi keanekaramannya di Indonesia


dan bahkan di dunia ada di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Kawasan timur Indonesia terdiri dari banyak pulau kecil,
perairannya dalam dan bersih karena sungai yang bermuara di laut sedikit.

2.7 Sifat Paleogeologi Terumbu Karang di Kepulauan Maluku

Berdasarkan sifat-sifat paleogeologi Kepulauan Maluku, terumbu


karang di perairan Maluku diklasifikasikan ke dalam empat kelomppok,
yaitu: (1) terumbu karang busur dalam Banda, termasuk kepulauan Banda,
Gunung Api, Serua, Nila, Teun, Damar, Wetar, dan Lucipara; (2) Terumbu
karang busur luar Banda, yang merentang dari Buru, Seram, Kepulauan
Gorong dan Watubela, Kai, Tanibar, Pulau-pulau Babar, Leti, dan Kaisar;
(3) Terumbu karang di Dangkalan Sahul, yang merupakan kelompok
terkecil dan hanya terdiri dari Kepulauan Aru; (4) Terumbu karang Indo-
Pasifik, yang mencakup Obi, Bacan, Halmahera, dan Morotai (Sutarna
Sumadihardja, 1990).

Paling sedikit 85 jenis karang terdapat di Teluk Ambon (Sutarna,


1987), sekitar 92 jenis karang dari 12 suku di Kepulauan Banda.
Penutupan karang berkisar antara 36,28% di Batu Angus hingga 75,4% di
Dwiwarna (Sutarna, 1990). Dua bentuk terumbu karang ditemukan di Kai
Kecil; karang tepi di sebagian besar kepulauan ini, dan karang penghalang
yang terdapat di bagian barat Kepulauan Krus, bagian timur Pulau
Tonguin dan di antara Pulau Uhiwa dan Pulau Ohiteer. Paling sedikit 75
jenis karang dicatat, yang tergolong dalam 14 suku dan 35 marga. Jumlah
ini dikumpulkan dari Sembilan lokasi, Tonguin (timur laut dan utara),
Pulau Nura, Pulau Krus, Pulau Toroa, Pulau Like, Pulau Uhiwa, Pulau
Ohiteer, dan pantai Pasir Panjang. Persentase penutupan karang hidup
berkisar 18% di sebelah timur Pulau Tonguin dan 72,3% di pantai timur
laut Pulau Tonguin (Sutarna dan Sumadihardja, 1990).

Perairan Banda, Maluku oleh ilmuan asing dijuluki untaian


mutiara (string of pearl). Menurut Rokhimin Dahuri, gugusan terumbu
karang di perairan Banda diibaratkan semacam tali pengikat yang
menjulur dari Banda dampai ke perairan Filiphina, Taiwan, Korea,
bahkann hingga mencapai Jepang. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh
dari pertemuan dua arus: Samudera Pasifik dan Samudera Hindia atau
dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through Flow).
Fenomena ini menjadikan perairan Banda memiliki keragaman
(biodiversity) terumbu karang tertinggi dibandingkan di belahan bumi
mana pu (Ekawati et al., 2001).
2.8 Jenis-jenis Bentuk Lahan Organik /Jenis-jenis Terumbu Karang
Jenis bentuk lahan organik diantaranya terumbu karang. Terumbu
karang adalah masa endapan kapur (limestone/CaCO3) di mana endapan
kapur ini terbentuk dari hasil sekresi biota laut pensekresi kapur
(coral/karang). Terumbu karang yaitu sekumpulan hewan karang yang
bersimbiosis dengan sejenis alga yang di sebut Polip. Karang terdiri satu
polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut
yang terletak dibagian atas dan dikelilingi oleh tentakel, namun
kebanyakan spesies satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan
warna yang beraneka ragam serta dapat menghasilkan Kalsium karbonat
(CaCO3). Adapun jenis-jenis terumbu karang diantaranya yaitu:

a. Fringing Reefs (Terumbu Karang Tepi)


Terumbu karang tepi berkembang di pesisir pantai pulau-pulau
besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan
pertumbuhan kea rah luar menuju laut lepas. Dalam proses
perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai
dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang
mengelilingi pulau. tipe ini merupakan yang paling umum, terumbu
karang ini terdapat di pantai suatu pulau atau benua, misalnya di pantai
Pasir Putih, Pantai Bama, Gili Ketapang, dan Bunaken (Sulawesi).
b. Barrier Reefs (Terumbu Karang Penghalang)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relative jauh dari
pulau, sekitar 0,52 km kea rah laut lepas. Terbentuk pada kedalaman
hingga 1.000 kaki atau 300 meter. Terkadang membentuk lagoon
(kolam air) atau celah perairan. Umumnya karang penghalang tumbuh
di sekitar pulau yang sangat besar atau benua dan membentuk gugusan
pulau karang yang terputus-putus. Terumbu karang ini juga memiliki
bentuk yang memanjang melindungi pulau atau benua dari laut atau
samudera dan memliki goba (lagoon) di antara terumbu karang dan
pulau. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau),
Spermonde(Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah),
terumbu penghalangg Palahido di Kepulauan Tukang Besi dan
terumbu penghalang Batu Daka di Kepulauan Togian. Di Indonesia
dilaporkan ada 76 lokasi yang sebagian besar ada di sekitar Pulau
Sulawesi dan Kepulauan Maluku (Tomascik et al, 1997)
c. Atol (Terumbu Karang Cincin)
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi
batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak
terdapat perbatasan dengan daratan. Terumbu karang ini diselingi oleh
saluran yang mengelilingi suatu goba (lagoon). Menurut Darwin,
terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang
penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone
Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT),
Mapia (Papua), Atol Lintea Selatan, Kepulauan Tukang Besi dan Atol
Taka Bone Rate.
d. Patch Reefs
Patch reefs ini termasuk di antaranya adalah terumbu karang
yang selalu tenggelam (shoal, taket) atau hanya muncul ketika surut
terendah (gosong, taket). Contoh: Taket Kayu di Perairan Situbondo.
e. Terumbu Karang Koral
Di dalam terumbu karang, koral adalah kerangka ekosistem.
Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,
koral merupakan komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut.
Baik buruknya kondisi suatu ekosistem terumbu karang dilihat dari
komunitas karangnya. Kehadiran karang di terumbu akan diikuti oleh
kehadiran ratusan biota lainnya (ikan, invertebrata, algae), sebaliknya
hilangnya karang akan diikuti oleh perginya ratusan biota penghuni
terumbu karang.
2.8.1 Klasifikasi Terumbu Karang pada Bentuk Lahan Organik,
Menurut Maxwell 1968
Menurut Maxwell, 1968, terumbu karang diklasifikasikan
menjadi dua golongan utama yaitu terumbu paparan dan terumbu
samudra. Baik terumbu paparan maupun terumbu samudra kedua-
duanya diawali dengan pertumbuhan koloni-koloni embrionik.
Berikut ini menggambarkan klasifikasi terumbu karang yang
didasarkan pada klasifikasi dari Maxwell, 1968 dan Parioridge,
1950.

TERUMBU:
I. Terumbu Paparan
A. Koloni Embrionik
1. Terumbu Pelataran
a. Terumbu Pelataran Guba
b. Terumbu Pelataran Memanjang
c. Terumbu Teresorbsi
2. Terumbu Sumoat
3. Terumbu Dinding
a. Terumbu Taring
- Terumbu Cincin Terbuka
- Terumbu Cincin Tertutup
b. Terumbu Garpu
- Terumbu Jala Terbuka
- Terumbu Jala Terbuka
c. Terumbu Apron Campuran
II. Terumbu Samudra
A. Koloni Embrionik
B. Terumbu Pinggiran
C. Terumbu Penghalang
D. Atol:
1. Atol Samudra
2. Atol Majemuk
3. Atol Paparan
a. Atol Bentuk Ladam
b. Atol Bentuk Kuku Kuda
c. Atol Oval Kecil
d. Semi Atol Besar
e. Atol Lengkap
f. Pelataran Terumbu Besar

2.9 Keterkaitan antara Terumbu Karang sebagai Lahan Organik dengan


Aktivitas Masyarakat di Desa Wosi, Kabupaten Halmahera Selatan,
Provinsi Maluku Utara

2.10 Manfaat Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem perairan laut


yang memiliki produktivitas primer yang sangat tinggi. Karena itu,
terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang menjadi habitat dan
aktivitas berbagai biota laut. Ribuan spesies, baik hewan maupun
tumbuhan, menjadi bagian penting dalam ekosistem terumbu karang. Dan
dari spesies-spesies tersebut sebagian memiliki nilai ekonomi penting,
sebagai bahan pangan, bahan bangunan, hiasan (ornament), dan
sebagainya.

a. Ikan
Banyak spesies ikan di daerah terumbu karang yang meiliki
nilai ekonomi tinggi, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan-ikan
di terumbu karang ditangkap untuk konsumsi lokal maupun untuk
pasar ekspor. Beberapa jenis ikan yang merupakan ikan yang harganya
sangat mahal, seperti kerapu, kakap merah, dan napoleon, bahkan telah
member sumbangan yang sangat besar bagi kerusakan terumbu karang,
karena penangkapan yang destruktif dengan menggunakan bahan
kimia beracun.

b. Moluska
Filum moluska (molluscus = lunak)meliputi keong/siput,
kerang, tiram, cumi-cumi, sotong gurita dan sebagainya. Beberapa
biota tersebut hidup di terumbu karang dan merupakan spesiesbernilai
ekonomi penting, seperti kima, beberapa spesies keong, tiram, kerang,
sotong, cumi-cumi, dan gurita.

c. Ekhinodermata
Kelompok utama ekhinodermata terdiri dari 5 kelas yaitu
binatang laut (Asteroidea), bulu babi (Echinoidea), lili laut
(Crinoidea), teripang (Holothuroidea), dan bintang laut mengular
(Ophiuroidea). Dari kelima kelas tersebut, dua kelas yaitu bulu babi,
dan teripang merupakan biota-biota laut yang penting dan bernilai
ekonomi tinggi yang hidup di terumbu karang.

d. Mamalia
Mamalia di perairan laut Indonesia antara lain paus, lumba-
lumba, dan duyung. Duyung atau dugong (Dugong dugon) merupakan
spesies yang hidupnya erat denga terumbu karang dan padang lamun.
Duyung hidup di perairan dan tergolong herbivore (pemakan
tumbuhan), terutama lamun (sea grass), seperti Zostera, Poisidonia,
dan Halophila.
Di Kepulauan Aru, duyung ditangakap dan dikonsumsi. Pernah
dilaporkan penangkapan duyung di daerah ini mencapai 1.000
ekor/tahun. Dagung duyung lezat dan dipercaya sebagai obat kuat.
Selain itu, gigi duyung menyerupai gading dan sangat tinggi harganya,
terutama jika diukir dan dijadikan pipa rokok, harganya per satuan
berat lebih mahal dari gading gajah. Air mata duyung juga dipercaya
mengandung obat.

e. Reptil
Reptil laut terditi dari tiga kelompok yaitu ular, buaya, dan
penyu. Penyu merupakan biota laut penting, bernilai ekonomis tinggi,
dan dilindungi. Kehidupan penyu terkait dengan terumbu karang,
terutama dalam mencari makandan lokasi termpatnya bertelur. Penyu
atau biasa disebut kura-kura laut telah mendapat perhatian
internasional sejak lama. Walaupun penyu termasuk hewan yang
dilindungi, namun penangkapan penyu terus berlangsung.

f. Krustae
Krustae laut terdiri dari udang, kepiting, rajungan, lobster, atau
udang barong, dan kelomang. Dari kelompok-kelompok tersebut,
lobster atau udang barong merupakan biota terumbu karang dan
bernilai ekonomis tinggi.

g. Alga (Rumput Laut)


Di daerah paparan (reef flat) terumbu karang karang tumbuh
berbagai jenis alga yang popular dengan sebutan rumput laut sebagai
bahan baku utama industri makanan, rumput laut juga mengandung
komposisi zat gizi yang lengkap, seperti protein, lemak, mineral, dan
vitamin yang diperlukan oleh manusia. Jenis-jenis rumput laut menjadi
penting secara ekonomi disebabkan oleh senyawa polisakarida yang di
kandungnya.
Rumput laut merupakan salah satu komoditi ekspor penting
dalam sektor kelautan dan perikanan. Budi daya rumput laut juga telah
berkembang di berbagai daerah seperti, Kepulauan Riau, Lampung,
Kepulauan Seribu, bali, Lombok, Flores, Sumba, Maluku, dan
Sulawesi.
h. Karang
Luas ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia
diperkirakan mencapai 85.707 km2 dn mempunyai spesies karang yang
sangat beragam. Karang sendiri merupakan biota laut yang bernilai
ekonomi tinggi sejak dulu. Karang batu ditambang untuk bahan
bangunan. Penduduk di Pulau Bacan, Maluku Utara, mengambil
karang batu, baik untuk pondasi maupun untuk pembuatan kapur
dengan cara dibakar. Tahun 1970-an sampai awal 1980-an
penambangan karang untuk pembuatan kapur cukup intensif. Namun
sejak akhir tahun 1980-an, penambangan karang untuk pembuatan
kapur mulai berhenti karena penduduk beralih ke semen. Namun
demikian, hingga saat ini pengambilan batu karang untuk pondasi
rumah masih terus berlangsung.

i. Sponge
Sponge, spong, sepon atau spons hidup di ekosistem terumbu
karang. Beberapa spesies sponge laut seperti sponge jari berwarna
orange (Axinella canabina) diperdagangkan untuk menghiasi akuarium
laut seperti di Ekspor ke Singapura dan Amerika Serikat (Suwignyo, et
al., 2002). Beberapa spesies sponge dilaporkan memiliki bioaktif yang
dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi dalam pengobatan penyakit
pada manusia dan hewan.

j. Pariwisata
Ekosistem terumbu karang membentuk suatu pandangan
alamiah yang menakjubkan. Dengan berbagai spesies karang, ikan,
kima, keong, sponge, dan berbagai biota lainnya, kawasan terumbu
karang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar
biasa bagi para penyelam, wisatawan yang melakukan snorkling, atau
melihatnya dari atas kapal yang dasarnya berkaca (glass bottom boat).
Oleh karena itu, ekosistem terumbu karang dapat dijadikan sebagai
salah satu modal penting bagi pengembangan wisata bahari di
Indonesia.

Selain manfaat diatas, terumbu karang mengandung berbagai


manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun
ekonomi. Estimasi jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang
dapat diidentifikasi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak
langsung.

a. Manfaat terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh


manusia adalah sebagai berikut :
1. Sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan manusia dalam
bidang pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor
kuning, batu karang.
2. Pariwisata, wisata bahari melihat keindahan bentuk dan warnanya.
3. Penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung
di dalamnya.
b. Manfaat terumbu karang yang termasuk dalam pemanfaatan tidak
langsung adalah sebagai berikut :
1. Sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan gelombang dan
ombak laut.
2. Sebagai sumber keanekaragaman hayati.

Selain itu, manfaat lain dari terumbu karang adalah :

1. Proses kehidupan yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk


tumbuh dan berkembang biak untuk membentuk sepeerti kondisi
saat ini.
2. Tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis
ikan, hewan dan tumbuhan yang menjadi tumpuan kita.
3. Indonesia memiliki terumbu karang terluas di dunia, dengan luas
sekitar 600.000km persegi.
4. Sumber daya laut yang mempunyai nilai potensi ekonomi yang
sangat tinggi.
5. Sebagai laboratorium alam untuk penunjang pendidikan dan
penelitian.
6. Terumbu karang merupakan habitat bagi sejumlah spesies yang
terancam punah seperti kima raksasa dan penyu laut.
7. Dari segi fisik terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai
dari erosi dan abrasi, struktur karang yang keras dapat menahan
gelombang dan arus sehingga mengurangi abrasi pantai dan
mencegah rusaknya ekosistem pantai lain seperti padang lamun dan
mangrove.
8. Terumbu karang merupakan sumber perikanan yang tinggi. Dari
132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis
diantaranya hidup di terumbu karang, berbagai jenis ikan karang
menjadi komoditi ekspor. Terumbu karang yang sehat
menghasilkan 3-10 ton ikan perkilometer persegi pertahun.
9. Keindahan terumbu karang sangat potensial untuk wisata bahari.
Masyarakat di sekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini
dengan mendirikan pusat pusat penyelaman, restoran, penginapan
sehingga pendapatan bertambah.

2.11 Dampak Aktivitas Manusia Merusak Terumbu Karang dan Pantai


Bakau sebagai Bentuk Lahan Organik

Beberapa aktivitas manusia yang dapat merusak terumbu karang


dan pantai batau atau mangrove yaitu membuang sampah ke laut dan
pantai yang dapat mencemari air laut, membawa pulang ataupun
menyentuh terumbu karang dan mangrove tidak dijaga kelestariannya serta
saat menyelam terumbu karang tidak merusak ekosistemnya, satu sentuhan
saja dapat membunuh terumbu karang. Pemborosan air, semakin banyak
air yang digunakan maka semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan
dan dibuang ke laut penggunaan pupuk dan pestisida buatan.
Seberapapun jauh letak pertanian tersebut dari laut residu kimia
dari pupuk dan pestisida buatan pada akhirnya akan terbuang ke laut juga.
Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak
terumbu karang yang berada di bawahnya. Terdapatnya predator terumbu
karang seperti siput drupella. Penambangan, pembangunan, pemukiman,
reklamsi pantai, polusi, penangkapan ikan dengan cara yang salah, seperti
pemakaian bom ikan.

Anda mungkin juga menyukai