6 - 1992 - 761 Menkes Per IX 1992 - Ot PDF
6 - 1992 - 761 Menkes Per IX 1992 - Ot PDF
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992
TENTANG
PEDOMAN FITOFARMAKA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 4 September 1992
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
Dr. Adhyatma, MPH
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN R.I.
NOMOR : 761/MENKES/SK/IX/1992
TANGGAL : 4 SEPTEMBER 1992
PEDOMAN FITOFARMAKA
I. FITOFARMAKA
DEFINISI
PRIORITAS PEMILIHAN
RAMUAN
BENTUK SEDIAAN
STANDAR FITOFARMAKA
KHASIAT
DEFINISI
DASAR PEMIKIRAN
1. Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal
maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan
kegunaannya masih berdasarkan pengalaman.
2. Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping
sebagian besar belum didasarkan pada landasan ilmiah,
karena penggunan obat tradisional baru didasarkan kepada
kepercayaan terhadap Informasi berdasarkan pengalaman.
3. Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan,
obat tradisional perlu dikembangkan dan secara
berangsur-angsur dimanfaatkan berdasarkan atas landasan
ilmiah, sehingga dapat digunakan dalam upaya pelayanan
kesehatan normal kepada masyarakat.
4. Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut
maka obat tradisional perlu dikelompokkan kedalam 2
golongan yaitu:
a) Obat tradisional jamu.
b) Fitofarmaka.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam
kesehatan, Fitofarmaka perlu mendapat prioritas.
5. Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya
pelayanan kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya
melalui uji klinik fitofarmaka pada manusia.
TUJUAN
TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN
REFERENSI PENIIAIAN
Referensi penilaian:
1. Semua dokumen resmi.
2. Dalam hal belum ada data penilaian dapat
ditetapkan berdasarkan penilaian kelayakan.
b. Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik diprioritaskan pada calon
fitofarmaka yang penggunaannya berulang/ berlanjut
dalam jangka waktu sangat lama (lebih dari 6 bulan).
Uji toksisitas kronik memberikan gambaran tentang
toksisitas atau keamanan calon fitofarmaka pada
penggunaan dosis lazim secara berulang selama hayat
hewan.
- Rancangan uji toksisitas kronik dibuat berdasarkan
hasil uji toksisitas sub akut.
- Jumlah hewan coba yang digunakan harus cukup
banyak, minimal 20 ekor per dosis, agar hasil uji
toksisitas kronik masih dapat ditafsirkan dengan
cermat, walaupun terjadi kematian hewan yang
tidak berkaitan dengan hal-hal teknis percobaan
selama waktu pengujian.
Lama Pemberian Calon Fitofarmaka ada Uji
Toksisitas. Lama pemberian fitofarmaka pada hewan
coba untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan
dengan lamanya pemakaian obat pada manusia.
Tabel berikut memperlihatkan skema lama pemberian
yang diperlukan pada uji toksisitas dihubungkan
dengan pemberian pada manusia. Tabel ini merupakan
modifikasi dari pedoman FDA untuk evaluasi obat
yang akan digunakan pada manusia ( 1975).
c. Toksisitas Spesifik
Uji toksisitas ini misalnya uji teratogenisitas, uji
karsinogenisitas , uji mutegenisitas, uji toksisitas
terhadap janin, uji terhadap fungsi-fungsi reproduksi
dan lain-lain. Perlu tidaknya uji-uji ini dilakukan
tergantung pada kemungkinan terjadinya efek-efek
toksik tersebut, sehubungan dengan pemakaiannya
pada manusia. Misalnya uji teratogenisitas atau uji
toksisitas terhadap janin harus dikerjakan bila
pemakaian klinik fitofarmaka nantinya diberikan pada
masa-masa organogenesis dan kehamilan.
Uji mutagenisitas dan karsinogenisitas harus
dikerjakan bila fitofarmaka dipakai secara kronik,
peraksanaan penguiian, harus memenuhi cara-cara
standar (baku) yang lazim. Untuk sediaan-sediaan
yang digunakan secara topikal dipersyaratkan untuk
dilakukan pengujian toksisitas secara topikal misalnya
iritasi kulit dengan model hewan percobaan yang
sesuai.
A. Umum:
1. Tujuan uji klinik harus jelas.
2. Memenuhi prinsip ilmiah yang telah
diakui.
3. Prinsip etik penelitian pada manusia harus
jelas, Kepentingan pasien harus
diutamakan.
4. Dikerjakan oleh Tim Ahli yang
berpengalaman di kerjakan dengan
prinsip-prinsip, metodologi dan rancangan
yang memadai.
5. Uji Klinik Fitofarmaka dikerjakan oleh
Tim Ahli yang secara ilmiah dan etis
memenuhi syarat dan berada di bawah
pengawasan seorang tenaga medis yang
mempunyai kompetensi klinik.
6. Tanggung jawab atas keselamatan
manusia yang diteliti berada pada tenaga
medis yang mempunyai kompetensi klinik.
7. Pasien dan keluarganya secara singkat
perlu diberitahu prosedur terapik yang
akan dijalani dan memberi persetujuan
tertulis.
8. Calon Fitofarmaka harus memenuhi
persyaratan.
9. Bentuk sediaan fitofarmaka harus sesuai
dengan tujuan pengobatan dan sifat bahan
bakunya.
10. Dari hasil pengujian farmakologik
eksperimental dan toksisitas dengan
spesies dan jumlah hewan coba yang
memadai, dinyatakan memadai untuk
dilanjutkan dengan Uji Klinik
Fitofarmaka.
11. Adanya data yang memadai yang berasal
dari pustaka ilmiah.
12. Rancangan dan Pelaksanaan setiap
prosedur percobaan harus dirumuskan
secara jelas dan rinci dalam suatu protocol
penelitian.
13. Protokol penelitian harus diajukan kepada
panitia independen yang khusus ditunjuk
untuk memberi pertimbangan, ulasan dan
bimbingan.
14. Uji Klinik Fitofarmaka harus:
a. Didahului dengan penilaian yang
cermat mengenai risiko yang dapat
diramalkan
b. Dapat memberi manfaat yang lebih
besar bila disbanding dengan resiko
yang akan dialami subyek.
c. Mengutamakan kepentingan subyek
dari pada kepentingan ilmiah.
15. Uji Klinik Fitofarmaka harus dihentikan
bila ditemukan bahwa bahayanya melebihi
manfaat yang mungkin diperoleh.
16. Uji Klinik Fitofarmaka harus memberi
penjelasan kepada subyek tentang:
a. Tujuan, cara, manfaat yang
diharapkan, bahaya yang mungkin
dihadapi, keadaan kurang
menyenangkan yang mungkin timbul.
b. Kebebasan untuk tidak ikut serta
dalam uji klinik fitofarmaka
c. Kebebasan untuk membatalkan
persetujuannya untuk berpartisipasi.
17. Pada Uji Klinik Fitofarmaka, penguji
harus memperoleh persetujuan subyek
sebaiknya secara tertulis (informed
consent) setelah mendapatkan penjelasan.
Persetujuan tersebut sebaiknya dari
subyek, orang tua subyek atau wali
subyek.
B. Khusus:
1. Pemeriksaan pasien sebelum pengobatan
meliputi pemeriksaan anamnestis, Klinik,
laboratorium dan pemeriksaan khusus lain
yang perlukan
2. Kriteria diagnostik harus dipastikan, juga
stratilikasi derajat penyaklt.
3. Kriteria seleksi terdiri dari :
a. Kriteria penerimaan (inclusion
criteria), kriteria pasien yang
memenuhi syarat untuk penelitian
harus dipastikan
b. Kriteria penolakan (exclusion criteria),
Kondisi pasien yang tidak
memungkinkan untuk ikut dalam
penelitian.
4. Persiapan calon fitofarmaka. Bahan baku
harus diketahui asal-usulnya dan diketahui
mutunya. Bentuk sediaan harus
memperhatikan bentuk sediaan yang
digunakan oleh masyarakat.
5. Perlakuan terapi : Jenis terapi calon
fitofarmaka yang diteliti , cara pemberian
dosis, lama pemberian dll .
6. Kontrol (pembanding): Jenis, cara
pemberian dosis, lama pemberian. Apakah
6erupa plasebo atau terapi obat standar
(baku) yang lain.
7. Randomisasi perlakuan antara terapi calon
fitofarmaka yang diteliti dan pembanding.
8. Penilaian hasil terapi : Kapan dinilai, oleh
siapa, bagaimana cara penilaian dan
kriteria penilaian.
9. Tehnik tersamar( blinding technique)
apakah tersamar tunggal (single blind)
atau tersamar ganda (double blind)
10. Pengelolaan data; pengumpulan,
organisasi, pengolahannya, siapa yang
melakukan, metode analisis statistika dan
penyimpulan harus jelas.
11. Penulisan laporan harus mudah dipahami
Tugas
a) megkoordinasi tugas pelaksana uji fitofarmaka
b) memberikan pengarahan teknis dan pelayanan rujukan
kepada pelaksanan uji fitofarmaka
c) memberikan laporan kepada direktur Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan , mengenai
perencanaan dan hasil uji fitofarmaka