Anda di halaman 1dari 36

EVALUASI PENGGUNAAN SISTEM LUMPUR SYNTHETIC OIL BASE

MUD DAN KCL POLYMER PADA PEMBORAN

SUMUR X LAPANGAN Y

MAKALAH

Oleh

ANGGIE JIASITA (071001300026)

ANNISA ATHADI GAYO (071001300028)

ANNISA DWIYANTI (071001300029)

GHESSANY ALIFA (0710012XXX)

FIRSTA SARASCIA V (0710012xxx)

XXX

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2016
RINGKASAN

Dalam operasi pemboran, lumpur pemboran memainkan peranan yang

sangat penting karena memiliki fungsi-fungsi yang tak tergantikan. Pada

pelaksanaan operasi pemboran sumur X Lapangan Y ini menggunakan lumpur

Synthetic Oil Base Mud dan KCL Polymer selama pemboran berlangsung, sifat

dan rheology lumpur pemboran harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi

serta karakteristik dari formasi yang akan di bor. Adapun penyebab terjadinya

masalah-masalah tersebut adalah disebabkan karena faktor formasi yang

mempunyai permeabilitas yang cukup besar sehingga memungkinkan terjadinya

masalah hilangnya lumpur. Seperti adanya formasi yang mengandung gua-gua

(cavernous formation), formasi yang mengandung rekahan-rekahan secara

vertikal maupun horizontal. Dalam menganalisa hal ini akan mengakibatkan

kerugian baik dari segi waktu, finansial, maupun keselamatan kerja.

Oleh karena itu, sebelum proses pemboran dilaksanakan perlu dibuat

sebuah perencanaan yang matang untuk penentuan program lumpur. Perencanaan

diantaranya berkaitan dengan jenis lumpur, densitas, viskositas, daya agar, derajat

keasaman, laju tapisa, dan lain-lain yang disesuaikan dengan litologi tiap lapisan

formasi yang ditembus. Perencanaan tersebut juga mencakup analisa potensi

permasalahan yang akan dihadapi pada tiap lapisan formasi beserta solusi untuk

mengantisipasinya. Namun demikian, pada saat pelaksanaannya sangat umum

terjadi beberapa permasalahan diluar analisa tersebut. Dari suatu pendesainan

lumpur diharapkan penggunaannya dapat mengoptimalkan kegiatan pemboran

dengan biaya serendah mungkin untuk menekan biaya per barrel nanti.
Formasi-formasi yang menjadi objektif pemboran pada sumur-sumur di

lapangan Y adalah formasi Basement, formasi Ngimbang, formasi Kujung,

formasi Tawun, formasi Tuban, formasi Ngrayong, formasi Wonocolo, formasi

Kawengan dan formasi Lidah.

System lumpur Synthetic Oil Base Mud adalah disperse mud dan biasanya

berbiaya lebih mahal, sedangkan lumpur KCL Polymer adalah lumpur non-

disperse yang biasanya lebih murah. Melihat hambatan-hambatan yang terjadi

pada saat pemboran yang berlangsung yaitu adanya gumbo, shloughing

shale,differential pressure sticking, lost circulation, terjepit pipa, swelling clay,

partial lost, lumpur Synthetic Oil Base Mud dapat mengatasi masalah diatas.

Kejadian hilang lumpur dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, seperti: kondisi

formasinya, dapat menimbulkan kick dan blow out apabila tekanan hidrostatik

kolom lumpur dalam sumur turun dan tidak segera ditanggulangi. Meskipun jika

dilihat dari segi biaya Synthetic Oil Base Mud lebih mahal dari KCL Polymer,

Synthetic Oil Base Mud dapat digunakan kembali atau dilakukan treatment pada

saat digunakan berbeda dengan KCL Polymer dan dapat mengatasi masalah di

atas.

Pada makalah ini akan dievaluasi sejauh mana pemakaian lumpur

Synthetic Oil Base Mud lebih efektif dalam mengalami permasalahan-

permasalahan di formasi shale yang sangat reaktif.


DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................

BAB II TINJAUAN UMUM LAPANGAN ............................................

2.1 Sejarah Singkat JOB Pertamina-Petrochina East Java ........

2.2 Tinjauan Geologi Lapangan ................................................

2.3 Stratigrafi Daerah Tuban .....................................................

2.4 Karakteristik Reservoir ........................................................

BAB III TEORI LUMPUR PEMBORAN ...............................................

3.1 Fungsi Lumpur Pemboran ...................................................

3.2 Sifat-sifat Lumpur Pemboran ..............................................

3.3 Lumpur Oil Base Mud dan KCL Polymer ...........................


DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

3.3.1 Oil Base Mud .............................................................

3.3.2 KCL Polymer .............................................................

3.4 Additif Lumpur Minyak ......................................................

3.4.1 Smooth Fluid 05 .........................................................

3.4.2 Primary Emulsifier .....................................................

3.4.3 Secondary Emulsifier .................................................

3.5 Problema Pemboran yang Berhubungan dengan Lumpur

Bor ....................................................................................

3.5.1 Shloughing Shale ........................................................

3.5.2 Gumbo ........................................................................

3.5.3 Differential Pressure Sticking ....................................

3.5.4 Lost Circulation ..........................................................

3.5.5 Ketidakstabilan Shale .................................................


DAFTAR ISI

(Lanjutan)

Halaman

BAB IV EVALUASI PENGGUNAAN SISTEM LUMPUR SYNTHETIC

OIL BASE MUD DAN KCL POLYMER .................................

4.1 Evaluasi Lumpur pada Sumur X..........................................

4.1.1 Penggunaan Lumpur Oil Base Mud ...........................

4.1.2 Penggunaan Lumpur KCL Polymer ...........................

4.2 Evaluasi Setiap Trayek ........................................................

4.2.1 Pemboran pada Trayek 26 ........................................

4.2.2 Pemboran Pada Trayek 17 1/2 ..................................

4.2.3 Pemboran Pada Trayek 12 1/2 ..................................

4.2.4 Pemboran Pada Trayek 8 1/2"......................................

BAB V PEMBAHASAN ..........................................................................

BAB VI KESIMPULAN ............................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

DAFTAR SIMBOL ....................................................................................


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 L ..............................................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Keuntungan dan Kerugian KCl Polymer ................................................

4.1 Rheology Lumpur Lubang 26 ...............................................................

4.2 Rheology Lumpur Lubang 17 1/2" ..........................................................

4.3 Rheology Lumpur Lubang 12 1/4" ..........................................................

4.4 Rheology Lumpur Lubang 8 1/2" ............................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Dalam dunia perminyakan dikenal dengan suatu pencarian minyak dan gas

dengan melakukan pemboran sumur, baik itu dilakukan di darat maupun dilaut

atau di lepas pantai. Lumpur pemboran mempunyai peranan penting dalam

melakukan pemboran minyak dimana fungsi utama lumpur pemboran adalah

mengangkat cutting atau serbuk bor dari lubang bor sampai ke permukaan.

Suksesnya suatu pekerjaan pemboran sumur yang melalui berbagai macam

lapisan batuan sangat tergantung pada kinerja dari lumpur pemboran yang

digunakan. Sehingga salah satu hal penting dalam pelaksanaan pemboran adalah

mendesain sistem lumpur yang baru, dimana hal ini akan langsung berhubungan

dan mempengaruhi sifat formasi yang akan ditembus.

Sumur dilapangan Y menggunakan 2 jenis lumpur yang berbeda yaitu

sistem lumpur synthetic oil base mud dan lumpur kcl polymer. Dengan pemakaian

kedua lumpur tersebut diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan

pemboraan yang ada diantaranya gumbo, sloughing shale, dan differential

pressure sticking sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pemboran yang

dilaksanakan.
BAB II

TINJAUAN UMUM LAPANGAN

Pada tanggal 29 Februari 1988, Trend International Ltd. menandatangani

kontrak bagi hasil dengan Pertamina, sehingga terbentuk JOB Pertamina-Trend

Tuban. Pada tanggal 31 Agustus 1993, perusahaan ini mengalami peralihan dari

JOB Pertamina-Trend Tuban menjadi JOB Pertamina-Santa Fe Tuban. Pada

tanggal 2 Juli 2001, terjadi perubahan nama dari JOB Pertamina-Santa Fe Tuban

menjadi JOB Pertamina-Devon Tuban, dan mulai tanggal 1 Juli 2002, JOB

Pertamina-Devon Tuban menjadi JOB Pertamina-Petrochina East Java.

2.1 Sejarah Singkat JOB Pertamina-Petrochina East Java

Perusahaan ini mempunyai jenis kontrak yaitu PSC-JOB dengan masa

kontrak selama 30 tahun, dengan wilayah meliputi 6 (enam) kabupaten, yaitu:

Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto, dengan luas

1478 km2. Adapun lapangan-lapangan yang telah di eksplorasi antara lain:

1. Lapangan X yang ditemukan oada bulan April 1994 setelah pemboran

eksplorasi sumur X. Lapangan X JOB PPEJ terletak di Kecamatan Rengel,

Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Jumlah sumur yang terdapat pada

lapangan X yaitu sebanyak 25 sumur, 22 sumur diproduksikan dengan


menggunakan ESP, 2 sumur sebagai sumur disposal dan satu sumur

lainnya merupakan sumur kering (dry hole).

2. Lapangan Z, terletak di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, Kabupaten

Bojonegoro. Lapangan ini berada 135 km disebelah barat Surabaya dan

lapangan Tuban (Tuban Block). Lapangan ini dbuka pada April 2001

dengan dimulainya pemboran eksplorasi sumur Z-1. Hingga tahun 2013,

lapangan ini sudah memiliki 24 sumur.

3. Lapangan V, terletak di Kecamatan Balen. Di lapangan ini terdapat satu

sumur , namun untuk sementara sumur ini ditinggalkan.

4. Lapangan G, terletak di Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan.

Lapangan ini terdiri dari lapangan G-1 dan G-1, namun untuk sementara

sumur ini ditinggalkan.

5. Lapangan R dan L yang terletak di Kecamatan Manyar, Gresik. Masing-

masing terdapat satu sumur yang untuk sementara juga ditinggalkan.

2.2 Tinjauan Geologi Lapangan

Blok Tuban terletak dalam cekungan Jawa Timur yang memiliki struktur

cekungan yang kompleks dimana telah mengalami beberapa periode deformasi.

Deposisi Tersier awal basin itu dikenalkan oleh pengembangan horst extensional

dan sistem struktur graben yang dimulai pad saat pra-Tersier. Kemudian

pembangunan struktural dari Miosen Tengah seterusnya mencerminkan interaksi


yang kompleks dari tiga lempeng besar yaitu Australia, Pasifik, dan lempeng

Sunda-Eurasian.

Formasi Ngimbang menandai terjadinya sedimentasi Tersier di Cekungan

Jawa Timur dengan distribusi sedimen formasi Ngimbang bawah dikendalikan

oleh konfigurasi pra-Tersier yang terdapat di sekitar timur-barat setengah graben

berorientasi. Formasi Ngimbang Bawah terdiri dari laut dangkal untuk sedimen

klastik fluvio-delta dan lacustrial yang diisi oleh lows basement. Formasi ini

berlanjut selama Oligosen awal dengan pengendapan serpih transgresif, batu

lempung, dan karbonat yang ringan.

Selama Oligosen akhir, Formasi Kujung karbonat yang diendapkan diatas

formasi Ngimbang dikembangkan diseluruh wilayah Jawa Timur. Pecahan karang

dikembangkan sepanjang tepi pusat sekungan dengan puncak terumbu terjadi di

daerah yang lebih dalam, dimana sedimentasi didominasi oleh batu lempung, batu

kapur, dan batu gamping, serta batu napal. Pertumbuhan reef atau gundukan

karbonat berhenti mendadak di beberapa daerah pada akhir pengendapan Kujung.

Hal ini mungkin terjadi karena kondisi air yang tidak menguntungkan.

Pembentukan Tuban Miosen Awal menandai perubahan dari sebagian besar

deposisi karbonat dari siklus Kujung untuk silisiklastika berbutir yang sebagian

besar disimpan selama dase regresif utama. Selama Miosen Tengah, formasi

Ngrayong yang terdiri dari serpih shelfal dengan batu pasir ringan dan batu

lempung.
Sedimen klastik berlanjut selama Miosen akhir dengan pengendapan batu

lempung dalam formasi Wonocolo sebelum terjadinya kompresi tektonik yang

menyebabkan serangkaian siklus sedimen regresif dan transgresif seluruh Plio-

Pleistosen sebagian besar dikuasai oleh munculnya busur vulkanik selatan.

2.3 Stratigrafi Daerah Tuban

Berdasarkan data dan literatur yang diperoleh, stratigrafi daerah Tuban

terdiri dari 7 formasi utama yang masuk kedalam lingkup daerah telitian dari

formasi tua ke formasi muda. Ketujuh formasi terbeut antara lain:

1. Formasi Ngimbang

2. Formasi Kujung

3. Formasi Tuban

4. Formasi Ngrayong

5. Formasi Wonocolo

6. Formasi Kawengan

7. Formasi Lidah

2.4 Karakteristik Reservoir

Reservoir pada lapangan ini berada pada formasi tuban yang merupakan

zona produktif yang mengandung minyak. Dari data produksi yang sudah ada

diketahui drive mechanism pada lapangan Y adalah strong water.


BAB III

TEORI LUMPUR PEMBORAN

Operasi pemboran bertujuan untuk mencari hidrokarbon baik berupa gas,

minyak ataupun kondensat. Tujuan utama objek yang paling penting adalah

mencapai kedalaman akhir dengan aman, cepat dan ekonomis disamping menjaga

agar sumur tersebut dapat diproduksikan dengan jumlah tenggang waktu yang

meguntungkan. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa tujuan diatas tidak selalu

dapat dicapai.

Bukanlah hal yang jarang terjadi jika sumur harus ditinggalkan lebih awal

(premature abandonment) dan terjadiny hambatan dalam operasi pemboran

misalnya: rangkaian terjepit, hilang aliran, pembesaran lubang bor, semburan liar,

rusaknya formatif produktif. Semua ini adalah resiko yang mahal yang harus

dihadapi did alam industri minyak. Jika dihubungkan dengan fluida pemboran,

hambatan-hambatan diatas dapat ditimbulkan oleh antara lain:

a. Kegagalan fluida pemboran berfungsi sebagaimana mestinya.

b. Ketidaksesuaian (incompatibility) jenis atau tipe lumpur yang diapaki dengan

sifat-sifat formasi ataupun dengan operasi pemboran.

c. Tidak atau kurang berfungsinya alat-lat permukaan misal alat pemisah dan

pengontrol padatan, pompa lumpur.

d. Pengelolaan lumpur yang keliru dan tidak efektif.

Lumpur bor dapat didefinisikan sebagai semua jenis fluida (cairan, cairan

berbusa, gas bertekanan) yang dipergunakan untuk membantu operasi pemboran


dengan membersihkan dasar lubang dari serpih bor dan mengangkatnya ke

permukaan, dengan demikian pemboran dapat berjalan dengan lancar. Fluida

tersebut dialirkan dari permukaan melalui ruang antara diameter luar rangkaian

pipa bor dengan dinding lubang bor.

3.1 Fungsi Lumpur Pemboran

Penggunaan lumpur pemboran bertujuan agar proses pemboran tidak

memenuhi kesulitan-kesulitan yang dapat memenuhi kelancaran pemboran itu

sendiri. Hal ini dapat dilihat dari fungsi atau kegunaan utama dari lumpur

pemboran, yaitu sebagai berikut:

a. Membersihkan dasar lubang

b. Mengangkat serpih bor

c. Mendinginkan dan melumasi pahat dan rangkaian bor

d. Melindungi dinding lubang

e. Menjaga dan mengimbangi tekanan formasi

f. Menahan serpih bor dan padatan lainnya jika sirkulasi dihentikan

g. Membantu dalam mengevaluasi formasi dan melindungi produktivitas

formasi

h. Menunjang berat dari rangkaian bor

i. Menghantarkan daya hidrolika lumpur ke pahat

j. Mencegah dan menghambat korosi


3.2 Sifat-Sifat Lumpur Pemboran

Faktor yang penting dalam melakukan pemboran sumur adalah mengontrol

komposisi dan kondisi dari lumpur bor. Agar semua fungsi dari lumpur bor dapat

berjalan dengan baik, sifat-sifat lumpur bor harus dijaga dan selalu diamati secara

teliti dan berkesinambungan dalam setiap tahap operasi pemboran. Untuk

mempermudah pengertian, maka terdapat empat fisik lumpur pemboran, yaitu

density (berat jenis), viskositas, gel strength serta laju tapisan. Selain itu terdapat

pula sifat lumpur pemboran yang lain seperti pH lumpur bor, Cl, sand content dan

resistivitas lumpur bor.

a. Berat Jenis

Berat jenis suatu benda adalah berat benda dibagi volumenya pada

temperatur dan tekanan tertentu. Satuan (dimensi) yang dipakai adalah kg/l, gr/cc,

dan lb/gal. Berat jenis lumpur pemboran diukur dengan alat timbangan lumpur

(mud balance).

Berat jenis lumpur harus dikontrol agar dapt memberikan tekanan

hidrostatik yang cukup untuk mencegah masuknya cairan formasi kedalam lubang

bor, tetapi tekanan tersebut jangan terlalu besar sehingga menyebabkan formasi

pecah dan lumpur hilang ke formasi. Oleh karena itu berat jenis lumpur pemboran

perlu direncanakan sebaik-baiknya dan disesuaikan dengan keadaan tekanan

formasi.

Tekanan hidrostatik lumpur didasar lubang adalah fungsi dari berat jenis

lumpur itu sendiri dan dapat dirumuskan sebagai berikut:


0.433
Ph = = 0.052 ............................................................. (3.1)
8.33
Keterangan:

Ph = tekanan hidrostatis lumpur, psia

= densitas lumpur, ppg

D = kedalaman, ft

Tekanan hidrostatik lumpur didasar lubang akan mempengaruhi

kemampuan daripada formasi dibawahnya yang akan dibor. Semakin besar Ph

atau semakin mampat sehingga merupakan hambatan tambahan terhadap

kemampuan pahat untuk mengoreknya, sehingga kemajuan pahat akan semakin

lambat.

b. Viskositas

Viskositas suatu cairan adalah ukuran tahanan dalamnya terhadap aliran

suatu gerakan. Viskositas dapat pula didefinisikan sebagai perbandingan antara

shear stress (tekanan penggeser) dna shear rate (laju penggeseran). Untuk cairan

yang termasuk Newtonian seperti air, perbandingan shear rate dengan shear

stress ini sebanding dan konstan, sedangkan lumpur pemboran adalah termasuk

cairan Non-Newtonian dimana perbandingan shear tress dengan shear rate tidak

konstan, disebut viskositas semu (apparent viscosity) serta memberikan hubungan

variasi yang luas.

Fluida Non-Newtonian terdiri dari tiga model, yaitu bingham plastic, power

law dan modified power law. Umumnya fluida pemboran dapat dianggap bingham

plastic, dalam hal ini sebelum ada aliran harus ada minimum shear stress yang

disebut yield point (y), setelah yield point terlampaui maka setiap penambahan

shear rate sebanding dengan plastic viscosity (p).


Plastic viscosity adalah suatu tahanan terhadap aliran yang disebabkan oleh

adanya gesekan-gesekan antara padatan aliran yang disebabkan oleh adanya

gesekan-gesekan antara padatan didalam lumpur, padatan cairan dan gesekan

antara lapisan cairan, dimana plastic viscosity merupakan hasil torsi dari

pembacaan pada alat Viscometer. Sifat ini berhubungan dengan presentasi

padatan di dalam lumpur.

Yield point merupakan angka yang menunjukkan shearing stress yang

diperlukan untuk mensirkulasikan lumpur kembali. Dengan kata lain lumpur tidak

akan dapat bersikulasi sebelum diberikan shearing stress sebesar yield point. Yield

point sangat penting diketahui untuk perhitungan hidrolika lumpur, dimana yield

point mempengaruhi tekanan di waktu lumpur bersirkulasi. Untuk dapat

menentukan yield point lumpur bor dapat digunakan Stromer Viscosimeter

ataupun Fann VG Meter.

Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan penetration rate turun,

pressure loss tinggi terlalu banyak gesekan, pressure surges yang berhubungan

dengan lost circulation dan swabbing yang berhubungan dengan blow out, serta

sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur dipermukaan. Sedangkan viskositas

yang terlalu rendah dapat menyebabkan pengangkatan cutting yang tidak baik dan

material-material pemberat lumpur terendapkan.Peralatan yang digunakan untuk

mengukur viskositas adalah sebagai berikut: Marsh Funnel, Fann VG Meter, dan

Stormer Viscosimeter.
c. Gel Strength

Di waktu lumpur bersirkulasi yang berperan adalah viskositas. Sedangkan di

waktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength. Lumpur

akan menjadi agar atau menjadi gek apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini

disebabkan oleh gaya tarik-menarik antara partikel-partikel padatan lumpur. Gaya

menjadi agar inilah yang disebut gel strength.

Di waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur harus mempunyai

gel strength yang dapat menahan cutting dan material pemberat lumpur agar

jangan turun. Akan tetapi kalau gel strength terlalu tinggi akan menyebabkan

terlalu berat kerja pompa lumpur pemboran untuk memulai sirkulasi kembali.

Walaupun pompa mempunyai daya yang kuat, pompa tidak boleh

memompakan lumpur dengan daya yang besar karena formasi bisa pecah.

Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian bit. Agar formasi tidak pecah

didasar lubang bor, maka sirkulasi dilakukan dengan secara bertahap, dan sebelum

melakukan sirkulasi, rotary table diputar terlebih dahulu untuk memecah gel.

Gel strength yang terlampau kecil akan menyebabkan terendapnya cutting

atau pasir pada saat sirkulasi lumpur berhenti, sedangkan gel strength yang

terlampau tinggi mempersulit usaha pompa untuk memulai sirkulasi lagi.

Viskositas yang tinggi berhubungan dengan gel strength yang tinggi pula

(pada umumnya), hal ini dikarenakan baik sifat viskositas maupun gel strength

dengan sifat tarik menarik plate-plate pada clay.


d. Filtration Loss

Lumpur pemboran itu terdiri dari komponen padat dan komponen cair.

Karena pada umumnya dinding lubang sumur mempunyai pori-pori, komponen

cair dari lumpur akan masuk ke dalam dinding lubang bor. Zat cair yang masuk

ini disebut filtrat. Padatan dari lumpur yang menempel ini sudah cukup menutupi

pori-pori dinding lubang, maka cairan yang masuk ke dalam formasi juga

berhenti.

Cairan yang masuk ke formasi pada dinding lubang bor akan meyebabkan

akibat negatif, antara lain: dinding lubang akan lepas atau runtuh, menyalahi

interpretasi dari logging, water blocking, differential sticking, dan channeling

pada semen. Alat untuk mengukur filtration loss dan mud cake yang umum adalah

standard filtration press.

Filtrat loss yang besar mempunyai efek buruk terhadap formasi maupun

lumpurnya, karena dapat menyebabkan terjadinya formation damage

(pengurangan permeabilitas efektif minyal atau gas) dan lumpur akan kehilangan

banyak cairan. Filtrat loss yang besar dalam lumpur dapat dicegah dengan

penambahan koloid ( bentonite ), starch (CMC-DRICOSE), minyak (buruk

terhadap dynamic loss), Q-Broxin ( baik untuk dinamik maupun statistik loss).

e. Derajat Keasaman

Ph lumpur pemboran dipakai untuk menentukan tingkat kebebasan dan

keasaman dari lumpur bor. Ph dari lumpur yang dipakai berkisar antara 8.5

sampai 12, jadi lumpur pemboran yang digunakan adalah dalam suasana basa.

Jika lumpur bor dalam suasana asam maka cutting yang keluar dari lubang bor
akan halus atau hancur sehingga tidak dapat ditentukan litologi batuannya. Selain

itu jika lumpur terlalu asam maka peralatan akan mudah berkarat. Sedangkan jika

lumpur bor terlalu basa maka akan menaikkan viskositas dan gel strength dari

lumpur.

f. Fasa Padatan Cairan (Solid Content)

Solid content merupakan kandungan padatan di dalam lumpur pemboran.

Kandungan padatan yang baik di dalam lumpur adalah sekitar 8%-12% dari

volume lumpur. Kandungan padatan di dalam lumpur dapat ditentukan dengan

menggunakan mud retort.

g. Cation Exchange Capacity

CEC digunakan untuk mengukur padatan yang aktif di dalam sistem lumpur

bor, penting digunakan dalam mengontrol sifat padatan dan perawatan lumpur.

Semua padatan ini harus diukur dengan kontinyu dan akurat. Cec juga dapat

digunakan untuk mengetahui tingkat kereaktifan dari clay dengan pengukuran

Methylen Blue Test. Besarnya penyerapan clay terhadap larutan Methylen Blue

dinyatakan dengan satuan meq/100 gram clay.

h. Cl Content

Kandungan Cl ditentukan untuk mengetahui kadar garam dari lumpur yang

akan mempengaruhi interpretasi logging. Kadar garam yang besar akan

menyebabkan daya hantarnya besar pula. Naiknya kadar garam dari lumpur

disebabkan cutting garam yang masuk ke dalam lumpur disaat menembus formasi

yang mengandung garam.


i. Sand Content

Merupakan besarnya kadar pasir di dalam lumpur bor. Kadar pasir harus

seminimal mungkin untuk mengurangi sifat abrasive. Maksimal kadarv pasir

didalam lumpur bor yang diperbolehkan kurang lebih adalah 2% volume.

j. Resistivity Lumpur

Resistivity lumpur akan mempengaruhi penafsiran logging. Alat yang

digunakan untuk mengukur resistivity adalah resistivity meter.

3.3 Lumpur Oil Base Mud dan KCL Polymer

Lumpur terdiri dari dua jenis yaitu oil base mud dan water base mud.

3.3.1 Lumpur Oil Base Mud

Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyunya. Komposisinya

diatur agar kadar airnya rendah (3-5% volume). Manfaat oil base mud didasarkan

pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan

menyebabkan terjadinya swelling clay yang sensitive baik terhadap formasi biasa

maupun formasi produktif. Kegunaannya antara lain pada completion dan work

over sumur, melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan

casing dan liner.


3.3.2 Lumpur KCL Polymer

Sistem lumpur ini adalah sistem yang paling umum digunakan dalam

pemboran, dasar dari sistem ini adalah anionic encap-sulating polymer fluid, yaitu

polymer yang membungkus cutting pada saat pembersihan lubang.

Adanya polymer dalam menstabilkan shale dikarenakan kemudahannya

untuk larut dalam lumpur yang mengandung elektrolit dan adanya muatan negatif

pada bagian yang terhidrolisa sehingga akana meningkatkan daya rekat dan

adsorbsi polymer terhadap partikel-partikel clay. Adsorbsi polymer oleh partikel

clay akan meningkat dengan kehadiran KCL diatas 3%, dan mengurangi swelling

dengan cara menyelubungi plate-plate shale. Seberapa besar pengurangan

swelling clay yang terjadi tergantung pada konsentrasi KCL dan Polymer dalam

fase cair lumpur.

Pada lumpur KCl Polymer, PHPA (Partially Hydrolize Polyacrilamide)

adalah polimer yang terbaik untuk digunakan karena kemampuannya untuk

membungkus, tetapi polimer ini harus dilindungi agar tidak rusak. Kesadahannya

harus dikontrol dibawah 200 ppm atau tergantung pH (pH maksimal 10).

Keuntungan dan kerugian dari penggunaan lumpur KCl Polymer dapat

dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 3.1

Keuntungan dan Kerugian Penggunaan KCl Polymer

Keuntungan Kerugian

1. Laju penembusan yang baik 1. Tidak mentoleransi LGS yang

2. Tidak mendispersi cutting tinggi


3. Memberikan stabilitas lubang 2. Densitas tidak bisa dinaikkan

yang baik melebihi 12,5 ppg tanpa

4. Memberikan pembersihan lubang masalah rheology dan harus

yang baik didispersi

3. Filtration control tergantung pada

polimer yang digunakan

4. Korosif

5. Mahal

3.4 Additif Lumpur Minyak

Didalam lumpur minyak selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka

terdapat material tambahan yang berfungsi untuk mengontrol sifat-sifat lumpur

minyak seperti viskositas, yield point dan gel strength serta laju tapisan agar tetap

pada kondisi yang diharapkan. Bahan-bahan kimia yang digunakan bermacam-

macam terutama untuk mengontrol viskositas, laju tapisan, pH dan water loss

serta mencegah floculation.

3.4.1. Smooth Fluid 05

Merupakan bahan dasar yang berasal dari fraksi hidrokarbon synthetic oil

yang digunakan sebagai komponen utama lumpur berbasis minyak, memiliki

karakteristik dan kinerja yang baik juga ramah lingkungan. SF-05. Merupakan

produk best oil dengan spesifikasi dan kenugaan khusus sebagai penunjang
kegiatan drilling sumur minyak. Sf-05 memiliki komposisi sulfur yang rendah

sehingga dapat mengurangi potensi korosifitas peralatan dan memiliki sifat

pelumasan yang baik. Sf-05 merupakan produksi dari pertamina yang mempunyai

kualitas padatan yang tinggi, kekentalan yang tinggi dan titik didih yang tinggi.

3.4.2 Primary Emulsifier

Merupakan senyawa sabun kalsium yang terbentuk dari reaksi line dengan

asam lemak berantai karbon panjang, merupakan emulsifier yang sangat kuat

tetapi membutuhkan waktu reaksi agak lama sebelum benar-benar terjadi emulsi.

3.4.3 Secondary Emulsifier

Merupakan oil wetting agent yang kuat dan tidak membuat emulsi seperti

primary emulsifier, tetapi membuat solid menjadi basa oleh minyak sebelum

emulsi terbentuk.

3.5 Problema Pemboran yang Berhubungan Dengan Lumpur Bor

Proses pemboran tidak selalu berjalan dengan lancar, sering kali terjadi

hambatan yang terjadi dalam lubang bor yang dapat mengakibatkan kerugian yang

cukup besar.

3.5.1 Sloughing Shale

Shloughing shale merupakan peristiwa kerusakan shale akibat hidrasi.

Akibatnya, shale menjadi rontok/gugur yang berakibat mengganggu proses


pengeboran. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya shloughing shale dapat

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Faktor mekanis, diakibatkan oleh erosi aliran lumpur pemboran di annulus

dan pecah atau rusaknya serpih yang diakibatkan oleh gerakan rangkaian

pemboran.

b. Faktor Hidrasi,

c. Faktor-faktor selain mekanis dan hidrasi.

3.5.2 Gumbo

Gumbo merupakan cutting yang menggumpal dan lengket yang merupakan

bentuk proses swelling clay dan sering kali menyumbat di over flow.

3.5.3 Differential Pressure Sticking

Merupakan jepitan yang terjadi jika karena perbedan selisih antara tekanan

hidrostatik lumpur pemboran dan tekanan formasi menjadi sangat besar pada saat

melewati formasi yang porous dan permeable seperti batu gamping dan batu pasir.

Selain itu, tebalnya mud cake dan pipa bor yang tidak digerakkan untuk beberapa

saaat didalam open hole dapat menyebabkan terjadinya differential pressure

sticking. Terjadinya pipa terjepit jenis ini ditandai dengan rangkaian pipa bor

tidak dapat digerakkan baik ke atas maupun ke bawah sementara sirkulasi masih

dapat dilakukan.
3.5.4 Lost Circulation

Merupakan hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasi dan

masuk ke dalam formasi. Lost circulation terbagi menjadi dua yaitu:

a. Partial Lost, merupakan lumpur yang hilang hanya sebagian saja dan masih

ada lumpur yang mengalir ke permukaan.

b. Total Lost, merupakan hilangnya seluruh lumpur yang masuk ke dalam

formasi.

Adanya lost circulation dapat diketahui dari flow sensor dan berkurangnya

jumlah lumpur dalam mud pit. Beberapa metode yang digunakan untuk

menanggulangi lost circulation antara lain: mengurangi tekanan pompa,

mengurangi berat lumpur, menaikkan viskositas dan gel strength, mengurangi

tekanan surge lubang bor, sealing agent, dan cement plug.

3.5.5 Ketidakstabilan Shale

Shale atau serpih merupakan batuan sedimen yang terbentuk olwh deposisi

dan kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang lama. Komposisi utama dari

shale adalah lempung (clay), lanau (silt), air, sejumlah kecil quartz dan feldspar.

Berdasarkan kandungan airnya, serpih dapat berupa batuan yang kompak yang

disebut dengan clay atau serpih lumpur. Serpih ini dapat berbentuk metamorphic

seperti slate, phylite, dan mica schist.

Ketidakstabilan shale menyebabkan kesulitan pemboran yang paling

merepotkan dan paling sukar diatasi. Ketidakstabilan shale dapat terjadi karena

problem mekanik dan kimia. Problem mekanik seperti sifat plastik dari shale yang
sangat lunak, dan runtuhnya shale diakibatkan karena tekanan berlebih dan

tegangan tektonik yang tidak berimbang.

Shale tidak stabil disebabkan oleh dua hal yaitu dilihat dari segi formasi dan

pengaruh operasi pemboran. Dilihat dari segi formasi penyebab ketidakstabilan

shale antara lain: tekanan overburden yang besar, tekanan formasi besar, gerakan

tektonik, dan pengaruh penyerapan air. Sedangkan dari pengaruh operasi

pemboran antara lain: erosi (kecepatan lumpur di annulus terlalu besar), pengaruh

penekan dan penyedotan (pressure surge dan swabbing pada operasi cabut dan

masuk pahat), dan garam yang larut ke dalam lumpur.


BAB IV

EVALUASI PENGGUNAAN SISTEM LUMPUR SYNTHETIC OIL BASE

MUD DAN KCL POLYMER

Pengembangan lapangan Y dilaksanakan dengan pemboran berarah.

Pemboran berarah merupakan suatau metode mengarahkan lubang sumur menurut

suatu lintasan tertentu ke sebuah target yang terletak directional dibawah

permukaan bumi. Pada umumnya setiap pemboran menginginkan lintasan yang

lurus. Namun ada beberapa faktor yang tidak mungkin dilakukan dengan

pemboran vertikal. Pemboran berarah memiliki resiko yang tinggi dibandingkan

dengan operasi pemboran vertikal. Oleh karena itu diperlukan perencanaan

program yang baik, efisien dan efektif. Permasalahan yang terjadi pada pemboran

berarah disebabkan oleh faktor formasi dan faktor mekanis.

Pada sumur X direncanakan melakukan pemboran berarah dengan

menggunakan sistem cluster karena cadangan minyak dan gas dinilai ekonomis

untuk di kembangkan. Pemborang menggunakan sistem cluster yaitu metode

pengembangan lapangan dimana reservoirnya sama, dikembangkan dengan

beberapa sumur pengeboran yang lokasinya saling berdekatan. Sistem cluster ini

bertujuan untuk menembustarget obyektif yaitu lapisan aluvial. Dalam

merencanakan sumur berarah diperlukan program lintasan untuk menentukan tipe

lintasan yang dibuat, menganalisa kondisi struktur lapisan dan mendesain

rangkaian bottom hole assembly (BHA).


Sebelum proses pemboran berlangsung telah terlebih dahulu dibuat program

lumpur untuk setiap interval agar proses dapat berlangsung lancar. Program ini

berupa perencanaan sifat-sifat fluida pemboran beserta rheologinya yang

disesuaikan dengan kondisi formasi berdasarkan data mudlog dan off set wel.

Perencanaan yang matang dan teliti akan mengurangi permasalahan yang akan

timbul dalam proses pemboran.

Pada tahap awal pengembangan lapangan Sukowati, pemboran dilaksanakan

menggunakan lumpur SOBM pada section 20, 13 3/8, dan section 9 5/8, dan

KCL polimer pada section 7.

Desain interval pemboran sumur X lapangan Y secara garis besar dibedakan

beberapa bagian untuk memisahkan antar lapisan yang mempunyai perbedaan

tekanan formasi yang sangat signifikan. Trajectory sumur X terbagi menjadi 2

bagian utama yaitu vertikal dan horizontal. Rencana kick off point adalah pada

kedalaman 1054 ft MD dan landing point pada kedalaman 9950 ft MD. Berikut ini

adalah gambaran wellbore diagram yang terdapat pada sumur X lapangan Y :

Pada lapangan ini mempunyai lapisdan shale yang cukup reaktif, oleh

karenanya sebelum dilakukan pemboran perlu dianalisa penggunaan lumpur

pemboran pada lapangan-lapangan terdekat. Lapangan Y mempunyai

permasalahan diantaranya gumbo, formasi gugur, rangkaian duduk, bit balling,

sloughing shale, rangkaian pipa terjepit, dan juga masalah lainnya seperti

kandungan gas CO2 dan H2S.


Hal yang sangat berpengaruh di dalam perencanaan sistem lumpur adalah

mengetahui tekanan formasi dan tekanan rekah batuan, sehingga didapatkan

tekanan hidrostatik yang sesuai.

4.1 Evaluasi Lumpur pada Sumur X

Dalam melakukan pemboran sumur X digunakan dua jenis lumpur yang

berbeda bahan dasar pembuatannya, yaitu Oil Base Mud dan KCL. Untuk lumpur

bahan dasar minyak, proses pembuatannya dilakukan di LMP (Liquid Mud Plant)

dari perusahaan lumpur.

4.1.1 Penggunaan Lumpur Oil Base Mud

Pelaksanaan bor pengembangan sumur X menggunakan lumpur oil base

mud untuk pemboran trayek 20 sampai 9 5


/8, sedangkan untuk interval

permukaan digunakan spud mud. Lumpur bahan dasar minyak atau oil base mud

digunakan dengan alasan-alasan tertentu dimana lumpur bahan dasar air tidak

mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi selama pemboran berlangsung.

Lumpur bahan dasar minyak tidak seluruhnya menggunakan minyak, hal ini

disebabkan adanya chemical-chemical yang larut dengan menggunakan air, antara

lain lime dan CaCl2 . Oleh karena itu konsentrasi air yang digunakan lebih kecil

dibandingkan dengan konsentrasi minyak, dengan Oil Water Ratio berkisar antara

11:66 sampai dengan 19:72.

Sebelum membor formasi baru, sodium bikarbonat tidak perlu ditambahkan

karena didalam lumpur oil base mud ion Ca2+ dari semen diperlukan untuk ion
exchange pada formasi shale, tidak seperti pada water base mud dimana ion Ca2+

merupakan kontaminasi.

4.1.2 Penggunaan Lumpur KCL Polymer

Pada pelaksanaan bor pengembangan sumur X yang pada trayek

sebelumnya menggunakan lumpur oil base mud namun pada trayek ini (7)

menggunakan lumpur KCl Polymer. Operasi pemboran pada section lubang 8 1/2

ini dimulai membor semen dengan menggunakan 8 1/2 PDC Bit dari 9370 ft MD

(top of cement) ke 9580 ft MD. SOBM diganti dengan WBM dengan besar Mud

Weight adalah 8.7 ppg. Kontrol YP sampai 17.0 lbs/100 ft2 dengan bentonite dan

XCD Polymer. API filtrate dijaga pada kurang lebih 9.0 cc/30 menituntuk

menjaga gumbor dan UNI detergent tercampur dengan lumpur untuk mengurangi

kerusakan pada bagian sistem kandungan lumpur.

4.2 Evaluasi setiap Trayek

Pada pemboran lumpur oil base mud dan KCl Polymer terjadi beberapa

permasalahan yang timbul pada tiap-tiap trayek.

4.2.1 Pemboran pada Trayek 26

Pada lubang sumur 26 menggunakan TCB dan BHA berukuran lubang 26.

Pemboran sumur 26 menggunakan trayek casing 20 ini memiliki kedalaman 80

ft sampai dengan 900 ft dengan berat jenis lumpur berkisar antara 9.5-11.8 ppg

dengan sistem lumpurnya adalah SOBM. Litologi formasi pada trayek ini ialah
claystone dan sandstone yang terdapat pada formasi Lidah. Pada trayek ini

mengandung sedikit gas, maka dari itu dibutuhkan data yang lengkap dari mud

log dan dipertimbangkan saat penyemenan casing 20 karena lapisan ini

mengandung serpihan pasir. Dapat pula terjadi overshaker yang disebabkan oleh

OBM yang mempunyai temperatur rendah yang dapat meangakibat surface loss.

Solusi yang dapat dilakukan jika terjadi overshaker yang diakibatkan serpihan

pasir ialah menggunakan shale shaker yang mempunyai ukuran 40-60 mesh dan

ini juga digunakan pada lubang 171/2. Pada pemboran ini selalu ada cutting dryer

down yang merupakan salah satu solid control yang sudah tidak digunakan pada

saat pemboran berlangsung dan pergantiannya dilakukan setiap hari pada section.

Nilai equivalent circulating density didapatkan dari perhitungan Bingham model

yaitu 9,6 -10,1 ppg. Berikut ini parameter dan rheologi pada trayek lubang 26:

Tabel 4.1

4.2.2 Pemboran pada Trayek 171/2

Pada interval trayek (dengan kedalaman 900 ft 4680 ft) ini, litologi yang

ditembus adalah dominan batu lempung. Permasalahan utama yang dijumpai

(terjadi hampir disebagian besar sumur X) saat menggunakan lumpur oil base

mud adalah gumbo. Gumbo disini dapat diatasi dengan menggunakan lumpur

Synthetic Oil Base Mud yang terbukti dapat mengurangi kereaktifan clay dan

menyelubungi cutting bor yang terdistribusi annulus sehingga cutting tidak

lengket serta tidak menggumpal.

Berikut ini adalah parameter dan reologi pada trayek lubang 171/2:
Tabel 4.2

4.2.3 Pemboran pada Trayek 121/4

Lubang sumur menggunakan casing 95/8 memiliki kedalaman 4860 ft

9630 ft pada lubang sumur ini sudah memasuki pemboran berarah dengan

menggunakan bit PDC. Setiap lubang mengandung H2S dan CO2 sangat serius,

excess lime dapat berkurang 12,0 ppb untuk menyeimbangkan gas.

Lime berfungsi sebagai aktivator dan emulsifier. Lime di dalam oil base

mud sangat penting untuk mengatasi formasi yang mengandung gas influx berupa

gas CO2 dan H2S agar tidak merusak sistem lumpur. Yield point terjadi pada 24.0

lbs/100 ft2.

Berikut ini adalah parameter dan rheologi pada trayek lubang 121/4:

Tabel 4.3

4.2.4 Pemboran padaTrayek 81/2

Pada lubang sumur 81/2 menggunakan liner 7 yang memiliki kedalaman

9603 ft 9950 ft. Lumpur yang digunakan pada trayek ini menggunakan KCL

polimer. Litologi formasi ini terdapat pada formasi Tuban yang mengandung

karbonat. Pada formasi ini terdapat masalah yaitu berupa partial loss karena

terdapat karbonat didalam. Partial loss terjadi pada kedalaman 9785 ft MD.

Namun dapat diantisipasi dengan memompakan LCM sebesar 40 bbl ke dalam

lubang dan juga mengecilkan mud weight dengan kisaran 8,7 8,9 ppg.

Berikut ini adalah parameter dan rheologi pada trayek 81/2:

Tabel 4.4

Anda mungkin juga menyukai