Anda di halaman 1dari 18

Pandangan Agama Buddha Terhadap Bunuh Diri

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP BUNUH


DIRI
Disusun oleh : Tanhadi

Bagaimana pandangan Agama Buddha atas upaya bunuh diri?

Ada beberapa kejadian yang tercantum dalam Sutta-Pitaka tentang para Ariya
(orang yang mencapai salah satu dari keempat tingkat kesucian /pembebasan) yang
bunuh diri karena berbagai sebab dan mereka melakukannya karena menderita sakit
yang berkepanjangan dan tidak mau menyusahkan orang lain yang merawat
mereka.

Terdapat tiga sutta di mana penggunaan pisau (sattha maharesi) sebagai alat bunuh
diri secara eksplisit tercantum, yakni yang dilakukan oleh:

Godhika Thera (Godhika Sutta dalam Samyutta Nikya dan Ulasan Dhammapada
) ,
Vakkhali Thera ( Kisah Bhikkhu Vakkhali dalam Samyutta Nikaya ) dan
Channa Thera (mantan kusir Pangeran Siddhattha Gotama).

Di antara Ariya-Ariya yang bunuh diri itu ada yang telah mencapai Pembebasan
Sempurna [Arahat], dan yang lainnya telah mencapai salah satu dari ketiga tingkat
pembebasan di bawah Arahat, dan mencapai Pembebasan Sempurna tepat ketika
pisau menggorok leher mereka.
Tidak sekalipun Sang Buddha mencela perbuatan ketiga Ariya yang bunuh diri itu.
Pada kasus Godhika Thera, Sang Buddha tidak mengucapkan suatu penilaian pun.
Pada kasus Vakkali Thera, Sang Buddha malah mengucapkan sesuatu yang positif
berkaitan dengan akibat perbuatan bunuh diri itu, sekalipun secara moralistik tidak
membenarkan atau pun menyalahkan tindakan itu sendiri. Sang Buddha berkata
bahwa kematian Vakkali bukanlah sesuatu yang 'buruk' (apapika). Pada kasus
Channa Thera, Sang Buddha malah menyatakan bahwa tindakan Channa Thera
"tidak tercela" (anupavajja).

Hal ini dinyatakan Sang Buddha sebagai tidak tercela apabila atas dasar :- Bahwa
Bhikkhu itu telah menjadi Arahat, yang telah bebas dari Lobha, Dosa dan
Moha., atau Secara pasti akan menjadi Arahat sebelum kematiannya, dan
bunuh diri dengan dasar-dasar tersebut hanyalah untuk mengakhiri penyakit
yang tak tersembuhkan.!

Bila tidak berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengambilan nyawa manusia atau
anjuran untuk mati, merupakan salah satu dari empat kekalahan atau pelanggaran
besar, yang mengakibatkan pengeluaran dari Sangha untuk selamanya ( tiga yang
lainnya adalah; Pencurian, Sanggama dan sengaja mengeluarkan pernyataan palsu
tentang pencapaian batiniah ).

Kisah Godhika Thera

Ia adalah putra pemuka Malla di Pv. Ketika pergi ke Kapilavatthu bersama


kerabatnya, ia melihat Mukjizat Ganda yang diperlihatkan oleh Sang Buddha.
Selanjutnya ia tertarik untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ia telah menimbun
kebajikan bersama kerabatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau, khususnya
pada zaman Buddha Siddhattha dan Kassapa. Delapan puluh tujuh kappa yang
lampau, ia pernah menjadi raja sebanyak tujuh kali, dengan nama Mahsena. Dalam
kehidupan sekarang, setelah menjadi bhikkhu, ia bertinggal di Klasil di
Isigilipassa. Di sana ia berusaha keras untuk meraih kesucian tertinggi (Arahat),
tetapi hanya berhasil meraih pembebasan pikiran yang bersifat duniawi
(smyika cetovimutti). Pencapaian itu pun kemudian memudar, lenyap kembali
karena ia sedang menderita suatu penyakit yang sangat akut (berhubungan dengan
empedu, dan mengeluarkan dahak secara berlebihan), Itu terjadi berulang-ulang
hingga enam kali. Pada pencapaian ketujuh, ia sempat berpikir bahwa suatu
makhluk yang pudar dari Pencerapan (Jhna), kehidupan mendatangnya tidaklah
menentu (mungkin terlahirkan di alam rendah karena akibat perbuatan /kamma
buruknya). Sementara itu, mereka yang berada dalam Jhna niscaya akan lahir
kembali di Alam Brahma yang luhur.

Dengan berpikir demikian, ia kemudian mengambil pisau cukur, dan dengan


membaringkan tubuhnya, ia menggorok lehernya sendiri.

Mra si Jahat yang melihat kejadian itu segera melaporkan kepada Sang Buddha.
Beliau datang terlambat, Godhika Thera dijumpai dalam keadaan mati terkapar
dengan leher terputus. Kendati demikian, Beliau menyatakan bahwa ia telah berhasil
meraih Pembebasan Sejati ( Nibbna). "Orang bijaksana tidak mempunyai
kemelekatan terhadap badan jasmaniah. Godhika telah melenyapkan
keinginannya, meraih Nibbna." demikian sabda Sang Buddha. Pengulas
menjelaskan bahwa Godhika Thera berhasil meraih Nibbna karena setelah
menggorok lehernya ( tetapi belum sampai pada ajalnya), ia sempat merenungkan
dan menembus hakikat kehidupan yang fana ini.

Didalam kisah Bhikkhu Vakkhali (yang terkena penyakit kusta sangat


parah)

Dikisahkan bahwa Sepanjang hari dan malam itu Sang Buddha berada di puncak
Karang Burung Nasar. Ketika malam telah berlalu, Beliau memberikan wejangan
demikian kepada para Bhikkhu : Para Bkhikkhu, pergilah menemui Bhikkhu
Vakkhali dan beritahu dia tentang hal ini :

Sahabat, dengarlah apa yang para dewa sampaikan kepada Sang Bhagava :
semalam dua orang dewa yang berwajah gemilang datang menemui Sang Bhagava
dan mereka berkata : Yang Mulia, hati bhikkhu Vakkhali telah siap untuk menerima
pembebasan. Sedang yang lainnya berkata :Yang Mulia, ia pasti memperoleh
pembebasan yang sempurna.

Dan Sang Bhagava memberitahu kepadamu hal ini sahabat : Jangan takut,
Vakkhali, jangan takut. Kematianmu akan bebas dari kejahatan, akhir hayatmu akan
bebas dari kejahatan.

Baiklah, Yang Mulia, jawab mereka.

Dan mereka pergi menemui Yang Mulia Vakkhali dan berkata kepadanya : Sahabat,
dengarlah pesan dari Sang Bhagava dan dari dewa-dewa....

Tidak lama kemudian setelah kepergian mereka, Yang Mulia Vakkhali


mempergunakan pisau untuk membunuh dirinya.

Melihat kejadian ini Sang Buddha berkata : Para Bhikkhu, Vakkhali telah mencapai
Nibbana, sehingga kesadarannya tidak berada dimanapun.

Didalam Kisah Channa Thera

(ini tercantum dua kali: di dalam Majjhima-Nikaya dan Samyutta-Nikaya). Kisah yang
terdapat di dalam Channovada-sutta sebagai berikut:

Pada suatu ketika, Sariputta Thera, Maha-Cunda Thera dan Channa Thera berdiam
di Gunung Puncak Gagak. Pada waktu itu, Channa Thera tengah menderita sakit
yang amat parah. Sariputta Thera mengajak Maha-Cunda Thera untuk mengunjungi
Channa Thera yang tengah sakit itu.
Kepada kedua sahabatnya itu Channa Thera menceritakan sakitnya: Beliau
merasakan sakit di kepala, perut dan seluruh tubuhnya. Kepalanya terasa seperti
dibelah dengan pedang, atau seperti diikat dengan sabuk kulit yang makin lama
main kencang ikatannya. Perutnya terasa seperti diiris-iris dengan pisau, seperti
dilakukan oleh tukang jagal yang mengiris-iris perut sapi yang baru disembelihnya.
Tubuhnya terasa seperti dipanggang di atas batu bara yang menyala.

Setelah menguraikan kesakitannya, Channa Thera berkata: "Saya ingin


menggunakan pisau, Sahabat Sariputta, saya tidak ingin hidup lagi."

Mendengar ucapan Channa Thera itu, Sariputta Thera segera menjawab:


"Mohon Channa Thera tidak menggunakan pisau! Mohon Channa Thera tetap hidup!
Kami menginginkan Channa Thera tetap hidup! Bila Anda kekurangan makanan
yang memadai, saya akan mencarikan makanan; bila Anda kekurangan obat, saya
akan mencarikan obat; bila Anda tidak mempunyai perawat, saya akan merawat
Anda. Mohon Channa Thera tidak menggunakan pisau! Mohon Channa Thera tetap
hidup! Kami menginginkan Channa Thera tetap hidup!"

Channa Thera menjawab: "Sahabat Sariputta, bukan karena saya


kekurangan makanan yang memadai, bukan karena saya kekurangan obat, bukan
pula karena tidak ada yang merawat saya. Tetapi, Sahabat Sariputta, telah lama
saya mengabdi kepada Sang Guru [Buddha] dengan cinta, bukan tanpa cinta,
oleh karena memang seharusnya seorang murid mengabdi kepada Guru dengan
cinta, bukan tanpa cinta. Sahabat Sariputta, ingatlah ini: Bhikkhu Channa
akan menggunakan pisau tanpa cela [anupavajja]." (Menurut Kitab Komentar, istilah
'anupavajja' bisa pula diartikan 'tidak akan terlahir kembali,menjadi Arahat'.)

Setelah itu, Sariputta Thera, diikuti Mahaa-Cunda Thera, memberikan khotbah


Dhamma kepada Channa Thera. (Ini ditafsirkan oleh Kitab Komentar bahwa Channa
Thera belum mencapai tingkat Arahat [masih perlu berlatih untuk mencapai tingkat
Arahat], sekalipun sudah mencapai salah satu tingkat pembebasan di bawah
Arahat.) Setelah itu Saariputta Thera dan Maha-Cunda Thera pergi, dan Channa
Thera "menggunakan pisau" (bunuh diri).

Kemudian Sariputta Thera datang kepada Sang Buddha, dan menanyakan ke mana
Channa Thera pergi (gati) setelah meninggal dan bagaimana
perjalanannya selanjutnya (abhisamparaya). (Di sini jelas terlihat bahwa Sariputta
Thera, sekalipun telah menjadi arahat, tidak tahu bahwa Channa Thera telah
mencapai tingkat Arahat dan tidak akan terlahir kembali di mana pun juga; jadi tidak
semua Arahat mempunyai kemampuan adikodrati bisa melihat kelahiran kembali
orang lain.) Jawaban Sang Buddha menyiratkan bahwa seharusnya Sariputta Thera
tahu tentang hal itu: "Tetapi, Sariputta, bukankah Bhikkhu Channa telah mengatakan
sendiri kepadamu tentang keadaannya yang tak tercela / tak akan terlahir kembali
[anupavajjata]?" Akhirnya Sang Buddha bersabda:

"Sariputta, barang siapa melepaskan jasmani (yang lama) dan mengambil jasmani
(yang baru = terlahir kembali), dialah yang kunamakan 'tercela' [saupavajja]. Tetapi
tidak demikian dengan Bhikkhu Channa; Bhikkhu Channa telah menggunakan pisau
tanpa cela [anupavajja]."
Berdasarkan Tiga Kisah Ariya yang melakukan bunuh diri tersebut diatas, jelaslah
bahwa dalam pandangan Agama Buddha berbeda dengan pandangan beberapa
agama tertentu, bunuh diri bukanlah suatu "dosa" (Baca: kesalahan)yang tak
terampunkan. Jangankan hanya kehidupan di Surga, bahkan pencapaian Arahat
yang jauh lebih mulia daripada itu (yang menjadi tujuan akhir bagi setiap umat
Buddhis) dapat diraih oleh seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang


untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang
penuh dengan penderitaan ini. Manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, bukanlah
sekadar Aktor panggung kehidupan yang terikat kontrak dengan Sutradara untuk
melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia yang
diciptakanNYA.

Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-


masing.

Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang


pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak
beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan,
Sang Buddha memberikan penilaian yang adil dan sesuai dengan ukurannya.

Bagi seorang Bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain
untuk bunuh diri adalah pelanggaran Parajika; suatu kesalahan paling berat
(garukapatti) yang membuatnya terlepas dari pesamuan. Ini adalah suatu kesalahan
yang tak terobati (atekiccha), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak
berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam
upaya meraih pembebasan sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehidupan
sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apapun. Namun, dalam
kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya.

Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apapun dan seberapa-pun
beratnya, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak ( takberbatas / kekal )
untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang
ini. Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai
hukuman yang lebih ringan yaitu pcittiya ;suatu kesalahan yang membuat seorang
bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh
adalah dirinya sendiri (bunuh diri), seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran
dukkata; suatu kesalahan yang paling ringan.

Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sratthadpan dan Vimativinodan,


bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sla karena faktor pembunuhannya tidak
terlengkapi. Pelanggaran sla dalam hal pembunuhan ini harus berobyekkan
makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri.
Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang
dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.

Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu
kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat
terhadap pelaku bunuh diri daripada membunuh orang lain. Bagaimanapun, kita
harus mengakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri
sama sekali tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, bagaimana mungkin kita
memvonisnya dengan "dosa" yang tak terampunkan; melebihi "dosa" yang dilakukan
oleh mereka yang membunuh makhluk lain (melanggar hak orang lain)? ,Seperti
halnya orang yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi
hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang
yang merusak barang miliknya sendiri.

Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma?

Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri,


bahkan "berpikir" untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma.
Perbuatan apapun yang melalui ucapan, pikiran maupun jasmani yang
membangkitkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin
(moha); semuanya melanggar Dhamma.

Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin
punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma
dalam segi lobha.

Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan
sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa.

Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup ?

Kita mungkin bisa mentolerir/ memaklumi upaya bunuh diri karena alasan penyakit
akut (kesehatan). Bagaimana pula dengan alasan-alasan lainnya? Bolehkah
seseorang bunuh diri karena masalah hidup: frustrasi, patah hati ditinggal sang
pacar, gagal dalam bisnis, terlibat hutang-piutang, terlibat kasus-kasus berat dsb.?
Agaknya, persoalannya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Betapapun peliknya
suatu masalah hidup, itu bisa dicarikan jalan keluarnya yang lebih baik (selain bunuh
diri). Paling tidak, itu bisa diatasi dengan mengubah "sikap hidup" atau "cara
pandang".

Permasalahan hidup adalah penderitaan batiniah. Lain halnya dengan penyakit yang
merupakan penderitaan jasmaniah, meskipun para pakar kedokteran telah berhasil
meracik pelbagai macam obat penyembuh, vaksin, serum, dsb., itu tetap ada batas-
batasnya. Penyakit adalah suatu "natural force"; yang tak mungkin dapat ditaklukkan
secara mutlak oleh umat manusia (kecuali dengan cara Pembebasan dari kelahiran
yang berulang-ulang sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha). Sejauh ini
Agama Buddha tidak dapat membenarkan upaya bunuh diri karena alasan
masalah hidup . . . !.

Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut "membenci" tubuh


jasmaninya. Namun, ia juga tidak sepatutnya untuk "melekati"-nya. Tubuh ini
sesungguhnya tak ubahnya seperti periuk (kendi). Kalau itu memang sudah pecah
dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa kita tidak membuangnya, dan mencari yang
baru, yang lebih baik?

Ada perumpamaan lain yang bernada sama. Apabila ada orang yang mempunyai
jatah atas baju baru yang lebih indah kemudian ia melepaskan bajunya yang sudah
lama, gelandangan yang menyaksikannya mungkin berpikir, "Orang itu bodoh sekali,
baju masih baik kok dibuang begitu saja."

Dalam menilai sesuatu, kita tidak bisa hanya berpedoman pada takaran duniawi
yang rendah semacam ini dan sepertinya sudah menjadi kecenderungan orang
awam untuk melekat pada kehidupan sekarang ini, dan berusaha untuk mencari
kepuasan di dalamnya.

Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi Bhikkhu, misalnya,
mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih
ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak
memanfaatkannya?, Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan
kesenangan inderawi, para Bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur
daripada kesenangan nafsu inderawi.

Demikian pula halnya dengan kasus Godhika Thera, kita tidak bisa menilainya
dengan menggunakan kemelekatan kita terhadap kehidupan di dunia sekarang ini.
Beliau mempunyai pertimbangan lain sehingga memutuskan hal itu.

Dalam hal ini, kita tidak mempersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi
kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum
duniawi. Dengan pertanyaan lain yang lebih jelas, haruskah kita melarang dan
menghukum pelaku bunuh diri, ataukah membiarkannya?

Jika kita mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk
menghalangi kehendak orang lain dalam menentukan kehidupannya sendiri- dalam
arti memilih mati atau tetap hidup dalam penderitaan /kesengsaraan. Asalkan suatu
perbuatan tidak merugikan pihak lain, tidaklah beralasan untuk menghukumnya.

Seperti halnya masalah rokok. Kita semua tahu bahwa merokok itu dapat merusak
kesehatan. Cukup beralasan jika kita melarang merokok di tempat-tempat umum
sebab itu dapat membahayakan kehidupan orang lain yang tidak suka merokok.
Tetapi, kalau seseorang merokok dalam kamarnya sendiri, bolehkah kita
menjatuhkan hukuman kepadanya? Demikian pula halnya dengan masalah bunuh
diri. Sepanjang itu tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak
asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi
menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
- Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha
yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma?

- Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi dalam
arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya?

- Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?

Memang, sebagai orang biasa, sukar untuk dapat melihat dan memastikan
bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang sangat pelik (kompeks). Hanya seorang
Sammsambuddha yang memiliki kemampuan semacam itu. Namun, haruslah
diingat bahwa Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma
berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan
akibat pada masa kehidupan sekarang (ditthadhamma vedanya-kamma), dan ada
pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktunya untuk
menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma).

Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak
pernah mengajarkan umat-Nya untuk "tunduk" pada akibat kamma. Sikap inilah yang
membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima
dengan pasrah sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya.

Contoh yang gamblang dalam hal ini. Seandainya kita digigit nyamuk, kita tentu tidak
membiarkannya begitu saja dengan pandangan;l "Biarlah dia (nyamuk itu) menggigit
sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau
terlunasi semuanya!" Ini jelas merupakan suatu sikap menerima kamma lampau
yang salah, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha. Sang Buddha tidak pernah
menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang
umat Buddha boleh mengusirnya (tanpa harus membunuhnya), atau melakukan
tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb.

Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri
dari segala macam penderitaan/ kesakitan yang dialami tanpa ada sedikit usahapun
untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya.

Ingat ! ...Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin
Jainisme tentang Hukum Kamma yang mempercayai bahwa Keselamatan /
Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang kamma terlunasi.

Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi
tak terhitung jumlahnya. Jika setiap makhluk harus melunasi setiap akibat kamma
yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil
baginya untuk meraih Pembebasan.

PANDANGAN UMUM
Bunuh diri...dalam keadaan apapun adalah salah secara moral dan
spiritual.

Seseorang melakukan Bunuh diri karena ia didorong oleh pikirannya yang penuh
dengan keserakahan ( Lobha), Kebencian (Dosa) dan yang paling utama adalah
Kegelapan batin (Moha). Melakukan Bunuh diri karena frustrasi atau kekecewaan
hanya akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar lagi.

Bunuh diri adalah tindakan pengecut untuk menghindari dan mengakhiri masalah
dalam kehidupan yang sedang dihadapi. Seseorang tidak akan melakukan bunuh
diri jika pikirannya tenang dan murni . Jika seseorang meninggal dunia dengan
pikiran yang bingung dan frustrasi, rasanya tidak mungkin ia akan terlahirkan
kembali dalam kondisi yang lebih baik.

Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik
dan mulia. Mereka menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara seperti
pengorbanan diri sendiri, menembakkan peluru atau mogok makan. Tindakan
demikian mungkin tergolong berani dan bernyali, namun bagaimanapun juga dari
sudut pandang ajaran Buddha, tindakan demikian tidak dapat dimaklumi. Sang
Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaan pikiran bunuh diri
mengarah pada penderitaan lebih lanjut.

Seluruh sikap ini sekali lagi membuktikan bahwa ajaran Buddha adalah agama yang
positif , menghargai dan mendukung kehidupan.

Sumber bacaan :
- Kehidupan Sang Buddha - Phra Chaluai Sujivo Thera.
- Keyakinan umat Buddha - Sri Dhammananda
- Sekitar Masalah bunuh diri - Jan Sanjivaputta
- Hukum Karma - Tanhadi
- Samyutta Nikaya - YM. Nyanaponika Mahathera & YM. Piyadassi Nayaka Thera

Akhir-akhir ini kita sering sekali mendengar tentang kematian akibat bunuh diri. Kasus
bunuh diri bukan saja terjadi di negara Indonesia saja, tetapi di negara lain juga terjadi,
seperti yang telah diberitakan di surat-surat kabar. Di Seoul, Korea Selatan, makin banyak
warga yang memilih bunuh diri. Kasus bubuh diri yang mencapai rekor tertinggi sepanjang
sejarah itu, terjadi akibat depresi gara-gara kondisi perekonomian yang sulit serta perubahan
drastis masyarakat. Di Korea, tingkat bunuh diri pada tahun 2005 adalah rekor tertinggi
nasional sekaligus menjadi yang tertinggi di antara anggota organisasi kerjasama ekonomi
dan pembangunan menurut pejabat Biro Pusat Statistik (BPS).
Data BPS menunjukkan, dari total jumlah kematian yang mencapai 245.511 pada tahun 2005
itu, 12.047 diantaranya mati akibat bunuh diri. Bunuh diri biasanya dilakukan oleh orang
yang berusia lanjut. Media lokal menyebutkan: karena kesulitan ekonomi dan penyakit sering
mendorong orang yang berusia lanjut memilih bunuh diri.
Menurut menteri kesehatan dan kesejahteraan Korea Selatan, tingkat bunuh diri di negaranya
melonjak drastis dibanding anggota organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan
(OECD) dalam 10 tahun terakhir. Statistik kesehatan (OECD) pada tahun 2002 menunjukkan
bahwa 18,1% dari 100.000 orang Korea mati bunuh diri. Jumlah itu termasuk peringkat
keempat bunuh diri di antara 29 negara. Peringkat pertama Hungaria, kedua Meksiko, ketiga
Jepang, dan keempat Korea.

Sedangkan pada tahun 2005, Korea mencapai peringkat kesatu bunuh diri dengan jumlah
total 26,1 % dari 100.000 orang mati bunuh diri.

Bunuh diri merupakan salah satu masalah sosial yang amat sukar dicari penyelesaiannya.
Sejak jaman dahulu hingga sekarang, manusia telah mengenal cara-cara bunuh diri untuk
mengakhiri hidupnya. Pada jaman dahulu, manusia melakukan bunuh diri karena gagal dalam
melaksanakan tugas atau kalah dalam perang, dan sebagainya. Selain itu juga akibat dari
tekanan ekonomi dan keterasingan yang semakin kuat sehingga orang makin mudah merasa
kesepian di tengah keramaian. Akibatnya, bagi orang-orang depresi tersebut bunuh diri
menjadi jalan keluarnya.

Adapun ciri-ciri orang yang ingin bunuh diri secara umum adalah sebagai berikut:

- Mengancam akan bunuh diri

- Pernah melakukan usaha bunuh diri

- Memberi pernyataan untuk mati

- Perubahan perilaku secara mendadak

- Tidak mau menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter

- Mudah marah

- Depresi dengan menangis

- Tidak dapat tidur

- Selera makan berkurang

Ada banyak teori mengenai orang bunuh diri. Bunuh diri ini terjadi jika hubungan individu
dan masyarakat terputus sama sekali. Umumnya, bunuh diri ini diakibatkan oleh faktor stres
atau tekanan hidup maupun tekanan ekonomi. Di Indonesia, kasus bunuh diri dikarenakan
kondisi negara yang kacau sehingga rakyat jelata semakin miskin dan terbelenggu oleh
kemiskinan tiada akhir. Dalam kondisi ini, bunuh diri merupakan tuntutan norma masyarakat
yang mengaggap hal ini sebagai perbuatan terhormat. Kasus bunuh diri biasanya terjadi pada
semua tahap usia, dengan kasus yang berbeda-beda. Pada remaja, misalnya karena putus
cinta, kesulitan menghadapi lingkungan, maupun pergaulan. Pada orang tua, dikarenakan
penyakit berat maupun kesepian karena tidak mendapat perhatian.

Menurut pandangan agama Buddha, dalam Kodhana Sutta, Avyakata Vagga, Aguttara
Nikya VII, Sang Buddha mengidentifikasi kecenderungan-kecenderungan penyebab bunuh
diri adalah ketidakseimbangan pikiran. Ada beberapa orang di masyarakat serta hal-hal
lainnya membuat mereka menjadi rendah diri, mudah kecewa, dan putus asa. Biasanya orang
yang bunuh diri itu tidak memahami ajaran Sang Buddha tentang dukkha.

Dalam Pacasla Buddhis diterangkan bahwa bunuh diri termasuk pelanggaran sila pertama
yaitu membunuh. Jadi, di dalam Pacasla Buddhis, sasaran pembunuhan makhluk hidup itu
selain makhluk hidup lain juga termasuk diri sendiri. Oleh karena itu bunuh diri termasuk
pelanggaran sila pertama, di mana pelakunya akan terlahir kembali di alam yang rendah
sebagaimana yang tertulis dalam Jtaka Ahakath: makhluk yang bunuh diri dengan
senjata, minum racun, gantung leher, terjun ke tebing dengan didasari kemarahan, akan
terlahir di alam neraka dan alam rendah lainnya. Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kamma ditentukan oleh niat. Orang yang bunuh diri umumnya karena kebencian dan
tidak tahan karena menghadapi penderitaan hidup. Hal ini akan membuat kembali ia lahir di
alam rendah.

Sesungguhnya setiap orang mempunyai kecenderungan untuk bunuh diri, tergantung


seberapa besar mental kepribadian seseorang yang dimilikinya. Orang yang kepribadiannya
kaku lebih mudah melakukan bunuh diri jika ada perubahan-perubahan yang tidak
menyenangkan terjadi pada dirinya, dibandingkan dengan orang yang kepribadiannya
fleksibel.

Kepribadian bisa diajarkan sejak masa kanak-kanak. Anak diajarkan untuk bisa mengatasi
masalah sendiri, tidak tergantung dengan orangtua atau orang lain, serta jangan selalu
memenuhi keinginan anak. Hal ini agar anak terbiasa menerima kegagalan dan dapat mencari
jalan keluar dari masalah tersebut.

Perbaikan kehidupan masyarakat seperti ekonomi, keamanan, perbaikan jaminan, pelayanan


sosial, langsung atau tidak langsung merupakan pencegahan untuk bunuh diri.

Akan tetapi, dari semua cara tersebut, cara yang paling jitu dan efektif adalah sebagai warga
masyarakat yang baik perlu menjalankan kepekaan terhadap kesulitan-kesulitan orang di
sekitar kita, yaitu menyapa orang-orang yang sedang bersedih, mendengarkan keluhan-
keluhan mereka, sadarkan dirinya bahwa kesulitan itu timbul dari cara berpikir yang salah.
Oleh karena itu, dengan memperbaiki cara berpikir dan berusaha mencari hikmah atas segala
semua kesulitan yang sedang dihadapi, maka biasanya bunuh diri dapat dicegah karena orang
itu akan bangkit semangat untuk memperbaiki kualitas dirinya.

Sang Buddha bersabda: sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, sungguh sulit
kehidupan manusia, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan ajaran benar, begitu pula,
sungguh sulit munculnya seorang Buddha. (Dhammapada 182). Maka, sungguh
menyedihkan apabila kehidupan yang berharga ini hancur dengan cara yang bodoh.

Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai umat Buddha yang baik, mulai sekarang bekalilah
diri kita dengan keyakinan yang kuat sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan oleh Sang
Buddha, agar kita tidak terjatuh di dalam penderitaan.

Sumber: Dhammapada & Aguttara Nikya VII


Mengambil nyawa sendiri dalam keadaan apa pun adalah salah secara moral dan spiritual.
Mengambil nyawa sendiri karena frustasi atau kekecewaan hanya menyebabkan penderitaan
yang lebih besar. Bunuh diri adalah jalan pengecut untuk mengakhiri masalah dalam
kehidupan. Seseorang tidak akan bunuh diri jika pikirannya murni dan tenang. Jika seseorang
meninggalkan dunia ini dengan pikiran yang bingung dan frustasi, rasanya tidak mungkin ia
akan terlahirkan kembali dalam kondisi yang lebih baik. Bunuh diri adalah tindakan yang
tidak sehat karena hal ini di dorong oleh pikiran yang penuh dengan keserakahan, kebencian
dan yang paling utama, kegelapan batin. Mereka yang melakukan bunuh diri belum belajar
bagaimana menghadapi masalah mereka, bagaimana mengahadapi kenyataan hidup dan
bagaimana menggunakan pikiran mereka dengan cara yang benar. Orang demikian belum
mampu memahami sifat kehidupan dan kondisi duniawi.

Beberapa orang mengorbankan hidupnya untuk alasan yang mereka anggap baik dan mulia.
Mereka mengambil nyawa sendiri dengan cara-cara seperti pengorbanan diri sendiri,
menembakkan peluru. Atau mogok makan. Tindakan-tindakan demikian mungkin tergolong
berani dan bernyali. Bagaimanapun, dari sudut pandangan ajaran buddha, tindakan demikian
tidak dapat di maklumi. Sang Buddha telah menunjukkan dengan jelas bahwa keadaaan
pikiran bunuh diri mengarah pada penderitaan lebih lanjut. Seluruh sikap ini sekali lagi
membuktikan betapa ajaran Sang Buddha adalah agama yang positif dan mendukung
kehidupan.

Dalam suatu kesempatan ketika Y.M. Bhikkhu Utamo ditanya tentang masalah bunuh
diri yang mempunyai dampak pada kelahiran yang akan datang. Beliau berkata "Dalam
salah satu sumber Dhamma di luar Tipitaka memang pernah disebutkan bahwa perilaku
bunuh diri di salah satu kehidupan akan mengkondisikan ia terlahir di lingkungan yang
memungkinkan dia untuk bunuh diri kembali di berbagai kehidupan yang akan datang." Ini
mungkin disebabkan oleh kekuatan kamma buruk. Disebutkan dalam Anguttara Nikaya II, 82
bahwa niat adalah kamma. Demikian pula dengan niat bunuh diri. Seseorang yang berencana
bunuh diri tentunya ada dorongan yang sangat kuat (tekad) dari dalam dirinya. Kemungkinan
kekuatan dorongan inilah yang terus mengikutinya dan mendorongnya untuk terus melakukan
bunuh diri lagi, ini bahkan bisa sampai beberapa kehidupan.

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun suicide
adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada depresi,
penyalahgunaan NAPZA , skizofrenia, gangguan kepribadian( paranoid, borderline,
antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental.
Ada 4 hal yang krusial yang perlu diperhatikan oleh perawat selaku tim kesehatan
diantaranya adalah :
(1) suicide merupakan perilaku yang bisa mematikan dalam seting rawat inap di rumah sakit jiwa.
(2) Faktor faktor yang berhubungan dengan staf antara lain : kurang adekuatnya pengkajian
pasien yang dilakukan oleh perawat, komunikasi staf yang lemah, kurangnya orientasi dan
training dan tidak adekuatnya informasi tentang pasien.
(3) Pengkajian suicideseharusnya dilakukan secara kontinyu selama di rawat di rumah sakit baik
saat masuk, pulang maupun setiap perubahan pengobatan atau treatmen lainnya.
(4) Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien serta kesadaran diri perawat
terhadap cues perilaku pasien yang mendukung terjadinya resiko bunuh diri adalah hal yang
penting dalam menurunkan angka suicide di rumah sakit.
Oleh karena itu suicide pada pasien rawat inap merupakan masalah yang perlu penanganan
yang cepat dan akurat. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai faktor resiko terjadinya
bunuh diri, instrument pengkajian dan managemen keperawatannya dengan pendekatan
proses keperawatanya.

2. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian bunuh diri
2. Dapat mengetahui Penyebab bunuh diri
3. Dapat mengetahui Motif bunuh diri
4. Dapat mengetahui Asuhan keperawatan secara umum bunuh diri

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Bunuh diri: Segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan yang
dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya, yang dilakukan dalam
waktu singkat.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress.
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
(1) Suicidal ideation, pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari
suicide, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,
perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan
untuk mati.
(2) Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.
(3) Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan
dan hasrat yan dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
(4) Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif
yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi
sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh
darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan
hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup,
ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di
namakan Crying for help sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak
mampu di selesaikan.
(5) Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang
mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan . walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan
kehidupannya.
2. Penyebab Bunuh diri
2.1 Faktor genetic dan teori biologi
Faktor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu
adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko
buuh diri.
2.2 Teori Sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang tidak
terintegrasi pada kelompok social), atruistik (Melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat)
dan anomic ( suicide karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi
dengan stressor).
2.3 Teori Psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah
yang diarahkan pada diri sendiri.
2.4 Penyebab lain
(1) Adanya harapan untuk reuni dan fantasy
(2) Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak berdayaan
(3) Tangisan untuk minta bantuan
(4) Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan yang lebih baik
3. Motif bunuh diri
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah sistematika).
Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau sebab tindakan yang
disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori
sebab, misalkan :
(1) Dilanda keputusasaan dan depresi
(2) Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
(3) Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
(4) Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
(5) Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
4. Pengkajian Resiko Bunuh Diri
Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien memiliki resiko apabila menunjukkan
perilaku sebagai berikut :
(1) Menyatakan pikiran, harapan dan perencanaan tentang bunuh diri
(2) Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.
(3) Memilki keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri.
(4) Mengalami depresi, cemas dan perasaan putus asa.
(5) Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat penyakit mental
(6) Mengalami penyalahunaan NAPZA terutama alkohol
(7) Menderita penyakit fisik yang prognosisnya kurang baik
(8) Menunjukkan impulsivitas dan agressif
(9) Sedang mengalami kehilangan yang cukup significant atau kehilangan
yang bertubi-tubi dan secara bersamaan
(10) Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri misal
pistol, obat, racun.
(11) Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan
pengobatan
(12) Merasa kesepian dan kurangnya dukungan sosial.
Banyak instrument yang bisa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan bunuh diri
diantaranya dengan SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
Laki laki lebih komit melakukan suicide 3
kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun
1 Sex (jenis kelamin)
wanita lebih sering 3 kali dibanding laki laki
melakukan percobaan bunuh diri
Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau
2 Age ( umur) lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan
khususnya umur 65 tahun lebih.
35 79% oran yang melakukan bunuh diri
3 Depression
mengalami sindrome depresi.
Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri
4 (Percobaan sudah pernah melakukan percobaan
sebelumnya) sebelumnya
65 % orang yang suicide adalah orang
5 ETOH ( alkohol)
menyalahnugunakan alkohol
Rational thinking Loss Orang skizofrenia dan dementia lebih sering
6 ( Kehilangan berpikir melakukan bunuh diri disbanding general
rasional) populasi
Orang yang melakukan bunuh diri biasanya
Sosial support lacking (
kurannya dukungan dari teman dan saudara,
7 Kurang dukungan
pekerjaan yang bermakna serta dukungan
social)
spiritual keagaamaan
Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik terhadap
8 (perencanaan yang bunuh diri merupakan resiko tinggi
teroranisasi)
No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih
9
memiliki pasangan) rentang disbanding menikah
Orang berpenyakit kronik dan terminal
10 Sickness
beresiko tinggi melakukan bunuh diri.
Hal hal yang harus diperhatikan dalam melakukan anamnesa adalah :
(1) Tentukan tujuan secara jelas.
Dalam melakukan anamnesa, perawat tidak melakukan diskusi secara acak, namun demikian
perawat perlu melakukannya anamnesa yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang
berhubungan dengan bunuh diri.
(2) Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu
diobservasi dari komunikasi non verbal.
Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan dan distress yang berat
serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari atau diabaikan.
(3) Kenali diri sendiri.
Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal ini akan mempengaruhi
penilaian profesional.
(4) Jangan terlalu tergesa gesa dalam melakukan anamnesa. Hal ini perlu
membangun hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dan klien.
(5) Jangan membuat asumsi
Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi emosional
klien.
(6) Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan
membuat kabur penilaian profesional.
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
(1) Riwayat masa lalu :
* Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
* Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
* Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
* Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
* Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid,
antisosial
* Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka

(2) Symptom yang menyertainya


Apakah klien mengalami :
- Ide bunuh diri
Ancaman bunh diri
Percobaan bunuh diri
Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja
Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini
merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.
Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka sendiri.
Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :
Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan
untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.
Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk
merencanakan dan mengagas akan suicide
Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses
oleh klien.
Hal hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan
mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :
Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
Memilih tempat yang tenang dan menjaga privacy klien
Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan mendorong
komunikasi terbuka.
Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata kata yang
dimengerti klien
Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya
Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
Peroleh riwayat penyakit fisik klien
5. Diagnosa Keperawatan
5.1 Resiko Bunuh diri
Pengertian : Resiko untuk mencederai diri yang mengancam kehidupan
Tujuan : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Kriteria Hasil :
Menyatakan harapannya untuk hidup
Menyatakan perasaan marah, kesepian dan keputusasaan secara asertif.
Mengidentifikasi orang lain sebagai sumber dukungan bila pikiran bunuh diri muncul.
Mengidentifikasi alaternatif mekanisme coping
Aktivitas keperawatan secara umum :
(1) Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri,
dengan cara :
Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi, sedang, rendah.
Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/ gaya hidup,
dukungan social yang tersedia, rencana tindakan yang bisa mengancam kehidupannya,
koping mekanisme yang biasa digunakan.
(2) Berikan lingkungan yang aman ( safety) berdasarkan tingkatan resiko ,
managemen untuk klien yang memiliki resiko tinggi;
Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya ditempatkan didekat
ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.
Mengidentifikasi dan mengamankan benda benda yang dapat membahayakan
klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik, sabuk, hanger dan barang berbahaya
lainnya.
Membuat kontrak baik lisan maupun tertulis dengan perawat untuk tidak
melakukan tindakan yang mencederai diri Misalnya : Saya tidak akan mencederai diri saya
selama di RS dan apabila muncul ide untuk mencederai diri akan bercerita terhadap perawat.
Makanan seharusnya diberikan pada area yang mampu disupervisi dengan
catatan :
o Yakinkan intake makanan dan cairan adekuat
o Gunakan piring plastik atau kardus bila memungkinkan.
Cek dan yakinkan kalau semua barang yang digunakan pasien kembali pada tempatnya.
Ketika memberikan obat oral, cek dan yakinkan bahwa semua obat diminum.
- Rancang anggota tim perawat untuk memonitor secara kontinyu.
Batasi orang dalam ruangan klien dan perlu adanya penurunan stimuli.
Instruksikan pengunjung untuk membantasi barang bawaan ( yakinkan untuk
tidak memberikan makanan dalam tas plastic)
Pasien yang masih akut diharuskan untuk selalu memakai pakaian rumah sakit.
Melakukan seklusi dan restrain bagi pasien bila sangat diperlukan
Ketika pasien sedang diobservasi, seharusnya tidak menggunakan pakaian yang
menutup seluruh tubuhnya. Perlu diidentifikasi keperawatan lintas budaya.
Individu yang memiliki resiko tinggi mencederai diri bahkan bunuh diri perlu
adanya komunikasi oral dan tertulis pada semua staf.
(3) Membantu meningkatkan harga diri klien
Tidak menghakimi dan empati
Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya
Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang lain
Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk klien dengan control
impuls yang rendah
Melakukan terapi kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila
diindikasikan.
(4) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social
Informasikan kepada keluarga dan saudara klien bahwa klien membutuhkan
dukungan social yang adekuat
Bersama pasien menulis daftar dukungan sosial yang di punyai termasuk
jejaring sosial yang bisa di akses.
Dorong klien untuk melakukan aktivitas social.
(5). Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positip.
Mendorong ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif
Lakukan pembatasan pada ruminations tentang percobaan bunuh diri.
Bantu klien untuk mengetahui faktor predisposisi apa yang terjadi sebelum
anda memiliki pikiran bunuh diri
Memfasilitasi uji stress kehidupan dan mekanisme koping
Explorasi perilaku alternative
Gunakan modifikasi perilaku yang sesuai
Bantu klien untuk mengidentifikasi pola piker yang negative dan mengarahkan
secara langsung untuk merubahnya yang rasional.
(6). Initiate Health Teaching dan rujukan, jika diindikasikan
Memberikan pembelajaran yan menyiapkan orang mengatasi stress
(relaxation, problem-solving skills).
Mengajari keluarga technique limit setting
Mengajari keluarga ekspresi perasaan yang konstruktif
Intruksikan keluarga dan orang lain untuk mengetahui peningkatan resiko :
perubahan perilaku, komunikasi verbal dan nonverbal, menarik diri, tanda depresi.
BAB III
1.1 Kesimpulan
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan
yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya, yang dilakukan
dalam waktu singkat.
Penyebab bunuh diri :
5.2 Faktor genetic dan teori biologi
5.3 Teori Sosiologi
5.4 Teori Psikologi
5.5 Penyebab lain :
1. Adanya harapan untuk reuni dan fantasy
2. Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan
ketidakberdayaan
3. Tangisan untuk minta bantuan
4. Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan
yang lebih baik.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori
sebab, misalkan :
1. Dilanda keputusasaan dan depresi
2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3. Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
4. Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
5. Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.

1.2 Saran
Tindakan bunuh diri adalah suatu tindakan yang bodoh karena tindakan ini bertentangan
dengan norma yang ada di masarakat serta agama. Bunuh diri jangan dijadikan pilihan
terahir dalam pemecahan masalah karena masih banyak jalan yang bisa kita tempuh dalam
memecahkan masalah, jika kita memiliki sebuah masalah dan kita tidak mampu untuk
menyelesaikannya kita bisa minta bantuan kepada sahabat atau orang-orang yang ada didekat
kita.

Anda mungkin juga menyukai