Anda di halaman 1dari 22

KOLESISTITIS

Disusun Oleh :
Timothy Imanuel Maranatha
1115201

Pembimbing:
Dr. Landry Miguna Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kolesistitis adalah salah satu kegawatdaruratan traktus biliaris. Kolesistitis
adalah inflamasi kandung empedu. Kolesistitis terjadi paling sering karena
obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis
melibatkan batu pada duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10%
termasuk kolesistitis akalkulus.
Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia.
Penjelasan secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada.
Peningkatan Insidensi pada perempuan dipengaruhi esterogen, sedangkan
peningkatan insidensi pada laki-laki usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio
androgen-estrogen. 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan
sepertiganya berkembang menjadi kolesistitis akut.
Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki,
sehingga lebih banyak perempuan yang menderita kolesistitis kalkulus.
Peningkatan kadar progesteron selama kehamilan dapat menyebabkan stasis
cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu meningkat kejadiannya pada
wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-laki
usia lanjut.
Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya
pada orang Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang
pada individu yang berasal dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat,
penduduk kulit putih lebih sering terkena kolesistitis daripada penduduk kulit
hitam.
Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau kolesistitis akut adalah
prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahli bedah umum,
dan kurang lebih 500.000 operasi dilakukan per tahunnya. Meskipun telah
ditemukan berbagai modalitas terapeutik untuk kolesistitis namun penyakit ini
masih memiliki tingkat morbiditas dan tingkat mortalitas yang cukup tinggi

2
terutama pada orang lanjut usia. Referat ini membahas mengenai kolesistitis
dengan batasan-batasan tertentu.

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas tentang definisi, patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan kolesistitis.

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Memahami patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan kolesistitis.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada beberapa literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah pear,
panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terdistensi dapat
mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada
permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus
kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi:
fundus, corpus, infundibulum dan leher. Fundus berbentuk bulat, dan ujungnya 1-
2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras
dengan corpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya
membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk
Hartmanns pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol
dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar
tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung
empedu, tetapi tidak pada fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang
kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat
longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna.
Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh
darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di
bedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan
muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri cystica yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari
cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir
selalu di temukan di segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Ductus
cysticus, Ductus hepaticus communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika
arteri cystica mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi
anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica menuju vena

4
porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.

Gambar 2.1Vesica fellea


Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8
dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju
serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier.
Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada kandung
empedu, duktus biliaris dan hepar.

2.1.2 Duktus Biliaris


Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri,
Ductus hepaticus communis, Ductus cysticus dan Ductus choledochus. Ductus
choledochus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur
muskularis yang disebut Sphincter Oddi.
Ductus hepaticus kiri lebih panjang dari yang kanan dan memiliki
kecenderungan lebih besar untuk berdilatasi sebagai akibat dari obstruksi pada
bagian distal. Kedua Ductus tersebut bersatu membentuk Ductus hepaticus
communis. Panjang Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri

5
hepatica. Ductus hepaticus communis dihubungkan dengan Ductus cysticus
membentuk Ductus choledochus.
Panjang Ductus cysticus bervariasi. Dapat pendek atau tidak ada karena
memiliki penyatuan yang erat dengan Ductus hepaticus. Atau dapat panjang, di
belakang, atau spiral sebelum bersatu dengan Ductus hepaticus communis. Variasi
pada Ductus cysticus dan titik penyatuannya dengan Ductus hepaticus communis
penting secara bedah. Bagian dari Ductus cysticus yang berdekatan dengan bagian
leher kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mukosa yang disebut Valvula
Heister.

Gambar 2.2 Sistem Biliaris


Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter 5-10 mm.
Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen
hepatoduodenal, disebelah kanan Arteri hepatica dan di anterior Vena porta.
Bagian retroduodenal berada di belakang bagian pertama duodenum, di lateral
Vena porta dan Arteri hepatica. Bagian terbawah dari Ductus choledochus (bagian
pankreatika) berada di belakang caput pankreas dalam suatu lekukan atau
melewatinya secara transversa kemudian memasuki bagian kedua dari duodenum.
Ductus choledochus bergabung dengan Ductus pancreaticus masuk ke dinding
duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus. Kira-kira 70%
dari Ductus ini menyatu di luar dinding duodenum dan memasuki dinding
duodenum sebagai single ductus. Sphincter Oddi, yang merupakan lapisan tebal
dari otot polos sirkuler, mengelilingi Ductus choledochus pada Ampulla Vateri.
Sphincter ini mengontrol aliran empedu, dan pada beberapa kasus mengontrol
pancreatic juice ke dalam duodenum.

6
Suplai arteri untuk Ductus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan
Arteri hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial
dari Ductus choledochus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas
serat saraf dan ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari
Ductus choledochus dan Sphinchter Oddi sama dengan persarafan pada kandung
empedu.

2.1.3 Pembentukan dan Komposisi Empedu


Hepar memproduksi empedu secara terus menerus dan
mengekskresikannya pada kanalikuli empedu. Orang dewasa normal
memproduksi 500-1000 ml empedu per hari. Stimulasi vagal meningkatkan
sekresi empedu, sebaliknya rangsangan saraf splanchnic menyebabkan penurunan
aliran empedu. Asam hydrochloric, sebagian protein pencernaaan dan asam lemak
pada duodenum menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang akan
meningkatkan produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hepar melewati
Ductus hepaticus, menuju CBD dan berakhir di duodenum. Sphincter Oddi yang
intak menyebabkan empedu secara langsung masuk ke dalam kandung empedu.
Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lemak,
dan pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorida memiliki konsentrasi
yang sama baik di dalam empedu, plasma atau cairan ekstraseluler. pH dari
empedu yang di sekresikan dari hepar biasanya netral atau sedikit alkalis, tetapi
bervariasi sesuai dengan diet. Peningkatan asupan protein menyebabkan empedu
lebih asam. Garam empedu, cholate dan chenodeoxycholate, di sintesis di hepar
dari kolesterol. Mereka berkonjugasi dengan taurine dan glycine dan bersifat
sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium.
Garam empedu di ekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan di
tambah dari hasil pencernaan dan penyerapan dari lemak pada usus. Pada usus
sekitar 80% dari asam empedu di serap pada ileum terminal. Sisanya di
dekonjugasi oleh bakteri usus membentuk asam empedu sekunder deoxycholate
dan lithocholate. Ini di serap di usus besar di transportasikan ke hepar, di
konjugasi dan di sekresikan ke dalam empedu. Sekitar 95% dari pool asam

7
empedu di reabsorpsi dan kembali lewat vena porta ke hepar sehingga disebut
sirkulasi enterohepatik. 5% di ekskresikan di feses.

Gambar 2.5 Gambar aliran empedu


Kolesterol dan fosfolipid di sintesis di hepar sebagai lipid utama yang di
temukan di empedu. Proses sintesis ini di atur oleh asam empedu.1 Warna dari
empedu tergantung dari pigmen bilirubin diglucoronide yang merupakan produk
metabolik dari pemecahan hemoglobin, dan keberadaan pada empedu 100 kali
lebih besar daripada di plasma. Pada usus oleh bakteri diubah menjadi
urubilinogen, yang merupakan fraksi kecil dimana akan diserap dan di
ekskresikan ke dalam empedu.

2.2 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan
nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya,
kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu
kandung empedu yang berada di duktus biliaris.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistitis tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul

8
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada
kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada
kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.

2.3 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal
terutama pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu
yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh
batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran
darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan
nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

9
Kolesistitis terbagi menjadi beberapa tahapan. Tahap pertama adalah
edematous cholecystitis (2-4 hari) dimana pembuluh darah pada dinding katung
empedu berdilatasi dan menjadi edem pada lapisan subserosa karena cairan
mengisi interstisial. Tahap kedua adalah necrotizing cholecystitis (3-5 hari)
dimana dinding kantung empedu yang edem terdistensi secara penuh dan tekanan
interna kantung empedu membuat aliran darah menjadi terhambat. Lama
kelamaan sebagian dinding pada area tersebut menjadi nekrosis. Tahap ketiga
adalah suppurative cholecystitis dimana dinding kantung empedu mulai dipenuhi
oleh darah putih dengan area sekitar yang nekrosis. Pada tahap ini, proses
perbaikan sebagai dampak dari proses inflamasi terjadi. Dindin kantung empedu
menjadi tergantikan oleh jaringan fibrosa, dan terjadi abscess didalam dinding
kantung empedu. Tahap keempat adalah chroncic cholecystitis. Kolesistitis
kronik terjadi akibat kejadian berulang kolesistitis, dikarakterisasi oleh mukosa
yang atrofi dan fibrosis. Hal ini juga dapat disebabkan oleh iritasi kronis oleh batu
empedu yang besar dan dapat terjadi kolesistitis akut.
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa
teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini.
Penyebab utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan
litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi
dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama
sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin
untuk kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu
mungkin merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang
sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang berkepanjangan, kandung
empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi
merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga
berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang

10
luas, dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang
menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap
kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.

2.4 Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian
atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari
pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam.
Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari
regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ).
Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan
menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat
penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa menceritakan
riwayat atau gejala yang muncul.

Gambar 2.1 Algoritma diagnosis kolesistitis

11
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan
atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran
kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat
yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda
Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada
15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika
batu tidak berada di duktus biliaris.
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran
empedu. Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung
empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95%.

12
Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis

Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah tipe khusus


dari magnetic resonance imaging (MRI) ujian yang menghasilkan gambar rinci
dari hepatobilier dan sistem pankreas, termasuk hati, kandung empedu, saluran
empedu, pankreas dan saluran pankreas. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
adalah tes medis non-invasif yang menggunakan dokter untuk mendiagnosa dan
mengobati kondisi medis. MRI menggunakan medan magnet yang kuat, pulsa
frekuensi radio dan komputer untuk menghasilkan gambar rinci organ, jaringan
lunak, tulang dan hampir semua struktur tubuh internal lainnya. MRI tidak
menggunakan radiasi pengion (sinar-x).
Rincian gambar MR memungkinkan dokter untuk mengevaluasi berbagai
bagian tubuh dan menentukan adanya penyakit tertentu. Gambar kemudian dapat
diperiksa pada monitor komputer, ditransmisikan secara elektronik, cetak atau
disalin ke CD.
Fungsi MRCP adalah:
1. meneliti penyakit hati, kandung empedu, saluran empedu, pankreas dan
saluran pankreas. Ini mungkin termasuk tumor, batu, radang atau
infeksi.
2. mengevaluasi pasien dengan pankreatitis untuk mendeteksi penyebab
yang mendasari. Pada pasien dengan pankreatitis, sebuah MRCP dapat
dilakukan dengan menggunakan obat yang disebut sekretin untuk
menilai jaringan parut jangka panjang dan untuk menentukan jumlah
fungsi pankreas sehat dan sekresi.

13
3. membantu untuk mendiagnosa sakit perut yang tak dapat dijelaskan.
4. memberikan alternatif yang lebih invasif untuk retrograde
cholangiopancreatography endoskopik (ERCP). ERCP adalah prosedur
diagnostik yang menggabungkan endoskopi, yang menggunakan
instrumen optik diterangi untuk memeriksa di dalam tubuh, dengan
injeksi kontras dan x-ray gambar iodinasi.

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Skintigrafi saluran empedu
mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6 Iminodiacetic acid
mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan juga
lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.

Gambar 2.3 Koleskintigram normal

14
Gambar 2.4 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya
pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2013), kriteria diagnosis kolesistitis adalah:


Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil
USG atau skintigrafi yang mendukung.

15
2.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
Aneurisma aorta abdominal
Iskemia messenterium akut
Apendisitis
Kolik bilier
Kolangiokarsinoma
Kolangitis
Koledokolitiasis
Kolelitiasis
Mukokel kandung empedu
Ulkus gaster
Gastritis akut
Pielonefritis akut

2.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin
dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya
empiema kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara
laparoskopik menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di
ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme
penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan
Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan
kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.

16
Mirizzi syndrome, yaitu terdapat batu pada ductus cysticus yang cukup
besar sehingga menyebabkan sumbatan pada duktus hepatikus komunis
dan menyebabkan gejala refluks bilirubin.
Hydrops, yaitu terjadi overdistensi kantung empedu akibat terisi cairan
(mucoid).
Kolangitis, yaitu peradangan pada traktus billier akibat infeksi serius dan
dengan gejala demam, ikterik, dan nyeri kuadran kanan atas.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis. Batu empedu adalah
penyebab umum dari pankreatitis . Batu empedu dapat memblokir saluran
empedu menghentikan keluarnya enzim pankreas ke usus kecil dan
memaksa enzim tersebut kembali ke pankreas. Enzim kemudian mulai
mengiritasi sel-sel pankreas dan menyebabkan peradangan yang terkait
dengan pankreatitis

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan
ada tidaknya komplikasi. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi.
Untuk kolesistitis akut berat, terapi awal yang diberikan meliputi
mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena,
koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena.
Pilihan terapi yang dapat diberikan:
Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem.
Pada kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan
imipenem/cilastatin.
Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah
dengan metronidazol.
Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin
intravena.
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat
jalan dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil

17
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.
Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.
Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik,
waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

18
Menurut Tokyo Guideline pada kolesistitis grade 1 dilakukan early
kolesistektomi laparoskopik, grade 2 diberikan terapi antibiotik terlebih dahulu
dan apabila terapi berhasil, kolesistektomi laparoskopik dapat ditunda, sedangkan
pada grade 3, dilakukan terapi antibiotik terlebih dahulu, lakukan drainase baru
dilakukan kolesistektomi laparotomi tertunda.
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
Resiko tinggi untuk anestesi umum
Obesitas
Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses,
peritonitis, atau fistula
Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan
koagulopati yang berat.
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase
perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi
transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke
kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif.
Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan
drainase perkutaneus ini.
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung
empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus
biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah
metode yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang
memiliki resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic
gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35 pasien
kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis pada 29 pasien
dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien.

19
2.8 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.

20
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
2.1 Simpulan
1. Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
2. Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis terbagi menjadi kolesititis
kalkulus dan akalkulus. Berdasarkan onsetnya, terbagi menjadi
kolesistitis akut dan kronik.
3. Diagnosis kriteria untuk kolesititis dapat digunakan berdasarkan
Tokyo guidelines.
4. Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak,
pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi
pembedahan berupa kolesistektomi.
5. Pemberian terapi lebih awal dan adekuat berperan dalam mencegah
terjadinya komplikasi kolesistitis seperti gangren, empiema,
emfisema, perforasi kandung empedu, abses hati, peritonitis, dan
sepsis.

2.2 Saran
1. Perlunya pengenalan dan pemahaman tanda dan gejala kolesistitis
yang lebih baik sehingga diagnosis kolesistitis dapat ditegakkan lebih
cepat dan tepat.
2. Perlunya pemberian terapi yang adekuat dan tepat sesuai dengan
kondisi pasien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan
mencegah terjadinya komplikasi kolesistitis.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
2. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary
Colic in Emergency Medicine. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
3. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-
overview.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit vol 1. Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
5. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses
pada: 1 Juni 2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-
overview.
6. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et
al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis
and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
7. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment.
Cleveland Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
8. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.
Flowchart for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14;
2007. p. 27-34.
9. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses
pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
10. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26);
2008.

22

Anda mungkin juga menyukai