Anda di halaman 1dari 41

Menyusun dan Menentukan Harga Perkiraan

Sendiri (HPS)
Written By Ikhsan Firdaus on Wednesday, December 12, 2012 | 12/12/2012

Pasal 66 ayat (5) b Perpres 54 Tahun 2010, HPS digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan
metode Pagu Anggaran. Meskipun batas atas penawaran dengan evaluasi kualitas
dan biaya adalah pagu, namun HPS tetap diumumkan (Lampiran Bab IV A Bagian
B.1/2.a.2)).
Untuk pengadaan barang/jasa tidak ada ketentuan mengenai batas atas keuntungan
yang wajar yang boleh disampaikan oleh penyedia. Bagi Pokja ULP, HPS merupakan
alat untuk menilai kewajaran harga. Perhitungan HPS harus dilakukan dengan
cermat, dengan menggunakan data dasar dan mempertimbangkan harga pasar
setempat pada waktu penyusunan HPS. RAB pada TOR/KAK dan Standar Harga
yang ditetapkan Kepala Daerah hanya digunakan untuk menyusun anggaran,
sedangkan HPS diperoleh dari hasil survei pasar terkini.

Keuntungan yang wajar bergantung pada sifat dan ruang lingkup pekerjaan, antara
lain dengan mempertimbangkan tingkat perputaran barang/jasa yang ditawarkan
(turn over). Semakin tinggi turn over barang/jasa akan mengakibatkan persentase
overhead dan ekspektasi profit semakin rendah. Demikian pula dengan besaran
volume (nilai) pekerjaan, semakin besar nilai pekerjaan akan semakin kecil
ekspektasi keuntungan (profit).

Karena jenis barang/pekerjaan cukup beragam, maka format penetapan HPS


disesuaikan dengan sifat dan ruang lingkup pekerjaan yang dikompetisikan.
Silahkan gunakan format yang sudah ada dan mengacu kepada Peraturan Presiden
No.54 Tahun 2010, antara lain sudah memperhitungkan PPN dan keuntungan.

Sesuai dengan pasal 66 ayat (7) penyusunan HPS didasarkan salah satunya adalah
harga pasar setempat yang didapat dari beberapa sumber informasi, Standar harga
satuan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah tidak dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan HPS, namun hanya digunakan untuk penyusunan RAB pada saat
pengajuan anggaran. ULP dilarang menambah klausul mengenai harga wajar
maksimal harus sesuai dengan Standar Harga Kepala Daerah. Meskipun demikian
bilamana standar tersebut sudah dituangkan dalam DPA, maka penetapan HPS dan
rinciannya tidak boleh melebihi Standar Harga Bupati. Mengingat HPS digunakan
sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah (pasal 66 ayat
(5) huruf b), dan tidak boleh melampaui pagu yang tersedia (pasal 13).

HPS tetap diperlukan untuk semua metoda pemilihan, kecuali kontes dan
sayembara
Standar Harga yang diterbitkan oleh Kepala Daerah tidak dapat dijadikan dasar
untuk menghitung adanya kerugian Negara, demikian pula dengan HPS yang
ditetapkan oleh PPK. Penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat,
yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan
(pasal 66 ayat (7), sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menghitung kerugian
Negara pada saat pemeriksaan dilakukan;

HPS dapat ditentukan dari nilai tertinggi, nilai tengah (median), nilai yang paling
banyak muncul (modus) atau rata-rata (mean) dari hasil survei, sepanjang nilai
tersebut diyakini dapat dipenuhi lebih dari 3 calon penyedia (bukan 3 produk). Nilai
tersebut sudah termasuk keuntungan, overhead, dan pajak.

HPS jasa konsultansi terdiri dari komponen Biaya Langsung Personil


(Remuneration), Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost, dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) (Lampiran IV-A Bagian A.3.a.2) e)). Penyusunan HPS
Biaya Langsung Personil tenaga ahli dapat bersumber dari informasi biaya satuan
yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang
dapat dipertanggungjawabkan, antara lain INKINDO (pasal 66 ayat (7) b). Namun
dalam proses pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi harus dilakukan negosiasi teknis
dan biaya sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar dan secara
teknis dapat dipertanggungjawabkan (pasal 41 ayat (2))

Sedangkan penyusunan HPS untuk biaya non personil disesuaikan dengan ruang
lingkup dan metodologi pekerjaan untuk mendukung pelaksanaan tugas penyedia
jasa konsultansi tersebut. Harga Satuan Pekerjaan untuk biaya non personil jasa
konsultansi dapat pula mengacu kepada Standar Biaya Umum yang ditetapkan
Menteri Keuangan setiap tahun

Meskipun demikian pembayaran biaya langsung non personil yang dimaksud di atas
tidak hanya mengacu kepada nilai yang disepakati di dalam kontrak, namun
berdasarkan bukti pengeluaran yang disampaikan pada saat pembayaran (direct
reimbursable cost). Oleh karena itu berdasarkan sifat dan ruang lingkup pekerjaan
jasa konsultansi, maka kontrak yang tepat digunakan adalah kontrak harga satuan

Untuk pengadaan yang memiliki HPS di atas Rp.25.000.000.0000,00 (dua puluh


lima juta rupiah) maka jaminan sanggahan banding sama yaitu Rp.50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Namun untuk pengadaan yang memiliki HPS bernilai
sampai dengan Rp.25.000.000.0000,00 (dua puluh lima juta rupiah) maka jaminan
sanggahan banding tergantung dari besaran nilai HPS, yaitu 2 per mil dari nilai HPS.

HPS dapat menggunakan kontrak dengan penyedia jasa sebelumnya yang sejenis
dan harganya masih valid.
HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah
untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dan Pengadaan Jasa
Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Mengacu kepada uraian
tersebut, dalam hal terdapat penawaran yang melebihi HPS tetapi tidak melebihi
pagu tidak diperkenankan untuk dilaksanakan proses negosiasi dan harga, kecuali
untuk pekerjaan jasa konsultansi

HPS harus dibuat per item pekerjaan yang disebut sebagai rincian HPS. Rincian
tersebut bersifat rahasia bila belum tercantum dalam dokumen anggaran.

PPK bertanggung jawab untuk menetapkan HPS (pasal 11 ayat (1)), termasuk HPS
biaya pemeliharaan gedung apabila satuan kerja PPK tidak memiliki pegawai yang
menguasai teknis konstruksi. Meskipun demikian PPK dapat meminta bantuan
tenaga ahli (konsultan perencana) untuk menyusun HPS.

Tidak ada batasan untuk keuntungan yang wajar, dapat disesuaikan dengan ruang
lingkup pekerjaan yang dikompetisikan. Besar keuntungan tersebut juga menjadi
salah satu faktor yang akan dikompetisikan.

HPS tidak dapat mencantumkan biaya tidak terduga. Oleh karena itu dalam hal
pengadaan bibit ternak, rancangan kontrak dijelaskan bahwa pekerjaan harus
diserahterimakan setelah selesai masa pemeliharaan bibit ternak tersebut dalam
beberapa kurun waktu tertentu. Dengan demikian pekerjaan ini termasuk pekerjaan
pengadaan jasa lainnya, yang terdiri dari paket pengadaan bibit ternak dan jasa
pemeliharaan bibit ternak di tempat pemilik pekerjaan atau tempat dimana bibit
ternak tersebut akan dikembang biakkan. Serah terima pekerjaan kepada PPK
dilakukan bila bibit ternak yang dikirimkan dianggap sudah dapat menyesuaikan diri
dengan habitat yang baru dalam jangka waktu tertentu (misalnya sebulan). PPK
selanjutnya langsung menyerahkan kepada petani. Risiko kematian bibit bibit ternak
tersebut selanjutnya bukan merupakan tanggung jawab PPK.

Dalam menyusun HPS dapat ditambahkan keuntungan yang wajar dari jasa yang
diberikan penyedia, besarannya mengacu kepada nilai pekerjaan, umumnya 10%
(sepuluh perseratus). Semakin besar nilai pekerjaan, persentase keuntungan
terhadap jasa yang diberikan dapat semakin kecil dan menjadi salah satu item yang
dikompetisikan.

Yang menjadi dasar penentuan metoda pemilihan penyedia adalah nilai HPS dari
pengadaan tersebut. Pemilihan metode pelelangan ditentukan oleh nilai HPS yang
ditetapkan oleh PPK, tidak harus mengacu kepada nilai pagu anggaran karena
penawaran pada pelelangan tidak boleh melebihi HPS. Demikian pula dengan
pemilihan metode seleksi jasa konsultan, namun penawaran diatas HPS tidak
menggugurkan sepanjang hasil negosiasi tidak melebihi pagu anggaran. Untuk jasa
konsultan jika HPS dibawah Rp 10 miliar sedangkan pagu anggaran di atas Rp 10
miliar, maka penetapan pemenang untuk penawaran di atas Rp 10 miliar dilakukan
oleh Pengguna Anggaran sesuai ketentuan yang disebut diatas. Penambahan unsur
keuntungan dalam penentuan HPS bergantung pada hasil survei PPK/Pokja ULP.
Umumnya keuntungan yang wajar adalah 10% (sepuluh perseratus), tetapi ada yang
menambahkan keuntungan kurang dari 10% (sepuluh perseratus) dari harga dasar,
antara lain karena dilakukan pengadaan dalam jumlah besar. Besar presentase
keuntungan dapat pula lebih besar dari 10% (sepuluh perseratus), bilamana barang
tersebut membutuhkan handling material yang lebih kompleks dan berisiko,
misalnya barang impor. Sebelum memasukan keuntungan tersebut, sebaiknya
dipastikan apakah harga yang didapat sudah merupakan harga dasar plus
keuntungan atau belum. Dengan demikian tidak terjadi penambahan perhitungan
keuntungan yang terkesan di mark-up.

Penetapan HPS dilakukan oleh PPK, dengan demikian PA tidak perlu memberikan
persetujuan terhadap HPS yang ditetapkan. PPK sepenuhnya bertanggung jawab
dalam penetapan HPS tersebut. Meskipun demikian untuk mencegah kerugian
negara, maka Pokja ULP/Pejabat Pengadaan dapat melakukan survey harga kembali,
bilamana diperlukan.

Sehubungan dengan telah disahkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003


tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, maka Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Departemen Keuangan Nomor 1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan RAB dan HPS jasa konsultansi
jika tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku diatasnya (lex posterior
derogat priori). Peraturan yang dijadikan pedoman dalam pengadaan jasa
konsultansi saat ini adalah Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 beserta
lampirannya. Penentuan HPS dalam Keppres 80/2003 dan Peraturan Presiden
No.54 Tahun 2010 didasarkan atas hasil survei pasar atau dapat pula mengacu
kepada daftar yang dikeluarkan oleh asosiasi konsultan. Surat Edaran Bersama
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Nomor
1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000 menggantikan Surat Edaran Bersama Direktur
Jenderal Anggaran Departemen Keuangan dan Deputi Ketua Bidang Pembiayaan
dan Pengendalian Pelaksanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor :
SE-351A121/0298 dan Nomor 6041D.V110211998 Tanggal 14 Februari 1998 tentang
Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non Personil untuk menyusun
Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Harga Perhitungan Sendiri (HPS). SEB tahun
1998 mencantumkan besaran nilai biaya langsung personil untuk masing-masing
kualifikasi tenaga ahli yang dilihat dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja,
sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Perpres No. 54 Tahun 2010.

Total penawaran biaya terkoreksi yang melebihi pagu anggaran mengugurkan


penawaran. Total penawaran biaya terkoreksi yang melebihi HPS tidak
menggugurkan penawaran sepanjang penawaran biaya tersebut masih dibawah atau
sama dengan pagu anggaran. Jika total nilai HPS sama dengan nilai pagu anggaran
maka total nilai HPS tersebut dijadikan patokan untuk menggugurkan penawaran
biaya terkoreksi apabila melebihi total nilai HPS.

PPK dapat menentukan nilai HPS Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
walaupun pagu anggarannya Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). HPS
dimaksud disusun dengan perhitungan dan pertimbangan yang seksama
berdasarkan data dari sumber terpercaya dan sudah memperhitungankan
keuntungan, biaya overhead dan pajak. Seleksi jasa konsultan dengan nilai tersebut
dilakukan dengan seleksi sederhana/umum, yang pada prinsipnya harus
dikompetisikan. Penyedia dapat menawarkan harga diatas HPS, kecuali untuk
seleksi yang menggunakan metoda pagu anggaran (pasal 66 ayat 3).

Penyusunan HPS tidak hanya terbatas pada dua toko dan hanya satu jenis sumber
saja, tetapi dari beberapa sumber seperti dinyatakan pada Peraturan Presiden No.54
Tahun 2010 pasal 66 ayat (7). Penambahan keuntungan dilakukan pada harga
distributor/agen bukan pada harga pasar yang sudah memiliki unsur keuntungan,
harga toko seperti yang dijelaskan diatas termasuk harga yang sudah memiliki unsur
keuntungan. Penambahan biaya overhead diperkenankan ditambahkan jika memang
pekerjaan tersebut memang membutuhkan biaya tersebut. Harga dasar tersebut
ditambahkan keuntungan dan overhead, selanjutnya baru ditambahkan PPN.
Didalam penyusunan HPS tidak memasukkan unsur PPh.

Didalam penyusunan HPS PPK diharuskan menambahkan PPN. PPK dapat pula
menambahkan biaya overhead bila dibutuhkan oleh penyedia, antara lain untuk
mengirimkan barang tersebut ke lokasi pengguna. Biaya transportasi yang dimaksud
di sini bukan biaya yang dikeluarkan Pejabat Pengadaan dalam melakukan
pengadaan langsung, karena biaya tersebut tidak dibabankan dalam belanja
barang/modal, melainkan biaya untuk proses pengadaan.

Ketentuan didalam Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 66 ayat (4), HPS
disusun paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir
pemasukan penawaran, yang dimaksud 28 (dua puluh delapan) hari adalah waktu
penyusunan dan penetapan HPS, tidak harus selalu mengacu kepada waktu survei
harga dilakukan. Mengingat harga yang diperoleh dari hasil survei perlu diteliti lebih
lanjut sebelum ditetapkan sebagai HPS.

Untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya Yang diumumkan


adalah nilai HPS bukan Pagu Anggaran. Untuk pengadaan jasa konsultansi dengan
metoda evaluasi pagu anggaran, yang diumumkan adalah HPS nya, dimana HPS
umumnya sama dengan pagu anggaran. Hal ini mengingat metoda evaluasi pagu
anggaran dimaksudkan untuk mendapatkan spesifikasi teknis terbaik dengan
mengoptimalkan ketersediaan anggaran. Sedangkan untuk pengadaan jasa
konsultansi selain metoda evaluasi pagu anggaran, yang diumumkan adalah HPS
dan pagu anggaran. Yang menjadi batas penawaran tertinggi adalah pagu anggaran,
sedangkan HPS digunakan sebagai acuan untuk melakukan negosiasi dan menilai
kewajaran harga.

Penawaran yang lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) HPS diklarifikasi
terlebih dahulu untuk meyakinkan ULP apakah Penyedia tersebut mampu
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan didalam
Dokumen Pengadaan. Jika dalam hasil klarifikasi ternyata Penyedia tersebut
memang dapat melakukan pekerjaan dengan spesifikasi yang ditentukan, maka
Penyedia tersebut dapat ditetapkan sebagai pemenang dan pemenang cadangan.
Tetapi jika tidak, maka Penyedia tersebut dapat digugurkan. Tetapi, ULP/Panitia
Pengadaan tidak dapat mengugurkan Penyedia yang memberikan penawaran 80%
(delapan puluh perseratus) HPS tanpa klarifikasi terlebih dahulu.

Harga tidak wajar yang diakibatkan karena adanya persaingan tidak sehat dapat
diartikan bahwa harga yang ditawarkan sudah mengandung unsur mark-up atau
melebihi harga pasar setempat antara lain karena adanya persekongkolan antara
peserta lelang atau pelaku usaha.
Pengadaan jasa sewa (mesin fotokopi, kenderaan bermotor, dan yang sejenis) dapat
menggunakan metoda evaluasi sistem gugur. HPS dihitung berdasarkan biaya
pengadaan mesin tersebut beserta biaya pemeliharaan dibagi dengan lamanya umur
ekonomis, dan komponen biaya lainnya yang dianggap perlu.

Perkiraan harga masing-masing item pekerjaan dalam suatu paket kegiatan disebut
rincian HPS. Sedangkan total HPS adalah jumlah keseluruhan harga dari item-item
pekerjaan pada suatu paket kegiatan.

Survei pasar untuk menetapkan HPS dapat dilakukan kepada 1 distributor dan
sumber harga lainnya yang diatur dalam pasal 66 ayat 7, jika tidak terdapat pelaku
usaha lainnya pada daerah tersebut. Survei tidak harus dilakukan ke pasar fisik,
tetapi dapat pula dilakukan melalui informasi yang ada di internet sepanjang proses
kompetisi nantinya dilakukan secara efisien dan efektif.
PPK harus meperhitungkan semua unsur harga dalam penentapan HPS termasuk
diskon dan potongan harga untuk pembelian dalam jumlah besar.

HPS ditentukan dari nilai keseluruhan nilai suatu paket yang akan dilelang, baik
untuk kontrak lumpsum maupun harga satuan. Untuk kontrak harga satuan rincian
harga dari masing-masing item pekerjaan harus ditetapkan pula oleh PPK.
Forum konsultasi LKPP

Lika-Liku Menyusun HPS


14 MEI

6 Votes

Setelah spesifikasi ditetapkan selanjutnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dalam ranah
perencanaan pelaksanaan pengadaan, menyusun harga Perkiraan Sendiri (HPS). Pasal 66
Perpres 54/2010 secara gamblangmenegaskan fungsi HPS dalam proses pengadaan serta
persyaratannya.
Seperti dikemukakan dalam artikel Mengenal Rencana Pelaksanaan Pengadaan bahwa faktor
harga dalam 5 prinsip value for money (VFM) selalu yang paling bontot. Karena harga sangat
tergantung pada hukum permintaan dan penawaran didalam pasar. Semakin tinggi permintaan
maka akan semakin tinggi pula harga barang/jasa. Semakin tinggi atau banyak penawaran maka
harga akan semakin turun. Disisi lain ada faktor produksi, jumlah penyedia dan jumlah pembeli
yang juga turut mempengaruhi. Hal ini menunjukkan bahwa harga didalam pasar sebagai
indikator kompetisi.
Kompetisi antar penyedia diyakini akan menjadi sarana efektif bagi user untuk mendapatkan
barang/jasa yang dibutuhkan dengan kualitas optimal sesuai kemampuan dana yang tersedia.
Maka tidak tanggung-tanggung P54/2010 menempatkan 5 prinsip untuk menjaga tingkat
kompetisi yaitu terbuka, transparan, bersaing, adil/tidak diskriminatif kemudian dibungkus
akuntabilitas untuk menjaga trust atau kepercayaan semua pihak terhadap proses. Tujuan
utamanya tentu mendukung tercapainya prinsip efektif dan efisien.
Dalam kerangka kompetisi inilah kemudian HPS disusun. Pasal 66 ayat 5 huruf a menegaskan
bahwa HPS digunakan sebagai alat menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya.
Kemudian ayat 7 menambahkan bahwa HPS didasarkan pada harga pasar setempat terkini,
dikaitkan dengan ayat 2 yaitu 28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran. Jadi
dapat disimpulkan HPS adalah harga pasar setempat menjelang pelaksanaan pengadaan.

Yang harus digaris bawahi adalah harga pasar! Harga pasar adalah harga pokok produksi
(HPP) ditambahkan dengan pajak yang berlaku.Garisson/Noreen menyatakan bahwa HPP
adalah Biaya produksi barang/jasa dalam periode tertentu yang terdiri dari biayabiaya:
1. Biaya Bahan Baku adalah bahan yang digunakan untuk bahan jadi disebut bahan
mentah.
2. Biaya Tenaga Kerja Langsung adalah tenaga kerja pabrik yang dapat ditelusuri dengan
mudah ke masingmasing unit produk.
3. Biaya Overhead adalah semua biaya yang berkaitan dengan proses produksi selain bahan
langsung dan tenaga kerja langsung.
Fungsi dari HPP adalah sebagai dasar untuk menetapkan harga jual yang pantas, sesuai dengan
tingkat laba yang diinginkan Dengan demikian maka klop- lah pengertian yang dipahami dari
P54/2010 pasal 66 ayat 8. Harga pasar sama dengan harga jual. Dasar harga jual adalah HPP
ditambahkan keuntungan yang pantas/wajar. Disamping itu ketika akan diformulasikan ke
dalam HPS dilengkapi dengan pajak yang berlaku seperti PPN.
Struktur Pasar
Yang terpenting terkait harga pasar adalah sourcing atau sumber data HPS. Sumber data HPS
harus memperhatikan struktur pasar. Untuk melihat struktur pasar kita dapat gunakan Krajilc
Box pada bahasan Barang/Jasa dan Penyedia.
Untuk barang/jasa laverage dimana jumlah penyedia dan barang berada dalam jumlah yang
banyak maka kata kuncinya adalah harga terendah. Untuk itu dalam menyusun HPS hasil survey
harga pasar yang diambil dapat menggunakan harga terendah. Misal, dalam survey terhadap 3
penyedia A, B dan C didapatkan harga Laptop sebagai berikut :
1. Penyedia A menawarkan Rp. 5.000.000,-
2. Penyedia B menawarkan Rp. 6.000.000,-
3. Penyedia C menawarkan Rp. 7.000.000,-
Dari data ini untuk barang laverage dapat digunakan harga Rp. 5.000.000,- sebagai harga pasar.
Ini karena kita yakin dipasar jumlah penyedia yang menawarkan laptop, dengan spesifikasi yang
dibutuhkan, tersedia dalam jumlah yang cukup banyak.
Untuk barang/jasa laverage sumber harga pasar biasanya diambil dari struktur pasar terendah
yaitu sektor retail, eceran atau toko. Karena harga pasar diambil ditingkat eceran maka unsur
keuntungan tidak perlu ditambahkan lagi. Harga ditingkat eceran adalah harga pasar dan sudah
termasuk keuntungan. Jadi untuk HPS laptop pada contoh diambil Rp. 5.000.000,- + 10% PPN
= Rp. 5.500.000,-.
Untuk barang/jasa routine dari sisi karakteristik barang/jasa dan penyedianya cenderung sama
dengan laverage, sehingga metode pengambilan harga pasar tidak jauh berbeda. Hanya saja
yang perlu diperhatikan adalah tingkat penawaran sangat tergantung pada repeat order bukan
pada volume pembelian. Penting menekan biaya perolehan atau acquisition
cost dengan consolidated procurement. Dalam menghitung HPS tidak berbeda dengan laverage.
Barang/jasa bottleneck maupun Critical Strategic sifatnya menuntut kompetensi teknis yang
tinggi dari penyedia. Maka HPS mengacu pada harga diatas retail yaitu agen (distributor) dan
seterusnya. Ditingkat ini harga adalah harga dasar atau HPP. Untuk menghitung harga pasar
formulasinya harga dasar + keuntungan. Misal, dalam survey terhadap 3 penyedia A, B dan C
didapatkan harga kendaraan bermotor sebagai berikut :
1. Dealer A menawarkan Rp. 12.000.000,-
2. Dealer B menawarkan Rp. 13.000.000,-
3. Dealer C menawarkan Rp. 14.000.000,-
Dari data ini dapat digunakan harga tertinggi Dealer C atau harga rata-rata diantara ketiganya
sebagai harga dasar. Harga terendah tidak disarankan untuk diambil karena tingkat kompetisi
tidak memadai. Kejadiannya bisa saja penyedia yang menawarkan harga terendah jumlahnya
terbatas atau hanya 1 saja. Tentu kondisi ini akan merugikan proses pengadaan terutama terkait
gagal lelang.

Karena harga pasar diambil ditingkat agen, unsur keuntungan perlu diperhitungkan. Untuk
contoh kasus HPS kendaraan bermotor adalah Rp. 14.000.000,- + keuntungan yang wajar+10%
PPN.
Struktur Pasar
Yang juga perlu diperhatikan adalah tingkat persaingan dalam pasar. Apabila target penyedia
adalah retail atau usaha kecil maka memperhitungkan keuntungan adalah sebuah keharusan.
Namun untuk paket-paket non kecil yang merupakan karakteristik dari critical strategic maka
yang bermain adalah ditingkat distributor. Untuk itu faktor keuntungan dapat tidak
diperhitungkan karena yang bersaing adalah distributor terkecuali sumber data harga dasar
diambil dari pabrikan maka faktor keuntungan bagi distributor perlu diperhitungkan.
Kekeliruan yang sering terjadi adalah saat harga pasar diambil dari retail (toko) kemudian target
penyedia dari struktur diatasnya (CV). Ada kebiasaan menambahkan faktor keuntungan pada
harga retail yg didapatkan. Alasannya CV tidak akan menawar apabila tidak ada keuntungan.

Logika ini keliru, menghancurkan struktur pasar dan menyuburkan iklim usaha yang buruk. CV
semestinya mempunyai kekuatan jaringan dan permodalan yang baik sehingga mampu
mengakses struktur pasar yang lebih tinggi yaitu pada distributor atau pabrikan. Sehingga
jumlah pembelian tentu lebih besar dari toko. Dari sisi ini keunggulan harga, CV semestinya
lebih baik dari toko. Misal melalui rabat pembelian, discount ataupun fasilitas kredit pembelian.

Sehingga menjadi aneh ketika ada CV yang bertopang pada sektor retail (toko) dalam penyediaan
barang. Apabila ini terjadi, dapat dipastikan CV tersebut adalah CV musiman yang tidak
mempunyai peran apapun dalam struktur pertumbuhan perekonomian. CV ini core business-nya
hanya menjadi penyedia pemerintah cenderung broker atau dan general trading.
Pertimbangan tingkat persaingan didalam pasar ini sangat strategis dalam rangka membangun
iklim usaha yang baik. Untuk itulah Michael E Porter seorang pakar strategi
mengemukakan Five Factor yang mempengaruhi tingkat persaingan. Pengetahuan ini sangat
membantu PPK dalam menyusun perencanaan pelaksanaan pengadaan.
Keuntungan Yang Wajar
Problematika lain dari HPS adalah bagaimana menetapkan keuntungan yang wajar. P54/2010
menyebutkan bahwa keuntungan dan biaya overheadyang dianggap wajar bagi penyedia
adalah maksimal 15% (lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN. Tiga
kesalahan dalam memahami kalimat ini adalah :
1. Komposisi keuntungan dan biaya overhead menjadi harga mati 15%.
2. Keuntungan disamakan maksimal atau minimal 15%.
3. Proporsi umum keuntungan 10% dan overhead 5%
Komposisi 15% adalah rumusan P54 apabila tidak ditentukan lain, dilihat dari kondisi yang ada.
Untuk itulah pada penjelasan pasal 66 ayat 8 dituliskan kataContoh keuntungan dan biaya
overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus). Artinya
komposisi 15% adalah contoh atau benchmark apabila tidak ditentukan lain. Ingat prinsip
akuntabel. Selama perhitungan keuntungan dan overhead akuntable maka komposisi 15% bisa
saja kurang atau lebih.
Berapa komposisi keuntungan yang wajar bagi penyedia? Pertanyaan ini tentu sangat sulit
dijawab karena dalam mindset harga, yang di-drive oleh pasar penyedia, tidak ada nilai yang
pasti.
Di era K80/2003 digunakan angka 10%. Benar kah ini? Ada baiknya kita melihat unsur
kesejarahan munculnya 10% ini. Angka 10% ini muncul dari rumusan UU No. 17 tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan yang sekarang telah diubah terakhir kalinya menjadi UU no. 36 tahun 2008.

Keuntungan adalah bagian dari penghasilan. Karena itulah kemudian pemerintah menetapkan
besaran pajak diambil dari bagian keuntungan, yang didapatkan dari pengadaan barang/jasa
pemerintah, yang disebut Pajak Penghasilan (PPh). Besaran PPh dari bagian keuntungan
dihitung berdasarkan besarnya penghasilan. Ditetapkan-lah bagian penghasilan kena pajak
(PKP) sebagai dasar perhitungan.

Rumusan tarif PPH adalah hasil perkalian PKP dengan keuntungan. Keuntungan inilah yang
diyakini sebagai standar keuntungan yang wajar. Rumus secara tertulisnya adalah:

% PPh = % tarif PKP x % Keuntungan atau Keuntungan = PPh / PKP x 100%


Kemudian lihat ketentuan UU PPh 17/2000 tentang nilai PKP dan PPh. Di era tahun 2000-an
sebagian besar pengadaan pemerintah berada dikisaran 50 juta s/d 100 juta. Pasal 17 ayat 1.b
menyebutkan bahwa tarif PKP badan-nya adalah sebesar 15%. Kemudian untuk PPh barang/jasa
lainnya dipungut sebesar 1,5%. Data ini kita masukkan ke dalam rumus untuk mendapatkan nilai
keuntungan yang wajar menurut UU PPh.

Keuntungan = PPh / PKP x 100%


Keuntungan = 1,5 /15 x 100%
Keuntungan = 0,1 x 100%
Keuntungan = 10%
Ini adalah pola lama perhitungan keuntungan yang wajar 10% (Sepuluh Persen). Apabila
ditelaah lebih dalam untuk nilai penghasilan diatas 100jt keuntungan yang wajar sebenarnya
hanya 5% menurut UU PPh.

Untuk era setelah tahun 2008 berlaku ketentuan baru berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008,
bahwa sejak tahun 2011 tarif PKP badan adalah sebesar 25%. Sedangkan nilai pungutan tetap
1,5%. Maka rumus keuntungan sebagai berikut :

Keuntungan = PPh / PKP x 100%


Keuntungan = 1,5 /25 x 100%
Keuntungan = 0,06 x 100%
Keuntungan = 6%
Formulasi ini dapat digunakan untuk pekerjaan konstruksi yang PPh-nya sebesar 2% dan jasa
konsultan 4%. Didapatkan standar keuntungan yang wajar 8% dan 16%. Lihat saja keuntungan
yang wajar untuk konsultan, dengan kompleksitas pekerjaannya, standarnya malah lebih dari
15%.

Komposisi Overhead
Ambil patokan standar perhitungan keuntungan sebelumnya, untuk barang/jasa lainnya oleh
badan usaha komposisi HPS adalah sebagai berikut :

HPS = Keuntungan + OH
< 15% = 6% + OH

OH = 15 6

OH = < 9%

Mestikah OH terkurung diangka 9%? Seperti dikemukakan Garisson/Noreenbiaya overhead


(OH) adalah semua biaya yang berkaitan dengan proses produksi selain bahan langsung dan
tenaga kerja langsung. Dari sisi produksi juga dikenal dengan biaya OH pabrik mencakup biaya
produksi lainnya seperti pemanasan ruang pabrik, penerangan, penyusutan pabrik dan mesin-
mesin, pemeliharaan, gudang bahan-bahan dan hal lain yang memberikan pelayanan-pelayanan
kepada bagian produksi juga merupakan bagian dari biaya OH pabrik.
Untuk barang/jasa non laverage biaya OH pabrik ini perlu dimasukkan dalam pertimbangan
HPS. Seperti barang/jasa routine yang berorientasi pada stock management maka OH
terkait inventory harus diperhitungkan untuk menjamin ketersediaan supply yang dapat
mengganggu pemenuhan kebutuhan apabila terjadi kemacetan supply.
Untuk barang/jasa laverage dimana jumlah penyedia dan barang dalam pasar persaingan
sempurna maka yang diperhitungkan cukup OH dari sisi penjualan. Biaya ini menurut Pass,
Lowes dan Davis termasuk dalam biaya penjualan, biaya distribusi dan biaya administrasi
diperhitungkan sepanjang biaya-biaya tersebut tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan
unit produk.
.Jelas komposisi OH dalam HPS maksimal 15% bersama keuntungan, harus diperhitungkan
dengan teliti dan akuntabel. Sehingga tidak semua komposisi keuntungan plus OH adalah 15%
bisa kurang atau bisa juga lebih. Prinsip akuntabilitas yang tetap berorientasi pada efisiensi dan
efektifitas pencapaian sasaran harus terus dipegang.

Untuk itu penting sebuah kerangka spesifikasi yang jelas dan terukur, sehingga komposisi HPS
mencerminkan biaya yang memang dibutuhkan, tidak hanya tentang harga terendah. Ini juga
akan sangat menentukan rancangan kontrak yang akan dipilih dan ditetapkan nantinya.

1. Besarnya keuntungan penyedia pada dasarnya tidak bisa kita batasi Hanya saja pada
saat menyusun hps seperti saya tulis harga pasar sdh termasuk keuntungan Apabila sumber
data berasal dari distributor atau pabrikan itu adalah harga dasar apabila target penyedia usaha
kecil Sehingga perlu ditambahkan keuntungan yang wajar dan overhead maksimal 15%

2.
ingin memperdalam perpres 54/2010 dan perubahannya November 4, 2012 pada 6:53
pm #

Rate This
Dalam perpres 70 tahun 2012, harga pasar bukan menjadi dasar dalam penyusunan HPS.

3.
samsulramliNovember 4, 2012 pada 7:05 pm #

Rate This
Menurut saya tidak ada yang berubah karena pasal 66 ayat 7 huruf a.. Mungkin Bapak punya
dasar pemikiran yang berbeda yang bisa dishare disini.

4.
ingin memperdalam perpres 54/2010 dan perubahannya November 5, 2012 pada 10:55
am #

Rate This
Keliru, maksudnya harga pasar bukan menjadi dasar utama untuk menyusun HPS, tetapi salah
satu dasar dalam penyusunan HPS berdasarkan perpres 70/2012 berbeda dengan perpres
54/2010.

5.
samsulramliNovember 5, 2012 pada 7:08 pm #

Rate This
Sepakat pak bahwa harga pasar bukan lagi sebagai data dasar utama namun HPS
diperhitungkan berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan yang salah satunya
adalah Harga pasar setempat.
Namun apabila kita melihat konstruksi P54 dan seluruh perubahannya termasuk P70 maka
dapat ditemui betapa Harga Pasar menjadi sangat penting seperti Pasal 1 ayat 30, Pasal 38 ayat
3, Pasal 39 ayat 2, Pasal 40 ayat 2 huruf a dan Pasal 41 ayat 2 atau pasal-pasal sebelum pasal 66.
Ketika berbicara harga barang maka harga pasar yang jadi acuan.
Demikian menurut saya..

6.
Eddy OyanNovember 13, 2012 pada 11:30 am #

Rate This
Mohon penjelasan dari Bang Samsul, terkait dengan apabila dalam penyusunan HPS
menggunakan harga retail atau toko, kemudian kita menambahkan keuntungan 10 % kemudian
ditambah 10 % PPN, dan pihak penyedianya adalah CV. Apakah hal tersebut menyalahi
ketentuan ketentuan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 / Perpres No. 70 Tahun 2012 ???
Makasih.

7.
samsulramliNovember 15, 2012 pada 12:17 am #

Rate This
Harga Retail atau toko adalah Harga Pokok Penjualan yang sudah barang tentu sudah
memperhitungkan keuntungan didalamnya jadi apabila ditambahkan faktor keuntungan lagi
semisal 10% maka akan terjadi kemahalan sebesar 10% dari harga pasar. Kemahalan ini yang
dilarang oleh P54/2010 dan seluruh perubahannya. Terkait soal penyedianya adalah CV sudah
sangat jelas dalam artikel saya bahwa dalam struktur pasar CV mestinya lebih tinggi dibanding
toko, sehingga CV mestinya mempunya kapasitas pembelian yang besar dan berkoneksi dengan
agen/distributor bahkan pabrikan bukan lantas membeli produk dari toko retail. Mengenai
pendalaman tentang ini saya akan tulis bagian dua tentang lika-liku menyusun HPS 2 Insya
Allah.

8.
Hartono LaumaNovember 22, 2012 pada 1:13 pm #

0
Rate This
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Penjelasan yag sangat mencerahkan
saya mau tanyapada saaat kita menyusun HPS untuk pengadaan langsung berdasarkan harga
pasar dan tidak boleh ditambahkan keuntungan krn keuntungan sdh ada di tingkat retailer
(toko) apakah kita bisa menambahkan OH dlm pengertian biaya perhitungan jika yg menjadi
penyedia retailer (toko) dlm mengurus administrasi pencairan dan bunga bank karena
barangnya dimasukkan dulu baru terjadi pembayaran (misalnya : masa pelaksanaan sekitar 3
bln) ?

9.
samsulramliNovember 22, 2012 pada 4:21 pm #

Rate This
OH biasanya ada pada proses pergudangan, administrasi import/eksport atau biaya lain yang
berpegaruh pada Harga Pokok Produksi atau Harga Dasar secara tidak langsung Biaya
administrasi pencairan atau bunga bank terkait proses transaksi tidak termasuk overhead Jadi
menurut saya tidak dapat dimasukkan dalam HPS

10.
KUSTADIFebruari 15, 2013 pada 1:52 pm #

Rate This
Pak Samsul Ramli, saya mau tanya masalah HPS Pengadaan Jaringan LAN dan instalasinya .
Ada Tiga Perusahaan yang menyampaikan penawarannya masing-masing A sebesar Rp
12.150.000,00 (exclude PPN 10% ), B sebesar Rp 12.585.000,00 (exclude PPN 10% ) dan C
sebesar Rp 12.725.000,00 (exclude PPN 10% ). Berapa HPSnya dan Harga dasarnya untuk RAB.
terima kasih banyak bantuannya. Pak.

11.
samsulramliFebruari 15, 2013 pada 3:07 pm #
0

Rate This
Maaf pak sebelumnya HPS menurut saya harus disusun berdasarkan tipe barang/jasanya
untuk pengadaan barang penggunaan hasil survey kepada tiga penyedia dapat langsung
digunakan untuk menyusun HPS apalagi kuantitas barangnya sedikit 1 atau 2 item, untuk jasa
lainnya (kasus Bapak ini) dalam penyusunan HPS harus diperhitungkan komponen tenaga kerja
(Tenaga Teknis), Peralatan dan Bahan/Barang sehingga dalam survey pasar apabila didapatkan
data harga seperti ini harus disesuaikan dengan standarisasi teknis yang Bapak butuhkan dalam
Pengadaan jaringan LAN (Spesifikasi).. setelah disetarakan disisi teknis baru kita bisa
perbandingkan harga yang ditawarkan.
Dalam pengalaman saya Pembangunan LAN seperti ini komponen terbesar adalah hardware-nya
sehingga sebaiknya Bapak teliti lagi peralatan atau hardware yang akan digunakan kemudian
coba susun RAB berdasarkan kebutuhan itu. Bandingkan harga setidaknya 2 hardware untuk
masing-masing jenis hardware.

Misal :
Server IBM = 14jt HP = 12jt

Router Linksys = 1,4jt Mikrotik = 1,3 jt

Maka utk alat dapat dipakai Server HP : 12 jt dan Mikrotik 1,3jt sehingga utk hardware HPS
13,3jt

Tenaga Teknis : misal = 2jt/org


Sehingga didapatkan 15,3jt + PPN sebagai HPS.

Demikian Pak menurut saya.. jadi jangan terima mentah hasil survey berdasarkan harga
penawaran dipasar untuk kebutuhan barang/jasa yang melibatkan Jasa

12.
HendriFebruari 16, 2013 pada 2:48 am #

Rate This
Perkiraan keuntungan wajar yang sampai saat ini masih 10% (Sepuluh Persen), menurut saya hal
itu masih sesuai. Pertimbangannya karena penentuan keuntungan wajar yang paling substansi
ada pada katagori usaha kecil sejenis pengadaan langsung, terutama pengadaan / pembelian
langsung. Sementara utk pekerjaan yg dilelang, kelebihan sedikit tsb tidak terlalu berpengaruh
karena pada saat lelangnya sudah terjadi mekanisme pasar.
Pengadaan langsung tsb masih memberi ruang yang sangat besar kepada pelaku usaha
perorangan atau Wajib Pajak orang pribadi, dan tarif pajak (PKP) yang berlaku untuk Wajib
Pajak orang pribadi sampai saat ini masih berkisar antara 5 % sampai paling tinggi 30 %.

Pak Samsul Ramli, tulisan bapak sangat mencerahkan. Terima kasih telah berbagi dan saya
minta izin untuk copas ke blog saya (http://www.duniakontraktor.com)

13.
KUSTADIFebruari 16, 2013 pada 5:51 am #

Rate This
Terima kasih Pencerahannya Pak Samsul

14.
samsulramliFebruari 16, 2013 pada 7:39 am #

Rate This
Terimakasih telah berkunjung Pak Hendri
Betul sekali Pak Hendri dari sisi penyedia 10% mungkin akan cukup atau bahkan kurang karena
dasar perkiraan keuntungan yang wajar tidak dapat diperkirakan dengan persentase yang statis.
Dan tentang ini hanya penyedia yang expert mengetahuinya kemudian juga akan sangat
bergantung pada Supply Positioning Model dan Supplier Perception Model.. Sementara disisi
pemerintah konservatifisme akuntabilitas keuangan memaksa penyelenggara pengadaan
menyandarkan segala perhitungan pada dasar hukum dan aturan. Nah disisi ini angka 10%
menjadi nisbi secara hukum karena landasan-nya kebiasaan bukan aturan. Maka menurut saya
yang lebih tepat adalah berdasarkan harga pasar akhir target penyedia. Seperti harga toko untuk
barang, dipastikan didalamnya sudah ada perhitungan profit. Dan didalam profit ini sudah
termasuk kalkulasi perhitungan PPh baik perorangan maupun badan usaha.

Silakan Pak Hendri dengan senang hati mohon ijin juga meletakan website Bapak dalam
blogroll saya.. terimakasih

15.
samsulramliFebruari 16, 2013 pada 7:39 am #
0

Rate This
sama-sama Pak Kustadi.. semoga manfaat

16.
ADITYAFebruari 16, 2013 pada 10:33 am #

Rate This
Ada tiga penawar Pengadaan dan Jasa Instalasi Internet Masing2 penawaran untuk material dan
jasa sebagai berikut :

No. Uraian Sat Harga Satuan Harga Satuan Harga Satuan


Penawar I Penawar II Penawar III
Material
1 Kabel UTP Cat 5E m 4.500 5.000 4.750
2 Protector TC Besar dan Kecil m 10.000 7.500 9.500
3 AT TP-Link WR-941 ND unit 370.000 350.000 370.000
4 Router Mikrotik RB -450 G unit 1.250.000 1.200.000 1.265.000
5 Switch Hub D-Link (8 port) unit 190.000 150.000 180.000
6 Switch Hub D-Link (16 port) unit 450.000 400.000 470.000
7 RJ-45 AMP buah 2.500 1.700 2.500

Jasa
1 Instalasi Jaringan Komputer unit 100.000 100.000 100.000
2 Instalasi access point unit 150.000 150.000 150.000

Apa benar jika harga satuan Hpsnya saya bandingkan dipilih yang paling kecil
jadi seperti dibawah ini atau kita perlu survey sendiri :

No. Uraian Sat Harga Satuan


HPS
Material
1 Kabel UTP Cat 5E m 4.500,00
2 Protector TC Besar dan Kecil m 7.500,00
3 AT TP-Link WR-941 ND unit 350.000,00
4 Router Mikrotik RB -450 G unit 1.200.000,00
5 Switch Hub D-Link (8 port) unit 150.000,00
6 Switch Hub D-Link (16 port) unit 400.000,00
7 RJ-45 AMP buah 1.700,00

Jasa
1 Instalasi Jaringan Komputer unit 100.000,00
2 Instalasi access point unit 150.000,00

17.
HendriFebruari 16, 2013 pada 1:25 pm #

Rate This
Terima kasih sekali sudah dilink ke blog Pak Samsul.

Masalah keuntungan yg wajar dalam perhitungan HPS yakni sebesar 10 %, saya tidak hanya
melihat dari sisi penyedia tetapi sudah tepat berdasarkan perhitungan PPh.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pengadaan barang/jasa tidak hanya diikuti oleh penyedia yang
berbentuk badan tetapi ada juga pelaku usaha perorangan. Tarif PKP Badan yaitu sebesar 25 %
sementara tarif PKP Pelaku usaha perorangan atau Wajib Pajak orang pribadi nilainya berkisar
antara 5 % sampai paling tinggi 30 %.

Dari tiga bentuk tarif tsb, jika yg diambil adalah nilai tengahnya maka didapat angka 15 %. Untuk
tarif PKP sebesar 15 %, sesuai rumus Pak Samsul maka perkiraan nilai keuntungannya sebesar 10
%.

Selanjutnya, terkait dengan potongan PPh sebesar 1,5 %, itu merupakan norma perhitungan.

Norma Penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau
penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha
perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat dan disempurnakan terus menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

Untuk pengadaan barang, norma perhitungan ditetapkan sebesar 1,5 % dari nilai penawaran
sebelum PPN, sementara untuk jasa konstruksi norma perhitungannya sebesar 3 % 4 %.

Jika nilai perkiraan keuntungannya sebesar 10 % maka untuk PPh dengan tarif PKP 15 % nilaI
PPh nya akan sama dengan norma perhitungan PPh 1,5 %

18.
samsulramliFebruari 16, 2013 pada 3:22 pm #
0

Rate This
Secara perhitungan saya sepakat ini Pak Adit Namun perlu diingat pengambilan keputusan
dipakainya harga barang D-Link, TP-Link dan Mikrotik sebaiknya diusahakan tidak membatasi
persaingan hanya ke 1 merk jadi saran saya bandingkan minimal 2 merk yang memenuhi
kebutuhan disisi kualitas, kemudian ambil spesifikasi umum (persamaan) kemudian dari
spesifikasi umum yang terbentuk ini cari spesifikasi khusus dibandingkan merk lain sehingga
nantinya minimal dua merk dengan kualitas yang dibutuhkan ini yang akan masuk

Dalam contoh saya saya sudah yakin server HP meski lebih murah dari IBM tapi ada merk Dell
dengan harga dan kualitas setara

Oya dalam spesifikasi jangan sebutkan merk hanya spesifikasi umum tadi saja

19.
samsulramliFebruari 16, 2013 pada 3:32 pm #

Rate This
Memang betul pak hendri saya sempat mengambil kesimpulan begitu namun pengambilan batas
tengah dari 30% PKP Perorangan tersebut yang menjadi kendala. Karena dari sisi pemeriksaan
akuntabilitas, dasar hukum tidak diterima berdasarkan perkiraan Mungkin Pak Hendri bisa
bantu saya utk menemukan landasan perhitungan pasti tentang 10% yang diacu sebagian besar
teman-teman kita dipemerintahan dalam menyusun HPS. Bahkan pemikiran saya kondisi ini
disesuaikan dengan struktur pasar.. semakin jauh struktur pasar pembentuk harga dasar
dengan pembentuk harga pasar maka semestinya perhitungan keuntungan yang wajar berdasar
pph juga semakin tinggi jadi ada ide tulisan dan kajian lagi nih.. :)
Sementara ini dalam kelas saya selalu menyarankan kawan-kawan penyusun HPS utk melihat
harga pasar yang berlaku di target supplier. Apabila yang tersedia hanya data ditingkat
distributor baru saya menyarankan gunakan angka perhitungan keuntungan berdasarkan PPH.

20.
HendriFebruari 17, 2013 pada 3:22 am #

0
Rate This
Ternyata tarif PKP 15 % itu bukan nilai tengah, tetapi sudah ketentuannya.

Pasal 23 ayat (1) huruf a UU NOMOR 36 TAHUN 2008 menyebutkan:

Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:

a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:

1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;


2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

Pasal 4 ayat (1):

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;

21.
samsulramliFebruari 17, 2013 pada 6:41 am #

Rate This
Pak Hendri sepembacaan saya ada perbedaan antara tarif pajak dari PKP yang diatur pasal 17
dan besaran pemotongan pajak yang diatur dalam beberapa pasal seperti pasal 21,22,23 dan 26
yang kemudian sering disebut dengan PPH Pasal. Pasal 23 mengatur tentang pemotongan pajak
bukan mengatur tentang tarif pajak/PKP. Diskusi ini juga membuat saya belajar lebih dalam lagi
tentang PPH terimakasih banyak Pak Hendri atas motivasinya..

22.
ADITYAFebruari 17, 2013 pada 6:55 am #

Rate This
Thank banyak Pak Samsul atas penjelasannya. Saya sekarang lebih mengerti.

23.
samsulramliFebruari 17, 2013 pada 9:18 am #

Rate This
Alhamdulillah Pak Adit Insya Allah utk HPS ini akan coba saya bahas dari kasus kita ini ya
24.
HendriFebruari 17, 2013 pada 11:15 pm #

Rate This
Masalah PPh ketentuannya sbb:

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:dst sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU N0 36/2008
tentang PPh.

Artinya Penghasilan Kena Pajak merupakan penghasilan bersih atau penghasilan netto saja.

Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak besarannya sebagaimana tercantum
dalam Pasal 17 UU 36/2008 tentang PPh. Untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap adalah sebesar 25%.

Pada Pasal 31E ayat (1) UU No 36/2008 tentang PPh disebutkan Tarif pajak yang dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Artinya untuk wajib pajak yang peredaran brutonya sampai dengan Rp4.800.000.000, Tarif
pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak hanya sebesar 12,5 %.

Bendaharawan Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No 154/PMK.03/2010atau wajib memungut Pajak Penghasilan
Pasal 22 sehubungan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti: komputer,
meubeler, mobil dinas, ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia
barang.
PPh Pasal 22 atas pengadaan barang, terutang dan dipungut pada saat pembayaran, besarnya
tarif PPh Pasal 22 atas pengadaan barang yang dananya berasal dari APBN/D adalah 1,5%.
(http://www.duniakontraktor.com/panduan-praktis-pemungutan-dan-pemotongan-pajak-
penghasilan-pasal-22-bagi-bendaharawan-pemerintah/.html)
Selanjutnya, Pasal 28A UU No 10/94 tentang PPh menyebutkan Apabila pajak yang terutang
untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksisanksinya.
Pasal 29 UU N0 36/2008 tentang PPh menyebutkan Apabila pajak yang terutang untuk suatu
tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Kesimpulan:

- PPh Untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tarif normalnya adalah 25
%. Untuk wajib pajak yang peredaran brutonya hanya sampai batas Rp4.800.000.000, tarif PPh
nya adalah 12,5 %.

- Setiap wajib pajak yang melaksanakan pengadaan barang untuk instansi pemerintah,
bendahara pemerintah wajib memungut PPh nya sebesar 1,5 % dari nilai barang sebelum PPN.
Kelebihan atau kekurangan dari pungutan tsb akan dihitung kembali pada akhir tahun pajak.

Berdasarkan ketentuan dan dalil-dalil diatas, kesimpulan akhirnya sbb:

perhitungan keuntungan wajar dalam rangka penetapan HPS sebagaimana tercantum dalam
tulisan Pak Samsul Ramli diatas, TIDAK TEPAT jika didasarkan pada tata cara perhitungan PPh.
Dengan demikian maka untuk menetapkan keuntungan wajar, dasarnya kita kembalikan pada
Perpres 54/2010 serta perubahannya. Menurut Perpres 54/2010 serta perubahannya,
keuntungan dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi dan pengadaan barang
adalah maksimal 15 %.

25.
samsulramliFebruari 18, 2013 pada 4:59 am #

Rate This
Berarti ini sudah berbeda topik ya Pak Hendri, komentar terdahulu tentang temuan Pasal 23 ayat
1 tentang 15% yang akan dijadikan dasar perhitungan 10% keuntungang yang wajar. Dalam
pemahaman saya membaca UU PPH terkait diskusi kita ada tiga hal: Lapisan PKP yang
dijadikan dasar menentukan tarif PPH ini jelas diatur dalam pasal 17. Kemudian tentang
Pemotongan PPH berdasarkan obyek pengenaan ini diatur diantaranya dalam PPH Pasal 21,
PPH Pasal 22, PPH pasal 23, PPH pasal 26 dst.. sehingga dasar 15% tersebut bukan tarif PPH
tapi besaran pemotongan pajak utk pasal 23.

Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Hal ini menunjukan bahwa Tarif PPH 25% adalah tarif tertinggi, ada unsur perkiraan disini dan
batas wajar tertinggi nya adalah 25%. Tentang perkiraan tarif tertinggi ini dapat dibaca pada
ayat (7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana tersebut pada ayat (1). Jadi saya mengambil base 25% atas dasar perkiraan tertinggi
tarif pajak.

Saya sepakat dengan semua poin kesimpulan Pak Hendri namun kita tidak berbicara tentang
batas tertentu tapi tarif normal. Kemudian tentang menurut Perpres 54/2010 serta
perubahannya, keuntungan dan biaya Overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi dan
pengadaan barang adalah maksimal 15 % saya sangat sepakat. Namun yang ingin digali adalah
tentang mem-breakdown angka 15% itu untuk dua komponen pembentuk yaitu berapa
peresentases keuntungan yang wajar dengan demikian diketahui berapa persentase batasan OH
juga ini yang tidak dijelaskan dalam Perpres 54/2010.

Demikian Pak Hendri saya tidak menyebutkan siapa yang keliru dalam hal ini, karena wilayah ini
adalah wilayah telaah pemikiran dan kita sedang membicarakan tentang perkiraan dan seperti
yang saya sebutkan terdahulu bahwa ini hanyalah sebagai upaya memberikan bahan dasar utk
PPK mempertahankan landasan akuntabilitas perhitungan Harga Pasar ketika mendapatkan
harga dasar dalam survey HPS.

Maka dari itu saya lebih menekankan agar PPK dalam menyusun HPS usahakan mendapatkan
Harga Pasar sehingga didalamnya sudah jelas ada perhitungan Profit dan OH dan tidak perlu
melakukan perhitungan lagi.

26.
HendriFebruari 18, 2013 pada 9:03 am #

Rate This
Yang saya kejar disini adalah masalah pemahaman yang benar, supaya tidak terjadi kekeliruan
penafsiran karena tulisan Pak Samsul ini menurut saya dapat dijadikan referensi oleh PPK.

Kenapa sampai topiknya terlihat berubah-ubah? Hal itu disebabkan pemahaman saya tentang
PPh juga kurang, jadinya komentari sambil belajar.

Kenapa fokus komentar saya ke masalah PPh? Karena menurut saya dengan mengaitkan
masalah PPh untuk melepaskan faktor keuntungan dari persentase keuntungan dan biaya
Overhead maka terjadi pemahaman yang keliru nantinya. Hal itu dapat terlihat dari penetapan
keuntungan menjadi 6 % sebagaimana tercantum dalam tulisan ini.

Atas dasar itu maka kutipan tulisan ini yang telah saya posting ulang diblogduniakontraktor.com,
sebagaian isinya telah saya buang dan rubah. Karena telah saya ubah maka pada akhir tulisan,
pada awalnya saya tulis sumber kemudian saya ubah menjadi referensi. Dapat dilihat pada
linkhttp://www.duniakontraktor.com/lika-liku-menyusun-hps/.html
27.
samsulramliFebruari 18, 2013 pada 10:03 am #

Rate This
Betul sepakat sekali Pak Hendri sejauh yang saya pahami memang seperti itu.. karena
kompleksitas masing-masing pekerjaan sangat berbeda maka perhitungan keuntungan yang
wajar dari harga dasar tidak dapat disama ratakan seperti yang selama ini terjadi dengan angka
10%
Kemudian seperti yang saya sebutkan diawal bahwa yang mengetahui persis secara keahlian
berapa keuntungan yang wajar adalah penyedia yang setiap saat berinteraksi dengan pasar.

Saya juga dalam tahap belajar pak Hendri.. karena terus terang saya beberapa kali menemukan
gara-gara menetapkan 10% keuntungan bahkan ada yang ambil mentah 15% dikenakan dugaan
mark up.. untuk itu perhitungan ini saya coba cari dari beberapa guru senior saya dan inilah yang
terakhir saya temukan Mohon juga nanti jika Pak hendri menemukan perhitungan yang
meyakinkan share ke saya

Seperti yang saya sebutkan perhitungan keuntungan yang wajar bersifat perkiraan.. sehingga ada
unsur probabilitas.. dari pengalaman saya setelah menemukan perhitungan ini dan diterapkan
dibeberapa pelelangan yang saya jalankan tidak terjadi permasalahan maka dari itu saya yakin
perhitungan keuntungan yang wajar yang saya pegang lebih aman dibanding saya menggunakan
angka 10% yang saya tidak bisa jawab dasar hukumnya

Sejauh yang saya baca dari blog Pak hendri saya tidak berkeberatan soal keuntungan dipotong
kalau memang Pak Hendri tidak atau belum meyakini.. saran saya akan lebih baik lagi
pemotongan ini dijelaskan termasuk ketidakyakinan Pak Hendri terhadap pemikiran saya
ditambah link artikel orisinil, sehingga nantinya ada kritisi terhadap pemikiran saya seperti
halnya Pak Hendri..

28.
Hendri, S.KedFebruari 21, 2013 pada 9:14 am #

Rate This
Setelah saya kaji lagi sepertinya menghitung keuntungan berdasarkan PPh sudah tepat tetapi
saya tidak sependapat dengan perhitungan Pak Samsul tentang tarif PKP yg dulunya sebesar 15%
dan saat ini menjadi 25%, sehingga perhitungan keuntungan berdasarkan tarif PPh tsb yaitu
sebesar sbb: 10% (tarif lama) dan 6% (tarif saat ini).

Menurut saya, tarif yang berlaku untuk pendapatan kena pajak (PKP) saat ini nilainya sebesar
12,5%, engan demikian maka keuntungan yang diperhitungkan menjadi 12% dan sisanya sebesar
3% merupakan biaya overhead.

Ketentuan tentang tarif PKP 12,5% diatur dalam Pasal 31E ayat (1) UU No 36/2008 tentang PPh,
yang bunyinya menyebutkan:

Tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk HPS yg besarnya Rp4.800.000.000, kebawah tarif
PKP nya sebesar 12,5%.

Jika HPS nya diatas Rp4.800.000.000, misalnya Rp. 6 Milyar maka PKP nya menjadi:

Untuk nilai HPS hingga Rp4.800.000.000, keuntungan yg diperhitungkan sebesar 12%


sementara sisanya yaitu sebesar Rp1.200.000.000, keuntungan yang diperhitungkan sebesar
6%.

Mengingat untuk pengadaan diatas Rp4.800.000.000, sudah termasuk pekerjaaan


besar/kompleks maka biaya OH nya akan lebih besar, dengan demikian ketika digabung antara
keuntungan + OH, maka persentasenya hampir dapat dikatakan sama, karena keuntungannya
kecil tetapi OH nya sudah pasti besar.

Selain itu, keakuratan perkiraan HPS anatara keuntungan dengan biaya overhead tidak terlalu
berpengaruh pada proyek yang pengadaannya dilakukan dengan cara tender bebas, karena pada
tender bebas proses seleksi pasar benar2 sudah terjadi (itu, jika integritas para pihak benar2
baik).

Contoh, misal pada pekerjaasn konstruksi:

Sesuai dengan Peraturan LPJK, untuk pekerjaan kecil, tenaga ahlinya tidak diperlukan
sementara pekerjaan besar sudah membutuhkan tenaga ahli.

Kesimpulannya:

Porsi keuntungan + overhead yang diperhitungakan dalam Perpres 54/2010 serta perubahannya
adalah: persentase keuntungan = 12 % dan biaya overhead = 3%

Perhitungan biaya overhead sebesar 3% hampir sama dengan biaya overhead bank Mandiri
periode 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007 yaitu sebesar: 1,6%, 2,2%, 2,4%, 2,3% dan 2,4%.
(http://www.slideshare.net/tandurpaica/bank-mandiri)
29.
samsulramliFebruari 22, 2013 pada 3:10 am #

Rate This
Selain itu, keakuratan perkiraan HPS anatara keuntungan dengan biaya overhead
tidak terlalu berpengaruh pada proyek yang pengadaannya dilakukan dengan
cara tender bebas, karena pada tender bebas proses seleksi pasar benar2 sudah
terjadi (itu, jika integritas para pihak benar2 baik).
Ini poinnya Pak Hendri disisi pelaksanaan sekali lagi seperti yang saya tulis HPS adalah
perkiraan..yang menurut Pak Hendri tidak berpengaruh pada tender bebas karena harga pasar
sesungguhnya adalah yang terjadi riil di pelelangan Namun disisi pemerintah terkait
akuntabilitas diperlukan acuan pertanggungjawaban.. untuk itu perhitungan ini ada sebagai
salah satu ikhtiar.. Terus terang saya tidak berani mengambil angka 12,5% karena berasal dari
fasilitasi apalagi lebih tinggi dari 10% sehingga saya ambil angka perkiraan yang menurut saya
paling aman kemudian disisi lain harga pasar-lah yang lebih akurat dijadikan dasar
perhitungan HPS karena sudah pasti memperhitungkan keuntungan+overhead Satu hal yang
kemarin saya tekankan setiap barang/jasa mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga
besaran Keuntungan+OH juga pasti berbeda tidak bisa disamaratakan secara absolut

Jadi ikhtiar perhitungan dalam artikel ini adalah salah satu upaya untuk memberikan dasar
perkiraan saja disisi akuntabilitas.. kalau ada perhitungan lain yang diyakini akuntabilitas-nya
tidak masalah untuk dipergunakan

30.
SandraMaret 27, 2013 pada 4:07 pm #

Rate This
Pak, mau bertanya sedikit donk. Apakah pada kontrak lumsump dapat dipermasalahkan
mengenai keuntungan perusahaan? Dan apakah perusahaan hrs mengembalikan selisihnya
tersebut? Terima kasih banyak.

31.
samsulramliMaret 27, 2013 pada 6:06 pm #

Rate This
Jenis kontrak tidak terkait dengan porsi keuntungan perhitungan keuntungan berkaitan
dengan penyusunan HPS disisi PPK.. apabila sumber data HPS sudah harga pasar maka tidak
perlu dihitung lagi keuntungan dan overhead

32.
bowoMei 3, 2013 pada 3:45 pm #

Rate This
Pak, minta bantuan pencerahan, semisal pengadaan suatu alat , Di Indonesai ada beberapa merk
masing 2 memiliki spek bahan dan ukuran komponen beda, feature berbeda, cara kerja alat
berbeda, tetapi fungsinya sama. Masing2 alat memiliki perwakilan / principle, jika kita bertanya
ke principle tentang spesifikasi, feature dan harga jawabannya diarahkan ke agen. setiap alat
rata2 memiliki 1 agen di indonesia yang memasarkan langsung. mohon pencerahan bagaimana
membuat persyaratan spekteknis?, survey paasar? dan dihubungkan antara kebutuhan dan
keinginan? terima kasih sebanyak-banyaknya pak wasslam

33.
samsulramliMei 3, 2013 pada 10:26 pm #

Rate This
Kalau ada 2 alat yang memiliki fungsi sama tapi spesifikasi berbeda dan kebutuhan kita adalah
fungsinya maka bandingkan kedua spesifikasi kemudian ambil spesifikasi yang sama diantara
keduanya untuk menjadi spesifikasi pada dok pelaksananaan pengadaan Dapat dipastikan
penawaran akan bersaing minimal antara dua merk, dua principal dan dua agen..

34.
bowoMei 4, 2013 pada 12:26 am #

Rate This
terima kasih pak.hal ini bisa menjadi pedoman..tapi boleh tanya lagi pak?.masih untuk
kasus yang sebelumnya; 1 principle dagang asing memiliki 2 agen di indonesia (maaf tidak sebut
nama)Agen A menjual merek A1, dan agen B menjual merek B1, tetapi antara barang A1 dengan
B1 sama persis yang membedakan hanya warna saja, (data ini saya pelajari dari brosurnya)
pertanyaan apakah yang seperti itu menurut kaidah PBJ dikatakan beda merek atau tetap satu
merek?

35.
samsulramliMei 4, 2013 pada 8:38 am #

Rate This
Penentuan merk adalah hak dari Pabrikan jadi apabila merknya berbeda tetap berbeda merk
meskipun spesifikasinya hanya berbeda disisi warna yang harus kita perhatikan adalah
diusahakan semaksimal mungkin jangan sampai kita terjebak pada trik monopoli pabrikan
terhadap satu produk.. untuk itu kita perlu terus memperluas pengetahuan tentang kondisi pasar
penyedia (pabrikan,Distributor,Agen, Dealer dan retail) untuk barang2 yang sifatnya resiko
tinggi seperti alat2 kesehatan tertentu.. Riset Pasar menjadi penting

36.
endyJanuari 30, 2014 pada 12:04 am #

Rate This
apa sangsi jika PPK tdk paham tata cara menetapkan HPS

37.
samsulramliJanuari 31, 2014 pada 11:56 am #
0

Rate This
Sanksi tergantung pada dampak atau akibat dari kesalahan

38.
Pande KolehMaret 6, 2014 pada 11:31 am #

Rate This
Memang tepat apa yang disampaikan semua, akan tetapi dilapangan jauh sekali berbeda
terutama untuk pengadaan dibawah 25 jt. Misalnya notebook dengan harga 5 jt di tingkat
retail/eceran toko. Berarti penyedia tidak berhak menambahkan keuntungan 10%, Sayangnya
dilapangan jarang sekali ada tingkat toko/eceran mau ikut sbg penyedia dengan harga eceran,
alasannya karena pembelian tidak bisa cash (ada uang ada barang), untuk proses amprah
biasanya memakan waktu 10-15 hr kerja, Beberapa toko saya pernah korek alasannya, Lebih
baik jual ke customer cash / perputaran modal cepat dari pada ke Pemda (udah kredit, proses
jelimet). Hal ini pernah saya akali dengan membuat amprah terlebih dahulu agar bisa
mendapatkan harga eceran/beli cash, sayanganya kendala di PPHP/ Penerima barang tidak
maun sign karena tidak ada barang.. Waahhh wkwkwk PUSING jadinya Mohon solusinya pak

39.
samsulramliMaret 7, 2014 pada 3:17 pm #

Rate This
Pembelian langsung ditempat saya cash pak menggunakan UP.. jadi prosesnya pejabat
pengadaan membandingkan HPS dengan harga penyedia (toko) utk barang kemudian setelah
dapat harga termurah lapor PPK jika PPK setuju maka Pejabat Pengadaan menyerahkan
pembayaran saat itu juga dengan mendapatkan kuitansi pembelian..

40.
gundulApril 16, 2014 pada 1:08 am #

Rate This
pak mau tanya misalkan pengadaan barang/jasa harga pasarnya 5.000.000 minimal di naikan
berapa persen dari harga pasar tp sudah termasuk pajak pak

41.
samsulramliApril 16, 2014 pada 5:16 am #

Rate This
5.000.000 + PPN 10% = 5.500.000

42.
EnggarApril 17, 2014 pada 7:26 am #

Rate This
Pak Samsul, mohon pencerahannya. Saya akan melaksanakan tender Barang, dalam tender yang
sama terdapat beberapa barang pak. Yang menjadi pertanyaan, terdapat satu barang yang sudah
pernah ditenderkan pada tahun sebelumnya, misal pak barang A dengan Harga satuan 100 dan
harga setelah PPN 110. Dengan demikian untuk menetapkan HPS saya mempergunakan kontrak
tersebut sebagai acuan sesuai perpres 54 tahun 2010 pasal 66 ayat 7. Namun untuk
memperhitungkan kemungkinan perubahan apakah saya bisa mendasarkan pada inflasi tahun
sebelumnya pak? Atau bagaimana yah pak? Jika mendasarkan pada inflasi tahun sebelumnya
perhitungannya apakah berdasar harga satuan+inflasi+PPN atau harga kontrak include
PPN+inflasi pak. Mohon penjelasannya pak. Terima Kasih.

43.
samsulramliApril 17, 2014 pada 8:35 am #
0

Rate This
@Enggar: perhitungan net present value menggunakan beberapa index yang salah satunya
inflasi menurut saya selama perhitungan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara keahlian
tidak masalah.. tapi lihat kondisi barangnya jika harga pasar tidak sulit untuk didapatkan akan
lebih baik jika menggunakan harga pasar perhitungan Net Present Value menggunakan biaya
pokok sebelum PPN jadi setelah didapatkan biaya pokok hasilnya baru ditambahkan PPN

44.
parulian nainggolanApril 19, 2014 pada 3:56 am #

Rate This
bagi kami yang Pemula sebagai PPK berarti harus banyak lagi belajar untuk menetapkan HPS,
namun ada mau saya tanyakan sama Pak Samsul, dijelaskan Bapak di atas bahwa menentukan
HPS harus memepertimbangkan Harga Pokok Produksi ( HPP) dimana HPP menurut penjelasan
Pak samsul HPP ( maaf kalau saya keliru) : memperhitungkan Bahan mentah plus tenaga kerja
yg dibutuhkan atau biaya langsung yang melekat pada HPP PLus Biaya Tidak langsung atau
diartikan (OH).
yang mau saya komentari adalah kapasitas kami adalah PPK , artinya tugas PPK dalam
Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang dibutuhkan oleh Pengguna Anggaran. yang artinya
dalam menentukan HPS suatu Paket pekerjaan itu historynya an:
pertama adalah Survey harga Pasar, dan peraturan menyaratkan agar Survey hrg Psr dari tingkat
Distributor , bukan dari pengecer. apabila PPK sudah mendapatkan hasil Survey Pasar (SP)
sedikitnya dari 3 pemberi rekomenasi harga pasar, maka PPK memilih mana yang lebih rendah.
selanjutnya PPK memperhitungkan keuntungan maksimal 10% dan Biaya (cost) yang diperlukan
untuk pengadaan barang. maks 5 %. di tambah PPN 10 %. maka dapat ditetapkan HPS.
Menurut asumsi saya , karna saya masih pemula PPK unsur memperhitungkan biaya dimaksud
dalam HPS adalah biaya yang dibutuhkan untuk harga satuan pengadaan Barang/Jasa
pemerintah sampai ke tempat lokasi / tujuan terakhir( sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan),
bukan memperhitungkan berapa Harga Pokok Produksi barang krn menurut saya itu adalah
hasil dari perhitungan pabrikan.( ruang lingkup pabrikan)
karna ada perbedaan persepsi saya mengenai unsur biaya yang dijelaskan Pak Samsul ,
mohon Pak penjelasanya, agar kami PPK di kemudian hari lebih mudah menyusun HPS , terima
kasih.
45.
samsulramliApril 19, 2014 pada 5:56 am #

Rate This
Terimakasih Pak parulian nainggolan:
Pertama, tentang HPP.. seperti yang saya tulis untuk mendapatkan Harga Pasar maka HPP
ditambahkan keuntungan yang pantas/wajar adalah Harga Pasar (HPP+K) jika kita breakdown
lagi HPP= Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead maka Harga
Pasar = Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan.

Kedua, Tidak ada atau saya belum tau ada peraturan yang menyatakan bahwa survey pasar wajib
ke distributor. Dalam artikel saya sebutkan bahwa dalam hal survey kita mempertimbangkan
struktur pasar baik pasar barang maupun penyedia. Kalau kita membutuhkan barang dengan
jumlah yang kecil dengan karakteristik barang sederhana (Laverage) maka paling tepat survey ke
tingkat retail.. ini artinya target pasar penyedia kita adalah retail.. maka survey pasar kita cukup
ketingkat retail.. dengan demikian kita tidak perlu lagi menghitung HPP+Keuntungan karena
harga retail sudah memperhitungkan itu semua (terkecuali cara pembelian kita kredit maka akan
ada overhead tambahan yaitu biaya bunga) harga retail + PPN = HPS.

Berbeda jika barang yang kita butuhkan spesifik atau kuantitasnya besar yang tentu saja sedikit
pengecer yang bisa memenuhi maka target penyedia kita tingkatkan ke agen/distributor. Untuk
itu survey baru kita arahkan ke distributor. Dengan demikian HPS=Harga Distributor+PPN

Ketiga, terus terang sampai sekarang saya tidak menemukan landasan aturan yang menyebutkan
keuntungan 10% dan Cost Pengadaan 5%. Yang tertuang di P54 adalah Contoh: Keuntungan+OH
maksimal 15%. Selain ini contoh disini juga tidak dijelaskan berapa keuntungan dan berapa OH.
dan OH bukan Cost Pengadaan.

Keempat, HPS tentu juga mempertimbangkan biaya pendukung yang perhitungannya


dipisahkan dari biaya pokok. Biaya pendukung tergantung kebutuhan mendapatkan barang
(Acquisition cost). Maka dari itu PA/KPA dan PPK harus rembug dalam spesifikasi apakah
barang ini dapat dibayar saat barang jadi (pabrik/Exwork) atau barang kirim (FOB/CIF) atau
Barang ditempat/terpasang (DDP)

Kelima, dalam survey pasar tidak selalu 3 sumber semakin banyak data survey HPS semakin
baik. Harga yang diambil sebagai patokan juga tidak harus yang terendah sesuaikan dengan
karakteristik barang jika barangnya Laverage maka harga terendah bisa dijadikan dasar karena
kita yakin banyak penyedia yang menawarkan harga terendah tapi jika barang adalah
bottleneck atau Critical maka harga tertinggi bisa saja jadi patokan selama data kita cukup valid,
jika harga terendah yang diambil dalam kasus ini maka kemungkinan penyedia yang menawar
hanya 1 maka lelang akan gagal dan tidak tercipta kompetisi. Disisi lain nanti pokja juga akan
menerapkan metode evaluasi yang khusus seperti sistem nilai.

Keenam, Dengan demikian unsur perhitungan HPS adalah:


- Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead + Keuntungan (Biaya
Pokok Barang)
- Biaya Pendukung
- PPN

Untuk memudahkan PPK mendapatkan Biaya Pokok Barang maka survey saja langsung ke titik
target struktur pasar seperti yang saya jelaskan di poin 2. Sehingga kita tidak perlu lagi
menghitung (Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead +
Keuntungan) karena Harga pasar sudah pasti memperhitungkan itu semua.. tinggal PPK
tambahkan dengan biaya pendukung seperti transport dan asuransi barang jika kita ingin barang
itu bisa dibayar jika Barang ditempat/terpasang (DDP). Kemudian total Biaya Pokok + Biaya
Pendukung ditambahkan PPN maka inilah yang dijadikan HPS.

46.
parulian nainggolanApril 20, 2014 pada 1:13 am #

Rate This
Terima Kasih banyak Pak Samsul atas Penjelasannya, dimana kami PPK pemula sudah lebih
memahami sedikit banyaknya dalam penyusunan HPS pada jenis paket pekerjan barang.
Pak Samsul boleh bertanya lagi , karna ada perbedaan persepsi antara PPK dengan Bendahara
pengeluaran mengenai PPh.
kasus sederhana tapi sangat berdampak dengan pertanggung jawaban keuangan.
ilustrasi seperti ini Pak Samsul :
Pagu Anggaran RP. 50.000.000,-
HPS kita RP. 44.000.000,-
(harga retail 40.000.000 + PPN 10% ( 4.000.000) = 44.000.000,-
kebetulan Nilai Pekerjaan SPK dengan penyedia sama dengan HPSRP.44.000.000,-
pertanyaan saya Pak Samsul :
bagaimana kita menetapkan PPh sesuai peraturan yang berlaku.
dengan an:
1.Pengadaan langsung pakai SPK
2.Pengadaan lansung dengan kwitansi atau Bukti pembelian
3. pengadaan lansung dengan kwitansi atau Bukti pembelian, namun dimana penyedia tidak ada
NPWP.
apakah konsep kerja yang kami buat sekarang salah atau sudah sesuai Pak .
cth konsep kerja pengenaan PPh.
Total harga retail = Rp. 40.000.000,-
PPN ( 10 %) =Rp. 4.000.000,-
Nilai Pekerjaan =Rp. 44.000.000,
PPh 2% dari 40.000.000 = Rp.800.000
PPh ( 2 %) apakah dari Rp. 40.000.000, atau dari Rp. 44.000.000,-
pertanyaan kedua :
Apakah PPh yang dikenakan Rp.800.000,- kepada penyedia dengan memperhitungkan dari
Pagu Anggaran dari RP.50.000.000 , di DIPA kami, atau pengenaan PPh kepada penyedia
terpisah dari perhitungan Pagu Anggaran. ( artinya PPh adalah kewajiban Penyedia )
namun bendahara memperhitungkan PPh itu di ambil dari Pagu Anggaran.
Mohon Penjelasannya Pak, untuk dapat kami Pahami mengenai PPh, Terima Kasih.

47.
samsulramliApril 20, 2014 pada 6:53 am #

Rate This
Bapak parulian nainggolan :
PPh untuk pengadaan barang adalah 1,5% dari harga barang sebelum PPN. Sehingga dalam
kasus Bapak PPh=40.000.000 x 1,5%

Kemudian PPh tidak boleh diperhitungkan dalam HPS karena PPh adalah wajib bayar oleh
penyedia atas penghasilan yang didapatkan dari transaksi barang/jasa. Sehingga jika kita
breakdown dari rumus harga pasar:
Harga Pasar = Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead +
Keuntungan
menjadi :
Harga Pasar = (Biaya Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead) + (Biaya
Bahan Baku + Biaya Tenaga Kerja Langsung + Biaya Overhead x (PPh / PKP x 100%))

Sehingga PPh tidak ada sama sekali keterkaitan dengan Pagu Anggaran, dan PPh sudah melekat
pada keuntungan penyedia, kita hanya menghitung ketika mereka membayar dengan perkalian
Harga Pokok Penjualan (Harga Penawaran sebelum PPN) x 1,5%

Mengenal Overhead dalam


Perhitungan HPS

2 JAN
3 Votes

Lama sebenarnya ingin membahas tentang Overhead dalam pengadaan barang/jasa


pemerintah. Baru sekarang kesampaian disela waktu menunggu kereta tempur dicuci bersih.
Semoga tulisan singkat ini bisa sedikit menambah perspektif penggiat pengadaan barang/jasa
pemerintah.

Dalam artikel Lika-Liku menyusun HPS sedikit diungkap tentang istilah overhead dan
keuntungan yang wajar. Dalam rangka memperluas bahan diskusi artikel kali ini khusus
membahsa tentang overhead dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Overhead
barang/jasa adalah biaya tidak langsung satuan barang/jasa yang mempengaruhi biaya
perolehan. Dengan demikian biaya perolehan terdiri dari biaya pokok (langsung) ditambah biaya
tidak langsung.
Obyek pengadaan terdiri dari 2 yaitu barang dan jasa. Komponen biaya pengadaan barang/jasa
sesuai dengan karakteristik spesifikasi terbagi atas biaya input, proses dan output. Input sendiri
terdiri dari material (benda), peralatan (benda), tenaga kerja (jasa).
Overhead Barang
Barang, menurut Perpres 54/2010 sebagaiamana diubah melalui Perpres 70/2012 pasal 1 ayat
14, adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak
bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna
Barang.
Dengan demikian untuk pengadaan barang utamanya memperhitungkan komponen biaya
metode/proses mendapatkan (perolehan) dan harga pokok barang (output). Untuk itu dalam
pengadaan barang overhead melekat pada harga satuan barang.
Overhead untuk barang diperhitungkan berdasarkan perbandingan komponen biaya
spesifikasi yang dibutuhkan dengan spesifikasi yang ditawarkan oleh pasar barang. Biaya terkait
dengan metode pembayaran, fasilitas tambahan, asuransi dan lainnya.

Perbedaan metode pembayaran mengakibatkan disparitas harga terhadap obyek barang yang
sama. Harga barang yang dibeli dengan metode pembayaran langsung (cash) tentu berbeda
dengan harga barang yang dibeli dengan metode angsuran/kredit atau utang. Dalam praktik
pengadaan barang/jasa pemerintah hal ini terjadi ketika proses pembayaran telah terjadwal pada
waktu tertentu (misal: triwulan II) sementara kebutuhan akan barang segera (misal: awal
januari).

Ilustrasi sederhana. Kontrak dapat dilaksanakan diawal januari dengan masa pelaksanaan
pekerjaan juga pada bulan januari sementara pembayaran baru dilakukan pada bulan april.
Dengan demikian masa kontrak berlaku sejak bulan Januari s/d April. Sedang masa pelaksanaan
pekerjaan bisa saja hanya selama 1 bulan (1-31 Januari).
Dengan ilustrasi ini berarti penyedia harus menanggung beban bungaselama 3 bulan
(Januari, Februari, Maret) dibandingkan kalau pembayaran cash.Selisih antara harga
barang cash dengan kredit inilah Overhead yang harus diperhitungkan dalam menyusun HPS.
Ilustrasi lainnya terkait fasilitas tambahan. Pada pengadaan notebook dibutuhkan masa
garansi minimal 2 tahun. Setelah dilakukan survey pasar ternyata sebagian besar pabrikan
notebook hanya menyediakan garansi 1 tahun. Untuk itu mengingat pertimbangan kebutuhan
dan umur ekonomis barang maka pada saat survey PPK wajib melakukan survey terkait fasilitas
tambahan garansi 1 tahun.

Nilai harga tambahan garansi 1 tahun dari barang yang tersedia dipasaran inilah yang
kemudian masuk dalam biaya overhead. Tentu saja untuk barang yang telah menyediakan
garansi sesuai kebutuhan yaitu minimal 2 tahun garansi tidak diperhitungkan overhead fasilitas.

Riwayat perhitungan HPS ini harus dicatat dengan rapi oleh PPK pada saat menyusun dokumen
pelaksanaan, sehingga ketika ada perbedaan metode perhitungan antara pemeriksa (auditor)
dengan PPK dapat ditemukan justifikasinya.

Semoga dalam diskusi nanti akan banyak contoh ilustrasi lain sehingga bisa tercapai kesamaan
persepsi tentang biaya overhead. Kekeliruan yang sering adalah memasukkan baya transportasi
atau distribusi atau incoterm ke dalam overhead. Incoterm adalah bagian dari biaya pendukung
meski juga termasuk biaya tidak langsung. Penting untuk memisahkan ini dalam perhitungan
HPS agar menjadi jelas mana biaya pendukung yang tidak melekat pada harga satuan dengan
biaya overhead yang melekat pada harga satuan pokok barang.
Overhead Jasa
Untuk overhead jasa secara umum sepakat dengan definisi dari Analisis Harga Satuan
Pekerjaan (AHSP) Bidang Pekerjaan Umum 2013
yang disusun oleh Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Meski AHSP ini cenderung
kepada pekerjaan konstruksi bangunan. Namun secara umum sudah memperhitungkan unsur
Input (material,peralatan dan tenaga kerja), proses dan output.
AHSP menjelaskan bahwa overhead adalah biaya umum. Biaya umum adalah biaya tidak
langsung yang dikeluarkan untuk mendukung terwujudnya pekerjaan (kegiatan pekerjaan) yang
bersangkutan, atau biaya yang diperhitungkan sebagai biaya operasional meliputi pengeluaran
untuk:

1. Biaya kantor pusat yang bukan dari biaya pengadaan untuk setiap mata pembayaran;
2. Biaya upah pegawai kantor lapangan,
3. Biaya manajemen (bunga bank, jaminan bank, tender, dll)
4. Biaya akuntansi
5. Biaya pelatihan dan auditing,
6. Biaya perijinan dan registrasi,
7. Biaya iklan, humas dan promosi,
8. Biaya penyusutan peralatan penunjang,
9. Biaya kantor, listrik, telepon dll
10. Biaya pengobatan pegawai kantor/lapangan
11. Biaya travel, pertemuan/rapat
12. Biaya asuransi di luar peralatan
13. dan lain sebagainya
Biaya umum/overhead ini dihitung berdasarkan persentase dari biaya langsung yang besarnya
tergantung dari lama waktu pelaksanaan pekerjaan, besarnya tingkat bunga yang berlaku dan
lain sebagainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sedikit tambahan tentang perhitungan keuntungan + overhead yang wajar maksimal 15%
sebagaimana tertuang dalam contoh penjelasan Perpres Nomor 70 tahun 2012, Pasal 66, Ayat 8
digunakan jika tidak ada standarisasi yang mengatur. Nilai ini didapatkan dari nilai optimum
yang relatif dekat dengan tingkat suku bunga Bank Indonesia.

Sekian dahulu pembahasan singkat tentang overhead dalam perhitungan HPS, semoga
bermanfaat dan dapat dijadikan bahan diskusi selanjutnya.

Prakualifikasi, HPS dan


Pengadaan Langsung

7 FEB

Rate This

Pasal 55 ayat 1, 2,3,4,5


(1) Tanda bukti perjanjian terdiri atas:
a. bukti pembelian;
b. kuitansi;
c. Surat Perintah Kerja (SPK); dan
d. surat perjanjian
Perubahan krusial pada pasal ini adalah perubahan batas atas penggunaan masing-masing
bukti perjanjian terkait pengadaan barang/jasa non konsultansi yaitu :
- Bukti Pembelian dari s/d Rp.5.000.000,- menjadi s/d Rp.10.000.000,-.
- Kuitansi dari s/d Rp.10.000.000,- menjadi s/d Rp.50.000.000,-.
- SPK dari s/d Rp.100.000.000,- menjadi s/d Rp.200.000.000,-.
- Surat Perjanjian diatas Rp.100.000.000,- menjadi diatasRp.200.000.000,-.

Pasal 56 ayat 4 huruf d dan 4a


(4) Prakualifikasi dilaksanakan untuk Pengadaan sebagai berikut:81
d. Pemilihan Penyedia melalui Pengadaan Langsung.
(4a) Prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, dikecualikan
untuk Pengadaan Langsung Barang/Jasa Lainnya.
Ayat 4 huruf d dan ayat 4a saling menjelaskan bahwa proses pengadaan langsung untuk Jasa
Konstruksi dan Konsultan dilakukan dengan prakualifikasi. Sedangkan untuk pengadaan
langsung barang/jasa lainnya tidak diperlukan.
Pasal 57
(5) Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan
metode Pengadaan Langsung dilakukan sebagai berikut:
a. pembelian/pembayaran langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan
Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta
Pengadaan Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan kuitansi;
b. permintaan penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis
dan harga kepada Penyedia untuk Pengadaan Langsung yang menggunakan SPK.
Dalam pasal ini terdapat tiga perubahan penting yaitu:
1. dihapuskannya tahapan penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ) dalam tahap
pemilihan karena tahap ini diluar wilayah pemilihan penyedia yang ada pada kewenangan
Pokja/Pejabat Pengadaan.
2. Pada Pelelangan Umum pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atau
Pelelangan Terbatas Barang/Pekerjaan Konstruksi dengan prakualifikasi, metode dua tahap
dilakukan penyetaraan teknis apabila diperlukan, kecuali untuk metode evaluasi sistem
nilai.
3. Penjelasan tentang metode pengadaan langsung dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Pembelian/Pembayaran Langsung menggunakan bukti pembelian dan kuitansi untuk
barang/jasa lainnya.
Pembelian/Pembayaran Langsung menggunakan kuitansi untuk konstruksi.
Sedangkan untuk Pengadaan Konsultan tidak dapat dilakukan dengan
pembelian/pembayaran langsung menggunakan bukti pembelian atau kuitansi.
b. Permintaan penawaran disertai klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga untuk semua
jenis barang/jasa yang menerapkan pengadaan langsung menggunakan SPK.
Pasal 66 ayat 1, 4 huruf b,7 dan 7a
(1) PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Barang/Jasa, kecuali untuk
Kontes/Sayembara dan Pengadaan Langsung yang menggunakan bukti pembelian
(4) HPS ditetapkan:
b. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan
penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi untuk
pemilihan dengan prakualifikasi.
(7) Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang
dapat dipertanggung jawabkan meliputi:
a. Harga pasar setempat yaitu harga barang/jasa dilokasi barang/jasa diproduksi/
diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya Pengadaan Barang/Jasa;
(7a) Penyusunan HPS untuk pelelangan/seleksi internasional dapat
menggunakan informasi harga barang/jasa di luar negeri.
Ayat 1 HPS tidak diperlukan untuk pengadaan langsung menggunakan bukti pembelian. Yang
menjadi patokan adalah harga terendah untuk kualitas barang/jasa yang terbaik sesuai
kebutuhan.
Ayat 4 huruf b menjelaskan tentang waktu penetapan HPS untuk proses prakualifikasi yaitu
28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah lamanya waktu proses
prakualifikasi.
Pada ayat 7 Perpres 54/2010 sebelum perubahan harga pasar menjadi komponen utama
penyusunan HPS. P70/2012 menempatkan harga pasar menjadi satu dari komponen data
penyusun HPS. Perubahan ini mensejajarkan seluruh sumber data sebagai pembentuk HPS
dengan syarat menggunakan sistem perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai
keahlian oleh PPK sehingga dapat menunjukan harga yang wajar.
Ayat 7a menjelaskan khusus untuk pelelangan/seleksi internasional penyusunan HPS dapat
menggunakan data harga barang/jasa diluar negeri.

Menghitung Koefisien Analisa Harga Satuan Bangunan


Posted by Muhammad Taufan

Koefisien analisa harga satuan adalah angka angka jumlah kebutuhan bahan maupun tenaga yang diperlukan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan dalam satu satuan tertentu.

koefisien analisa harga satuan berf ungsi sebagai pedoman awal perhitungan rencana anggaran biaya
bangunan, kondisi tersebut membuat koefisien analisa harga satuan menjadi kunci menghitung dengan tepat
perkiraan anggaran biaya bangunan.

Contoh koefisien analisa harga satuan bangunan

misalnya untuk 1 m2 pekerjaan plesteran dinding koefisien analisa harga satuanya adalah sebagai berikut:
Analisa untuk 1 m2 pekerjaan plesteran 1 pc : 4 ps adalah

koefisien analisa bahan

0.2170 zak semen


0.02830 m3 pasir pasang

koefisien analisa tenaga

0.0125 hari mandor


0.0200 hari kepala tukang
0.2000 hari tukang batu
0.2500 hari pekerja

angka angka diatas merupakan koefisien analisa harga satuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan 1m2
pekerjaan plesteran membutuhkan 0.2170 zak semen, sehingga jika kita akan mengerjakan 100 m2 pekerjaan
plesteran maka kita harus membeli atau menyediakan semen sebanyak 0.2170 x 100 = 21,70 zak.
begitu juga dengan kebutuhan tenaga sesuai koefisien analisa harga satuan diatas untuk menyelesaikan 1m2
pekerjaan plesteran diperlukan 0.20 hari tukang batu, maka untuk menyelesakan 100 m2 plesteran dibutuhkan
0.20 x 100 = 20 hari kerja untuk satu tukang, nah jika kita ingin menyelesaikan pekerjaan plesteran tersebut
dalam waktu 5 hari maka diperlukan tukang batu sebanyak 20 hari : 5 = 4 tukang batu.

Cara mencari koefisien analisa harga satuan rencana anggaran biaya bangunan ?

untuk mencari koefisien analisa harga satuan di indonesia bisa dlakukan dengan berbagai macam cara,
diantaranya adalah:

Melihat buku Analisa BOW

Koefisien analisa harga satuan BOW ini berasal dari penelitian zaman belanda dahulu, untuk sekarang ini sudah
jarang digunakan karena adanya pembengkakan biaya pada koefisien tenaga.

Melihat Standar Nasional Indonesia ( SNI )

standar nasional ( SNI ) ini di keluarkan resmi oleh badan standarisasi nasional, dikeluarkan secara berkala
sehigga SNI tahun terbaru merupakan revisi edisi SNI sebelumya. untuk memudahkan mengetahui edisi yang
terbaru, SNI ini diberi nama sesuai tahun terbitnya misal : SNI 1998, SNI 2002 , SNI 2007.

Melihat standar perusahaan

pada perusahaan tertentu menerbitkan koefisien analisa harga satuan tersendiri sebagai pedoman kerja
karyawan, koefisien analisa harga satuan perusahaan ini biasanya merupakan rahasia perusahaan.

pengamatan dan penelitian langsung dilapangan.

Cara ini cukup merepotkan dan membutuhkan cukup banyak waktu, tapi hasilnya akan mendekati ketepatan
karena diambil langsung dari pengalama kita dilapangan, caranya dengan meneliti kebutuhan bahan, waktu
dan tenaga pada suatu pekerjaan yang sedang dilaksanakan.

melihat standar Harga satuan

Harga satuan ini dikeluarkan per wilayah oleh pemerintah indonesia maupun standar perusahaan masing
masing, jika kita menggunakan harga satuan ini maka kita tidak memerlukan koefisien analisa harga satuan
karena untuk menghitung rencana anggaran biaya kita hanya perlu mengalikan volume pekerjaan dengan harga
satuan.

Anda mungkin juga menyukai