5. Logam
Seiring dengan minyak dan manufaktur kimia, logam juga merupakan
bagian dari apa yang sering disebut industri berat, sementara sisanya dari sektor
kadang-kadang disebut industri ringan, atau berorientasi konsumen industri.
Logam mencakup semua besi, manufaktur aluminium dan baja, serta keterampilan
penempaan, pelapisan ukiran, dan stamping.
Tingkat pertumbuhan yang pesat pada industri nasional merupakan multiplier effect
dan tingginya investasi pada sektor ini. Terhitung sejak tahun 2010, trend investasi
sektor industri di Indonesia terus mengalami peningkatan meskipun sempat tertahan
akibat krisis finansial pada tahun 2008.
Apabila ditarik lebih jauh ke belakang, pertumbuhan industri manufaktur dalam
perekeonomian Indonesia telah meningkat secara bertahap. Namun, di sisi lain,
peningkatan kerja industri manufaktur hanya naik dari 10 % menjadi 12 %.
Grafik 2. Kontribusi Sektor Utama dalam Perekonomian tahun 2015.(Sumber:
Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia, 2015).
Sektor ini menjadi dominan dalam penyumbang terbesar PDB Indoneesia
dimana mencapai 23.37 % (migas dan non-migas), namun sektor ini hanya mampu
menyerap tenaga kerja terendah sebesar 14.88 % dibandingkan dengan sektor pertanian
(38.07 %) dan perdagangan (23.74 %) (Kementerian Perdagangan, 2014). Hal ini bisa
disebabkan karena industri manufaktur menitikberatkan pada investasi dan penggunaan
teknologi menengah-tinggi ketimbang penggunaan tenaga kerja/labor.
Pertumbuhan output hasil industri dan penciptaan nilai tambah pada output
dengan penguasaan teknologi manufaktur yang tinggi merupakan faktor utama bagi
peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Industri manufaktur juga memegang
peranan penting dalam perdagangan internasional karena dengan peningkatan kualitas
dan kuantitas output yang dihasilkan maka dapat meningkatkan daya saing industri di
pasar global. Peran lain industri manufaktur adalah penyerapan tenaga kerja dalam
jumlah besar yang akan menurunkan tingkat pengangguran.
Apabila melihat pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang,
menurut BPS, terjadi peningkatan sebesar 4.22 % pada triwulan III tahun 2015
dibanding dengan periode sebelumnya. Setelah diberlakukan revitalisasi industri sejak
tahun 2004, pertumbuhan positif terjadi pada seluruh sub-industri. Jenis-jenis industri
manufaktur yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah sbb:
- Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional, naik 15.31 %
- Pengolahan laiinya, naik sebesar 13.53 %
- Mesin dan Perlengkapan ytdl, naik 8.28 %
- Barang Galian Bukan Logam, naik 7.37 %
- Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer, naik 7.14 %
- Makanan, naik 7.09 %
- Pengolahan Tembakau, naik 5.78 %
(Sumber: BPS, 2015)
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang Triwulanan (q-
to-q) dan (y-to-y) kurun waktu 2013-2015
Sumber: BPS, 2015
Sedangkan, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada
triwulan III tahun 2015 mencatat pertumbuhan yang lebih baik, sekitar (6.87 %)
dibanding dengan periode sebelumnya. Kenaikan tersebut terutama disumbangkan oleh
naiknya industri tembakau (19.17 %), industri mesin dan perlengkapan (19.12 %) serta
industri bahan kimia dan barang dari kimia sebesar (18.63 %). Sedangkan, industri
kayu, barang dari kayu, anyaman rotan turun (5.88 %) mengikuti industri logam dan
barang logam yang mengalami penurunan (5.87 %).
Secara lengkap, pertumbuhan industri non-migas dapat diketahui melalui tabel beriku
Tabel 2. Pertumbuhan Industri Pengolahan Non-Migas menurut Cabang-Cabang
Industri untuk tahun dasar 2010
No Lapangan Usaha 2012 2013 2014 2015
2 Industri Pengolahan
8.82 -0.27 8.33 6.43
Tembakau
15 Industri Pengolahan
Lainnya, Jasa Reparasi dan -0.38 -0.70 7.65 4.89
Pemasangan Mesin
Pada tahun 2015, hampir semua sektor industri mengalami pertumbuhan, hanya
tiga sektor industri yang mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sektor industri tekstil
dan pakaian jadi menurun sebesar 4.79 %; sektor industri kayu, barang dari kayu dan
gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya menurun sebesar 1.84 %;
serta industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman
menurun sebesar 0.11 %. Sedangkan industri barang logam; komputer, barang
elektronik, optik; dan peralatan listrik menjadi sektor industri dengan pertumbuhan
tertinggi, yaitu sebesar 7.83 %, disusul oleh industri makanan dan minuman sebesar
7.54 %; Industri mesin dan perlengkapan sebesar 7.49 %; Industri kimia, farmasi dan
obat tradisional sebesar 8.52 %; dan industri logam dasar sebesar 6.48 %.
2. Pemasaran
Ini juga merupakan masalah serius yang harus dihadapi oleh industri
manufaktur. Karena bila hanya mengandalkan pasar dalam negeri saja, tentu jangkauan
pasarnya hanya terbatas saja. Sedangkan bila ingin memasarkan keluar negeri atau pasar
ekspor, maka akses untuk menuju kesana juga dirasakan masih kurang. Selama ini kita
hanya mengandalkan pasar Eropa atau Amerika saja. Padahal, pasar di kedua wilayah
ini sudah mengalami kejenuhan, sehingga perlu dibuka akses pasar untuk wilayah lain.
4. Regulasi pemerintah
Yang dimaksud dengan regulasi di sini adalah segala hal yang berkaitan dengan
perundang-undangan untuk mengatur industri manufaktur di Indonesia. Karena selama
ini para pelaku usaha di bidang ini masih merasa belum mendapat perlindungan hukum
serta jaminan yang memadai agar merasa nyaman dalam menjalankan usahanya. Mulai
dari sistem pajak, restribusi, perijinan, perjanjian dengan tenaga kerja dan lain lain.
Semua ini menjadi tugas pemerintah serta pihak terkait untuk
menyelesaikannya, sehingga industri manufaktur di Indonesia bisa maju pesat dan ikut
berperan dalam pembangunan bangsa yang bertujuan untuk mensejahterahkan semua
rakyat.
Tantangan eksternal yang harus dihadapi adalah kesepakatan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang diterapkan sejak akhir tahun 2015. Konsekuensinya
adalah industri di Indonesia dituntut untuk mampu bersaing secara global karena produk
dari luar negeri akan membanjiri pangsa pasar lokal. Selain itu, perlambatan ekonomi
global yang diikuti dengan lesunya permintaan dunia akan memengaruhi kinerja ekspor
dan impor nasional, sehingga industri manufaktur akan mengalami dampak kelesuan
dan tidak dapat memberikan kontribusi efektif kepada perekonomian nasional.
Secara keseluruhan, permasalahan rendahnya penyerapan tenaga kerja dalam
sektor manufaktur ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas. Rendahnya kualitas
pekerja menyebabkan produktivitas dan daya saing rendah. Dilihat secara mendalam,
rata-rata tingkat pendidikan pekerja di Indonesia masih rendah, sekitar 63 % didominasi
oleh tamatan SMA ke bawah. Selain itu, ketidaksesuaian antara kebutuhan industri
manufaktur terhadap tenaga kerja dengan pendidikan dan pelatihan menyebabkan
perusahaan/industri mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja yang
berkualitas.
Data di lapangan menyebutkan, hanya 5 % angkatan kerja yang memperoleh
pelatihan dan hanya sekitar 1.6 % yang mempunyai sertifikat kompetensi (Biro APBN,
2015). Kondisi ini turut menyebabkan kualitas angkatan kerja yang rendah, sehingga
produktivitasnya pun tergolong rendah dibandingkan produktivitas negara-negara
ASEAN, untuk seluruh aktivitas dalam sektor perekonomian.
Selanjutnya, kualitas hasil produksi. Kualitas hasil produksi industri manufaktur
Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan hasil produksi negara lain. Hal ini
yang menyebabkan rendahnya nilai jual dan daya saing hasil produksi. Selain itu,
mengenai regulasi pemerintah. Para pelaku usaha di sektor industri manufaktur
menghendaki adanya peraturan yang dapat melindungi secara hukum serta memberikan
jaminan agar pengusaha merasa aman dalam menjalankan usahanya. Peraturan tersebut
antara lain meliputi sistem pajak, retribusi, perizinan, dan lain-lain. Selain itu, untuk
mengatasi adanya permasalahan sengketa investasi, pemerintah perlu menyusun aturan
mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal antara pemerintah dan investor
untuk memperkuat kepastian hukum dalam berusaha di Indonesia
Selain mengenai tenaga kerja, faktor produksi modal juga menjadi tantangan
tersendiri dalam perkembangan industri manufaktur di Indonesia. Selain modal dalam
bentuk uang atau investasi, modal juga dapat berupa investasi pendukung dalam
industri. Infrastruktur Indonesia dalam mendukung seluruh aspek pembangunan masih
dalam kondisi yang perlu perhatian khusus. Akses ke daerah masih menjadi masalah di
berbagai provinsi ataupun kabupaten di Indonesia. Infrastruktur juga menjadi modal
utama dalam kemajuan industri manufaktur terutama di daerah. Namun, infrastruktur
membutuhkan modal yang tidak sedikit, selain itu masih sangat bergantung pada
pendanaan pemerintah yang jumlahnya terbatas sehingga belum memenuhi harapan
masyarakat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas layanan.
Upaya melibatkan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership
dalam pembangunan infrastruktur juga belum memberikan hasil yang memuaskan
dengan ditandai rendahnya investasi dan peran swasta dalam mendukung skema ini.
https://id.wikipedia.org/wiki/Manufaktur
https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/strategi-pemerintah-mendongkrak-sektor-
manufaktur
http://www.anneahira.com/industri.htm
http://perin-iesp3b-fahmyrahman.blogspot.co.id/
https://www.academia.edu/29633931/Perkembangan_Industri_Manufaktur_di_Indonesi
a_tahun_2015-2016
Badan Pusat Statistik (BPS), diakses dari https://www.bps.go.id/