Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Suling Bambu

Suling bambu merupakan sejarah salah satu alat musik tradisional yang terdapat di banyak
negara. Banyak negara yang memakai alat musik yang dibunyikan dengan cara ditiup ini. Suling
banyak dimainkan hingga kini. Alat musik ini banyak dimainkan karena relatif mudah untuk
memainkannya. Selain itu suling juga gampang dibuat karena bahan baku utamanya yaitu bambu
cukup mudah ditemukan. Pembuatannya juga cukup mudah. Karena bahan bakunya gampang
ditemukan, suling cukup terjangkau semua kalangan. Harga murah dengan kualitas yang tidak
murahan.

Sejarah Tentang Suling Bambu

Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan eratnya dengan peradaban manusia.
Suling bambu menghasilkan bunyi siulan yan kasar dan melengking. Udara yang kita tiupkan ke
dalam lubang akan mengalir lalu membentur sepanjang dinding tabung yang memiliki fungsi
sebagai resonator. Frekuensi nada akan sangat dipengaruhi dengan keras dan lembutnya tiupan.
Sedangkan perbedaan nada bisa dihasilkan dari terbuka tutupnya lubang pengatur sepanjang
suling bambu. Nada-nada dalam suling biasanya terdiri dari , di, re, ri ,mi, fa, fi, sol, sel, la, li, si
dan do. Nada-nada ini lalu melengking dan bisa sampai oktaf di atasnya. Nada dalam suling bisa
mencapai 3 oktaf atau lebih.

Suling banyak digunakan sebagai nada dasar karena jangkauan nada yang jauh. Selain itu, suling
juga bisa mengiringi penyanyi yang bersuara rendah sampai penyanyi yang memiliki suara tinggi
dan melengking. Ada yang beranggapan bahwa alat musik bernama lain seruling ini telah
dimainkan oleh manusia purba Neandhertal. Ditemukan beberapa peninggalan beberapa seruling
yang telah berumur sekitar 40.000 tahun. Seruling zaman purba ini dibuat dari bahan tulang
hewan. Menurut perkiraan, lubang-lubang pada seruling tulang itu menghasilkan nada-nada
tertentu. Nada-nadanya telah diatur sehingga pembuatnya tentu telah merancangnya dengan
sengaja. Anggapan ini diungkapkan oleh peniliti bernama Bob Fink. Manusia purba Neandhertal
adalah manusia yang diperkirakan hidup sekitar 100.000 tahun yang lalu. Manusia Neandhertal
banyak ditemukan di daratan Eropa. Kemunculannya dianggap mendadak karena tidak ada
rangkaian evolusi terhadap jenis manusia purba sebelumnya.

Manusia Neandhertal akhirnya punah dengan sebab yang belum diketahui. Bisa saja berasimilasi
dengan ras lain atau memang musnah. Manusia Neandhertal memiliki beberapa perbedaan
dengan manusia modern. Rangka tubuh mereka lebih tegap dan memiliki volume otak yang lebih
besar jika dibandingkan dengan manusia modern. Anggapan bahwa mereka merupakan manusia
kera sedikit diragukan melihat kapasitas otak mereka. Ada yang berpendapat bahwa mereka
memiliki tingkat kecerdasan dan keterampilan yang tidak jauh dengan kita. Bahkan dengan
ditemukannya suling, maka ada juga yang menyimpulkan bahwa mereka telah memilik
peradaban yang lumayan maju. Tidak seperti manusia purba yang yang hanya makan dan
bertahan hidup, manusia Neandhertal sudah mengenal musik dalam peradaban mereka. Suling
juga dipercaya sudah berkembang dimasa Mesir Kuno. Terdapat peninggalan yang menunjukkan
bahwa masyarakat tingkat sosial atas di Mesir pada waktu itu telah menggunakan alat musik tiup
semacam suling.
Dalam relief berupa gambar huruf heriogliph juga terdapat gambar yang menyerupai alat-alat
musik modern. Gambar yang terlihat menyerupai klarinet, seruling, sampai dengan harpa.
Gambar seruling dalam gambar herioglioh disebut dengan Aulos. Namun Aulos dibuat dari
bahan baku kayu. Aulos memiliki dua buah tabung yang bisa ditiup. Masing-masing tabung
memiliki empat sampai lima lubang nada yang berbeda-beda. Aulos sedikit susah dimainkan
karena harus memiliki dua buluh yang dijadikan satu. Sejarah suling bambu juga banyak
berkembang di daratan China. Di negara ini, suling banyak terbuat dari bambu. Hal ini tidaklah
mengherankan karena bambu banyak ditemukan di negara ini. Walau begitu, ada juga suling
yang dibuat dari bahan utama batu giok dan tulang belulang hewan. Suling di China sudah cukup
berkembang bentuknya. Suling bambu China memakai membran resonansi yang ada di dalam
lubang.

Dampak dari membran resonansi ini adalah suara suling bambu yang lebih cerah. China
memiliki beberapa jenis penyebutan untuk suling karena perbedaan fungsi dan nadanya. Jenis
suling bambu yang sering dipakai di dalam orkestra modern adalah Bangdi, Qudi, Xindi, dan
Dadi, Jepang juga tidak ketinggalan dalam mengembangkan alat musik tiup ini. Suling bambu
disebut dengan Fie di Negeri Sakura ini. Suling di Jepang memakai bahan baku utama dari
bambu juga. Bambu untuk membuat suling disebut dengan Shinobue di Jepang. Suling bambu di
negeri ini banyak memiliki nada-nada tinggi. Di wilayah India, Pakistan, dan Bangladesh, suling
disebut dengan nama Bansuri. Bansuri memiliki panjang mencapai 14 inchi. Hal ini membuat
Bansuri terlihat panjang dibandingkan suling bambu di negara-negara lain. Bansuri memiliki
hubungan erat dengan epos Bhagawad Gita. Bansuri disebut sebagai alat musik yang erat
hubungannya dalam kisah cinta antara Khrisna dan Radha. Pertunjukkan Bansuri sering kita lihat
di televisi.

Kita sering melihat di film-film ketika seekor ular kobra di dala keranjang meliuk-liukkan
badannya diiringi tiupan Bansuri. Ular tersebut tidak mengikuti irama dari lagu, karena ular tidak
mendengar. Ular kobra meliuk-liukkan badannya untuk mengantisipasi gerakan dari suling yang
dipegang oleh peniup. Ular menganggapnya sebagai ancaman sehingga dia melakukan gerakan-
gerakan untuk menjaga diri. Peniup mampu menjaga jarak dengan baik sehingga dia tidak
diserang oleh ular tersebut. Tanah Eropa juga tidak ketinggalan. Di Jerman suling dinamai
Blockflote. Alat musik ini merupakan perpaduan dari suling tradisional Eropa Barat dan Asia
serta Afrika. Suling begitu terkenal di Jerman, apalagi jika melihat legenda Peniup Seruling dari
Hamelin.

Legenda ini sering menjadi dongeng bahkan di Indonesia. Ceritanya berpusat pada seorang
peniup suling misterius yang mengaku bisa menghilangkan gejala hama tikus di Hamelin. Dia
meniup suling dan semua tikus mengikutinya. Tikus-tikus itu mengikutinya menyelam di sungai,
sehingga mati tenggelam semuanya. Namun walikota tidak memberikan imbalan sesuai
kesepakatan. Sang peniup suling yang marah lalu bersumpah akan menuntut balas. Dia akhirnya
meniup suling dan diikuti oleh seratus tiga puluh anak di kota kecil itu. Seluruh anak-anak itu
mengikutinya ke dalam gua dan mereka tidak pernah kembali ini. Konon kejadian ini benar-
benar terjadi pada tahun 1284. Suling di Eropa berkembang pada masa Renanissance. Suling
banyak dimainkan dalam pertunjukkan orkestra bersama instrumen lainnya. Jadi seperti paduan
suara, nada-nada dalam Blockflote memiliki jenis tertentu.
Ada suling bersuara sopran, alto, tenor, dan bass. Suling-suling ini dinamai juga sebagai
Blockfloten Familie, yang berarti keluarga suling. Bahan baku dari suling eropa adalah kayu, dan
kadang bambu. Indonesia juga memiliki ceritanya mengenai suling. Suling di nusantara banyak
dibuat dari bambu. Hal ini tidak mengherankan karena bambu banyak dijumpai di negara ini.
Suling bambu banyak dimainkan untuk mengiringi musik-musik tradisional. Musik modern
seperti dangdut juga pasti memiliki intrumen suling di dalamnya. Musik keroncong juga
demikian. Pada awalanya suling di Indonesia juga dimainkan dalam musik gereja, namun hal ini
sudah mulai ditinggalkan modern ini.

Sejarah suling bambu dan gereja sebenarnya cukup erat. Pada kitab Perjanjian lama disebutkan
bahwa suling dipakai untuk mengungkapkan suka cita yang tidak terkendali atau
menggambarkan sebuah ratapan yang hebat. Karena itu, suing sering dipakai dalam berbagai
perayaan agama di gereja.

Sumber: Internet

Anda mungkin juga menyukai