Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU PENYAKIT ORGANIK HEWAN KECIL

ACARA 2 : PENYAKIT PADA KULIT

Disusun oleh :

Kelompok 4

Mita Fitria R 13/347193/KH/7695

Makruf Arif 13/347195/KH/7696

Mario Afra G. K. T 13/347197/KH/7697

Elsa Dinah 13/347198/KH/7698

Namira Imas Pengeti 13/347199/KH/7699

Annisa Devi R 13/347202/KH/7700

Dian Amalia 13/347207/KH/7702

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2017
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... iv
INTISARI .......................................................................................................... v

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 1
1. Felicola sp ................................................................................................... 1
2. Terapi dan Mekanisme Kerja Obat ............................................................... 4

RIWAYAT KASUS........................................................................................... 8

HASIL PEMERIKSAAN ................................................................................. 10

KESIMPULAN ............................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18

LAMPIRAN .................................................................................................... 20

i
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisiologis Kucing Bubu ........................................ 11
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Darah Kucing Bubu .............................................. 15

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Felicola sp ........................................................................................ 1
Gambar 2. Siklus hidup Felicola sp.................................................................... 3

Gambar 3. Ambulatoir Kucing Bubu .................................................................. 5

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Resep Antibiotik.. ........................................................................ 20

Lampiran 2.Hasil Pemeriksaan Rambut dan Kotoran Telinga.. ......................... 21


Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Darah ............................................................. 22

iv
INTISARI

Kutu yang sering ditemui pada kucing adalah spesies Felicola


subrostratus yang hidup dengan memakan epitel kulit yang akan membuat
rambut rontok dan rasa gatal. Infestasi banyak terjadi pada kucing muda,
tua, sakit dan kucing yang dipelihara dalam lingkungan yang tidak
sehat.Pada kucing breed rambut panjang, populasi patogen berkembang
banyak. Infestasi banyak terjadi di wajah, punggung, dan pinnae,
menyebabkan rambut tidak mengkilap, kulit mengkerut, scaling (bersisik),
krusta, dan alopecia.

Diagnosa ektoparasit dapat dilakukan melalui pemeriksaan rambut


menggunakan mikroskop untuk mengetahui infestasi ektoparasit pada
kucing. Pemeriksaan darah juga dapat dilakukan untuk melihat ada
tidaknya komplikasi atau penyakit lain serta melihat keadaan keseluruhan
dari kucing Bubu.

Pemeriksaan dilakukan pada kucing Bubu yang memiliki gejala


penyakit berupa sering menggaruk badan, nafsu makan dan minum baik,
feses normal dan tidak mengalami kesulitan saat defekasi, urinasi normal,
terdapat ektoparasit pada kulit dan rambut, adanya luka di bahu kanan dan
leher. pemeriksaan rambut dibawah mikroskop positif ditemukan Felicola
sp. Hasil pemeriksaan darah kucing Bubu menunjukkan adanya anemia,
leukositosis, neutrofilia, limfopenia, hiperproteinemia. Pemberian
antiektoparasit diberikan ivermectin SC serta pemberian antibiotik dengan
dosis 0, 42 ml diberikan secara IM.

Kata Kunci : Amoksisilin, Anemia, Ektoparasit, Felicola sp, Ivermectin,


Leukositosis,

v
TINJAUAN PUSTAKA

1. Felicola sp

Gambar 1. Felicola sp (Subronto, 2010)


Kutu yang sering ditemui pada kucing adalah Felicola

subrostratus yang hidup dengan memakan epitel kulit yang akan membuat

rambut rontok dan rasa gatal. Felicola subrostratus hidup pada permukaan

kulit. Siklus hidup pada kutu dari telur sampai bertelur lagi membutuhkan

waktu 24-33 hari. Kutu berjalan lambat di rambut sehingga mudah

ditangkap (Subronto, 2010).

Infestasi banyak terjadi pada kucing muda, tua, sakit dan kucing

yang dipelihara dalam lingkungan yang tidak sehat. Kutu ini sering dan

cukup umum ditemui pada kucing diseluruh dunia (Subronto, 2010).

Kutu ini hanya terjadi di kucing. Pediculosis terlihat saat penyakit

kronis. Pada kucing breed rambut panjang, populasi patogen berkembang

1
banyak. Infestasi banyak terjadi di wajah, punggung, dan pinnae,

menyebabkan rambut tidak mengkilap, kulit mengkerut, scaling (bersisik),

krusta, dan alopecia (Wall and Shearer, 2001). Penularan antara kucing

biasanya melalui kontak langsung , tetapi penularan juga dapat terjadi

melalui telur yang melekat pada benda mati seperti kuas, sisir dan perlatan

lain yang kontak dengan kucing. Perubahan dari telur hingga

dewasa sekitar tiga minggu. Infestasi yang paling umum ketika hewan

dalam keadaan tidak sehat dan musim dingin (Subronto, 2010).

Kutu jenis ini dalam siklus hidupnya selalu pada induk semang. Ada

3 stadium siklus hidup dari Felicola subrostratus yaitu stadium telur,

nympha dan dewasa. Kutu betina dewasa setelah proses reproduksi akan

bertelur di tubuh kucing.Telur yang sudah keluar akan ditempelkan di

rambut kucing, tujuannya agar telur tersebut tidak jatuh dari tubuh kucing.

Setelah beberapa jam hingga beberapa hari telur tersebut akan

menetas, kemudian keluar kutu dengan stadium nympha. Setelah beberapa

hari hingga beberapa minggu kutu tersebut akan berubah menjadi stadium

dewasa yang kemudian siap untuk bereproduksi kembali. Oleh karena itu

dalam pemeriksaan kita bisa menemukan mulai dari stadium telur sampai

dewasa pada rambut kucing (Karren et al.,2011).

2
Gambar 2. Siklus hidup Felicola sp (Wall and Shearer, 2001)

Gejala klinis yang sering tampak akibat dari infestasi kutu pada kucing

adalah rambut mudah rontok dan dalam jumlah yang banyak, kemudian

kucing akan merasa sangat gatal karena adanya kutu dalam jumlah yang

banyak pada rambut. Rambut menjadi mudah rontok karena dalam hal ini kutu

tersebut selalu menempel dan hidup pada rambut. Oleh karena itu

pertumbuhan rambut kucing menjadi tidak sempurna.

Kucing akan menjadi sering menggaruk atau menjilat hampir seluruh

bagian tubuhnya, akibat yang ditimbulkan dari menggaruk atau menjilat yang

terlalu sering adalah akan timbul luka pada daerah bekas garukan. Jika

terdapat luka maka bakteri akan dengan mudah masuk sehingga menimbulkan

infeksi. Akibat dari terlalu sering menjilat maka kondisi rambut akan

cenderung basah dan lembab. Kondisi rambut yang basah dan lembab bisa

menyebabkan infestasi jamur bisa terjadi (Karren et al.,2011).

Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian anti parasit dengan

metode spot-on. Kemudian grooming treatment dengan

3
menggunakan shampoo khusus untuk masalah kulit dan rambut akibat adanya

kutu seminggu sekali secara rutin. Pemberian vitamin rambut dan kulit untuk

membantu proses regenerasi dari rambut yang rontok akibat dari kutu. Rutin

menyisir rambut kucing agar rambut yang sudah lama atau rusak akibat dari

kutu bisa terangkat, sehingga pertumbuhan rambut yang baru akan lebih

sempurna (Debra et al., 2008).

Untuk pencegahan agar kucing item tidak terkena kutu lagi yaitu

dengan rutin membersihkan kandang dan properti yang biasa dipakai oleh

kucing item minimal sehari sekali dengan menggunakan desinfektan.

Kemudian membatasi kucing item untuk keluar rumah atau bermain terlalu

lama di tanah dan rumput. Rutin grooming minimal 2 minggu sekali dan rutin

pemberian anti parasit sebulan sekali (Karren et al.,2011).

2. Terapi dan Mekanisme Kerja Obat

Ivermectin

Ivermectin (IVM) merupakan anggota antihelminth dari kelas

makrosiklik lakton, berspektrum luas dalam melawan nematoda

gastrointestinal dan ektoparasit (Campbell et al. 1983).

Ivermectin adalah analog avermectin, termasuk khemoterapeutik

kelompok senyawa lakton makrosiklik, yang merupakan produk biologic dari

jamur tanah Streptomyces avermilitis (Brander dkk, 1982). Sampai saat ini

diketahui bahwa bahan tersebut mempunyai spectrum yang luas dalam

4
mengatasi ektoparasit (Muniz dkk, 1995) dan parasite gastrointestinal yang

diinfeksi secara buatan maupun secara alami (Convillon, 1996). Menurut

Brander dkk (1982), ivermectin dengan konsentrasi yang sangat rendah (g

per kg berat badan) yang diberikan dengan cara injeksi atau per oral, sangat

efektif melawan internal dan eksternal parasit.

Mekanisme kerja avermectin yaitu mengganggu aktivitas aliran ion

klorida pada sistem saraf arthropoda. Preparat ini dapat terikat pada reseptor

yang meningkatkan permeabiltas membrane parasite terhadap ion klorida,

sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah

pengeluaran neurotransmitter gama amino butyric acid (GABA). Sebagai

akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron akan

terganggu, sehingga akan menyebabkan terjadinya paraslisis dan kematian

dari parasite (Booth, 1988).

Mekanisme IVM adalah melepaskan dan mengikat subunit sebagai

reseptor glutamate-gated chloride channels (GluCl) di sinapsis saraf tertentu

(Wolstenholme 2011) yang menghambat proses memakan, fekunditas, dan

motilitas nematoda (Yates et al. 2003).

5
Amoksisilin

Amoksisilin merupakan antibiotik spektrum luas beta laktam yang

digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Biasanya pemilihan obati ini

dikarenakan lebih mudah terabsorbsi dibanding dengan antibiotik beta laktam

lainnya. Amoksisilin bekerja dengan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri

(Ashnagar, 2007). Menurut Kaur (2011) amoksisilin merupakan obat yang bekerja

secara bakteriosidal yang membunuh mikroorganisme dengan cara menghambat

biosinteiss dari dinding sel mukopeptida selama multiplikasi bakteri.

Secara farmakologi, amoksisilin lebih mudah terabsorbsi daripada

ampicilin. Untuk mekanisme secara pastinya belum bisa dijabarkan, tetapi

antibiotik beta laktam menunjukkan adanya ikatan beberapa enzim yaitu

carboxypeptidases, transpeptidases, endopeptidases dengan membran sitoplasmik

bakteri. Seperti antibiotik beta laktam lainnya, amoksisilin secara umum lebih

efektif digunakan ketika bakteri secara aktif sedang tumbuh. Obat ini dikatakan

broad spectrum karena mampu melawan bakteri Gram negatif aerob seperti E.

coli, Klebsiella, Haemophilus dan mampu melawan bakteri anaerobik seperti

Clostridium. Namun amoksisilin inaktif pada Riketsia, fungi, mycoplasma, dan

virus (Anonim, 2017; papich, 2016)

Penggunaan amoksisilin biasanya untuk infeksi berbagai agen bakteria.

Kontraindikasinya pada pasien yang mengalami hipersenstivitas, dan mengalami

hipersensitivitas selain antibiotik beta laktam (sefalosporin, cefamisin, dan

carbapenems). Tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami septikemia,

shock, atau gangguan penyerapan di saluran gastrointestinal yang akan

6
mengakibatkan keterlambatan dalam terapi. Apabila terjadi gangguan pada

gastrointestinal, dapat diberikan secara parenteral (Anonim, 2017)

Dosis yang diberikan untuk kucing adalah 10-20 mg/kg BB secara IM, SC,

PO. Amoksisilin aman digunakan. Reaksi alergik dapat terjadi. Diare dan muntah

dapat terjadi ketika pemberian secara oral. Pemberian oral pada kuda dan sapi

dapat menyebabkan diare dan atau enteritis (Papich, 2016).

7
RIWAYAT KASUS

Pasien bernama kucing bubu adalah kucing jantan berusia dua tahun.

Kucing Bubu mengalami beberapa kondisi di antaranya sering terlihat menggaruk

tubuhnya, terlihat adanya darah pada feses kucing selama beberapa hari sebelum

pemeriksaan, nafsu makan baik, riwayat vaksin dan obat cacing tidak diketahui,

pakan yang diberi adalah pakan non pabrik yaitu nasi dan ikan.

Pemeriksaan diawali dengan dilakukannya pemeriksaan umum terlebih

dahulu. Kucing bubu memiliki ekspresi wajah yang terlihat tenang. Tubuh

berukuran sedang dengan berat badan 4,1 kg. Rambut mudah rontok di beberapa

bagian terutama leher dan area gluteal, dan kondisinya kotor. Telinga kucing

terpantau kotor. Turgor kulit baik , CRT kurang dari 2 detik dan selaput lendir

normal yaitu berwarna merah muda. Suhu tubuh terpantau 39, 2 derajat celcius ,

frekuensi nafas terpantau normal yaitu 40 kali/menit, dan denyut nadi terpantau

normal yaitu 132 kali/menit. Dari kondisi di atas dapat disumpulkan bahwa

kondisi umum tubuh baik.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan khusus pada sistem pernafasan kucing.

Dimulai dari melihat ada tidaknya lendir yang keluar dari hidung kucing,

kemudian mendengarkan tipe nafas kucing. Dari hasil pemeriksaan tidak

ditemukan adanya lendir yang keluar dari hidung kucing dan tipe nafas terdengar

bronchial yang berarti normal. Selanjutnya, karena bulu dan telinga terlihat kotor

maka diambil beberapa helai bulu kemudian diletakkan ke gelas objek dan

demikian dengan kotoran telinga yang juga diletakkan di gelas objek untuk

8
dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Sampel kotoran telingan terlebih

dahulu diberi cairan KOH, ditekan-tekan selama beberapa saat kemudian baru

dilihat di bawah mikroskop. Hasil pengamatan kotoran telinga tidak menunjukkan

adanya ektoparasit. Setelah itu dilakukan pengamatan pada beberapa helai bulu

kucing. Hasil pengamatan menunjukkan adanya ektoparasit. Dengan ini dikatakan

bahwa kucing memiliki infestasi ektoparasit. Setelah itu, dilakukan palpasi pada

bagian perut kucing dan ternyata ditemukan pembesaran ukuran pada ginjal

kucing, namun ketika dipalpasi kucing tidak menunjukkan respon sakit dan

permukaan ginjal masih teraba halus. Diagnosa antara karena ukuran ginjal

kucing memang secara alami berukuran besar atau memang terjadi pembengkakan

masih tidak signifikan. Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan pengambilan

darah pada kucing dan kemudian sampel dikirim untuk melihat gambaran darah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyakit yang ada pada kucing Bubu

adalah infestasi ektoparasit serta dugaan terjadinya pembengkakan pada ginjal

kucing. Pengobatan yang diberikan adalah berupa injeksi Amoxicilin sebanyak

0,42 ml secara subcutan.

9
HASIL PEMERIKSAAN

Diskusi

Gambar 3. ambulatoir hasil pemeriksaan kucing Bubu.

10
Kucing yang diperiksa dalam praktikum acara II kelompok 4 adalah

kucing persia jantan bernama Bubu, berumur 2 tahun. Pemilik bernama Makruf,

beralamat di Klebengan. Hasil anamnesa sebelum kucing dibawa ke klinik adalah

kucing sering menggaruk badan, nafsu makan dan minum baik, feses normal dan

tidak mengalami kesulitan saat defekasi, urinasi normal, terdapat ektoparasit pada

kulit dan rambut, adanya luka di bahu kanan dan leher. Berdasarkan hasil tersebut,

dugaan awal mengarah pada infestasi ektoparasit. Kucing kemudian dilakukan

pemeriksaan fisik dan laboratoris.

Pemeriksaan fisik kucing diawali dengan memeriksa keadaan umum

meliputi ekspresi muka dan kondisi tubuh, cara (Boddie, 1962). Hasil yang

didapatkan saat pemeriksaan adalah ekspresi muka tenang dan kondisi tubuh yang

sedang. Kemudian diperiksa data fisiologis frekuensi nafas, frekuensi pulsus, dan

suhu tubuh. Hasil pemeriksaan dan data normal literatur dapat dilihat pada Tabel

1.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Fisiologis Kucing Bubu

No. Fisiologis Satuan Normal Hasil


Surono Reece Pemeriksaan
(1975) (2004)
1 Frekuensi kali/menit 26-48 16-40 40
nafas
2 Frekuensi kali/menit 92-150 120-140 132
pulsus
3 Suhu tubuh 37,6-39,4 38,1-39,2 39,2

Kucing Bubu memiliki data fisiologis yang normal bila dibandingkan

dengan Surono (1975) dan Reece (2004). Pemeriksaan kemudian dilanjutkan

dengan pemeriksaan kulit dan rambut dengan cara meraba pada kulit dan diamati

11
adanya lesi pada kulit, adanya ektoparasit, kilauan rambut, dan kerontokan rambut

(Boddie, 1962). Kucing Bubu memiliki rambut yang rontok, adanya luka pada

bagian scapula dexter dan cervix dekat dengan mandibula, terdapat ektoparasit

yang kemudian diperiksa lebih lanjut pada laboratorium parasitologi. Selaput

lendir diperiksa terhadap warna, adanya lesi atau leleran. Gingiva kucing Bubu

berwarna merah muda pucat seperti kucing normal, begitu juga dengan

konjungtivanya (Duguma, 2016). Tidak ada lesi pada selaput lendir kucing Bubu.

Capillary refill time normalnya kurang dari 2 detik (Duguma, 2016). Kucing

Bubu memiliki CRT yang normal.

Kelenjar-kelenjar limfe diperiksa dengan cara palpasi pada limfonodus

superficial. Diamati akan adanya perubahan bentuk, konsistensi, suhu, ukuran,

simetrisitas dan adanya respon nyeri saat dipalpasi. Normalnya tidak ada

kebengkakan, rasa sakit saat dipalpasi, tidak ada perubahan bentuk dan

konsistensi (Boddie, 1962; Duguma, 2016).

Kucing Bubu tidak ada perubahan terhadap limfonodus superficial.

Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan pernafasan secara lege

artis dimulai dari cavum nasi hingga ke pulmo. Cavum nasi diperiksa akan adanya

lesi dan leleran dengan cara diamati. Sinus frontalis diketuk-ketuk untuk

memeriksa akan adanya cairan yang menumpuk dan adanya refleks bersin saat

sinus frontal hingga cavum nasi diurut. Trachea dipalpasi akan adanya obstruksi

dan refleks batuk. Pulmo diperiksa dengan auskultasi dan diamati bagaimana

suara yang dihasilkan pulmo saat bernafas. Pada kucing normal, tidak ditemukan

adanya leleran atau lesi pada cavum nasi, tidak ada suara pekak saat diketuk sinus

12
frontalisnya, ada refleks batuk saat trachea dipalpasi, terdengar suara nafas

bronchial pada pulmo (Boddie, 1962; Duguma, 2016). Kucing Bubu normal

setelah dilakukan pemeriksaan.

Peredaran darah dilakukan pemeriksaan terhadap adanya ketidaknormalan.

Cor diauskultasi dan diamati suara sistol diastol. Pada kucing normal dapat

dibedakan antara suara sistol dan diastol jantung, dan suaranya ritmis (Boddie,

1962; Duguma, 2016). Kucing Bubu peredaran darahnya normal. Pencernaan

diperiksa secara lege artis dari cavum oris hingga ke anus. Cavum oris dibuka,

diamati akan adanya lesi, dan benda asing. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan

esofagus dengan cara palpasi, diamati akan adanya obstruksi. Normalnya kucing

memiliki bau nafas yang seperti bau pakannya dan tidak ada obstruksi pada

esofagus. Lambung dan intestinum diperiksa dengan cara palpasi, diamati akan

adanya pembesaran organ dan peristaltik usus diperiksa dengan auskultasi

(Boddie, 1962; Duguma, 2016). Kucing Bubu memiliki sistem pencernaan yang

normal.

Sistema urogenital dilakukan pemeriksaan terhadap ada tidaknya

kebengkakan, lesi, kesulitan saat urinasi, dan rasa sakit saat dipalpasi. Normalnya

tidak ada kebengkakan organ, tidak ada lesi pada organ genital luar, tidak

kesulitan saat urinasi, dan tidak ada respon sakit saat dipalpasi (Boddie, 1962;

Duguma, 2016). Kucing Bubu tidak menunjukkan gejala kesulitan urinasi dan

urinnya normal berdasarkan hasil anamnesa. Namun ketika dipalpasi pada bagian

ginjal, teraba ginjal memiliki ukuran yang besar melebihi normal dan vesica

urinaria yang sepertinya terisi penuh. Kemungkinan kucing Bubu mengalami

13
kelainan pada ginjal, namun untuk dapat memastikannya harus dilakukan uji

fungsi ginjal yaitu kadar BUN dan kreatinin dalam darah, uji fisik dan kimia urin

(Subronto, 2013).

Sistem syaraf dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Sistem syaraf

yang normal beberapa di antaranya ditandai dengan cara berdiri dan berjalan yang

tidak sempoyongan, pupil mengecil saat dilakukan pemeriksaan menggunakan

penlight, palpebrae mengedip saat objek didekatkan secara tiba-tiba ke mata,

kemampuan mengendus pakan baik. Anggota gerak juga dilakukan pemeriksaan

dengan cara inspeksi dan palpasi. Dilakukan pengamatan pada cara berdiri dan

berjalan (Duguma, 2016). Kucing Bubu memiliki sistem syaraf yang normal.

Uji laboratoris dilakukan untuk meneguhkan diagnosa dari pemeriksaan

fisik. Dilakukan uji sampel ektoparasit, uji serumen, dan uji darah. Pemeriksaan

ektoparasit dilakukan dengan mengambil ektoparasit yang ada pada rambut

kucing dan diletakkan langsung di object glass lalu ditutup dengan object glass

yang lain. Ektoparasit tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk

mengetahui jenis ektoparasit yang dimaksud.

Pemeriksaan serumen atau kotoran telinga dilakukan dengan cara

mengambil secukupnya kotoran telinga dan segera diusapkan pada object glass.

Kemudian ditetesi hidrogen peroksida dan ditutupkan dengan deck glass, lalu

diperiksa di bawah mikroskop. Pemeriksaan ektoparasit menunjukkan bahwa

kucing terinfestasi Felicola sp. dari gambaran mikroskop. Hasil negatif pada

pemeriksaan serumen, tidak ditemukannya parasit. Tidak dilakukan pemeriksaan

14
feses karena tidak berhasil melakukan swab rectal dan tidak ada sampel feses

yang dibawa dari litter box kucing Bubu. Hasil pemeriksaan darah dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Darah Kucing Bubu

No. Satuan Normal


Hasil
Latimer, 2010; Salasia dan
Pemeriksaan Pemer
Weiss dan Hariono
iksaan
Wardrop, 2010 (2014)

1 Hematokrit % 30-45 24-45 18

2 Hemoglobin g/dL 9,8-15,4 8-14 7

3 juta/m 5,5-10
Eritrosit 5-10 3,93
m3

4 ribu/m 8-25
Leukosit 5,5-19,5 31,15
m3

- Neutrofil segmented % 45-64 35-75 85

- Limfosit % 27-36 20-55 12

- Monosit % 0-5 1-4 1

- Eosinofil % 0-4 2-12 2

5 Protein Total g/dL 6,0-7,5 8,1

6 Fibrinogen mg/dL 150-300 100-300 200

Hasil pemeriksaan darah kucing Bubu menunjukkan adanya anemia,

leukositosis, neutrofilia, limfopenia, hiperproteinemia. Neutrofilia dapat

15
disebabkan respon fisiologik hewan sehat karena ketakutan, dapat pula

disebabkan karena terapi corticosteroid, atau karena inflamatorik yang akan

tampak lebih banyak neutrofil band daripada neutrofil segmented. Limfopenia

dapat disebabkan penyakit-penyakit debilitas: amyloidosis, penyakit endokrin,

infeksi, neoplasia, penyakit hati, ginjal, dan pankreas, dapat pula disebabkan

paparan panas dan dingin, hiperadrenokortisismus, obstruksi saluran pencernaan,

saluran respirasi, saluran urinasi, saluran empedu.

Hiperproteinemia ringan dapat terjadi akibat dehidrasi (Salasia dan

Hariono, 2014). Jika dipadukan dengan pemeriksaan fisik, kemungkinan

pemeriksaan darah yang terbaca disebabkan kondisi kucing yang stress saat

diperiksa, kucing mengalami dehidrasi ringan. Adanya anemia kemungkinan

akibat infestasi Felicola sp. dugaan yang mengarah pada gangguan sistema

urinaria belum dapat dibuktikan dengan pasti karena tidak dilakukan pemeriksaan

uji fungsi ginjal.

Diagnosa terhadap kucing Bubu adalah gangguan pada saluran urinaria.

Pemberian injeksi amoxicillin dilakukan untuk pencegahan infeksi sekunder yang

mungkin terjadi akibat infestasi kutu. Grooming anti kutu dilakukan pada hari

berikutnya untuk terapi ektoparasit Felicola sp.

16
KESIMPULAN

1. Salah satu penyakit kulit yang sering menyerang kucing yaitu ektoparasit
berupa Felicola sp.
2. Pada riwayat kasus kucing Bubu, menunjukkan gejala klinis berupa
rambut kotor, rontok, serta banyak ditemukan telur cacing terutama
dirambut bagian leher dan gluteus.
3. Pada pemeriksaan rambut menggunakan mikroskop ditemukan positif
infestasi Felicola sp.
4. Hasil pemeriksaan darah kucing Bubu menunjukkan adanya anemia,
leukositosis, neutrofilia, limfopenia, hiperproteinemia.
5. Terapi yang diberikan berupa pemberian anti ektoparasit ivermectin dan
antibiotik berupa amoksisilin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Drug Handbook.


http://aprendeenlinea.udea.edu.co/lms/moodle/pluginfile.php/269494/m
od_page/content/1/Drug_20Handbook_1_.pdf Diakses pada tanggal 13
Maret 2017 pukul 09.52 WIB
Ashnagar, A., Naseri, N.G. 2007. Analysis of Three Penicillin Antibiotics
(Ampicillin, Amoxicillin and Cloxacillin) of Several Iranian
Pharmaceutical Companies by HPLC. E-Journal of Chemistry Vol. 4,
No. 4, pp. 536-545
Boddie, G. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadephia.
Lippincot Company.
Booth, D. M. 1988. Veterinary Pharmacology and Theraupetics, 6 th edition.
IOWA State University Press. Hal 294-295.
Brander, G.C. Pugh, Bywater, R.J. 1982. Anthelmentics in Veterinary Applied
Pharmacology and Theraupetics. 4th ed. E.L.B.S. and Bailliere
Tindall, London. Hal 490-491.
Campbell WC, Fisher MH, Stapley EO, Albers-Schonberg G, Jacob TA. 1983.
Ivermectin: A Potent New Antiparasitic Agent. Science. 221(4613):
http://doi.org/bvxngt.
Debra M, Eldredge; Delbert G, Carlson, Liisa D, Carlson; James M, Giffin.
2008. Cats OwnerHome Veterinary Handbook 3rd ed. Wiley
Publishing, Inc.
Duguma, A. 2016. Practical Manual on Veterinary Clinical Diagnostic Approach.
Journal of Veterinary Science and Technology (7): 1-10.
Karren H.R. and Alexander H.W. 2011. Blackwells Five-Minute Veterinary
Consult Clinical Companion Small Animal Dermatology. Second
Edition. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate,
Chichester, West Sussex, UK.
Kaur, S.P., Rao, Rekha., Nanda, Sanju. 2011. Amoxicillin: A Broad Spectrum
Antibiotic. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences Vol 3 No 3
Latimer, K., S. 2011. Duncan & Prasses Veterinary Laboratory Medicine:
Clinical Pathology 5th Edition. New Jersey. Wiley-Blackwell
Papich, M.G. 2016. Saunders Handbook Of Veterinary Drugs Small And Large
Animal. Missouri: Elsevier
Purnamaningsih, H. dan Tjahajati, I. 2002. Efektivitas ivermectin dan fipronil
dalam mengatasi serangan caplak pada anjing. J. Sain. Vet. Vol. XX
No. 1, 2002.
Puspitasari, S., Sulistiawati, E., Basar, M., Farajallah, A. 2015. Efektivitas
ivermectin dan albendazole dalam melawan ostertagia pada anakan
domba di Bogor Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI),
ISSN 0853-4217 EISSN 2443-3462.
Reece, W. O. 2004. Dukes Phisiology of Domestic Animals 12th Edition. New
York. Cornell University.

18
Salasia, S. I. O., Hariono, B. 2014. Patologi Klinik Veteriner. Yogyakarta.
Samudra Biru.
Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing
cetakan ke 2.Yogyakarta.
Subronto. 2013. Penyakit Hewan Kesayangan Anjing. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Surono, dkk. 1975. Petunjuk Praktikum Diagnosa Klinik Veteriner. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKH-UGM. Yogyakarta.
Wall, R. and Shearer, D. 2001. Veterinary Ectoparasites Second Edition: Biology,
Pathology, and Control. London: Blackwell.
Weiss, D., J., Wardrop, K., J. 2010. Schalms Veterinary Hematology 6th Edition.
New Jersey . Wiley-Blackwell.

19
LAMPIRAN

1. Resep Antibiotik

20
2. Pemeriksaan Rambut dan kotoran telinga

21
3. Hasil Pemeriksaan Darah

22

Anda mungkin juga menyukai