Anda di halaman 1dari 77

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Definisi Epidemiologi

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang distribusi

penyakit dan determinannya pada manusia (MacMahon & Pugh,

1970). Distribusi penyakit dapat dideskripsikan menurut orang

(usia, jenis kelamin, ras), tempat (penyebaran geografis), dan waktu,

sedangkan pengkajian determinan penyakit niencakup penjelasan

pola distribusi penyakit tersebut menurut faktor-faktor penyebabnya.

Istilah epidemiologi berasal dari kata epi (atas), demos

(rakyat, penduduk), dan logos (ilmu), sehingga epidemiologi

dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang

terjadi/menimpa penduduk. Epidemiologi tidak terbatas hanya

mempelajari tentang epidemi (wabah).

Menurut sejarah perkembangan, epidemiologi dibedakan atas:

1. Epidemiologi klasik: terutarna mempelajari tentang

penyakit menular wabah serta terjadinya penyakit menurut konsep

epidemiologi klasik.

2. Epidemiologi modern: merupakan sekumpulan konsep

yang digunakan dalam studi epidemiologi yang terutama bersifat

analitik, selain untuk penyakit menular wabah dapat diterapkan

juga untuk penyakit menular bukan wabah, penyakit tidak menular,

serta masalah-masalah kesehatan lainnya. Menurut bidang

penerapannya, epidemiologi modern dibagi atas:

a. Epidemiologi lapangan.

b. Epidemiologi komunitas.

c. Epidemiologi klinik.

Menurut metode investigasi yang digunakan, epidemiologi dibedakan

atas:

1. Epidemiologi deskriptif; mempelajari peristiwa dan

distribusi penyakit.

2. Epidemiologi analitik; mempelajari faktor-faktor yang

1
mempengaruhi distribusi penyakit (determinannya).

Terdapat 3 komponen penting yang ada dalam epidemiologi, yaitu

sebagai berikut:

a. Frekwensi Masalah Kesehatan

Frekwensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya

masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia/

masyarakat. Untuk dapat mengetahui frekwensi suatu masalah

kesehatan dengan tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu :

1) Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.

2) Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang

ditemukan tersebut.

b. Distribusi ( Penyebaran ) Masalah Kesehatan.

Yang dimaksud dengan Penyebaran / Distribusi masalah

kesehatan disini adalah menunjuk kepada pengelompokan masalah

kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang

dimaksudkan dalam epidemiologi adalah :

1) Menurut Ciri ciri Manusia ( MAN )

2) Menurut Tempat ( PLACE )

3) Menurut Waktu ( TIME )

c. Determinan ( Faktor Factor Yang

Mempengaruhi )

Yang dimaksud disini adalah menunjuk kepada factor penyebab

dari suatu penyakit/masalah kesehatan baik yang menjelaskan

Frekwensi, penyebaran ataupun yang menerangkan penyebab

munculnya masalah kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini ada 3 langkah

yang lazim dilakukan yaitu :

1) Merumuskan Hipotesa tentang penyebab yang dimaksud.

2) Melakukan pengujian terhadap rumusan Hipotesa yang telah

disusun.

3) Menarik kesimpulan.

B. Ruang Lingkup Epidemiologi

2
1. Masalah kesehatan sebagai subjek dan objek

epidemiologi

Epidemiologi tidak hanya sekedar mempelajari masalah-masalah

penyakit-penyakit saja, tetapi juga mencakup masalah kesehatan yang

sangat luas ditemukan di masyarakat. Diantaranya masalah keluarga

berencana, masalah kesehatan lingkungan, pengadaan tenaga

kesehatan, pengadaan sarana kesehatan dan sebagainya. Dengan

demikian, subjek dan objek epidemiologi berkaitan dengan masalah

kesehatan secara keseluruhan.

2. Masalah kesehatan pada sekelompok manusia

Pekerjaan epidemiologi dalam mempelajari masalah kesehatan,

akan memanfaatkan data dari hasil pengkajian terhadap sekelompok

manusia, apakah itu menyangkut masalah penyakit, keluarga berencana

atau kesehatan lingkungan. Setelah dianalisis dan diketahui

penyebabnya dilakukan upaya-upaya penanggulangan sebagai tindak

lanjutnya.

3. Pemanfaatan data tentang frekuensi dan penyebaran

masalah kesehatan dalam merumuskan penyebab timbulnya suatu

masalah kesehatan.

Pekerjaan epidemiologi akan dapat mengetahui banyak hal

tentang masalah kesehatan dan penyebab dari masalah tersebut

dengan cara menganalisis data tentang frekuensi dan penyebaran

masalah kesehatan yang terjadi pada sekelompok manusia atau

masyarakat. Dengan memanfaatkan perbedaan yang kemudian

dilakukan uji statistik, maka dapat dirumuskan penyebab timbulnya

masalah kesehatan.

Secara praktis ruang lingkup epidemiologi lapangan dan komunitas

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu studi mengenai fenomena dan

studi mengenai penduduk, sedangkan ruang lingkup epidemiologi klinik yang

mempelajari mengenai peristiwa klinik serta kaitannya dengan riwayat

alamiah penyakit.

Keunikan Epidemiologi jika dibandingkan dengan cabang-cabang lain

Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan ialah:

3
1. Epidemiologi tidak mempelajari individu, melainkan kelompok orang.

2. Epidemiologi memperbandingkan satu kelompok dengan kelompok

lainnya dalam masyarakat.

3. Epidemiologi mempelajari apakah kelompok dengan kondisi tertentu

lebih sering memiliki suatu karakteristik tertentu daripada kelompok

tanpa kondisi tersebut. Kelompok yang lebih sering memiliki

karakteristik tertentu tersebut dinamakan kelompok berisiko tinggi

(high risk group).

Tabel 1.1. Ruang lingkup epidemiologi lapangan & kornunitas)

FENOMENA PENDUDUK
Status kesehatan & fisiologi Karakteristik kelompok,
Penyakit dan kematian misal: usia, jenis kelamin,
Perilaku yg berhubungan dgn kebudayaan.
Kesehatan Karateristik perilaku.
Determinan dari Faktor-faktor resiko
masing-masing tersebut diatas. dalam kelompok penduduk.
Program intervensi dari Keadaan lingkungan.
masing-masing diatas.

Diagram 1.1. Ruang lingkup epidemiologi klinik

Di era modern dan perkembangan teknologi seperti sekarang ini

memicu jangkauan epidemiolgi semakin meluas. Secara garis besarnya

jangkauan atau ruang lingkup epidemiologi antara lain:

1. Epidemiologi Penyakit Menular

2. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular

3. Epidemiologi Kesehatan Reproduksi

4
4. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan

5. Epidemiologi Kesehatan Kerja

6. Epidemiologi Kesehatan Darurat

7. Epidemiologi Kesehatan Jiwa

8. Epidemiologi Perencanaan

9. Epidemiologi Prilaku

10. Epidemiologi Genetik

11. Epidemiologi Gizi

12. Epidemiologi Remaja

13. Epidemiologi Demografi

14. Epidemiologi Klinik

15. Epidemiologi Kausalitas

16. Epidemiologi Pelayanan Kesehatan

17. dan sebagainya.

Perkembangan epidemiologi sedemikian pesatnya merupakan

tantang bagi tenaga kesehatan yang harus lebih cermat dalam mengambil

tindakan-tindakan yang tidak melenceng dari jangkauan tersebut. Adapun

yang menjadi pemicu perkembangan pesat tersebut adalah perkembangan

pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih yang menuntut

peningkatan kebutuhan masyarakat utamanya dalam bidang kesehatan

sehingga kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Selain itu,

metode epidemiologi yang digunakan untuk penyakit menular dapat juga

digunakan untuk penyakit non-infeksi. Apalagi dengan munculnya berbagai

macam fenomena kesehatan seperti penyakit baru dan lama (prevalensi)

mendorong penelitian juga semakin meningakat. Demikian juga ilmu

epidemiologi digunakan dalam mempelajari asosiasi-asosiasi sebab- akibat

fenomena masalah kesehatan dan penduduk.

C. Studi Epidemiologi

Dari spektrum penyakit, yaitu urutan peristiwa yang terjadi

pada manusia sejak saat pajanan (exposure) terhadap agen etiologi

sampai dengan kematian (diagram 1.2), hanya sebagian kecil yang

umumnya disadari oleh pengamat kesehatan, yaitu apabila kasus telah

5
berkembang penuh. Walaupun demikian, dalam Epidemiologi

diupayakan untuk sedapat mungkin mempelajari seluruh rentang

spektrum penyakit.

Diagram 1.2. Spektrum penyakit

Tujuan studi epidemiologi adalah:

1. Mendiagnosis masalah kesehatan masyarakat.

2. Menentukan riwayat alamiah dan etiologi penyakit.

3. Menilai dan merencanakan pelayanan kesehatan.

Ketiga tujuan tersebut dicapai dengan melakukan surveilans

epidemiologi dan penelitian epidemiologi. Surveilans epidemiologi meliputi

kegiatan-kegiatan:

1. Pengumpulan data secara sistematis dan kontinu.

2. Pengolahan, analisis, dan interpretasi data sehingga

menghasilkan informasi.

3. Penyebarluasan informasi tersebut kepada instansi yang

berkepentingan.

4. Penggtmaan informasi tersebut untuk pemantattan, penilaian,

dan perencanaan program kesehatan.

Penelitian epidemiologi mencakup kegiatan yang sama dengan

surveilans epidemiologi, tetapi pengumpulan datanya tidak dilakukan

secara kontinu. Penelitian epidemiologi terutama bersifat

observasional (pada epidemiologi lapangan), yang mempelajari hubungan

antara pajanan dengan terjadinya penyakit (disease). Untuk

menyederhanakan penilaian, dalam kebanyakan studi digunakan

pengukuran pajanan dan penyakit yang berskala dikotomi (ada vs tidak

ada pajanan, ada vs tidak ada penyakit; tabel 1.2).

6
Tabel 1.2. Pajanan dan penyakit yang berskala dikotomi
dalam studi epidemiologi

Pajanan
Penyakit Jumlah
Ada Tidak ada
Ada a b a+b

Tidak ada c d c+d


Jumlah a+c b+d n

Pajanan dapat berasal dari luar diri subjek yang dipelajari

(kebisingan lingkungan, zat toksik dalam makanan, dan sebagainya),

perilaku subjek (penggunaan sabuk pengaman saat berkendara, perokok,

dan sebagainya), maupun faktor internal pada subjek (usia, jenis kelamin,

dan sebagainya). Faktor risiko adalah pajanan yang meningkatkan risiko

terjadinya penyakit, sedangkan faktor preventif adalah pajanan yang

menurunkan risiko terjadinya penyakit.

Contoh :

Misalkan akan dipelajari kebiasaan mencuci tangan sebelum

makan dan kejadian diare dalam satu bulan terakhir pada 100 orang

penduduk sebuah desa. Hasil pengamatan disajikan dalam bentuk tabel

2 x 2 berikut.

Taber 1.3. Kebiasaan mencuci tangan dan kejadian diare

Kebiasaan Mencuci Tangan


Diare Jumlah
Ya Tidak
Ada 2 16 18

Tidak ada 18 64 82
Jumlah 20 80 100

Di sini kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan

merupakan pajanan, sedangkan penyakitnya adalah kejadian diare.

7
D. Wabah dan KLB

Istilah epidemi (wabah) di waktu lampau digunakan khusus

untuk mendeskripsikan peristiwa berjangkitnya penyakit menular secara

akut. Pengertiannya pada saat ini lebih ditekankan pada konsep

prevalensi yang berlebihan dan dapat digunakan pula untuk penyakit

tidak menular.

Dalam UU Republik Indonesia No. 4 tahun 1984 tentang Wabah

Penyakit Menular dan PP Republik Indonesia No. 40 tahun 1991

tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dinyatakan:

Wabah (wabah penyakit menular) adalah kejadian

berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang

jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang

lazim pada wilayah dan periode tertentu serta dapat menimbulkan

malapetaka.

KLB ( kejadian luar biasa ) adalah timbulnya atau

meningkatnya kejadian morbiditas / mortalitas yang bermakna

secara epidemiologis pada suatu wilayah dan periode tertentu,

dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya

wabah.

Contoh

Wabah akut sering kali berlalu tanpa disadari. Selama kabut

tebal di kota London pada tahun 1952, efek polusi atmosfer oleh S02

baru diketahui setelah jumlah kematian pada periode tersebut dihitung

dan dibandingkan dengan angka-angka pada periode sebelum dan

sesudahnya (diagram 1.3).

Diagram 1.3.

8
Polusi atmosfer dan jumlah kematian per hari, London, 1952
BAB 2

KONSEP DASAR TIMBULNYA PENYAKIT

A. Segitiga Epidemiologi

Dalam pandangan Epidemiologi Klasik dikenal segitiga

epidemiologi (epidemiologic triangle) yang digunakan untuk menganalisis

terjadinya penyakit. Segitiga ini terdiri atas pejamu (host), agen (agent),

dan lingkungan (environment)

PENJAMU

AGEN LINGKUNGAN

Diagram 2.1.Segitiga epidemiolog:


pejamu, agen dan lingkungan.

Konsep ini bermula dari upaya untuk menjelaskan proses timbulnya

penyakit menular dengan unsur-unsur mikrobiologi yang infeksius sebagai

agen, namun selanjutnya dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses

timbulnya penyakit tidak menular dengan memperluas pengertian agen.

Dalam konsep ini faktor-faktor yang menentukan

terjadinya penyakit diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Agen penyakit (faktor etiologi)

a. Zat nutrisi: ekses (kolesterol) / defisiensi (protein)

b. Agen kimiawi: zat toksik (CO) / alergen (obat)

c. Agen fisik (radiasi)

d. Agen infeksius:

parasit (skistosomiasis).

protozoa (amuba).

bakteri (tuberkulosis).

jamur (kandidiasis).

9
riketsia (tifus).

virus (poliomielitis)

2. Faktor pejamu (faktor intrinsik): mempengaruhi

pajanan, kerentanan, respons terhadap agen.

a. Genetik (buta warna)

b. Usia

c. Jenis kelamin

d. Ras

e. Status fisiologis (kehamilan)

f. Status imunologis (hipersensitivitas)

g. Penyakit lain yang sudah ada sebelumnya

h. Perilaku manusia (diet)

3. Faktor Lingkungan (faktor ekstrinsik):

mempengaruhi keberadaan agen, pajanan, atau kerentanan terhadap

agen

a. Lingkungan fisik (iklim)

b. Lingkungan biologis:

Populasi manusia (kepadatan penduduk)

Flora (sumber makanan)

Fauna (vektor artropoda)

c. Lingkungan sosial-ekonomi:

Pekerjaan (pajanan terhadap zat kimia)

Urbanisasi dan perkembangan ekonomi (kehidupan

perkotaan)

Bencana dan musibah (banjir)

B. Inferensi Kausal

Hubungan kausal dalam epidemiologi memiliki pengertian yang

lebih mendasar daripada yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya

gaya gravitasi selalu akan menyebabkan benda-benda yang dilepaskan

jatuh ke tanah, namun hanya sebagian kecil di antara mereka yang

merokok seumur hidupnya akan menderita kanker paru, walaupun

dikatakan bahwa merokok menyebabkan kanker paru.

10
Hubungan antara dua faktor A dan B dapat di klasifikasikan

sebagai:

1. Ada hubungan deterministik: Jika A, pasti B

2. Ada hubungan statistik

Ada asosiasi kausal

Tidak ada asosiasi kausal

3. Tidak ada hubungan statistik antara A dan B

Inferensi kausal dalam epidemiologi adalah hubungan statistik

dengan asosiasi kausal, yang harus dijelaskan dalam pengertian

probabilistik, yaitu bahwa keberadaan faktor A (pajanan) akan

meningkatkan peluang terjadinya faktor B (timbulnya penyakit).

Sebuah pajanan harus memenuhi berbagai persyaratan untuk

dapat dinyatakan sebagai faktor kausal bagi suatu penyakit, di

antaranya yang terpenting adalah asosiasi temporal, yaitu pajanan

harus ada mendahului terjadinya penyakit.

Sifat kausal dibedakan lagi atas kausa cukup (sufficient

cause) dan kausa perlu (necessary cause). Kausa cukup tidak

selalu harus ada untuk menimbulkan penyakit, namun jika kausa

cukup ada penyakit pasti akan timbal. Kausa perlu harus ada

untuk menimbulkan penyakit, namun jika kausa perlu ada pun

penyakit tidak selalu timbul. Agar dapat dinyatakan sebagai

faktor kausal sebuah penyakit, sebuah pajanan harus

merupakan kausa cukup maupun kausa perlu bagi penyakit

tersebut.

Kausa cukup Kausa perlu

E1 D E2 D

E1 D E2 D

Diagram 2.2. : Kausa cukup dan Kausa perlu

E1 : kausa cukup E 1 ada; E 1 : kausa cukup E 1 tidak ada

11
E2 : kausa perlu E 2 ada; E 2 : kausa perlu E 2 tidak ada
D : penyakit D timbul; D : penyakit D tidak timbul

C. Konsep Timbuln y a Penyakit dalam Pa ndangan

Epidemiologi Modern

Kejadian timbulnya penyakit dalam pandangan Epidemiologi

Modern merupakan sebuah proses yang bersifat multikausal, yaitu sebagai

pengaruh sejumlah faktor risiko dan faktor preventif beserta interaksi

antar masing-masing faktor tersebut.

HIMPUNAN HIMPUNAN FAKTOR


FAKTOR IUSIKO PREVENTIF

KEJADIAN PENYAKIT

Diagram 2.3. Konsep timbulnya penyakit menurut pandangan


Epidemiologi Modern

Contoh 2.1:

Sebelum era pembuktian hubungan antara kebiasaan

merokok dengan kejadian kanker paru, sudah ada dugaan

kemungkinan hubungan antara keduanya, namun ada pula yang menduga

bahwa proses karsinogenesis di sini berawal pada peristiwa infeksi paru

pada masa anak (diagram 2,4)

Contoh 2.2:

Contoh penyebab yang multikausal pada penyakit

tuberkulosis paru diperlihatkan pada diagram 2.5. Di sini faktor

penyebab dapat dibedakan lebih lanjut menjadi faktor risiko distal

(jauh dari kejadian tuberkulosis paru) yaitu crowding, malnutrisi,

vaksinasi, dan genetik, serta faktor proksimal

12
BAB. 3

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF

A. Definisi

Epidemiologi deskriptif adalah cabang epidemiologi yang mempelajari

tentang kejadian dan distribusi penyakit. Umumnya distribusi penyakit

dikelompokkan menurut faktor orang, tempat, dan waktu.

B. Karakteristik Orang

1. Usia

Usia merupakan variabel yang selalu harus diperhitungkan dalam

studi epidemiologi. Perbedaan angka penyakit yang ada antar kelompok

dalam populasi belum dapat diinterpretasikan sebelum

memperhitungkan relevansi kemungkinan adanya perbedaan usia antar

kelompok-kelompok tersebut.

Dengan menghitung jumlah kasus penyakit yang ada pada suatu

kelompok usia tertentu, lalu membaginya jumlah anggota populasi pada

kelompok usia yang sama, akan diperoleh persentase penyakit khas-

usia (age-specific) untuk kelompok usia tersebut.

Contoh 3.1:

Misalkan dimiliki data hipotetis jumlah penderita

tuberkulosis paru dan jumlah penduduk di kota A menurut kelompok

usia (tabel 3.1).

Tampak bahwa persentase penderita tuberkulosis paru di kota

A adalah 2.43%. Dari angka ini saja belum dapat dibuat kesimpulan

tanpa membandingkannya dengan angka pada tempat dan waktu

yang berbeda. Tampak pula bahwa jumlah (absolut) penderita

terbanyak adalah pada kelompok usia 45-64 tahun, yaitu sebanyak

9,097 kasus, namun setelah memperhitungkan jumlah anggota

populasi (penduduk) untuk tiap kelompok usia, angka relatif

13
(persentase) tertinggi penderita ada pada kelompok usia > 65 tahun,

yaitu 21 77%.

Tabel 3.1. Contoh data penderita tuberkulosis paru


dan jumlah penduduk menurut kelompok usia.

Usia (tahun) Penderita TB Paru Penduduk % Khas Usia


04 1.035 174.687 0.59

5-14 901 301.211 0.30

15-24 2.485 176.960 1,40

25-44 6.794 282.595 2,40

45-64 9.097 119.597 7,61

>65 5.937 27.275 21,77


Jumlah 26.249 1.082.325 2,43

Contoh 3.2:

Penyakit yang risikonya meningkat sejalan dengan

pertambahan usia akan menunjukkan penurunan jumlah kasus pada

kelompok usia tertinggi, karena anggota populasi itu sendiri

menyusut dengan cepat sejalan dengan pertambahan usia di atas

usia 55 tahun (diagram 3.1).

Diagram 3.1. Jumlah kasus dan tingkat morbiditas kanker rectum


menurut usia dan jenis kelamin di 10 area metropolitan
Amerika Serikat, 1947

Contoh 3.3:

Pada diagram 3.2 diperlihatkan jumlah kasus baru penyakit

14
Hodgkin per jutaan penduduk pada ras kulit putih di Brooklyn

selama periode 1943-1952 (MacMahon & Pugh, 1970).

Dengan membuat grafik menurut kelompok usia dapat

dikenali adanya dua kelompok penderita penyakit Hodgkin, yaitu

pada kelompok usia dewasa dini dan kelompok usia lanjut. Penelusuran

lebih jauh ternyata menunjukkan bahwa kedua kelompok penderita

ini memang memiliki karakteristik yang berbeda.

Diagram 3.2, Kasus penyakit Hodgkin menurut kelompok usia;


Brooklyn, ras putih, 1943-1952

Contoh 3.4:

Pada diagram 3.3 diperlihatkan angka mortalitas tahunan

khas-usia kanker payudara di beberapa negara di sekitar tahun

1965. Tampak adanya peningkatan angka mortalitas yang tajam

sejalan dengan peningkatan usia 50-an setelah itu

kecenderungan peningkatan angka mortalitas berkurang, bahkan

untuk Jepang angka mortalitas tampak agak menuran.

15
Diagram 3.3. Anglia mortaLitas tahunan khan-usia kanker
payudara di beberapa negara, sekitar tahun 1945
2. Jenis kelamin

Seperti halnya usia, jenis kelamin pun juga merupakan

variabel yang selalu harus diperhitungkan dalam studi

epidemiologi. Dalam kombinasi dengan faktor usia, harus diingat

bahwa distribusi angota populasi pria dan wanita di berbagai

kelompok usia dan populasi tidak selalu sama.

C. Karakteristik Tempat

Frekuensi penyakit di berbagai wilayah di dunia

menunjukkan variasi yang besar dalam distribusi geografinya,

walaupun begitu pembandingan tingkat morbiditas dan mortalitas

dengan menggunakan data pelaporan rutin untuk berbagai wilayah di

dunia masih terkendala antara lain oleh adanya perbedaan dalam

standar pelayanan kesehatan, diagnosis, dan pelaporan penyakit atau

kematian yang digunakan.

Data penyebab kematian dan laporan penyakit menular di

berbagai negara dikumpulkan dan diterbitkan secara teratur oleh

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), walaupun demikian kelengkapan

dan validitas data yang diterbitkan ini sangat tergantung dari

kelengkapan dan validitas data yang disampaikan oleh masing-

masing negara pelapor.

Beberapa penyakit mungkin didapatkan dalam frekuensi yang

jauh lebih tinggi hanya untuk wilayah tertentu, bahkan ada penyakit yang

hanya didapatkan di suatu wilayah tertentu. Di Indonesia misalnya,

goiter, malaria, skistosomiasis, dan filariasis merupakan penyakit-

penyakit yang terutama ataupun hanya didapatkan di beberapa wilayah

tertentu.

Dikotomi wilayah perkotaan dan pedesaan juga merupakan variabel

yang sering harus diperhitungkan dalam studi epidemiologi,

karena pengaruh lingkungan dengan karakteristik yang sangat berbeda

antara perkotaan dan pedesaan.

16
Contoh 3.10:

Diagram 3.8 menunjukkan peta jalan pada area Golden Square,

London, 1854 yang digunakan oleh John Snow dalam penyelidikan

epidemiologinya untuk mencari pompa air yang menjadi sumber

penularan wabah kolera. Penelitian John Snow ini terkenal dalam

kepustakaan Epidemiologi sebagai salah satu langkah awal untuk

menerapkan prinsip penyelidikan epidemiologi dalam praktek.

Diagram 3.8. Peta jalan di area Golden Square, London, 1854

Contoh 3.11:

Limfoma Burkitt adalah jenis kanker pertama yang ditemukan

keterkaitannya dengan infeksi virus yaitu virus Epstein-Barr.

Diagram 3.9 menunjukkan distribusi penyebaran kasus limfoma Burkitt

yang ditemukan di benua Afirika pada tahun 1962

17
Diagram 3.9. Distribusi kasus Iimfoma Burkitt yang
ditemukan di Afrika, 1962
D. Karakteristik Waktu

Data runtun-waktu (time-series) dapat menunjukkan adanya

kecenderungan tertentu (peningkatan atau penurunan tingkat

morbiditas atau mortalitas) untuk berbagai penyakit ataupun

kematian oleh sebab tertentu. Kecenderungan demikian sering terjadi

dalam rentang waktu puluhan tahun, sehingga tidak disadari oleh

populasi yang bersangkutan. Data runtun- waktu juga sangat berguna

untuk menentukan kemungkinan adanya wabah.

Data runtun-waktu waktu dapat diperoleh untuk satu kelompok

tertentu (dengan anggota yang sama), yang dipantau dan diikuti

perkembangan status kesehatannya dalam perjalanan waktu.

Sebaliknya, data dapat pula diperoleh dari berbagai kelompok yang

masih memiliki persamaan karakteristik tertentu (misalnya kelompok

usia yang sama, menderita satu penyakit tertentu, dan sebagainya),

yang diambil pada waktu-waktu yang berbeda dari populasi yang sama.

Diagram 3.10 Jumlah kematian per mingga di 122 kota,


Amerika Serikat, 1968-1969

Contoh 3.12

Diagram 3.10 menunjukkan jumlah kematian per minggu di 122

kota di Amerika Serikat selama periode 1968-1969. Tampak

adanya peningkatan jumlah kematian yang nyata selama bulan

Januari 1969, yang disebabkan oleh adanya wabah influenza (flu Hong

18
Kong).

Diagram 3.11. Tingkat kematian tahunan beberapa jenis kanker pada


pria berusia 50-74, Inggris dan Wales, 1911-1965

Contoh 3.13:

Penyajian grafik perbandingan tingkat kematian untuk heberapa

jenis kanker di Inggris dan Wales selama kurang lebih 50 tahun untuk

paruh pertama abad ke-20 menunjukkan adanya peningkatan yang

menyolok untuk kematian oleh kanker paru dibandingkan dengan

kematian oleh jenis-jenis kanker lainnya.

Contoh 3.14:

Pada diagram 3.12 diperlihatkan data tahunan persentase kasus

demam berdarah menurut kelompok usia di Indonesia selama periode

1993-2004. Tampak bahwa sebelum tahun 1999 persentase terbesar

penderita didapatkan pada kelompok usia anak (5-14 tahun), namun

sejak tahun 1999 terjadi perubahan, yaitu beralihnya persentase

terbesar penderita demam berdarah ke kelompok usia dewasa (15

tahun atau lebih).

Diagram 3.12. Persentase kasus demam berdarah menurut

19
kelompok usia di Indonesia. 1993-2004.
BAB 4

EPIDEMIOLOGI DALAM LAYANAN KEBIDANAN

A. Pengertian, Tujuan dan Manfaat

Epidemiologi dalam layanan kebidanan mengkaji distribusi

serta determinan peristiwa morbiditas dan mortalitas yang terjadi

dalam layanan kebidanan.

Tujuan epidemiologi kebidanan adalah mengenali faktor-faktor

risiko terhadap ibu selama periode kehamilan, persalinan, dan masa

nifas (42 hari setelah berakhirnya kehamilan) beserta hasil

konsepsinya, dan mempelajari cara-cara pencegahannya.

Di negara miskin, kurang lebih 25-50% kematian wanita usia

subur terjadi karena penyebab yang berkaitan dengan kehamilan.

Tingginya angka mortalitas pada wanita muda biasanya disebabkan

oleh kematian pada saat melahirkan, dengan perdarahan, infeksi,

dan gestosis sebagai penyebab utama kematian. Tahun 1996

diperkirakan lebih daripada 585,000 wanita per tahun meninggal

selama periode kehamilan atau persalinan.

Indikator terpenting bagi kesehatan ibu hamil adalah Angka

Kematian Ibu (AKI; maternal mortality rate), sedangkan indikator

utama bagi hasil konsepsi pada kehamilan adalah Angka Kematian

Perinatal. Kematian ibu hamil (kematian maternal) adalah kematian

yang terjadi pada ibu karena kehamilan, persalinan, dan masa

nifas, sedangkan Angka Kematian Ibu adalah jumlah kematian ibu

hamil di suatu wilayah tertentu selama 1 tahun dalam 100,000 kelahiran

hidup. Kematian perinatal adalah peristiwa lahir mati serta kematian

bayi selama minggu pertama kehidupan, sedangkan Angka Kematian

Perinatal adalah jumlah lahir mati dan bayi yang mati dalam minggu

pertama dalam 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia (1994) AKI

adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup, dengan variasi terendah di

Yogyakarta (130 per 100,000 kelahiran hidup) sampai dengan

yang tertinggi di Nusa Tenggara Barat (1,340 per 100,000 kelahiran

20
hidup). Angka Kematian Perinatal pada periode yang sama di Indonesia

adalah 40 per 1,000 kelahiran hidup.

Besarnya beban untuk meningkatkan pelayanan kebidanan di

Indonesia dapat dilihat pada tabel 4.1, yang menunjukkan jumlah

penduduk, jumlah wanita usia subur, dan jumlah bayi selama periode

1980-2005 di Indonesia.

Tabel 4.1. Jurnlah penduduk, jumlah wanita usia subur, dan jumlah
bayi di Indonesia 1980-2005 (dalam ribuan)

Penduduk Wanita Bayi


Tahun Usia
Pria Wanita Jumlah Pria Wanita Jumlah
Subur
1980 72,993 73,830 146,777 35,942 2,049 1,952 4,001

1990 89,376 89,972 179,248 46,088 1,928 1,836 3,764

1995 96,930 97,825 194,755 51,778 2,039 1,942 3,981

2000 103,243 102,601 205,843 57,592 1,838 1,729 3,567

2005 107,147 108,483 217,645 63,483 1,946 1,831 3,777

Contoh 4.1:

Salah satu gangguan kesehatan yang adakalanya terjadi

sebagai dampak beban proses kehamilan pada ibu ialah gangguan

jiwa, yang awitannya dapat dimulai sejak saat kehamilan ataupun

pada masa nifas (diagram 4.1).

Diagram 4.1. Distribusi awitan gejala gangguan jiwa yang berkaitan


dengan kehamilan dan masa nifas

21
Contoh 4.2:

Urutan kelahiran berpengaruh terhadap risiko kematian fetus.

Pada diagram 4.2 tampak bahwa selain oleh usia ibu, tingkat

kematian fetus juga ditentukan urutan kelahiran. Tingkat kematian fetus

yang tertinggi didapatkan pada kelahiran pertama dan sangat menurun

pada kelahiran kedua, namun selanjutnya perlahan-lahan meningkat

kembali.

B. Terjadinya Masalah Kesehatan dalam Pelayanan

Kebidanan

Dengan menggunakan paradigma Epidemiologi Klasik yang

menganggap terjadinya penyakit / masalah kesehatan sebagai hasil

akhir interaksi antara pejamu, agen, dan lingkungan, maka dalam

pelayanan kebidanan:

Pejamu adalah ibu hamil.

Agen adalah hasil konsepsi, yaitu janin / fetus yang ada

dalam kandungan ibu hamil.

Lin g k un g an adal a h li n gk un g an sosi al - buday a ser t a

pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu hamil

Apabila dalam penyakit / masalah kesehatan pada umumnya

agen merupakan faktor yang harus diupayakan untuk dieliminasi, pada

pelayanan kebidanan hasil konsepsi adalah sesuatu yang harus dilindungi,

yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah kesehatan tersendiri.

C. Faktor-faktor Risiko dalam Pelayanan Kebidanan

Faktor-faktor risiko bagi kematian ibu hamil dapat

diklasifikasikan menjadi empat kategori:

1. Faktor-faktor reproduksi:

a. Usia

b. Paritas

c. Kehamilan tak diinginkan

2. Faktor-faktor komplikasi kehamilan:

a. Perdarahan pada abortus spontan

22
b. Kehamilan ektopik

c. Perdarahan pada trimester III kehamilan

d. Perdarahan postpartum

e. Infeksi nifas

f. Gestosis

g. Distosia

h. Abortus provokatus

3. Faktor-laktor pelayanan kesehatan:

a. Kesukaran untuk memperoleh pelayanan kesehatan

maternal

b. Asuhan medis yang kurang baik

c. Kekurangan tenaga terlatih dan obat-obatan esensial

4. Faktor-faktor sosial-budaya:

a. Kemiskinan dan ketidakmampuan membayar pelayanan yang baik

b. Ketidaktahuan dan kebodohan

c. Kesulitan transportasi

d. Status wanita yang rendah

e. Pantangan makanan tertentu pada wanita hamil

Untuk menangani masalah kematian ibu hamil Departemen

Kesehatan RI dengan bantuan WHO, UNICEF, dan UNDP sejak tahun

1990-1991 telah melaksanakan program Safe Motherhood. Upaya

intervensi dalam program tersebut yang dinamakan sebagai Empat Pilar

Safe Motherhood adalah:

1. Keluarga Berencana

2. Pelayanan ante-natal

3. Persalinan yang aman

4. Pelayanan kebidanan esensial

D. Ukuran Epidemiologi

Secara substantif menurut peristiwa yang dipelajari, ukuran

epidemiologi dibedakan atas ukuran fertilitas (peristiwa kelahiran),

ukuran morbiditas, dan ukuran mortalitas, sedangkan berdasarkan aspek

statistik yang akan dievaluasi, ukuran epidemiologi dibedakan atas

23
ukuran frekuensi, ukuran asosiasi, dan ukuran dampak.

1. Kasus insidens dan prevalen

Ukuran frekuensi penyakit (morbiditas) adalah insidens dan

prevalensi, lnsidens suatu penyakit (kasus insidens) adalah jumlah

kasus baru yang didapatkan selama periode tertenu, sedangkan

kasus prevalen adalah jumlah kasus (lama) yang ada pada suatu titik

waktu pengamatan tertentu.

Diagram 4.4. Kasus insidens dan kasus prevalen

2. Incidence risk dan prevalensi

Misalkan pada awal pengamatan dimiliki

p o p u l a s i berukuran N, yang terdiri atas N' orang sehat dan C

penderita penyakit X. Selama periode pengamatan ditemukan I

kasus baru penyakit X (diagram 4.5)

Diagram 4,5. Pengukuran frekuensi penyakit

24
N : anggota populasi pada saat to

N' : anggota populasi sehat (tidak sakit) pada saat to

C : jumlah kasus lama (anggota populasi yang sakit) pada saat to

N'' : anggota populasi sehat (tidak sakit) pada mat t1

I : jumlah kasus baru yang timbul selama periode ( to ; t1 )

Incidence risk (incidence proportion; cumulative

incidence) selarna periode ( to ; t1 ) dinyatakan dengan

lambang CI adalah: C1 = I

N'
Prevalensi ( prevalence; point prevalence ) pada saat to,

dinyatakan dengan lambang P adalah: P = C


N

Period prevalence selama periode ( to ; t1 ), dinyatakan

dengan lambang PP adalah: PP = C + I

Attack risk adalah incidence risk untuk penyakit yang

berlangsung dalam periode yang relatif sangat singkat, sehingga

tidak perlu dinyatakan periodenya.

3. Person-time dan Incidence Rate

Person-time (waktu-orang) menyatakan jumlah lama

pe ngamatan ter hadap tiap an gg ota suatu kelompok at au

populasi. Lama pengamatan ini dimulai sejak seorang anggota mulai

diamati sampai dengan yang bersangkutan mulai menderita

penyakit, meninggal oleh sebab lain, menghilang dari pengamatan

(atrisi; drop-out), atau periode pengamatan berakhir.

Contoh 4.4:

Misalkan dilakukan pengamatan terjadinya penyakit X

terhadap kelompok beranggotakan 8 orang selama 6 tahun:

Anggota 1 dan 2 diamati sejak tahun ke-O (awal

25
pengamatan), anggota 3 dan 4 sejak tahun ke-1, anggota 5 dan

6 sejak tahun ke-2, serta anggota 7 dan 8 sejak tahun ke3.

Anggota 1 terkena penyakit X pada akhir tahun ke-

2, anggota 2 dan 4 pada akhir tahun ke-3, serta anggota 8 pada

akhir tahun ke-5.

Anggota 3 meninggal bukan oleh penyakit X pada

akhir tahun ke-4.

Anggota 6 menghilang dari pada akhir tahun ke-

4.

Anggota 5 dan 7 tidak terkena penyakit X sampai dengan

akhir tahun ke-6 (akhir pengamatan),

1- X
2- X
3-
4- X
Orang

5-
6-
7-
8- X
01 2 3 4 5 6
Waktu (tahun)

Diagram 4.6. Person-time pada kelompok beranggotakan


delapan orang yang diamati selama enam tahun

X : Awitan ponyakit X (kasus baru)

: Meninggal 0leh sebab lain

Person-time untuk data yang ada diagram 2 adalah:

PT = (2 + 3 + 3 + 2 + 4 + 2 + 3 + 2) tahun = 21 tahun

Kasus insidens pada diagram 2 adalah: I = 4 kasus

Incidence rate (incidence density), dinyatakan dengan

lambang ID adalah:

ID = C

PT

Untuk data pada di sini, incidence rate penyakit X adalah:

ID = 4

21 tahun-1

26
Untuk data populasi atau kelompok berukuran besar,

perhitungan person-time secara eksak sukar dilakukan, sehingga

untuk pendekatan digunakan ukuran populasi atau kelompok pada

pertengahan periode pengamatan yang dianggap sebagai jumlah

orang diamati.

Contoh 4.5:

Misalkan di kota A yang berpenduduk 5,000 orang pada

awal 2003 terdapat 120 orang penderita penyakit kronis X. Pada

awal 2004 jumlah penduduk kota A berkurang menjadi 4,820 orang.

Selama tahun 2003 dan 2004 ditemukan 20 kasus baru penyakit X.

Apabila semua kasus penyakit X dapat diikuti sampai dengan akhir

2004 (tidak ada withdrawal), maka:

Prevalensi penyakit X pada awal 2003 adalah:

P = 120 = 0,024
5000

Incidence risk untuk periode 2003-2004 adalah:

CI = 20 = 0,004
5000 - 120

Incidence rate untuk pertahun adalah:


-1 -1
ID = 20 tahun = 0,002
(4820)(2)

4. Mortalitas

Death risk dan death rate menyatakan tingkat kematian

secara umum tanpa memandang sebab kematian, biasanya digunakan

untuk populasi atau kelompok berukuran besar:

Jumlah kematian selama periode tertentu


Death risk = X 100 %

Jumlah penduduk pada awal periode

27
Jumlah kematian selama periode tertentu
Death rate = X 100 %

Jumlah penduduk pada pertengahan periode

Tingkat mortalitas dan fatalitas biasanya digunakan untuk

kelompok yang berukuran lebih kecil, yaitu populasi atau kelompok

penderita penyakit tertentu:

Jumlah kematian karena penyakit tertentu


selama periode tertentu
Mortality risk = X 100 %
Jumlah penduduk pada awal periode

Jumlah kematian karena penyakit tertentu


selama periode tertentu
Mortality rate = X 100 %
Jumlah person-time pengamatan thdp penduduk

Jumlah kematian karena penyakit tertentu


selama periode tertentu
Fatality risk = X 100 %
Jumlah penderita peny yg sama pada awal periode

Jumlah kematian karena penyakit tertentu


selama periode tertentu
Fatality risk = X 100 %
Jmlh person-time pengamatan thdp peny. yg sama
Jika ukuran populasi atau kelompok besar, sebagai denominator

pada mortality rate dan fatality rate digunakan jumlah

penduduk dan dan jumlah penderita pada pertengahan periode

pengamatan.

5. Ukuran frekuensi dalam Epidemiologi

Sesuai dengan uraian di atas mengenai ukuran

Epidemiologi (termasuk bahasan mengenai risk dan rate), pada tabel

4.2 diperlihatkan ringkasan ukuran frekuensi absolut dan relatif

untuk fertilitas, morbiditas, dan mortalitas. Walaupun demikian,

dalam praktek masih banyak terjadi kerancuan untuk penggunaan

istilah risk dan rate (serta rasio).

28
Tabel 4.2. Ukuran frekuensi untuk fertilitas, morbiditas, dan
mortalitas
frekuensi
Ukuran
Absolut Relatif
Fertilitas Jumlah kelahiran (crude) birth rate
Fertility rate

Morbiditas Kasus insidens Incidence risk


Kasus prevalens Incidence rate
(Point) prevalence
Period prevalence

Mortalitas Kasus mortalitas Mortality risk


Mortality rate
Fatality risk
Fatality rate
Death risk
Death rate

Istilah-istilah di bawah adalah yang lazim digunakan untuk ukuran

standar dalam kepustakaan Epidemiologi untuk layanan kebidanan,

walaupun seringkali tidak mencerminkan pengertian mengenai rate

sebagaimana mestinya:

Angka kelahiran kasar (crude birth rate; CBR )

CBR = Jumlah bayi lahir hidup x 1000


Jumlah penduduk pada pertengahan tahun

Angka fertilitas (fertility rate; FR)

FR = J u m l a h b a y i l a h i r h i d u p x 1000
Jumlah wanita 15-49 tahun

Angka kematian ibu ( maternal mortality rate; MMR)

MMR = Jumlah kematian ibu hamil x 100.000


Jumlah lahir hidup + lahir mati

Kematian ibu hamil: kematian yang terjadi pada ibu

karena kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Dalam praktek,

karena kesulitan untuk meperoleh data, denominator-nya biasa

29
diganti dengan jumlah kelahiran hidup yang tercatat.

Angka kematian perinatal (perinatal mortality rate; PMR)

PMR = Jurnlah lahir mati + bayi mati rninggu pertama x 1000


Jumlah lahir hidup + lahir mati

Kematian perinatal: Kelahiran mati dan kematian yang

terjadi sebelum bayi mencapai usia 1 minggu, Seperti halnya

dengan MMR, denominator di sini pun biasanya diganti

dengan jumlah kelahiran hidup yang tercatat.

Angka kematian bayi (infant mortaliti rate; IMR)

IMR = Jumlah kernatian bayi selama 1 tahun x 1000


Jumlah lahir hidup pada tahun yang sama

Kematian bayi: Kematian sebelum bayi mencapai usia 1

tahun.

Kerancuan antara penggunaan risk dan rate juga tampak

pada kelaziman untuk menggunakan istilah case fatality rat e

dan attack rate untuk mengacu pada pengertian fatality risk dan

attack risk.

E. Surveilans Epidemiologi

Surveilans adalah proses pengumpulan, analisis, interpretasi,

dan penyebaran informasi deskriptif secara kontinu dan sistematik

untuk pemantauan masalah kesehatan. Sistem surveilans adalah

jaringan orang dan kegiatan yang memelihara proses ini dan dapat

berfungsi pada berbagai tingkatan, dari yang lokal sampai dengan

internasional.

Tujuan survellans secara umum dapat berupa:

1. Epidemiologi deskriptif masalah kesehatan: Sasaran utama

di sini adalah pemantauan trend . Adanya peningkatan kejadian

kesehatan yang tak diinginkan akan mewaspadakan petugas

30
kesehatan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

2. Kaitan dengan pelayanan kesehatan: Di tingkat komunitas,

surveilans acapkali merupakan bagian integral penyampaian pelayanan

preveritif dan terapeutik, terutama untuk penyakit menular yang

intervensi terapeutik ataupun profilaksisnya dapat diberikan.

Intervensi demikian dilaksanakan berdasarkan laporan kasus

dari surveilans.

3. Kaitanan dengan penelitian: Data surveilans saja umumnya

tidak cukup rinci bagi kebutuhan penelitian, namun dapat memberi

arahan bagi peneliti untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

4. Evaluasi intervensi: Evaluasi efek intervensi bersifat

kompleks, namun evaluasi berskala penuh sering tidak layak untuk

dikerjakan. Pemantauan trend dengan surveilans di sini dapat

menghasilkan penilaian dampak intervensi yang memadai dengan

biaya yang relatif murah.

5. Proyeksi: Data pemantauan trend dibutuhkan oleh perencana

untuk mengantisipasi kebutuhan pelayanan kesehatan di waktu

mendatang.

6. Pendidikan dan kebijakan kesehatan: Dengan

penyebarluasan secara efektif, data surveilans dapat dimanfaatkan

pula oleh publik, media, dan pemimpin politik. Informasi demikian

bersifat mendidik bagi mereka yang secara langsung bertanggung

jawab atas pemberian pelayanan kesehatan dan mereka yang

mengendalikan atau mempengaruhi alokasi sumber daya kesehatan.

Di Indonesia, surveilans epidemiologi yang dilaksanakan oleh

Departemen Kesehatan terutama ditujukan untuk digunakan

sebagai dasar upaya pemberantasan penyakit.

Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab pada program

pemberantasan penyakit adalah:

Apakah penyakit yang akan diberantas benar merupakan

masalah dan seberapa besar masalahnya?

Apakah program pemberantasan berlangsung sesuai dengan

31
yang diinginkan?

Apakah program pemberantasan mencapai hasil yang

diinginkan?

Karena tujuan utama surveilans adalah menunjang program

pemberantasan penyakit, maka laporan rutin yang disampaikan harus

lengkap, konsisten, kontinu, tepat waktu.

Hubungan dan kerja sama antara surveilans dan program yang

ditunjang harus memiliki lalu lintas dua arah dan bersifat timbal balik.

Untuk melaksanakan surveilans epidemiologi dibutuhkan tenaga

kesehatan yang terampil dalam bidang epidemiologi, memahami

manfaat data yang dikumpulkan, serta memiliki motivasi yang tinggi di

bidang pekerjaannya.

Contoh 4,6:

Contoh berikut menunjukkan data laporan bulanan rutin propinsi

Bali mengenai penyakit campak yang diterima Subdirektorat

Surveilans selama empat tahun berturut-turut, yaitu 1981 sampai

dengan 1984. Laporan ini cukup lengkap dan konsisten, serta dikirimkan

secara kontinu, sehingga memenuhi syarat untuk analisis trend.

Dari 12 rumah sakit yang mengirimkan laporan, hanya sembilan

yang diikutsertakan dalam analisis, karena hanya sembilan rumah sakit

ini yang tidak pernah absen mengirimkan laporannya selama empat

tahun berturut-turut

Tabel 4.3. Jumlah bulanan kasus penyakit campak yang dirawat


di sembilan rumah sakit di propinsi Bali, 1981-1984.

32
Sumber data: RS Singaraja, Negara, Tabanan, Wanangaya, Sanglah,
Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Amlapura .

Penyajian data di atas dalam bentuk gratik (diagram 4.7)

memperlihatkan adanya peningkatan jumlah kasus penyakit campak

setiap tahun dengan puncak pada bulan Oktober-November, lalu

menurun kembali sehingga mencapai titik terendah pada bulan

Februari-Mei

Diagram 4.7. Jumlah kasus campak di sembilan rumah sakit


di provinsi Bali, 1981-1984

33
Lampiran IV.1

KUALITAS LAYANAN KEBIDANAN


DI ASIA TENGGARA

Tabel 1V.1. Angka kematian neonatal dan angka kematian ibu di


beberapa wilayah Asia.

*) per 1000 kelahiran hidup; **) per 100,000 kelahirara hirlup


I)
Menurut data WHO. 2000

34
Tabel IV.2. Cakupan layanan ante-natal di beberapa wilayah Asia

Menurut data WHO

35
Lampiran IV.2

INDIKATOR INDONESIA SEHAT 2010

Indikator adalah variabel untuk membantu mengukur

perubahan-perubahan yang terjadi, secara langsung ataupun tidak

langsung (WHO, 1981).

Untuk mencapai visi pembangunan kesehatan Indonesia Sehat

2010, dalam pedoman indikator propinsi sehat dan kabupaten/kota sehat,

telah ditetapkan 50 indikator, sebagian di antaranya yang berkaitan

langsung dengan pelayanan kebidanan diperlihatkan pada tabel berikut

Tabel IV.3. Indikator kesehatan yang terkait dengan layanan


kebidanan dan target yang hendak dicapai
menuju Indonesia Sehat 2010.

36
Definisi :

Jumlah kematian bayi di suatu wilayah


Angka kematian tertentu selama 1 tahun.
Bayi per 1000 =
kelahiran hidup
x 100 %
Jumlah kelahiran hidup pada wilayah dan

Jumlah kematian ibu hamil, bersalin


Angka kematian dan nifas di suatu wilayah tertentu
Ibu per 100.000 selama 1 tahun.
kelahiran hidup = x 100.000
Jumlah kelahiran hidup pada wilayah
dan periode yang sama

Jumlah persalinan yang ditolong oleh


Persentase tenaga kesehatan di suatu wilayah
Persalinan oleh selama 1 tahun
tenaga kesehatan = x 100 %
Persalinan yang terjadi pada wilayah
dan tahun yang sama

37
Jumlah Ibu hamil yang mendapat
Pers entas e ibu tablet Fe di suatu wilayah tertentu
ha m il ya ng selama 1 tahun.
mend a pa t ta blet =
Fe
x 100 %
Jumlah ibu yang ada pada wilayah dan
tahun yang sama

Jumlah bayi yang mendapat ASI


Pers enta s e ba yi eksklusif di satu wilayah selama 1 tahun.
ya ng m end a pa t =
ASI eks klus if
x 100 %
Bayi yang ada pada wilayah dan tahun

Jumlah bidan yang memberikan


Ra s io Bida n per pelayanan kesehatan di satu wilayah.
100.000 = x 100.000
pend ud uk Jumlah penduduk pada wilayah dan
tahun yang sama.

Pers enta s e Jumlah pasangan usia subur peserta KB


pa sa nga n us ia aktif di suatu wilayah pada periode
s ubur ya ng tertentu.
m enja d i a ks epto r =
KB
x 100 %
Jumlah pasangan usia subur yang ada

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi sebelum bayi

mencapai usia satu tahun.

Kematian ibu hamil adalah kematian yang terjadi pada ibu

karena kehamilan, persalinan, dan masa nifas.

Pasangan usia subur adalah wanita berusia 15-49 tahun

dengan status menikah.

38
Lampiran IV.3

RANCANGAN STUDI EPIDEMIOLOGI

Dikenal berbagai rancangan studi pada penelitian

Epidemiologi yang di maksudkan untuk mempelajari hubungan antara

pajanan dengan kejadian penyakit, sesuai dengan cara pengumpulan data

yang akan dan dapat dijalani serta jenis data yang akan dikumpulkan. Di

sini hanya akan diperlihatkan tiga rancangan studi dasar yang Lazim

digunakan pada penelitian observasional dalam Epidemiologi Lapangan,

yaitu rancangan studi cross-sectional, rancangan studi kohort, dan

rancangan studi kasus-kontrol.

39
A. Rancangan Studi Cross-Sectional

Pada rancangan studi cross-sectional (potong-lintang),

subjek yang dipelajari berasal dari satu kelompok. Dengan

pengamatan pada satu titik waktu, subjek yang diamati

dipisahkan menjadi empat sub kelompok; sakit dan terpajan, sakit

dan tidak terpajan, tidak sakit dan terpajan, serta tidak sakit dan tidak

terpajan (diagram IV. 1). Paparan hasil studi cross-sectional secara

skematis diperlihatkan pada table IV.4.

Tabel IV.4. Paparan umum hasil studi Cross-Sectional

Exposure E E Jumlah
C a b a+b

C c d c+d
Jumlah a+c b+d n

Diagram IV.1. Rancangan studi cross-sectional

N = populasi target

C = kasus prevalen

C = non-kasus atau survivor

E = subjek terpajan

E = subjek tidak terpajan

E Populasi (N) diklasifikasikan menjadi

N dua kelompok, terpajan ( E ) dan tidak

E Terpajan ( E )

40
S Sampling (acak) probabilitas

1. Kelebihan rancangan studi cross-sectional:

a. Sampel dipilih secara random dari populasi

b. Tidak ada drop out

c. Sekaligus dapat meneliti banyak variabel

d. Dasar bagi penelitian selanjutnya

e. Waktu pelaksanaan singkat, biaya relatif murah

2. Kekurangan dari rancangan studi cross-sectional

a. Sulit membedakan variabel penyebab dengan variabel akibat,

karena tidak diketahui mana yang terjadi lebih dahulu.

b. Lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa sakit

panjang.

c. Perlu subyek penelitian banyak.

d. Tidak bisa menggambarkan perjalanan penyakit.

e. Tidak praktis untuk kasus yang jarang.

B. Rancangan Studi Kasus-Kontrol

Subjek yang dipelajari juga berasal dari dua kelompok, yaitu

kelompok penderita penyakit (kasus) dan kelompok yang tidak

menderita penyakit yang dipelajari (kontrol). Pada kedua kelompok

dilakukan penggalian data pajanan yang ada di masa lalu, baik dengan

teknik wawancara maupun pemeriksaan rekam-medis, sehingga dapat

dihitung frekuensi pajanan pada masing-masing kelompok (diagram

IV.3).

Tabel IV.6. Paparan umum hasil studi kasus-kontrol

E E Jumlah
Kasus a b a+b

Non-kasus c d c+d
Jumlah a+c b+d n

41
Diagram IV.3. Rancangan studi kasus kontrol

1. Kelebihan Rancangan studi kasus kontrol:

a. Untuk meneliti kasus yang jarang atau masa latennya panjang.

b. Hasil dapat diperoleh dengan cepat.

c. Biaya relatif lebih sedikit.

d. Subyek penelitian lebih sedikit.

e. Memungkinkan identifikasi berbagai faktor resiko sekaligus.

2. Kekurangan Rancangan studi kasus kontrol:

a. Data berdasarkan daya ingat atau catatan medik.

b. Validasi informasi sulit diperoleh.

c. Tidak dapat memberikan Incidens rate

d. Karena kasus dan kontrol dipilih peneliti, sulit untuk

menentukan kedua kelompok tsb sebanding dalam faktor eksternal

dan sumber bias yang lain.

C. Rancangan Studi Kohort

Subjek yang dipelajari berasal dari dua kelompok, yaitu kelompok

terpajan dan tidak terpajan. Kedua kelompok diamati selama periode

pengamatan yang telah ditentukan, dan pada akhir periode

pengamatan dihitung jumlah kejadian penyakit pada masing-rnasing

kelompok (diagram IV.2). Paparan hasil studi kohort secara skematis

diperlihatkan pada tabel IV.5.

42
Tabel IV.5. Paparan umum hasil studi Kohort

Exposure E E Jumlah
D a b a+b

D c d c+d
Jumlah a+c b+d n

Diagram IV.2. Rancangan studi kohort

D = kasus insidens atau kematian

D = non kasus atau survivor

D Non-kasus diikuti untuk pendeteksian

C penyait atau kematian ( D)

Prosedur optimal

1. Kelebihan Rancangan Studi Kohort:

a. Disain terbaik untuk menentukan insidens dan perjalanan

penyakit.

b. Menerangkan hubungan faktor risiko & outcome secara

temporal dengan baik.

c. Pilihan terbaik untuk kasus yang bersifat fatal dan progresif.

d. Dapat meneliti beberapa efek sekaligus dari faktor resiko

tertentu.

e. Pengamatan kontinu & longitudinal, kekuatan penelitian andal.

43
2. Kelemahan Rancangan Studi Kohort:

a. Waktu lama, rumit, biaya mahal.

b. Kurang efisien untuk kasus yang jarang terjadi.

c. Ancaman drop out atau perubahan intensitas pajanan tinggi.

d. Dapat menimbulkan masalah etik ( membiarkan subyek

terkena panajan)

Contoh IV.I (studi kohort):

Misalkan hendak dipelajari pengaruh kegiatan fisik dalam

mencegah terjadinya penyakit influenza. Diambil sampel 100 orang

dengan kegiatan fisik aktif dan 100 orang dengan kegiatan fisik tidak

aktif, lalu seluruhnya diamati selama periode wabah influenza. Empat

orang dari kelompok kegiatan fisik aktif dan 2 orang dari kelompok

kegiatan fisik tidak aktif mengundurkan diri selama proses

pengamatan. Dari sisa anggota sampel diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel IV.7. Hasil studi kohort hubungan kegiatan fisik dengan


kejadian penyakit influenza
Kegiatan Fisik
Penyakit Influenza Jumlah
Aktif Tidak Aktif
Sakit 42 72 114
Tidak sakit 54 26 80
Jumlah 96 98 194

Incidence risk penyakit influenza pada kelompok dengan

kegiatan fisik aktif (kelompok terpajan) adalah:

CI 1 = 42 = 0,44
96

Incidence risk penyakit influenza pada kelompok dengan

kegiatan fisik tidak aktif (kelompok tidak terpajan) adalah:

CI 2 = 72 = 0,73
98

Rasio antara keduanya dinamakan incidence risk ratio (cumulative

incidence ratio), dinyatakan dengan lambang CIR:

CIR = CI 1 = 0,44 = 0,60

44
CI 2 0,73

Pajanan merupakan faktor risiko jika CIR secara bermakna lebih

besar daripada satu dan merupakan faktor preventif jika CIR secara

bermakna lebih kecil daripada satu.

Contoh IV.2. (studi kasus-kontrol):

Untuk mempelajari kemungkinan hubungan antara kadar

kolesterol serum dengan kejadian penyakit jantung koroner (PJK),

diambil sampel 100 orang penderita PJK dan 100 orang kontrolnya yang

tidak menderita PJK, lalu dicari data kolesterol serum terdahulunya.

Tabel IV.8. Hasil studi kasus-kontrol hubungan kadar kolesterol


serum dengan kejadian penyakit jantung koroner
Kadar kolesterol serum
Status morbiditas Jumlah
Tinggi Normal
Kasus PJK 53 147 200
Kontrol 34 166 200
Jumlah 87 313 400

Di sini ukuran incidence risk untuk masing-masing kelompok

terpajan dan kelompok tidak terpajan tak dapat dihitung, karena

kelompok-kelompok tersebut tidak ada. Yang dapat dihitung di sini

adalah ukuran odds ratio (rasio imbangan), yang dinyatakan dengan

lambang OR :

OR = (53)(166) = 1,76
(147)(34)
Untuk penyakit yang jarang (rare disease ), yaitu penyakit dengan

prevalensi sangat rendah, odds ratio merupakan ukuran aproksimasi

(pendekatan) bagi incidence risk ratio,

Contoh IV.3 (studi cross-sectional):

Data hipotetis berikut merupakan contoh data potong lintang

45
(cross-sectional ) yang memperlihatkan pengkajian hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kasus bronkitis kronis, yaitu data yang

dikumpulkan pada 500 orang pria berusia 60 tahun atau lebih.

Tabel IV.9. Hasil studi cross-sectional hubungan kebiasaan merokok


dengan kasus bronkitis kronis
Kebiasaan merokok
Bronkitis kronis Jumlah
Ya Tidak
Ada 40 60 100
Tidak ada 80 320 400
Jumlah 120 380 500

Ukuran yang dapat dihitung dari rancangan studi cross-sectional

ini antara lain adalah prevalensi penyakit bronchitis kronis:

P = 100 = 0,20
500
Prevalensi pada kelompok terpajan, prevalensi pada kelompok

tidak terpajan, demikian pula rasio prevalensi dapat dihitung, walaupun

demikian ukuran-ukuran ini tidak lazim ditampilkan. Ukuran asosiasi

yang dihitung urnumnya, seperti halnya pada rancangan studi kasus-

kontrol, adalah rasio imbangan (odds ratio).

OR = (40)(320) = 2,67
(60)(80)

46
BAB 5

WABAH

A. Pengertian Wabah

Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu

penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya

meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada

waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya

kejadian morbiditas/mortalitas yang bermakna secara epidemiologis

pada suatu daerah dalam periode tertentu. Apabila didapatkan penderita

atau tersangka penderita Kejadian Luar Biasa, Kepala Wilayah/Daerah

wajib segera melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya dengan

bantuan Unit Kesehatan setempat, agar tidak berkembang menjadi

wabah.

Dengan pengertian di atas dikehendaki agar wabah dapat segera

ditetapkan apabila ditemukan suatu penyakit yang dapat menimbulkan

wabah, walaupun penyakit tersebut belum menjalar dan belum

menimbulkan malapetaka yang besar dalam masyarakat.

Adanya satu kasus tunggal penyakit menular yang sudah lama

tidak ditemukan atau adanya penyakit baru yang belum diketahui

sebelumnya di suatu daerah memerlukan laporan secepatnya disertai

dengan penyelidikan epidemiologis. Apabila ditemukan penderita kedua

untuk jenis penyakit yang sama dan diperkirakan penyakit ini dapat

menimbulkan malapetaka, keadaan ini sudah cukup merupakan indikasi

untuk menetapkan daerah tersebut sebagai daerah wabah.

Daftar penyakit yang dapat menimbulkan wabah di Indonesia

47
menurut undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku

diperlihatkan pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Penyakit-penyakit tertentu


yang dapat menimbulkan wabah

No. Penyakit No. Penyakit


1. Kolera 11. Rabies
2. Pes 12. Malaria
3. Demam Kuning 13. Infuenza
4. Demam bolak balik 14. Hepatitis
5. Tifus bercak wabah 15. Tifus perut
6. Demam Berdarah Dengue 16. Meningitis
7. Campak 17. Ensefalitis
8. Polio 18. Antraks
9. Difteri 19. Penyakit Lain
10. Pertusis

Diagram 5.1. Wabah kolera pada area Golden Square, London,


Agustus-September 1854

Contoh 5.1 :

Data yang disajikan pada diagram 5.1 menunjukkan adanya

wabah kolera selama paruh pertama bulan September 1854 di area

Golden Square, London. Tampak bahwa jumlah kasus selama paruh

pertama bulan September mengalami peningkatan yang nyata

dibandingkan dengan jumlah kasus selama paruh kedua bulan Agustus

48
maupun paruh kedua bulan September.

B. Bentuk Wabah

Seperti telah dijelaskan dalam Pendahuluan pada bab 1,

pengertian wabah dalam bidang Epidemiologi Modern pada saat ini

lebih ditekankan pada konsep prevalensi yang berlebihan dan tidak

selalu menyangkut penyakit menular, walaupun demikian sesuai dengan

prioritas permasalahan kesehatan di Indonesia, yang dimaksudkan

dengan wabah dalam pengertian oleh Departemen Kesehatan RI

hampir selalu adalah wabah penyakit menular.

Menurut cara transmisinya, wabah dibedakan atas:

1. Wabah dengan penyebaran melalui media umum (common

vehicle epidemics), yaitu:

a. Ingesti bersama makanan atau minuman, misalnya

Salmonellosis.

b. Inhalasi bersama udara pernapasan, misalnya demam Q (di

laboratorium).

c. Inokulasi melalui intravena atau subkutan, misalnya hepatitis

serum.

2. Wabah dengan penjalaran oleh transfer serial dari pejamu ke

pejamu (epidemics propagated by serial transfer from host to

host; diagram 5.2), yaitu:

a. Penjalaran melalui rute pernapasan (campak), rute anal-oral

(Shigellosis), rute genitalia (sifilis), dan sebagainya.

b. Penjalaran melalui debu.

c. Penjalaran melalui vektor (serangga dan artropoda).

d.

49
Populasi Rentan Orang Terinfeksi Yang Menginfeksi Orang Lain
Populasi Imun Orang terinfeksi yang gagal menginfeksi orang lain

Diagram 5.2. Penjalaran wabah oleh transmisi agen


melalui kontak antar individu
C. Penanggulangan Wabah

Upaya penanggulangan wabah meliputi:

1. Penyelidikan epidemiologis dengan tujuan:

a. mengetahui sebab-sebab penyakit wabah

b. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah.

c. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena

wabah.

d. Menentukan cara penanggulangan.

Penyelidikan epidemiologis dilaksanakan dengan kegiatan:

a. Pengumpulan data morbiditas dan mortalitas penduduk.

b. Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan

diagnosis.

c. Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan terhadap

mahluk hidup dan benda-benda yang ada di suatu wilayah yang

diduga mengandung penyebab penyakit wabah.

2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi

penderita, termasuk tindakan karantina, dilakukan dengan tujuan:

a. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh

dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan.

b. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat,

tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial

dapat menularkan penyakit (carrier).

50
Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita dan karantina

dilakukan di sarana pelayanan kesehatan atau di tempat lain yang

ditentukan.

3. Pencegahan dan pengebalan, yaitu tindakan-tindakan yang

dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum

sakit, tetapi mempunyai risiko terkena penyakit.

4. Pemusnahan penyebab penyakit, dilakukan terhadap:

a. bibit penyakit/kuman

b. hewan, tumbuh-tumbuhan dan/atau benda yang

mengandung penyebab penyakit

Pemusnahan harus dilakukan dengan cara tanpa merusak lingkungan

hidup dan tidak menyebabkan tersebarnya wabah penyakit.

5. Penanganan jenazah akibat wabah. Penanganan

jenazah yang kematiannya disebabkan oleh penyakit yang

menimbulkan wabah atau jenazah yang merupakan sumber penyakit

yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus

menurut jenis peny akitnya tanpa meninggalkan norma agama serta

harkatnya sebagai

manusia. Penanganan secara khusus tersebut meliputi:

a. Pemeriksaan jenazah oleh pejabat kesehatan.

b. Perlakuan terhadap jenazah dan sterilisasi

bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam penanganan jenazah

diawasi oleh pejabat kesehatan.

6. Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan

komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang

dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit,

sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila

terkena, tidak menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga

dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta secara aktif dalam

menanggulangi wabah.

7. Upaya penanggulangan lainnya, yaitu tindakan-

tindakan khusus untuk masing-masing penyakit, yang dilakukan dalam

rangka penanggulangan wabah.

51
Upaya penanggulangan wabah di atas dilaksanakan dengan

memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta mengikutsertakan

masyarakat secara aktif. Dalam upaya penanggulangan wabah ini harus

dipertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain agama, adat,

kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan

masyarakat. Dengan demikian diharapkan upaya penanggulangan wabah

tidak mengalami hambatan dari masyarakat, malah melalui penyuluhan

yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, masyarakat diharapkan

akan memberikan bantuan dan ikut serta secara aktif.

Tujuan pokok upaya penanggulangan wabah adalah:

1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat

wabah dengan pengobatan.

2. Membatasi penularan dan penyebaran

penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak

meluas ke daerah lain.

Masalah wabah dan penanggulangannya tidak berdiri sendiri,

tetapi merupakan bagian dari upaya kesehatan nasional yang berkaitan

dengan sektor non-kesehatan serta tidak lepas dari keterpaduan

pembangunan nasional.

Petugas yang bertanggung jawab dalam lingkungan tertentu

yang mengetahui adanya penderita tersangka penderita penyakit yang

dapat menimbulkan wabah, wajib melaporkannya kepada Kepala

Desa/Lurah/Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya,

selanjutnya Kepala Desa/Lurah/Kepala Unit Kesehatan harus segera

meneruskan laporan tersebut kepada atasan langsungnya dan

instansi lain yang berkepentingan. Kepala Wilayah/Daerah setempat

yang mengetahui adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat

menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan

penanggulangan seperlunya.

D. Karantina

Karantina adalah isolasi orang atau hewan yang terjangkit penyakit

(atau tersangka terjangkit penyakit) untuk mencegah penjalaran penyakit

52
lebih lanjut.

Tindakan karantina adalah tindakan terhadap kapal dan pesawat

udara beserta isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah

berjangkitnya dan menjalarnya penyakit karantina. Penderita penyakit

karantina harus diisolasi, yaitu suatu pengasingan seseorang atau beberapa

orang dalam suatu stasiun karantina, rumah sakit, atau tempat lain oleh

dokter pelabuhan untuk mencegah penularan penyakit karantina. Selama

masa pengasingan, dilakukan pengawasan terhadap orang yang dikarantina

sampai yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat tertentu untuk

dapat melanjutkan perjalanannya.

Tujuan karantina adalah menolak dan mencegah masuk dan

keluarnya penyakit karantina dengan sarana angkutan darat, laut, dan

udara.

Suatu pelabuhan dan/atau wilayah dinyatakan terjangkit

penyakit karantina apabila pada pelabuhan dan/atau wilayah itu

terdapat:

1. Seorang penderita penyakit karantina yang

bukan berasal dari luar pelabuhan atau wilayah itu.

2. Tikus berpenyakit pes di darat, di kapal,

dan perlengkapan pelabuhan

3. Binatang yang bertulang punggung dan

mengandung virus demam kuning yang aktif.

4. Wabah tifus bercak wabah atau demam

kuning.

53
Lampiran V.1

PERATURAN KESEHATAN INTERNASIONAL

Peraturan Sanitasi Internasional (International Sanitary Regulations)

pertama kali diberlakukan oleh WHO pada tahun 1951, dengan

mengadopsi hasil beberapa konferensi sanitasi internasional pada abad ke-

19 di Eropa. Peraturan ini terutama ditujukan untuk membatasi penyebaran

penyakit kolera, pes, dan demam kuning. Pada tahun 1969 Peraturan

Sanitasi Internasional diganti namanya menjadi Peraturan Kesehatan

Internasional (International Health Regulations), dan setelah mengalami

beberapa kali modifikasi (terakhir pada tahun 2005), penyakit yang harus

dilaporkan apabila terdeteksi oleh sistem surveilans nasional adalah:

A. Kasus yang selalu harus dilaporkan:

Cacar

Poliomielitis oleh virus polio tipe liar

Influenza manusia yang disebabkan oleh subtipe baru.

Sindrom pernapasan akut parah (SARS)

54
B. Kasus yang harus dilaporkan jika memenuhipersyaratan

tertentu:

Kolera

Pes pneumonia

Demam kuning

Demam berdarah virus (Ebola, Lassa, Marburg)

Demam Nil Barat

Penyakit lain yang secara khusus mendapat perhatian

nasional atau regional, misalnya demam dengue, demam Lembah Rift

dan penyakit-penyakit meningokokus.

Setiap kejadian lain yang berpotensi untuk menyangkut

kepentingan publik kesehatan internasional, termasuk yang tidak

diketahui sebab atau sumbernya.

Kasus pada kelompok B harus dilaporkan jika memenuhi dua di

antara persyaratan berikut:

a. Merupakan kejadian dengan dampak kesehatan masyarakat yang

serius.

b. Merupakan kejadian yang tak biasa atau tak diharapkan.

c. Memiliki risiko penyebaran internasional yang bermakna.

d. Adanya risiko bermakna terhadap perjalanan internasional atau

pembatasan perdagangan.

55
BAB 6

SKRINING

A. Pengertian Skrining

Skrining (screening) untuk pengendalian penyakit adalah

pemeriksaan orang-orang asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka

ke dalam kategori yang diperkirakan mengidap atau diperkirakan tidak

mengidap penyakit (as likely or unlikely to have the disease) yang

menjadi objek skrining.

Contoh uji skrining antara lain yaitu pemeriksaan Rontgen,

pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan tekanan darah. skrining

tidaklah bersifat diagnostik. Orang-orang dengan temuan positif

atau mencurigakan harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan

pengobatannya.

B. Tujuan Skrining

Tujuan skrining adalah untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas

56
dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang

ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu

diarahkan kepada penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes

mellitus, glaukoma, dan lain-lain. Dalam skala tingkatan prevensi

penyakit, deteksi dan pengobatan dini ini termasuk dalam tingkat

prevensi sekunder (diagram 6.1).

Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan

untuk mengidentifikasi orang-orang asimptomatik yang berisiko mengidap

gangguan kesehatan serius. Dalam konteks ini, penyakit adalah setiap

karakteristik anatomi (misalnya kanker atau arteriosklerosis), fisiologi

(misalnya hipertensi atau hiperlipidemia), ataupun perilaku (misalnya

kebiasaan merokok) yang berkaitan dengan peningkatan gangguan

kesehatan yang serius ataupun kematian.

Diagram 6.1. Tingkatan prevensi penyakit

Selain pengertian skrining yang dikaitkan dengan diagnosis

dan pengobatan dini ini, istilah skrining mungkin memiliki pengertian

lain, yaitu:

Rangkaian pengujian yang dilakukan terhadap pasien

simptomatik yang diagnosisnya belum dapat dipastikan.

Agen kimiawi dapat di-skrining dengan pengujian

laboratorium atau surveilans epidemiologi untuk mengidentifikasi

zat-zat yang diperkirakan bersifat toksik.

Prosedur skrining dapat digunakan untuk

mengestimasi prevalensi berbagai kondisi tanpa bertujuan untuk

57
pengendalian penyakit dalam waktu dekat.

Skrining adalah pengidentifikasian orang yang

berisiko tinggi terhadap suatu penyakit.

C. Cara Melakukan Skrining

Sebelum melakukan skrining, terlebih dahulu harus ditentukan

penyakit atau kondisi media apa yang akan dicari pada skrining. Kriteria

untuk menentukan kondisi medis yang akan dicari adalah:

Efektivitas pengobatan yang akan

diberikan apabila hasil skrining positif.

Beban penderitaan yang ditimbulkan

oleh kondisi tersebut.

Akurasi uji skrining

Setelab menentukan kondisi medis yang akan dicari, uji

skrining dapat dilaksanakan dalam bentuk:

1. Pertanyaan anamnesis, misalnya: Apakah Anda

merokok?.

2. Bagian pemeriksaan fisik, misalnya pemeriksaan

klinis payudara.

3. Prosedur, misalnya sigmoidoskopi.

4. Uji laboratorium, misalnya pemeriksaan Hb.

Kriteria bagi uji skrining yang baik menyangkut antara lain:

1. Sensitivitas dan spesifisitas

2. Sederhana dan biaya murah

3. Aman

4. Dapat diterima oleh pasien dan klinikus.

D. Efek Skrining

Jika pengobatan dini tidak berpengaruh terhadap perjalanan

penyakit, usia saat terjadinya stadium lanjut penyakit atau kematian

tidak akan berubah, walaupun ada perolehan lead time, yaitu periode

dari saat deteksi penyakit (dengan skrining) sampai dengan saat

diagnosis seharusnya dibuat jika tidak ada skrining.

58
Contoh 6.1:

Pada diagram 6.2 berikut diperlihatkan fase subklinis perjalanan

penyakit sebuah kasus hipotetis karsinoma kolon. Kanker bermula pada

usia 35 tahun, Kasus akan terdeteksi pada usia 35 tahun. Kasus akan

terdeteksi pada usia 53,5 tahun jika skrining dilakukan, namun tanpa

skrining diagnosis baru akan dibuat pada usia 55 tahun ketika pasien

mencari pertolongan medis karena perdarahan intestinal. Periode selama

1.5 tahun antara usia 53.5 tahun dan 55 tahun ini dinamakan interval

lead time.

Diagram 6.2. Fase subklinis kasus hipotetis karsinoma kolon

Pada diagram 6.3 diperlihatkan beberapa skenario hipotesis

perjalanan penyakit dengan dan tanpa skrining:

a. Skrining tidak dilakukan, diagnosis dibuat pada titik B, sakit parah

terjadi pada titik C, dan kematian karena penyakit pada titik D.

b. Skrining dilakukan, deteksi terjadi lebih awal pada titik B,

tetapi efek pengobatan dini tidak ada sehingga sehingga sakit

parah tetap terjadi pada titik C dan kematian karena penyakit

pada titik D.

c. Skrining dilakukan, manfaat pengobatan dini

mengakibatkan tertundanya sakit parah dan kematian karena

penyakit.

d. Skrining dilakukan, pengobatan dini bermanfaat sehingga sakit

59
parah dan kematian karena penyakit tidak terjadi sama sekali.

Diagram 6.3. Ilustrasi aspek riwayat alamiah penyakit

Kelayakan suatu program skrining ditentukan oleh jawaban

terhadap beberapa pertanyaan:

Apakah pengobatan dini dapat

menurunkan morbiditas atau mortalitas penyakit?

Seberapa besar efek skrining?

Apakah biaya program skrining masuk

akal?

Apakah program skrining cukup

praktis untuk dikerjakan?

E. Uji Diagnostik

Uji diagnostik adalah uji yang digunakan untuk membantu

penentuan diagnosis pasien dalam keadaan ketidakpastian. Penentuan

diagnosis pasien sendiri seringkali baru dapat dilakukan setelah

melalui berbagai uji diagnostik. Walaupun ada yang mengartikan uji

diagnostik sebagai pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium, dalam

pengertian epidemiologi klinik prinsip-prinsip uji diagnostik berlaku

bagi seluruh informasi klinis yang diperoleh melalui anamnesis,

60
pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang lainnya.

Tabel 6.1. Hubungan antara hasil uji diagnostik


dengan kejadian penyakit

Hubungan antara hasil suatu uji diagnostik dengan

keberadaan penyakit yang diperiksanya diperlibatkan pada tabel 6.1.

Tidak ada uji diagnostik yang sempurna, dalam arti bahwa jika hasil

ujinya positif, subjek yang menjalani uji pasti menderita

penyakit yang diperiksa, sebaliknya jika hasil ujinya negatif, subjek

yang bersangkutan pasti bebas dari penyakit yang diperiksa.

Kuatitas suatu uji diagnostik dinilai dengan dua parameter, yaitu

sensitivitas dan spesifisitasnya lihat tabel 6.2). Kedua parameter ini

memiliki nilai yang konstan, yaitu (diharapkan) bernilai sama

dimanapun uji dilakukan. Selain itu ada pula kuantitas yang

dinamakan nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Kedua

kuantitas terakhir memiliki nilai yang berbeda jika uji dilakukan di

tempat-tempat dengan prevalensi penyakit yang tidak sama.

Tabel 6.2. karakteristik dan definisi pada uji diagnostik

61
Sensitivitas ( Se ): Proporsi yang hasil ujinya positif di antara

yang sakit.

Spesifisitas ( Sp ): Proporsi yang hasil ujinya negatif di antara

yang tidak sakit.

Nilai prediksi positif (PV+): Proporsi yang sakit di antara yang hasil

ujinya positif.

Nilai prediksi negatif (PV-): Proporsi yang tidak sakit di antara yang

hasil ujinya negatif.

P : Prevalensi.

Rasio likelihood positif ( LR+ ): Sensitivitas


1-Spesifisitas

Rasio likelihood negatif ( LR- ): 1- Sensitivitas


Spesifisitas

Contoh 6.2:

Misalkan dimiliki data diagnosis klinik faringitis

streptokokus beserta hasil kultur tenggoroknya pada 149 orang pasien

(table 6.3). Pada tabel tersebut sekaligus diperlihatkan cara

perhitungan sensitivitas (Se), spesifisitas (Sp), nilai prediksi positif

(PV+), nilai prediksi negatif ( PV-), rasio likelihood positif (LR+), dan

rasio likelihood negative (LR-).

Tabel 6.3. Akurasi diagnosis klinik faringitil streptokokus


dibandingkan dengan hasil kultur tenggorok

62
Contoh 6,3:

Pada contoh ini diperlihatkan bahwa prevalensi penyakit di antara

kelompok pasien yang diperiksa sangat berpengaruh terhadap nilai

prediksinya, baik positif maupun negative. Pada tabel 6.4 di

perlihatkan hasil pemeriksaan kreatin kinase sebagai uji diagnostik

untuk penyakit miokard infark terhadap: (a) pasien di unit

perawatan jantung serta (b) seluruh pasien rumah sakit tersebut.

Tabel 6.4. Hasil pemeriksaan kreatin kinase


pada penderita di rumah sakit

63
Sensitivitas adalah proporsi positif benar di antara yang sakit:

Se = 215 = 93 %
230
sedangkan spesifisitas adalah proporsi negatif benar di antara yang

tidak sakit:

Sp = 114 = 1822 = 88 %
130 2070

Prevalensi pada unit perawatan jantung adalah:

P a = 230 = 64 %
360

Sedangkan prevalensi di antara seluruh pasien rumah sakit adalah:

P b = 230 = 10 %
2300

Selanjutnya diperlihatkan hasil perhitungan nilai prediksi positif,

nilai prediksi negatif, rasio likelihood positif, dan rasio likelihood

negatif pada tabel 6.5.

Tabel 6.5. Nitai prediksi positif, nilai prediksi negatif, rasio


likelihood positif, dan rasio likelihood negatif untuk pemeriksaan
kreatin kinase sebagai nil diagnostik bagi miokard infark.

Pada tabei 6.5 tampak bahwa perbedaan prevalensi ini

menyebabkan penurunan nilai prediksi positif untuk seluruh rumah

sakit menjadi 46%, berarti di antara tiap 100 orang yang hasil

pemeriksaan kreatin kinase-nya positif, hanya 46 orang yang benar-

64
benar menderita miokard infark. Sebaliknya, nilai-nilai rasio likelihood

yang hanya ditentukan oleh sensitivitas dan spesifisitas uji diagnostik

praktis tidak dipengaruhi oleh perubahan prevalensi.

F. Uji Ganda

Dalam keadaan tertentu, misalnya dibutuhkan uji dengan sentivitas

(atau spesifisitas) tinggi, namun yang tersedia adalah lebih daripada

satu uji dengan sensitivitas (atau spesifisitas) rendah, dapat

dilakukan uji ganda (multiple tests). Pengujian ganda dengan dua atau

lebih uji diagnostik dapat dilakukan secara serial ataupun paralel.

Pada uji paralel, subjek menjalani dua atau lebih uji sekaligus.

Hasil uji ganda dianggap positif apabila sekurang-kurangnya satu di

antara uji yang dijalani memberi hasil positif. Sebaliknya pada uji

serial, tiap uji lanjutan hanya akan dikerjakan apabila hasil uji

terdahulu positif. Hasil uji ganda baru akan dianggap positif jika

seluruh uji yang dijalani memberi hasil positif (diagram 6,4). Uji serial

akan meningkatkan spesifisitas, tetapi menurunkan sensitivitas,

sebaliknya uji paralel meningkatkan sensitivitas, namun

menurunkan spesifisitas.

Diagram 6.4. Uji serial dan paralel

Contoh 6.4:

Pada tabel 6.6 diperlihatkan data hipotetis dua uji

diagnostik A dan B beserta uji gandanya. Uji A memiliki sensitivitas

65
80% dan spesifisitas 60%, sedangkan uji B memiliki sensitivitas 90% dan

spesifisitas 90%.

Tabel 6.6. Efek pengujian paralel dan serial terhadap sensitivitas,


spesifisitas, dan nilai prediksi uji ganda

Uji paralel meningkatkan sensitivitas menjadi 98%, namun

menurunkan spesifisitas menjadi 54%. Sebaliknya, uji serial

meningkatkan spesifisitas menjadi 96%, tetapi menurunkan sensitivitas

menjadi 72%.

Contoh 6.5:

Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi penyakit sifilis

dapat dilakukan dalam bentuk pemeriksaan VDRL (nontreponemal) atau

TPHA (treponemal). Pemeriksaan TPHA memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan VDRL, namun biaya

pemeriksaan juga lebih tinggi. Selain itu penggunaan pemeriksaan

TPHA secara langsung untuk skrining pada populasi akan menghasilkan

jumlah kasus positif palsu yang cukup banyak (diagram 6.5).

66
Diagram 6.5. Uji diagnosis tunggai penyakit sifilis
dengan pemeriksaan TPHA

Untuk memperbaiki hasil skrining, dilakukan uji ganda secara

serial dengan pemeriksaan VDRL sebagai uji pertama dan

pemeriksaan TPHA sebagai uji kedua (diagram 6.6).

67
Diagram 6.5. Uji diagnosis ganda penyakit sifilis secara serial
dengan pemeriksaan VDRL dan TPHA

68
BAB 7

PENCATATAN DAN PELAPORAN

A. Pencatatan Morbiditas dan Mortalitas

International Clas.sification of Diseases (ICD) adalah klasifikasi

diagnostik standar internasional bagi kebutuhan manajerial

kesehatan dan epidemiologi. Kebutuhan manajerial ini mencakup

analisis situasi kesehatan umum kelompok- kelompok populasi serta

pemantauan insidens dan prevalensi penyakit dan masalah kesehatan

lain yang berkaitan dengan variabel lain seperti karakteristik dan

keadaan individu-individu terkena.

Edisi pertama ICD yang dinamakan International List of Causes

of Death diadopsi oleh International Statistical Institute pada tahun

1893. WHO mengambil alih pengelolaan ICD sejak edisi keenam yang

untuk pertama kalinya mencakup data morbiditas pada tahun 1948.

ICD-9 diterbitkan pada tahun 1977 dan ICD-10 pada tahun 1992

oleh WHO. ICD-10 mulai digunakan oleh negara-negara anggota WHO

sejak tahun 1994.

ICD digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit dan masalah

kesehatan lain untuk dicatat pada berbagai tipe rekam kesehatan dan

vital, termasuk sertifikat kematian dan rekam medik rumah sakit.

Selain memungkinkan penyimpanan dan pengambilan kembali informasi

diagnostik untuk kebutuhan klinik dan epidemiologis, perekaman ini juga

merupakan basis pengumpulan statistik mortalitas dan morbiditas oleh

Negara-negara angota WHO.

Contoh 7.1:

Berikut diperlihatkan contoh pengkodean ICD-10 untuk migrain,

salah sate tipe nyeri kepala primer yang cukup sering didapatkan dalam

praktek klinik. Untuk memudahkan pengguna, pada tiap kelompok klasi

fikasi penyakit, kode dengan desimal '.8' digunakan untuk 'other' dan

kode dengan desimal '.9' untuk unspecified'. Untuk fasilitas kesehatan

yang sederhana dengan kemampuan medis petugas kesehatan yang

69
terbatas, pencatatan kode penyakit seringkali dilakukan tanpa digit

desimal.

Tabel 7.1. Contah petikan pengkodean dan klasifikasi penyakit

dengan ICD-10

B. Penyajian Data Survei / Penyelidikan

Epidemiologi

Ringkasan data dapat disajikan dalam bentuk tabel atau

diagram/grafik. Dengan tabel, data dapat disajikan secara lebih rinci,

namun membutuhkan perhatian serta konsentrasi yang lebih besar

dari pembaca untuk memahaminya. Grafik lebih cepat serta lebih

mudah untuk dipahami, namun penyajian data dengan grafik umumnya

tidak dilakukan secara rinci. Baik tabel maupun grafik biasanya masih

memerlukan narasi penulis untuk penjelasan lebih lanjut, walaupun

penulis tidak perlu mengulangi seluruh isi tabel dalam narasinya.

Contoh 7.2:

Data pada tabel 7.2 menunjukkan distribusi frekuensi hipotetis

hasil tes keterampilan manual bagi 27 orang responden. Judul tabel

70
dapat ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf pertama ataupun

seluruhnya dengan huruf besar, tergantung pada standar penulisan

yang berlaku. Dianjurkan untuk tidak menggunakan garis vertikal dan

garis horizontal-dalam pada tablel.

Tabel 7.2. Distribusi frekuensi hipotesis


hasil tes keterampilan manual.

Data pada tabel 7.2 dapat Pula disajikan dalam bentuk grafik.

Pada diagram 7.1 diperlihatkan penyajian data tabel 7.2 dalam bentuk

poligon frekuensi serta histogram.

Diagram 7.1. Contoh diagram data hipotetis hasil tes


keterampilan manual. Kiri: poligon frekwensi, Kanan: histogram.

71
Diagram 7.2. Kematian ibu hamil di Sri Lanka, 1940-198S; Jumlah
kematian ibu hamil per 100,000 kelahiran hidup.

Contoh 7.4:

Pada diagram 7.2 diperlihatkan contoh data runtun-waktu ( time-

series ), yaitu kematian ibu hamil di Sri Lanka selama periode 1940-

1985 dalam bentuk grafik.

Contoh 7.4:

Data dapat pula disajikan secara grafikal dalam bentuk peta

bergaris. Pada diagram 7.3 diperlihatkan data hipotetis yang

mendeskripsikan penyebaran pasien diabetes mellitus di sebuah area

menurut tingkat prevalensinya.

Diagram 7.3. Contoh peta statistic bergaris

Contoh 7.5:

72
Pada diagram 7.4 diperlihatkan penyebab kematian utama ibu

hamil dalam bentuk diagram lingkar ( pie diagram ) dengan data

seperti terlihat pada tabel 7.3. Tabel ini menyajikan nilai-nilai

persentasenya secara rinci, sedangkan pada diagram 7.4 pembaca harus

memperkirakan sendiri proporsi masing-masing penyebab berdasarkan

persepsi sekilasnya.

Tabel 7.3. Penyebab utama kematian ibu hamil

Diagram 7.4. Penyabab kematian utama kematian ibu hamil

C. Pelaporan Hasil Survei / Penyelidikan

Epidemiologi

Sistematika laporan hasil survei atau pelacakan

73
epidemiologi pada umumnya terdiri atas:

1. Judul Laporan

2. Pendahuluan

3. Lear belakang

4. Tujuan survei/penyelidikan

5. Metode survei/penyelidikan

6. Hasi l sur ve i/pe nyei idik an

7. Pembahasan

8. Ringkasan

9. Kepustakaan

Judul laporan

Judul laporan merupakan jawaban singkat terhadap pertanyaan:

Survei/penyelidikan apa yang telah dilaksanakan?

Dimana tempat pelaksanaannya?

Bilamana survei/penyelidikan dilaksanakan?

Pendahuluan

Dalam bagian pendahuluan diuraikan sebab atau alasan untuk

melaksanakan survei/penyelidikan, misalnya karena adanya laporan

Dinas Kesehatan Kabupaten ataupun Puskesmas mengenai adanya

suatu KLB, atau informasi lainnya. Disebutkan pula peristiwa apa

yang telah terjadi, dimana dan bilamana terjadinya, serta siapa yang

melaksanakan survei/penyelidikan dan bilamana dilaksanakannya.

Latar belakang

Dalam bagian ini diuraikan latar belakang daerah survei/

penyelidikan, yaitu mengenai;

a. Karakteristik geografi: apakah daerah tersebut

merupakan daerah pantai atau pegunungan, daerah rawa atau

daerah kering, keadaan iklimnya, curah hujan, dan sebagainya.

b. Karakteristik demografi: keadaan penduduknya,

jumlahnya, distribusi menurut kelompok usia, jenis kelamin,

pendidikan, suku bangsa, dan sebagainya.

c. Karakteristik sosial-ekonomi: status sosial ekonomi secara

74
umum, distribusi menurut penghasilan, jenis pekerjaan,

kebiasaan/adat istiadat, dan sebagainya.

Tujuan survei/penyelidikan

Disebutkan maksud dan bentuk pelaksanaan kegiatan,

apakah berupa evaluasi terhadap sebuah program, penyelidikan

untuk membuktikan laporan/informasi yang diterima, atau

sebuah penelitian.

Selanjutnya dinyatakan secara singkat dan jelas tujuan

yang hendak dicapai.

Metode survei/penyelidikan

Dalam bagian ini diuraikan penyakit/penderita yang

diselidiki serta tata cara pelaksanaan survei/penyelidikan, antara

lain yaitu.

a. Batasan mengenai penyakit/penderita

b. Sampel yang diperiksa: apakah dilakukan pengambilan sampel

darah, urine, feses, hapusan tenggorokan, dan sebagainya.

c. Cara pengambilan sampel: dengan kunjungan dari rumah ke

rumah atau mengumpulkan anggota masyarakat di suatu tempat

d. Siapa saja yang akan dijadikan responden.

e. Peralatan yang akan digunakan.

f. Waktu pelaksanaan survei/penyelidikan tersebut.

Hasil survei/penyelidikan

Dalam bagian ini disajikan semua data yang diperoleh

pada pelaksanaan survei, baik data primer maupun data

sekunder. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk:

a. Tabel.

b. Grafik (termasuk peta).

Penyajian tabel dan grafik ini hanya untuk memberikan

gambaran umum, sedangkan rinciannya harus tetap diberikan

dalam bentuk narasi.

Pembahasan

Dalam bagian ini diberikan ulasan terhadap semua hasil

yang diperoleh. Apabila perlu dapat dilakukan perhitungan

75
dan/atau analisis statistik. Ulasan dapat berupa perbandingan

dengan angka nasional ataupun 'angka harapan'.

Dari analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan ataupun

dibuat hipotesis yang apabila perlu dikaji lebih lanjut dengan

pembuktian statistik.

Kesimpulan dan saran

Dalam bagian ini dikemukakan kesimpulan terhadap apa yang

telah dilakukan dan dibahas sebelumnya dalam bentuk kalimat

yang jelas dan mudah dimengerti:

a. Apakah laporan KLB yang diterima benar merupakan suatu

KLB?.

b. Berapa incidence rate-nya?

c. Berapa case fatality rate-nya?

d. Bagaimana perbandingannya dengan angka nasional?

e. Dan sebagainya.

Selanjutnya diajukan saran-saran mengenai segala sesuatu

yang perlu diperhatikan/dilaksanakan sehubungan dengan

permasalahan yang ada, misalnya.

a. Perlu adanya perbaikan pencatatan agar dapat dilakukan

deteksi lebih dini.

b. Cara penanggulangan permasalahan.

c. Cara pengajuan biaya, dan sebagainya.

Ringkasan

Ringkasan disajikan dalam bentuk satu alinea yang tidak

lebih daripada satu lembar kuarto (22 baris), berisikan antara

lain:

a. Pernyataan mengenai masalah.

b. Gambaran mengenai apa yang telah dikerjakan

(penyelidikan epidemiologi, pemeriksaan laboratorium, dan

sebagainya).

c. Hasil-hasil yang diperoleh.

d. Kepentingan penyelidikan.

e. Kesimpulan

76
Kepustakaan

Semua bahan kepustakaan yang digunakan untuk

penyusunan laporan, termasuk dokumen yang belum

dipublikasikan, harus dicantumkan dalam kepustakaan. Cara

penulisannya disesuaikan dengan tata cara yang dianut di

masing-masing instansi. Cara penulisan yang lazim digunakan dalam

jurnal epidemiologi adalah sistem Harvard atau sistem Vancouver.

77

Anda mungkin juga menyukai