Anda di halaman 1dari 2

Resensi cerita rakyat Keris Empu Gandring

Judul Buku : Keris Empu Gandring Pada Masa Kerajaan Singosari

Pengarang : Yuliadi Soekardi

Penerbit : Pustaka Setia, Bandung

Tebal Buku : 124 Halaman

Warna Sampul : Depan Coklat, Belakang Hijau

Gambar Kulit : Seorang Kakek Tua Berjenggot Memegang Keris

Keris Empu Gandring merupakan cerita rakyat yang berasal dari Jawa Timur. Kejadian yang diceritakan dalam
buku ini berlangsung pada zaman Kerajaan Kediri. Tema cerita rakyat ini adalah kutukan seorang pandai keris bernama
Empu Gandring. Kutukan itu ditujukan kepada Ken Arok yang telah membunuh Empu Ganding menggunakan keris yang
dibuatnya yang berasal dari bahan batu logam bekas jatuhnya meteor. Hal itu tampak dari kutipan berikut ini : kau.
kau. telah membunuhku dengan kejam. Inggatlah Ken Arok setelah aku masih ada enam orang korban yang jatuh.
Salah satunya adalah engkau dan keturunanmu kata Empu Gandring dengan suara terputus-putus

Cerita rakyat ini menceritakan adanya pertumpahan darah yang dilatari adanya dendam kesumat yang melibatkan
keris Empu Gandring sebagai senjatanya. Hal ini tampak dari kutipan berikut : dan sebenarnya semua pertumpahan
darah itu diawali oleh nafsu angkara yang tersimpan di dalam Keris Empu Gandring. Itu semua telah membawa korban
yang berarti. Sudah tujuh nyawa melayang tanpa dapat dicegah. Mulai dari Empu Gandring sendiri, si pembuat keris
tersebut, tewas terbunuh Ken Arok. Keris itu kemudian menewaskan Akuwu Tunggul Ametung oleh Ken Arok ditambah
seorang perwira bernama Kebo Ijo. Keris untuk sementara disimpan sampai suatu saat keris itu digunakan Ki Pangalasan
untuk membunuh Baginda Rajasa. Ki Pangalasan yang merupakan utusan Anusapati akhirnya juga tewas oleh keris itu.
Berikutnya, Prabu Anusapati sendiri gugur oleh keris yang sama oleh Panji Tohjaya. Berikutnya Panji Tohjaya sendiri
gugur oleh keris itu lewat Ranggawuni. Sudah tujuh nyawa melayang sia-sia, sejenak Pranajaya berhenti.

Tujuan yang akan disampaikan pengarang adalah begitu banyak mutiara hikmah di balik seuntaian kisah lama yang
hampir-hampir saja tersisih oleh kemajuan zaman. Kisah-kisah tersebut semakin lama semakin menghilang dan pada
gilirannya hanya merupakan bagian dari sejarah yang tidak pernah diketahui oleh generasi mendatang.

Tujuan lain yang akan disampaikan pengarang adalah cinta perdamaian. Hal ini nampak bahwa balas dendam antar
persaudaraan maupun kelompok akan membawa kesengsaraan. Hal ini tampak pada kutipan : Tuan-tuan keluarga besar
Istana Singasari, sudah waktunya kita semua sama-sama membuang dendam kesumat, khususnya antar keluarga. Selain
tidak berguna, rakyatlah yang menjadi korban dari semua ini. Gajah sama gajah bertarung, pelanduk mati ditengah-
tengah.
Bahasa yang digunakan pengarang sangat lancar dan lukisannya yang sangat tepat sehingga mudah dicerna dan dipahami.
Pilihan kata sangat sesuai dengan apa yang akan digambarkan serta tempat dan situasi yang dimaksudkan. Selain itu,
penyajian cerita dilengkapi juga dengan gambar-gambar yang dapat merangsang imajinasi pembaca.

Jalan ceritanya pun tampak mudah diikuti karena tidak melompat-lompat serta penyajian peristiwanya secara kronologis.
Dengan kata lain, alur lurus yang dipakai dalam cerita ini menuntun pembaca lebih mudah dalam mengikuti dan
memahami pikiran, kesan, dan maksud pengarang melalui cerita ini.

Pengarang mengemasnya dalam bentuk yang menarik, ringkas, namun tidak meninggalkan nilai esensialnya. Dengan
bahasa yang sederhana, ringkas, mudah dipahami, namun sarat makna, cerita ini menggugah kembali kepedulian pembaca
dalam memetik hikmah yang mendalam dari kisah-kisah yang dipaparkan bahwa dendam yang ada dalam hati kita tidak
akan membawa kita dalam kesenangan melainkan terbawa dalam kesengsaraan bagi kita sendiri maupun orang lain.
Berbagai tokoh dan karakter dengan kesuriteladannya sebagai orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, serta
berbagai contoh karakter yang patut dihindari seperti dendam yang tiada hentinya tertuang dengan lengkap dalam cerita
ini.

Anda mungkin juga menyukai