Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN LAKTASI (IDAI)

Menyusui merupakan proses yang cukup kompleks. Dengan mengetahui anatomi payudara
dan bagaimana payudara menghasilkan ASI akan sangat membantu para ibu mengerti proses
kerja menyusui yang pada akhirnya dapat menyusui secara eksklusif.

Anatomi payudara

Areola

Aerola adalah daerah berwarna gelap yang mengelilingi puting susu. Pada areola terdapat
kelenjar-kelenjar kecil yang disebut kelenjar Montgomery, menghasilkan cairan berminyak
untuk menjaga kesehatan kulit di sekitar areola.

Alveoli

Alveoli adalah kantong penghasil ASI yang berjumlah jutaan. Hormon prolaktin
mempengaruhi sel alveoli untuk menghasilkan ASI.

Duktus laktiferus

Duktus laktiferus merupakan saluran kecil yang yang berfungsi menyalurkan ASI dari alveoli
ke sinus laktiferus (dari pabrik ASI ke gudang ASI)

Sinus laktiferus / ampula

Sinus laktiferus merupakan saluran ASI yang melebar dan membentuk kantung di sekitar
areola yang berfungsi untuk menyimpan ASI.

Jaringan lemak dan penyangga

Jaringan lemak di sekeliling alveoli dan duktus laktiferus yang menentukan besar kecilnya
ukuran payudara. Payudara kecil atau besar mempunyai alveoli dan sinus laktiferus yang
sama, sehingga dapat menghasilkan ASI sama banyak. Di sekeliling alveoli juga terdapat otot
polos, yang akan berkontraksi dan memeras keluar ASI. Keberadaan hormon oksitosin
menyebabkan otot tersebut berkontraksi.

Air susu ibu dan hormon prolaktin

Setiap kali bayi menghisap payudara akan merangsang ujung saraf sensoris disekitar
payudara sehingga merangsang kelenjar hipofisis bagian depan untuk menghasilkan prolaktin.
Prolaktin akan masuk ke peredaran darah kemudian ke payudara menyebabkan sel sekretori
di alveolus (pabrik ASI) menghasilkan ASI.

Prolaktin akan berada di peredaran darah selama 30 menit setelah dihisap, sehingga prolaktin
dapat merangsang payudara menghasilkan ASI untuk minum berikutnya. Sedangkan untuk
minum yg sekarang, bayi mengambil ASI yang sudah ada.
Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari gudang ASI (sinus laktiferus), makin banyak
produksi ASI. Dengan kata lain, makin sering bayi menyusui makin banyak ASI diproduksi.
Sebaliknya, makin jarang bayi menghisap, makin sedikit payudara menghasilkan ASI. Jika
bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti menghasilkan ASI.
Prolaktin umumnya dihasilkan pada malam hari, sehingga menyusui pada malam hari dapat
membantu mempertahankan produksi ASI. Hormon prolaktin juga akan menekan ovulasi
(fungsi indung telur untuk menghasilkan sel telur), sehingga menyusui secara eksklusif akan
memperlambat kembalinya fungsi kesuburan dan haid. Oleh karena itu, menyusui pada
malam hari penting untuk tujuan menunda kehamilan.

Air susu ibu dan refleks oksitosin (Love reflex, Let Down Reflex)

Hormon oksitosin diproduksi oleh bagian belakang kelenjar hipofisis. Hormon tersebut
dihasilkan bila ujung saraf disekitar payudara dirangsang oleh isapan. Oksitosin akan
dialirkan melalui darah menuju ke payudara yang akan merangsang kontraksi otot di
sekeliling alveoli (pabrik ASI) dan memeras ASI keluar dari pabrik ke gudang ASI. Hanya
ASI di dalam gudang ASI yang dapat dikeluarkan oleh bayi dan atau ibunya.

Oksitosin dibentuk lebih cepat dibanding prolaktin. Keadaan ini menyebabkan ASI di
payudara akan mengalir untuk dihisap. Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu berkeinginan
menyusui (sebelum bayi menghisap). Jika refleks oksitosin tidak bekerja dengan baik, maka
bayi mengalami kesulitan untuk mendapatkan ASI. Payudara seolah-olah telah berhenti
memproduksi ASI, padahal payudara tetap menghasilkan ASI namun tidak mengalir keluar.

Efek penting oksitosin lainnya adalah menyebabkan uterus berkontraksi setelah melahirkan.
Hal ini membantu mengurangi perdarahan, walaupun kadang mengakibatkan nyeri.

Keadaan yang dapat meningkatkan hormon oksitosin

Beberapa keadaan yang dianggap dapat mempengaruhi (meningkatkan) produksi hormon


oksitosin :

Perasaan dan curahan kasih sayang terhadap bayinya.


Celotehan atau tangisan bayi
Dukungan ayah dalam pengasuhan bayi, seperti menggendong bayi ke ibu saat akan
disusui atau disendawakan, mengganti popok dan memandikan bayi, bermain,
mendendangkan bayi dan membantu pekerjaan rumah tangga
Pijat bayi

Beberapa keadaan yang dapat mengurangi produksi hormon oksitosin

Rasa cemas, sedih, marah, kesal, atau bingung


Rasa cemas terhadap perubahan bentuk pada payudara dan bentuk tubuhnya,
meniggalkan bayi karena harus bekerja dan ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi.
Rasa sakit terutama saat menyusui
Keberhasilan menyusui

Untuk memaksimalkan manfaat menyusui, bayi sebaiknya disusui selama 6 bulan pertama.
Beberapa langkah yang dapat menuntun ibu agar sukses menyusui secara eksklusif selama 6
bulan pertama, antara lain :

1. Biarkan bayi menyusu sesegera mungkin setelah bayi lahir terutama dalam 1 jam
pertama (inisiasi dini), karena bayi baru lahir sangat aktif dan tanggap dalam 1 jam
pertama dan setelah itu akan mengantuk dan tertidur. Bayi mempunyai refleks
menghisap (sucking reflex) sangat kuat pada saat itu. Jika ibu melahirkan dengan
operasi kaisar juga dapat melakukan hal ini (bila kondisi ibu sadar, atau bila ibu telah
bebas dari efek anestesi umum). Proses menyusui dimulai segera setelah lahir dengan
membiarkan bayi diletakkan di dada ibu sehingga terjadi kontak kulit kulit. Bayi akan
mulai merangkak untuk mencari puting ibu dan menghisapnya. Kontak kulit dengan
kulit ini akan merangsang aliran ASI, membantu ikatan batin (bonding) ibu dan bayi
serta perkembangan bayi.
2. Yakinkan bahwa hanya ASI makanan pertama dan satu-satunya bagi bayi anda. Tidak
ada makanan atau cairan lain (seperti gula, air, susu formula) yang diberikan, karena
akan menghambat keberhasilan proses menyusui. Makanan atau cairan lain akan
mengganggu produksi dan suplai ASI, menciptakan bingung puting, serta
meningkatkan risiko infeksi
3. Susui bayi sesuai kebutuhannya sampai puas. Bila bayi puas, maka ia akan
melepaskan puting dengan sendirinya.

Keterampilan menyusui

Agar proses menyusui dapat berjalan lancar, maka seorang ibu harus mempunyai
keterampilan menyusui agar ASI dapat mengalir dari payudara ibu ke bayi secara efektif.
Keterampilan menyusui yang baik meliputi posisi menyusui dan perlekatan bayi pada
payudara yang tepat.

Posisi menyusui harus senyaman mungkin, dapat dengan posisi berbaring atau duduk. Posisi
yang kurang tepat akan menghasilkan perlekatan yang tidak baik. Posisi dasar menyusui
terdiri dari posisi badan ibu, posisi badan bayi, serta posisi mulut bayi dan payudara ibu
(perlekatan/ attachment). Posisi badan ibu saat menyusui dapat posisi duduk, posisi tidur
terlentang, atau posisi tidur miring.

Saat menyusui, bayi harus disanggah sehingga kepala lurus menghadap payudara dengan
hidung menghadap ke puting dan badan bayi menempel dengan badan ibu (sanggahan bukan
hanya pada bahu dan leher). Sentuh bibir bawah bayi dengan puting, tunggu sampai mulut
bayi terbuka lebar dan secepatnya dekatkan bayi ke payudara dengan cara menekan punggung
dan bahu bayi (bukan kepala bayi). Arahkan puting susu ke atas, lalu masukkan ke mulut bayi
dengan cara menyusuri langit-langitnya. Masukkan payudara ibu sebanyak mungkin ke mulut
bayi sehingga hanya sedikit bagian areola bawah yang terlihat dibanding aerola bagian atas.
Bibir bayi akan memutar keluar, dagu bayi menempel pada payudara dan puting susu terlipat
di bawah bibir atas bayi.
Posisi tubuh yang baik dapat dilihat sebagai berikut:

Posisi muka bayi menghadap ke payudara (chin to breast)


Perut/dada bayi menempel pada perut/dada ibu (chest to chest)
Seluruh badan bayi menghadap ke badan ibu hingga telinga bayi membentuk garis
lurus dengan lengan bayi dan leher bayi
Seluruh punggung bayi tersanggah dengan baik
Ada kontak mata antara ibu dengan bayi
Pegang belakang bahu jangan kepala bayi
Kepala terletak dilengan bukan didaerah siku

Posisi menyusui yang tidak benar dapat dilihat sebagai berikut :

Leher bayi terputar dan cenderung kedepan


Badan bayi menjauh badan ibu
Badan bayi tidak menghadap ke badan ibu
Hanya leher dan kepala tersanggah
Tidak ada kontak mata antara ibu dan bayi
C-hold tetap dipertahankan

Bagaimana sebaiknya bayi menghisap pada payudara ?

Agar bayi dapat menghisap secara efektif, maka bayi harus mengambil cukup banyak
payudara kedalam mulutnya agar lidahnya dapat memeras sinus laktiferus. Bayi harus
menarik keluar atau memeras jaringan payudara sehingga membentuk puting buatan/ DOT
yang bentuknya lebih panjang dari puting susu. Puting susu sendiri hanya membentuk
sepertiga dari puting buatan/ DOT. Hal ini dapat kita lihat saat bayi selesai menyusui. Dengan
cara inilah bayi mengeluarkan ASI dari payudara. Hisapan efektif tercapai bila bayi
menghisap dengan hisapan dalam dan lambat. Bayi terlihat menghentikan sejenak hisapannya
dan kita dapat mendengar suara ASI yang ditelan.

Tanda perlekatan bayi dan ibu yang baik

Dagu menyentuh payudara


Mulut terbuka lebar
Bibir bawah terputar keluar
Lebih banyak areola bagian atas yang terlihat dibanding bagian bawah
Tidak menimbulkan rasa sakit pada puting susu

Jika bayi tidak melekat dengan baik maka akan menimbulkan luka dan nyeri pada puting susu
dan payudara akan membengkak karena ASI tidak dapat dikeluarkan secara efektif. Bayi
merasa tidak puas dan ia ingin menyusu sering dan lama. Bayi akan mendapat ASI sangat
sedikit dan berat badan bayi tidak naik dan lambat laun ASI akan mengering.

Tanda perlekatan ibu dan bayi yang tidak baik :

Dagu tidak menempel pada payudara


Mulut bayi tidak terbuka lebar- Bibir mencucu/ monyong
Bibir bawah terlipat kedalam sehingga menghalangi pengeluaran ASI oleh lidah
Lebih banyak areola bagian bawah yang terlihat
Terasa sakit pada puting

Perlekatan yang benar adalah kunci keberhasilan menyusui

Bayi datang dari arah bawah payudara


Hidung bayi berhadapan dengan puting susu
Dagu bayi merupakan bagian pertama yang melekat pada payudara (titik pertemuan)
Puting diarahkan ke atas ke langit-langit bayi
Telusuri langit-langit bayi dengan putting sampai didaerah yang tidak ada tulangnya,
diantara uvula (tekak) dengan pangkal lidah yang lembut
Putting susu hanya 1/3 atau dari bagian dot panjang yang terbentuk dari jaringan
payudara

Cara bayi mengeluarkan ASI

1. Bayi tidak mengeluarkan ASI dari payudara seperti mengisap minuman melalui
sedotan
2. Bayi mengisap untuk membentuk dot dari jaringan payudara
3. Bayi mengeluarkan ASI dengan gerakan peristaltik lidah menekan gudang ASI ke
langit-langit sehingga ASI terperah keluar gudang masuk kedalam mulut
4. Gerakan gelombang lidah bayi dari depan ke belakang dan menekan dot buatan ke
atas langit-langit
5. Perahan efektif akan terjadi bila bayi melekat dengan benar sehingga bayi mudah
memeras ASI

Berapa lama sebaiknya bayi menyusu ?

Lamanya menyusu berbeda-beda tiap periode menyusu. Rata-rata bayi menyusu selama 5-15
menit, walaupun terkadang lebih. Bayi dapat mengukur sendiri kebutuhannya. Bila proses
menyusu berlangsung sangat lama (lebih dari 30 menit) atau sangat cepat (kurang dari 5
menit) mungkin ada masalah. Pada hari-hari pertama atau pada bayi berat lahir rendah
(kurang dari 2500 gram), proses menyusu terkadang sangat lama dan hal ini merupakan hal
yang wajar. Sebaiknya bayi menyusu pada satu payudara sampai selesai baru kemudian bila
bayi masih menginginkan dapat diberikan pada payudara yang satu lagi sehingga kedua
payudara mendapat stimulasi yang sama untuk menghasilkan ASI.

Berapa sering bayi menyusu dalam sehari ?

Susui bayi sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan bayi, sedikitnya lebih dari 8 kali dalam
24 jam. Awalnya bayi menyusu sangat sering, namun pada usia 2 minggu frekuensi menyusu
akan berkurang. Bayi sebaiknya disusui sesering dan selama bayi menginginkannya bahkan
pada malam hari. Menyusui pada malam hari membantu mempertahankan suplai ASI karena
hormon prolaktin dikeluarkan terutama pada malam hari. Bayi yang puas menyusu akan
melepaskan payudara ibu dengan sendirinya, ibu tidak perlu menyetopnya.
Bagaimana menilai kecukupan ASI?

1. Asi akan cukup bila posisi dan perlekatan benar


2. Bila buang air kecil lebih dari 6 kali sehari dengan warna urine yang tidak pekat dan
bau tidak menyengat
3. Berat badan naik lebih dari 500 gram dalam sebulan dan telah melebihi berat lahir
pada usia 2 minggu
4. Bayi akan relaks dan puas setelah menyusu dan melepas sendiri dari payudara ibu

Kesimpulan

Sejak awal kelahiran, bayi hanya diberikan ASI dan selanjutnya disusui sesering mungkin
tanpa dibatasi. Bayi dapat mengukur sendiri kemampuan dan kebutuhan cairan yang
diperlukan. Kita hanya perlu meluangkan waktu dan memberi kesempatan padanya untuk
mendapat yang terbaik yang ia butuhkan.

Sumber : Buku Bedah ASI IDAI

Penulis : Utami Roesli dan Elizabeth Yohmi


Masalah Ibu Bekerja: ASI Atau Susu Formula?
Dalam semangat Pekan ASI yang tahun ini bertema Bekerja dan Menyusui, Ayo Dukung ,
artikel ini mengulas tentang ibu menyusui yang akan kembali bekerja. Pertanyaan atau
kalimat terkait pemberian nutrisi tepat yang sering muncul sehari-hari di antaranya seperti
Dok, saya akan kembali bekerja minggu depan, jadi susu formula apa yang cocok untuk anak
saya? , Sampai berapa lama saya harus menyusui? , ataupun Kenapa harus ASI?

ASI merupakan hak azasi bagi setiap bayi, karena ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi.
Air susu ibu mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang
dalam tahap tumbuh kembang terutama pada 2 tahun pertama. ASI eksklusif diberikan selama
6 bulan, setelah itu diperlukan juga makanan pendamping ASI. Jadi meskipun ibu kembali
bekerja saat usia bayi sekitar 2 bulan, seharusnya bayi masih tetap mendapat haknya untuk
diberi ASI.

Susu manusia spesifik untuk manusia. Air susu ibu adalah suatu cairan biologis yang dinamis
dan kompleks, terdiri dari lebih dari 200 zat aktif termasuk imunoprotektor, enzim, hormon,
vitamin, faktor pertumbuhan dan faktor lainnya yang sama baiknya dengan nutrisi/ zat
esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Komposisi ASI selama
menyusui, berubah dari hari ke hari sesuai dengan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan. ASI
pada hari-hari pertama, sekitar 3-5 hari pertama, disebut sebagai kolostrum. Selanjutnya
sampai hari ke-11 disebut sebagai ASI transisi, dan setelahnya disebut ASI matur. ASI dari
ibu yang melahirkan bayi prematur sesuai dengan kebutuhan bayi prematur, begitu juga
dengan ibu yang melahirkan cukup bulan, ASI yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan bayi
cukup bulan. Karena komposisinya paling sesuai dengan pencernaan bayi, ASI merupakan
cairan hidup yang dibutuhkan semua bayi terutama bayi sakit atau bayi prematur karena
fungsi saluran cerna yang belum berkembang sempurna.

Jadi selain faktor nutrisi, ASI mengandung faktor kekebalan tubuh dan faktor pertumbuhan
yang tidak dimiliki oleh susu sapi atau susu formula.

Bagaimana bila ibu harus kembali bekerja?

- Mulai menabung ASI sejak 1 bulan sebelum kerja

- ASI dapat disimpan di dalam lemari es selama 3 hari dan dalam freezer selama 3 bulan

- Di tempat kerja, perah setiap 3 jam

- Bawa cooler box

- ASI yang belum diperah, tidak basi

Simpulan
- ASI tetap merupakan makanan terbaik untuk bayi

- Ibu bekerja bukan alasan untuk tidak dapat memberikan ASI eksklusif

- ASI dapat diperah dan disimpan

- Ibu bekerja membutuhkan DUKUNGAN, RUANGAN dan KESEMPATAN untuk memerah


ASI di tempat kerja sehingga pemberian ASI eksklusif tetap bisa diwujudkan

Penulis : Naomi Esthernita F. Dewanto

Ikatan Dokter Anak Indonesia

MENYUSUI PADA IBU DENGAN HIV POSITIF


Menyusui pada ibu pengidap HIV merupakan masalah penting dan selalu menjadi perdebatan.
Hal ini dikarenakan efek ganda dari pemberian ASI, yaitu sebagai sumber nutrisi utama pada
bayi dalam 6 bulan pertama kehidupannya; di sisi lain juga sarana penularan HIV. Sejak ilmu
pengetahuan mampu membuktikan bahwa salah satu tahap penularan vertikal HIV pada anak
adalah melalui air susu ibu, berbagai langkah pencegahan kemudian diteliti dan dibakukan
agar bayi yang lahir dari ibu HIV ini mendapatkan yang terbaik.

Selama 16 tahun terakhir para ahli di dunia telah membuat berbagai kesepakatan penting
mengenai rekomendasi pemberian makan pada bayi yang terpapar infeksi HIV dari ibunya.
Awalnya dengan berusaha meniadakan paparan melalui laktasi yang dilakukan di negara
maju. Beberapa tahun kemudian pemberian ASI diijinkan asal dalam waktu yang singkat dan
dengan penghentian cepat. Rekomendasi terakhir adalah mengijinkan pemberian ASI asalkan
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan pertama dan boleh dilanjutkan hingga usia anak 2
tahun.

Panduan nasional maupun rekomendasi internasional dibuat umum, karenanya tidak serta
merta tepat atau relevan dengan situasi yang dihadapi suatu masyarakat, kecuali bila sudah
diadaptasikan menurut konteks budaya dan sosial dimana perempuan dapat mengambil
keputusan sendiri dalam hal pengasuhan anaknya. Untuk mengetahui permasalahan
kontroversi dalam pemberian ASI pada bayi yang lahir dari ibu HIV akan dibahas mengenai
risiko dalam ASI, berbagai data penelitian penting dan simulasi penghitungan untung-rugi
pemilihan laktasi atau tidak.

Siklus hidup virus HIV

Virus HIV adalah virus dengan inti terdiri dari 2 lembaran RNA(ribonucleic acid) dan
terbungkus kapsul inti dan kapsul luar. Virus ini memerlukan sel host (inang) untuk hidup
dan berkembang biak. Asal-usul virus ini belum diketahui pasti; beberapa hipotesis yang
mendekati kenyataan pembuktian genetik adalah hasil mutasi virus serupa yang menginfeksi
kera Macaque dan diduga sudah ada sejak 70 tahun yang lalu. Perkembangan penyakit infeksi
HIV sendiri baru jelas pada tahun 1980-an.

Bila virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, maka ia akan berusaha menempel pada sel
dan masuk ke dalamnya. Sel yang dipilih virus ini terutama adalah sel limfosit CD4, yaitu
salah satu subtipe sel limfosit dalam tubuh kita yang bertugas mengatur respon imun tubuh
terhadap berbagai serangan infeksi dari luar. Selain sel terpilih tersebut, sel lain yang juga
diserang adalah makrofag, sel dendrit-keduanya dari golongan sel yang sama yang bertugas
sebagai pembersih dan pemakan semua bahan asing atau sel mati dalam tubuh- sel lemak, dan
sel glia di otak.

Setelah berhasil menempel, dengan senjatanya virus ini akan menyatukan kapsul luarnya
dengan dinding sel host/inang dan intinya masuk ke dalam badan sel inangnya. Sebenarnya
dengan karakteristik RNA, virus HIV harusnya hanya berhenti di sitoplasma (cairan tubuh
sel). Tetapi dengan kepiawaian senjata enzim yang dimilikinya, rangkaian RNA tersebut
kemudian diubah menjadi rangkaian DNA (deoxyribonucleic acid) serupa dengan rangkaian
genetik inti sel inang. Setelah menjadi rangkaian DNA, materi virus ini (proviral DNA)
kemudian masuk ke inti sel inang, memotong rangkaian DNA sel inang dan menyisipkan diri
di antaranya seolah-olah DNA virus ini adalah bagian dari DNA sel inang yang utuh. Bila inti
sel inang ini membelah dan mempersiapkan diri untuk membuat cloning sel baru, maka
secara
langsung virus HIV ikut membelah. Dalam proses pembelahan inti tersebut kemudian
diproduksi cetakan perintah genetik dalam bentuk lembaran RNA yang dikeluarkan ke
sitoplasma kembali. Cetakan ini kemudian dengan aktif mengumpulkan materi protein dari
sitoplasma untuk membuat cloning sel baru dan virus baru. Apabila lembaran inti virus HIV
baru sudah lengkap terbentuk, maka lembaran ini akan berusaha keluar dari badan sel inang
yang sudah didudukinya sehingga sel inang menjadi rusak.

Perjalanan penyakit penderita infeksi HIV

Baik pada orang dewasa dengan sistim imun yang sudah mapan maupun pada anak, infeksi
HIV menyebabkan sel sasarannya (limfosit CD4) rusak sehingga pada saat jumlahnya
sedemikian rendah maka sistim imun tubuh menjadi tidak dapat berfungsi untuk menghalau
infeksi yang ringan sekalipun. Tidak mengherankan bila pada penderita infeksi HIV, infeksi
jamur Candida yang biasanya terjadi lokal dapat menyebabkan sakit berat. Untuk
memudahkan, dibuat peringkat berdasarkan gejala klinisnya yang dikenal dengan stadium I
yang ringan dan hampir tanpa gejala; stadium II yang umumnya muncul dalam bentuk
gangguan di kulit; stadium III dengan aneka infeksi oportunistik dan akhirnya stadium IV
yang kita kenal sebagai AIDS.

Pengklasifikasian juga dapat dilakukan berdasarkan jumlah sel limfosit CD4. Kalau masih
segar bugar, umumnya jumlah atau proporsi limfosit CD4 masih normal, makin berat stadium
klinisnya maka makin menurun jumlah sel limfosit CD4. Pada kasus dewasa maupun anak
yang tercatat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya sudah berada dalam stadium
klinis III atau IV dan dengan jumlah atau proporsi sel limfosit CD4 sangat rendah.

Penularan HIV dari ibu ke anak

Sebanyak 90% penularan pada anak berumur < 13 tahun terjadi pada saat perinatal, artinya
terjadi selama dalam kandungan, selama proses kelahiran dan sesudah kelahiran. Pembuktian
menunjukkan penularan dapat terjadi melalui plasenta, meskipun plasenta tidak dapat
ditembus oleh sel-sel ibu yang terinfeksi HIV, akan tetapi virus HIV yang bebas masih dapat
menembus pertahanan plasenta. Proses kelahiran merupakan porsi terbesar terjadinya
penularan karena selama proses tersebut ada kemungkinan bayi menelan cairan yang terdapat
di jalan lahir; perlukaan akibat gesekan sehingga memungkinkan terdapatnya luka terbuka di
kulit kepala bayi dan meningkatkan risiko bersinggungan dengan cairan tubuh ibu.
Sedangkan penularan pasca lahir yang paling mungkin adalah melalui pemberian ASI
mengingat di ASI dapat ditemukan virus bebas, atau sel limfosit CD4 yang sudah terinfeksi
oleh virus HIV.

Bila tidak dilakukan upaya pencegahan apapun, besarnya risiko penularan dari ibu ke bayi
sebesar 40%. Bila tidak dilakukan sesuatu maka dalam waktu singkat akan terdapat banyak
anak hidup yang tertular HIV dan akan menyebabkan beban kesehatan yang nyata di seluruh
dunia. Oleh karena itu dilakukan berbagai cara untuk mengurangi besarnya transmisi
perinatal ini dan WHO menjadikannya sebagai unsur dasar gerakan mengontrol penyebaran
infeksi HIV di dunia.

Sejak tahun 1996 ketika program pencegahan lengkap mulai dipublikasikan, angka transmisi
ini dapat diturunkan lebih dari 50%nya. Yang dikatakan pencegahan penularan lengkap
adalah mengobati ibu saat kehamilan dengan pemberian anti retroviral (ARV), menghindari
jalan lahir normal dengan melakukan operasi Caesar elektif dan tidak memberikan ASI.
Gerakan pencegahan ini kemudian dilakukan di seluruh dunia.

Akan tetapi langkah lengkap ini tidak mudah diterjemahkan dan diterapkan pada berbagai
kondisi sosial masyarakat. Di Afrika sudah sejak awal tidak lengkap karena bedah Caesar
adalah kemewahan, meskipun pemberian ARV saja yang sangat sederhana terbukti mampu
menurunkan angka penularan HIV. Namun demikian memilih cara pemberian nutrisi pada
bayi tidak sesederhana yang diperkirakan. Oleh karena itu sekitar tahun 2000 WHO
bersamasama UNICEF membuat panduan untuk pemberian laktasi yang meliputi ASI
eksklusif selama beberapa bulan pertama, dan pindah ke penggantinya bila sudah
memungkinkan dalam waktu yang singkat pula.

Kemudian muncul banyak laporan, juga dari Afrika, yang menyatakan bahwa bayi yang
mendapat ASI dalam waktu lebih singkat lebih mudah sakit dibandingkan dengan bayi yang
mendapat ASI lebih lama meskipun risiko tertular HIVnya lebih tinggi. Penyetopan ASI
dalam waktu 1 - 3 hari juga menyebabkan timbul beberapa masalah baik pada ibu maupun
pada bayi.

Setelah panduan pencegahan dan pemberian ASI dengan cara di atas memiliki banyak efek
buruk untuk populasi Afrika, dibuat rekomendasi baru pada tahun 2010 yang menyatakan
bahwa ibu-ibu yang mengikuti program pencegahan penularan HIV diperbolehkan
memberikan ASI kepada bayi yang dilahirkannya dengan cara pemberiannya secara eksklusif
dan dilindungi dengan pemberian ARV selama jangka waktu menyusui.

Dampak dari rekomendasi ini tidak ada untuk masyarakat yang memilih untuk memberikan
susu formula sebagai bagian program pencegahan transmisi HIV. Untuk masyarakat yang
tidak dapat memilih pemberian susu formula maka kehadiran rekomendasi ini berdampak
pada lama pemberian ARV, penyediaannya dan konsekuensi terhadap program perawatan,
pengobatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV secara global.

Negara maju menelaah rekomendasi ini dan dampaknya terhadap praktik pencegahan
transmisi HIV dari ibu ke anak yang selama ini mereka lakukan. Untuk Inggris, pada
pertemuan terakhir bulan April
2010, BHIVA (British HIV Association) sedang membuat panduan seandainya ada ibu HIV
positif yang berencana memberi ASI pada bayinya. Masalah penting yang harus diawasi
untuk keselamatan bayinya adalah dengan melakukan pemberian ARV pada ibu selama
periode menyusui, pengawasan lebih ketat untuk pemberian ASI eksklusif dan efek samping
obat dan diusahakan sesingkat mungkin
serta pemeriksaan kadar virus setiap bulan. Oleh karena itu syarat tambahan untuk ibu yang
diijinkan memberikan ASI adalah kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter.

Cara apapun yang dipilih selalu ada konsekuensinya. Memberi ASI artinya tetap memaparkan
bayi pada kemungkinan tertular infeksi HIV. Tidak memberi ASI menyebabkan tujuan
menurunkan angka mortalitas tidak tercapai karena anak-anak yang lahir dari program
pencegahan justru meninggal karena berbagai sebab akibat tidak memperoleh ASI.

Kandungan ASI dalam konteks penularan HIV

Air susu ibu mengandung partikel nutrisi dan vitamin, sel-sel utuh, bakteri komensal, antibodi,
komplemen, komponen kimiawi yang berperan dalam komunikasi antar sel, dan kuman
penyakit dalam
bentuk bakteri atau virus. Sel yang berada dalam ASI memiliki konsentrasi 10.000 -
1.000.000 sel/mL, yang meliputi sel epitel saluran ASI, makrofag dan limfosit. Makrofag
adalah sel dalam tubuh manusia yang berperan dalam memakan sel lain yang tidak berfungsi,
kuman, dan segala sesuatu yang dianggap akan membahayakan tubuh manusia. Sedangkan
sel limfosit adalah salah satu jenis sel leukosit yang berperan sebagai konduktor respon imun
tubuh terhadap benda asing atau dianggap asing.

Meskipun belum terbukti bahwa ASI yang ditanam di media tertentu mampu memproduksi
koloni virus HIV, akan tetapi DNA proviral pada ASI dapat dideteksi dengan pemeriksaan
PCR (polymerase chain reaction). Prevalens terdeteksinya partikel DNA HIV pada ASI dari
kelompok ibu hamil pengidap HIV dalam 4 penelitian di Afrika berkisar antara 44 - 58%.
Pada penelitian lain di Kenya sel yang terinfeksi HIV memiliki kisaran 1/10.000 - 1/3 sel.
Mereka yang kadar sel terinfeksi HIV pada ASI sangat tinggi adalah ibu-ibu yang sudah pada
tahap stadium klinis HIV lanjut (ditandai dengan kadar sel CD4 sangat rendah) dan defisiensi
vitamin A.

Data mengenai penggunaan susu formula dan ASI

Angka kematian bayi dan balita

Pengaruh pemilihan pemberian makan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif terhadap
angka kematian bayi dan balita tidak berbeda. Tanpa melihat berapa banyak yang akhirnya
tertular HIV, maka angka kematian pada saat seharusnya anak-anak ini berumur 2 tahun
cukup tinggi. Pada 5 penelitian besar di Afrika yang membandingkan pemberian susu formula
dan ASI pada ibu HIV positif tidak menunjukkan keunggulan susu formula dari ASI dalam
mengukur berapa persen yang tetap hidup sampai usia 2 tahun. Umumnya lama pemberian
ASI pada populasi di atas adalah 4 - 6 bulan, disertai pemberian ARV baik pada ibu dan atau
pada bayinya. Untuk menunjang pemberian susu formula selain diberikan susu formula juga
diberikan akses ke air bersih. Yang ditengarai menyebabkan tingginya kematian adalah
budaya mixed feeding, baik pada kelompok formula maupun ASI.

Laktasi dan perburukan gejala klinis ibu

Penelitian yang dilakukan Otieno mencari apakah proses laktasi menyebabkan memburuknya
kesehatan ibu menyusui. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa selama menyusui memang
indeks masa tubuh dan kadar sel limfosit CD4 menurun dengan cepat, tetapi konsentrasi virus
di darah dan kematian tidak meningkat gara-gara ibu menyusukan anaknya. Pada saat yang
sama peneliti lain di Kenya justru melaporkan bahwa kematian pada ibu HIV yang menyusui
bayinya terjadi lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui.

ASI lebih superior dibandingkan susu formula untuk negara berkembang

Dalam kaitannya dengan pandemi HIV di seluruh dunia, pendekatan negara maju yang
menghilangkan sama sekali paparan melalui ASI ternyata tidak dapat diterapkan di negara
berkembang dan miskin karena peningkatan angka kematian yang berhubungan dengan
pemberian susu formula yang tidak aman.

Penelitian MASHI di Botswana dan PEPI di Malawi menunjukkan bahwa kebijakan


pemberian susu formula sebagai upaya pencegahan penularan HIV memang berefek
menurunkan angka penularan vertikal akan tetapi di sisi lain menyebabkan angka kematian
bayi lebih tinggi karena tidak disertai dukungan kebijakan publik untuk memenuhi kebutuhan
dasar akan air bersih. Demikian pula halnya bila ASI diberikan dalam waktu yang pendek
(KiBS di Kenya, BAN di Malawi dan HIVIGLOB di Uganda).

Membuat Laktasi Aman

Untuk situasi daerah di negara Indonesia yang akan menghadapi kesulitan untuk
menghilangkan paparan HIV lewat ASI maka pendekatan seperti negara-negara Afrika di atas
dapat dilakukan.
Seandainya memang dipilih untuk memberikan ASI, maka diperlukan langkah-langkah untuk
membuat laktasi cukup aman meskipun tetap memiliki risiko menularkan/penularan HIV.

ASI Eksklusif

ASI eksklusif artinya pada periode tersebut hanya ASI yang diberikan pada bayi, tidak
termasuk air sekalipun, apalagi makanan padat. Di negara kita dan juga di banyak negara,
mixed feeding ini menghambat pelaksanaan pemberian ASI eksklusif, baik pada situasi
dengan bahaya HIV maupun tidak.

Penelitian pencegahan transmisi HIV yang pemberian ASI eksklusif dikontrol dengan ketat di
Afrika Selatan, penularan HIV pada saat bayinya berumur 6 bulan hanya 4%. Begitu ibu-ibu
ini tidak disiplin dan mixed feeding, maka risiko ini naik 10 kali lipat dengan pemberian
makanan padat dan 1,8 kali bila dicampur susu formula. Pada penelitian lain diketahui bahwa
risiko tertular HIV pada mixed
feeding adalah 2-6 kali lipat dibandingkan dengan ASI eksklusif.

Untuk keberhasilan ASI eksklusif ini maka diperlukan perubahan perilaku pada ibu-ibu sejak
sebelum melahirkan. Dengan intervensi perilaku, di penelitian tersebut didapatkan ASI
eksklusif pada 82% peserta penelitian pada umur 6 minggu setelah lahir, 66% pada saat 3
bulan dan 40% pada saat 6 bulan.

Penelitian Mashi melaporkan kepatuhan ibu terhadap penggunaan susu formula di


populasinya mencapai 91% dibandingkan dengan kepatuhan pemberian ASI eksklusif yang
hanya 18%. Studi lain di Zambia menunjukkan bahwa ibu menyusui dengan mudah pindah ke
mixed feeding pada saat usia bayi dini. Penelitian di Cote dIvoire menunjukkan bahwa 69%
ibu penderita HIV yang memilih memberikan susu formula pada bayinya didapatkan masih
memberikan susu saja pada umur bayi 3 bulan.

Kepatuhan ibu-ibu ini sebagai unsur penting dalam penelitian belum tentu dengan mudah
diaplikasikan pada masyarakat di luar penelitian. Dilaporkan tingkat kepatuhan pada petunjuk
dari tenaga kesehatan hanya 30% saja.

Pemberian ARV

Penelitian di Mozambique menunjukkan penurunan transmisi HIV bila ibu menyusui minum
ARV selama menyusui sebagai kelanjutan ARV selama masa kehamilan. Pada penelitian
AMATA di Rwanda ARV diberikan sejak trimester kedua kehamilan dan diteruskan hingga
sebulan pasca menyusui. Pada kelompok ibu menyusui maupun tidak, tidak ditemukan
penularan, tidak ada perbedaan gangguan perkembangan maupun angka kesakitan dan
kematian. Pada penelitian MITRAPLUS ibu-ibu menyusui diberikan ARV selama 6 bulan,
angka penularannya menurun hingga 0,9%.

Memanaskan ASI

Cara untuk tetap memberikan ASI adalah dengan memerah dan kemudian melakukan
pemanasan dengan harapan virus HIV mati. Cara yang dipublikasi sebelumnya adalah dengan
memanaskan ASI secara langsung (merusak banyak komponen nutrisi dan imunologis) dan
cara Pasteurisasi Holder (suhu 62.5 0Celcius selama 30 menit) adalah tidak mudah dan murah
karena meskipun secara ilmiah fungsi imunologis ASI dapat dipertahankan, tetapi bahan ASI
dapat habis karena waktu pemanasan yang lama dan rumah tangga harus memiliki
termometer masak yang khusus.

Cara lain yang dianggap lebih mudah dikerjakan adalah dengan metode flash-heating, yaitu
dengan cara menaruh ASI dalam tempat kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian
dipanaskan.
Setelah mendidih segera diangkat dan dibiarkan dingin sampai suhu badan manusia. Cara ini
tidak mengganggu kadar vitamin A, meskipun menurunkan kadar vitamin B2 dan B6.

Laktasi pada bayi yang terinfeksi HIV

Terdapat 4 penelitian yang menunjukkan bahwa keuntungan pemberian ASI pada anak secara
umum juga ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV. Di ZEBS (Zambia), angka kematian
penderita
HIV pada umur 12 bulan lebih banyak pada anak yang hanya mendapat ASI selama 4 bulan
dibandingkan dengan anak yang setelah diketahui sakit, ASI tetap diteruskan. DI Afrika
Selatan bayi yang tertular HIV yang mendapat ASI lebih jarang sakit dibandingkan bayi sakit
yang tidak mendapat ASI. Efeknya lebih nyata pada 2 bulan pertama kehidupannya. Pada
penelitian Malawi, anak terinfeksi HIV yang mendapat ASI jarang sakit. Penelitian MASHI
di Botswana menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada mereka yang tidak disusui.
Oleh karena itu WHO mengubah rekomendasinya, bila seorang anak sudah diketahui
terinfeksi HIV dan masih disusui sebaiknya diteruskan saja hingga paling tidak 2 tahun.

Kesimpulan

Pemberian ASI pada situasi ibu mengidap infeksi HIV memerlukan pertimbangan atas
keuntungan dan kerugiannya. Meskipun memberi ASI artinya menambah risiko bayi tertular
HIV, tetapi untuk negara berkembang dengan sumber daya penyediaan susu formula terbatas,
peningkatan risiko tersebut dikompensasi dengan berkurangnya risiko kematian akibat
penggunaan susu formula yang tidak aman.

Sumber : Buku Indonesia Menyusui

Penulis : Nia Kurniati

MENYUSUI PADA IBU PENDERITA HEPATITIS B / HBsAg POSITIF


Seringkali dijumpai pertanyaan apakah ibu penderita hepatitis B boleh menyusui bayinya.
Dengan kata lain bagaimana peran ASI pada penularan hepatitis B. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut penting disampaikan juga epidemiologi hepatitis B, kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B, cara penularan dan
upaya pencegahannya. Pembahasan ini disertai dengan bukti ilmiah dari salah satu penelitian
dari banyak penelitian tentang peran ASI dalam penularan hepatitis B yang telah dikerjakan
di beberapa tempat di dunia. Bukti-bukti ilmiah tersebut yang digunakan sebagai dasar
pembuatan kebijakan upaya penurunan kejadian infeksi virus B di dunia maupun di Indonesia
tanpa merugikan hal-hal yang sangat berguna bagi bayi yaitu pemberian ASI eksklusif.

Hepatitis B dan Epidemiologi

Hepatitis adalah peradangan hati yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan lain-
lain.Peradangan ini dapat berdiri sendiri atau merupakan ikutan dari infeksi sistemis.
Hepatitis virus hepatotropik adalah keradangan hati yang disebabkan oleh virus yang target
utamanya adalah hati. Contoh dari virus hepatotropik adalah virus hepatitis A, B, C, D, dan E,
yang kemudian penyakitnya disebut sesuai virus penyebabnya. Contohnya hepatitis yang
disebabkan oleh virus hepatitis B dikenal sebagai hepatitis B. Diantara hepatitis virus tersebut
yang dapat dicegah dengan imunisasi saat ini adalah hepatitis A dan hepatitis B. Hepatitis A
sampai saat ini tidak pernah dilaporkan menyebabkan penyakit hati kronis (kronisitas),
namun sebaliknya hepatitis B merupakann penyebab utama kronisitas, yang kemudian dapat
menjadi sirosis dan kanker hati. Hal inilah yang kemudian menjadikan hepatitis B menjadi
masalah di dunia termasuk di Indonesia. Kejadian hepatitis B ini sangat berbeda di berbagai
tempat di dunia dan berdasarkan pemetaan yang dibuat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO),
Indonesia termasuk daerah dengan endemisitas sedang sampai tinggi.

Gejala klinis infeksi virus hepatitis B

Seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) dapat menderita sakit yang bersifat
sementara atau menahun dengan tanda klinisnya bervariasi dari tanpa gejala, gejala ringan
tidak khas (contoh: mual, lemas), gejala nyata dan khas yang sering disebut sebagai sakit
kuning atau hepatitis) atau menjadi suatu keadaan hepatitis yang berat dan fatal. Pada anak
infeksi ini kebanyakan tanpa gejala. Hepatitis B yang menahun atau kronis dinyatakan
dengan adanya petanda dari virus hepatitis B (disebut HBsAg) yang menetap lebih dari 6
bulan. Hepatitis B kronis ini sering terjadi pada 90% bayi yang terinfeksi dari ibunya pada
saat kelahiran (perinatal). Hati pengidap hepatitis B kronis mempunyai risiko tinggi menjadi
jaringan parut hati (biasa dinamakan sirosis) dan kemudian dapat menjadi kanker hati.

Distribusi usia

Salah satu penentu terjadinya hepatitis B kronis adalah usia saat seseorang terinfeksi. Makin
muda seseorang terinfeksi makin besar kemungkinannya menjadi kronis. Sebagai contoh bayi
yang mendapatkan infeksi dari ibu semasa dalam kandungan atau saat persalinan (perinatal)
kemungkinan menjadi kronis sekitar 90-95% apabila tidak ada tindakan pencegahan. Risiko
menjadi kronis ini semakin turun dengan bertambahnya usia (apabila terinfeksi pada saat
dewasa risiko menjadi kronis sekitar 5%. Mekanisme yang dapat menerangkan hal ini tidak
akan dibahas di sini.

Penularan hepatitis B
Virus hepatitis B ini ditularkan melalui luka kulit (lapisan permukaan luar tubuh) atau melalui
luka lapisan mukosa (lapisan permukaan dalam tubuh) pada saat kontak dengan darah atau
produk darah. Cara penularan secara garis besar dibagi menjadi penularan vertikal yaitu dari
ibu ke bayinya seperti telah disebut di atas dan penularan horizontal yaitu dari anak ke anak.

Secara umum diketahui bahwa seseorang menjadi sakit atau tidak apabila terinfeksi oleh
suatu virus sangat ditentukan ditentukan oleh berbagai faktor antara lain adalah faktor
manusianya itu sendiri (contohnya usia saat terinfeksi dll), banyaknya virus yang masuk
kedalam tubuh dan faktor lingkungan lainnya.

Jumlah atau konsentrasi VHB pada seorang penderita hepatitis B dimulai dari urutan yang
terbanyak yaitu darah dan cairan luka, semen cairan vagina, dan air liur, serta air susu ibu.
Virus hepatitis B masuk ke tubuh dan menginfeksi manusia melalui darah ke darah bukan
lewat saluran cerna seperti halnya hepatitis A. Sebagai contoh, transfusi darah dari donor
pengidap hepatitis B, melalui perlukaan (contoh: saat melewati jalan lahir), melalui alat
suntik yang terkontaminasi, dll.

ASI dan hepatitis B

Didapatkannya virus hepatitis B dalam jumlah kecil pada ASI menimbulkan pertanyaan
tentang peran ASI tersebut dalam penularan hepatitis B. Untuk diketahui bahwa saat ini
segala sesuatu keputusan terutama di bidang kedokteran didasarkan pada bukti ilmiah yang
didapat dari penelitian-penelitian yang ada, bukan dari teori saja. Banyak penelitian tentang
ASI dihubungkan dengan kejadian hepatitis B telah banyak dilakukan di dunia dan
membuktikan bahwa ASI tidak meningkatkan risiko penularan hepatitis B. Berikut adalah
penelitian di Taiwan yang mengikut sertakan 147 bayi baru lahir dari ibu pembawa virus
hepatitis B yang kemudian terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah bayi-bayi
yang minum ASI dan kelompok kedua adalah bayibayi yang minum susu formula. Hasilnya
adalah bahwa ASI tidak terbukti meningkatkan risiko penularan hepatitis B terbukti dari tidak
adanya perbedaan kejadian hepatitis B pada ke 2 kelompok. Dengan demikian tidak ada
alasan untuk tidak memberikan ASI untuk bayinya bagi ibu penderita hepatitis B.

Pencegahan penularan VHB

Untuk mencegah penularan dari ibu pengidap hepatitis B ke bayi yang dilahirkan dan untuk
mencegah terjadinya penularan horizontal berikutnya, disarankan untuk memberikan vaksin
hepatitis B yang pertama segera setelah lahir (dalam 24 jam pertama) yang kemudian
dilanjutkan dengan pemberian yang ke 2 dan ke 3 seperti jadwal yang telah ditentukan. Dapat
diberikan juga Imunoglobulin (antibodi) selain vaksin bagi yang mampu.

Kesimpulan

Ibu penderita hepatitis B tetap memberikan ASI kepada bayinya dengan ketentuan mengikuti
program Nasional yaitu memberikan vaksinasi hepatitis B kepada bayinya segera setelah lahir
sebelum berusia 24 jam.
Pencegahan terjadinya luka pada puting sangat dianjurkan pada awal kehidupan bayi
sehingga penularan dapat dicegah.

Bimbingan menyusui khususnya posisi menyusui yang baik dan pelekatan mulut bayi yang
betul dapat mencegah terjadinya puting lecet.

Sumber : Buku Indonesia Menyusui

Penulis : Nenny Sri Mulyani

Anda mungkin juga menyukai