Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN

Dermatitis okupasional merupakan salah satu penyakit akibat kerja


(occupational disease) yang banyak terjadi pada masyarakat, dan merupakan
penyakit akibat kerja kedua terbanyak di Eropa setelah cidera muskuloskeletal.
Kelainan kulit ini dapat ditemukan sekitar 85% sampai 98% dari seluruh
penyakit kulit akibat kerja di dunia. Insiden dermatitis okupasional diperkirakan
sebanyak 0,5 sampai 0,7 kasus per 1000 pekerja per tahun. Penyakit kulit
diperkirakan menempati 9% sampai 34% dari penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan. Prevalensi dermatitis okupasional bervariasi di tiap negara, hal ini
terjadi karena tidak adanya definisi standarisasi kasus, metode diagnostik, dan
sistem pencatatan yang jelas. Prevalensi tinggi ditemukan pada kelompok pekerja
khusus seperti perawat, penata rambut, pekerja pengolahan makanan, pekerja
aglukultur, dan pekerja besi (Kezic, 2009).
Dermatitis okupasional yang paling umum terjadi adalah dermatitis kontak
yaitu sebanyak 70-90%. Dermatitis kontak adalah peradangan yang disebabkan
terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan atau alergen, dan dalam
hal ini paparan berasal dari lingkungan pekerjaan. Dermatitis kontak dapat
dibedakan menjadi kotak alergi (DKA) dan kontak iritan (DKI), dimana pada 80%
dari seluruh penderita dermatitis kontak disebabkan karena DKI sedangkan DKA
terjadi pada 10% sampai 20% (Smedley, 2010). Dermatitis okupasional biasanya
terjadi di tangan dan angka insiden untuk dermatitis bervariasi antara 2%
sampai 10%. Diperkirakan sebanyak 5% sampai 7% penderita dermatitis akan
berkembang menjadi kronik dan 2% sampai 4% di antaranya sulit untuk
disembuhkan dengan pengobatan topical (Emmett, 2012).
Meskipun tidak mengancam jiwa, dermatitis dapat memiliki dampak
buruk yang serius terhadap kualitas hidup, fungsi dan hubungan sehari-hari. Ini
memiliki implikasi sosial yang penting bagi pasien dan keluarga mereka, termasuk
ancaman serius terhadap pekerjaan. Prognosis dermatitis okupasional lebih baik
bila paparan ke bahan penyebab di tempat kerja berkurang (Nicholson, 2010). Oleh
karena itu, pemahaman tentang manajemen medis yang baik dalam kondisi ini
sangat diperlukan.

1
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AB
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 57 tahun
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Sumbang, Purwokerto
No. CM : 02017680
Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 10 Agustus 2017
Metode Anamnesis : Autoanamnesis
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Gatal dan nyeri di punggung tangan kanan dan kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Tn. AB, laki-laki 57 tahun, datang ke Poliklinik Kulit RSUD
Margono Soekarjo pada tanggal 10 Agustus 2017 pukul 09.30 WIB dengan
keluhan gatal dan perih di punggung tangan kanan dan kiri sejak 6 bulan
yang lalu. Awalnya pasien mengeluhkan kulit terasa kering dan gatal.
Setelah itu kulit menjadi kemerahan dan lama kelamaan menghitam,
menebal dan terasa sedikit perih. Keluhan kulit gatal, perih, kemerahan serta
menebal tidak ditemukan di kaki atau tempat lainnya. Keluhan dirasa
mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama untuk bekerja. Keluhan
dirasakan muncul dan makin bertambah berat jika jika digunakan
mencangkul di sawah/ ladang. Keluhan dirasakan membaik saat malam
hari. Pasien sudah melakukan pengobatan di Puskesmas selama kurang
lebih 2 bulan namun keluhan dirasa belum membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat sakit kulit sebelumnya disangkal
c. Riwayat alergi obat, makanan, dan debu disangkal

2
d. Riwayat asma disangkal
e. Riwayat bersin-bersin di pagi hari disangkal
f. Riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) disangkal
g. Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat, makanan, dan debu disangkal
c. Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang buruh tani yang tinggal bersama istri dan
seorang orang anaknya. Pasien telah bekerja sebagai petani selama kurang
lbih 15 tahun terakhir. Setia harinya pasien bekeja dari jam 05.30 13.00
WIB. Pasien menuturkan selama bekerja tidak pernah menggunakan sarung
tangan atau masker dan hanya menggunakan sepatu boot. Pasien
mempunyai kebiasaan mencuci tangan dan kaki selepas bekerja dan mandi
2 kali sehari dengan menggunakan sabun. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan BPJS non-PBI.
Kesan: Status sosial ekonomi menengah kebawah.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Antropometri : BB: 50 kg, TB: 160 cm IMT : 19.53 (normal)
Vital Sign : Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),

3
Tenggorokan : T1 T1 tenang, tidak hiperemis
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema , sianosis
2. Status Dermatologis
a. Lokasi
Dorsum manus dextra dan sinistra, palmar dextra.
b. Efloresensi
Makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai likenifikasi.

Gambar 1. Efloresensi yang Gambar 2. Efloresensi yang


timbul pada kasus (tangan kanan) timbul pada kasus (tangan kiri)

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui jenis iritan yang
dapat menimbulkan gejala yaitu dengan uji tempel (patch test) terhadap bahan
yang dicurigai.
F. Resume
Pasien Tn. AB, laki-laki 57 tahun, datang ke Poliklinik Kulit RSUD
Margono Soekarjo pada tanggal 10 Agustus 2017 pukul 09.30 WIB dengan
keluhan gatal dan perih di punggung tangan kanan dan kiri sejak 6 bulan yang

4
lalu. Awalnya pasien mengeluhkan kulit terasa kering dan gatal. Setelah itu
kulit menjadi kemerahan dan lama kelamaan menghitam, menebal dan terasa
sedikit perih. Keluhan kulit gatal, perih, kemerahan serta menebal tidak
ditemukan di kaki atau tempat lainnya. Keluhan dirasa mengganggu aktivitas
sehari-hari, terutama untuk bekerja. Keluhan dirasakan muncul dan makin
bertambah berat jika digunakan mencangkul di sawah/ ladang. Keluhan
dirasakan membaik saat malam hari. Pasien sudah melakukan pengobatan di
Puskesmas selama kurang lebih 2 bulan namun keluhan dirasa belum
membaik.
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, debu, dan makanan. Riwayat asma
pada pasien juga disangkal. Riwayat darah tinggi (hipertensi) disangkal.
Keluarga tidak pernah mengalami keluhan seperti pasien dan tidak memiliki
riwayat alergi. Pasien merupakan buruh tani yang tinggal dengan istri dan
seorang anaknya. Pasien bekeja sebagai petani sejak 15 tahun terakhir dengan
durasi 7 jam setiap harinya. Selama bekerja pasien tidak pernah menggunakan
sarung tangan atau masker dan hanya menggunakan sepatu boot. Pasien
mempunyai kebiasaan mencuci tangan dan kaki selepas bekerja dan mandi 2
kali sehari dengan menggunakan sabun. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan BPJS non-PBI.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 50
kg dan TB 160 cm. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan
status lokalis didapatkan efloresensi Makula hiperpigmentasi berbatas tegas
disertai likenifikasi pada dorsum manus dextra et sinistra. Berdasarkan
anamnesis dan gambaran klinis yang ditemukan pada pasien, maka dapat
ditegakkan diagnosis dermatitis okupasional.
G. Diagnosis Kerja
Dermatitis Okupasional
H. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Atopik
2. Tinea Manus
I. Penatalaksanaan

5
1. Medikamentosa
a. Kortikosteroid per oral : Metilprednisolon 1x4 mg
b. Antihistamin per oral : Cetirizine 1x10 mg
c. Kortikosteroid topical : Desoksimetason cream 0.25% 2 kali sehari
2. Non medikamentosa
a. Dermatitis akut dapat dilakukan kompres dingin dengan larutan
fisiologis
b. Penggunaan emolien (pelembab kulit) secara teratur untuk mengatasi
keruskan dan kekeringan pada kulit.
3. Edukasi
a. Menjelaskan tentang penyakit dermatitis okupasional (penyebab, faktor
risiko, tanda dan gejala, komplikasi, serta prognosis).
b. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal. Kuku pasien harus selalu dalam keadaan pendek.
c. Menghindari kontak dengan substansi yang menyebabkan iritasi pada
kulit, yaitu cangkul dengan menggunakan alat pelindung diri seperti
sarung tangan.
d. Menjaga kelembaban dan mencegah kulit kering dengan menggunakan
pelembab tubuh atau emolien, serta mencuci tangan dengan sabun
setelah beraktifitas.
J. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Qua ad comesticam : dubia ad bonam

6
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis okupasional adalah suatu peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh lingkungan kerja atau oleh kontak kulit dengan zat yang
merusak (Lau, 2011). Gejala dan keseriusan kondisinya sangat bervariasi.
Gejala biasanya dimulai dengan kemerahan dan iritasi, dan kadang-kadang,
bengkak. Dermatitis okupasional adalah salah satu penyebab paling umum
kesehatan yang buruk dan mempengaruhi pekerja di banyak sektor industri,
termasuk pengolahan makanan dan terutama katering (Sularsito & Djuanda,
2011).
Dermatitis okupasional termasuk dalam penyakit tidak menular, dapat
berupa dermatitis kontak alergi (DKA) atau dermatitis kontak iritan (DKI).
DKA merupakan reaksi imunologis dimana alergen akan menyebabkan
munculnya reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat)
yang melibatkan kulit sehingga terjadi peradangan dan edema serta dapat
menyebar pada area sekitarnya (Tersinanda dan Rusyati, 2012). DKI
merupakan reaksi peradangan non-imunologik yang dapat bersifat akut atau
kronik tanpa didahului proses sensitisasi (Hogan, 2011).
B. Epidemiologi
Menurut American Academy Dermatology (1994), dari semua
penyakit kulit akibat kerja, lebih dari 90% berupa dermatitis kontak.Pada
tahun 2003, dari 4,4 juta kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dilaporkan,
6,2% (269.500 kasus) adalah penyakit akibat kerja. Menurut Belsito (2005)
dermatitis kontak okupasi adalah penyakit kulit okupasi yang paling sering
dilaporkan pada banyak negara di dunia. Dilaporkan bahwa insiden
dermatitis kontak okupasi berkisar antara 5 hingga 9 kasus tiap 10.000
karyawan full-time tiap tahunnya (Afifah, 2012).
Sedangkan menurut Emmett (2012), angka kejadian penyakit kulit
akibat kerja mengalami penurunan selama 4 tahun belakangan, hal ini
dimungkinkan karena upaya pencegahan yang lebih baik, adanya
kompensasi, dan adanya perubahan dalam pelaporan. Pada tahun 2001 oleh

7
grup dermatitis kontak Amerika utara, dilaporkan bahwa 836 kasus
teridentifikasi sebagai dermatitis okupasional, 54% merupakan dermatitis
kontak alergi primer, 32% merupakan dermatitis kontak iritan, dan 14%
merupakan keadaan selain dermatitis kontak yang diperburuk oleh
pekerjaan.
Berdasarkan hasil survey dari biro statistik tenaga kerja Amerika
Serikat, 90-95% dari semua dermatitis okupasional berupa dermatitis kontak,
dan 80% dari dermatitis kontak okupasional ini merupakan DKI. Insidensi
DKI sebenarnya sulit ditentukan dengan akurat, hal ini dikarenakan data
epidemiologi yang terbatas, serta banyaknya pasien DKI yang tidak datang
ke sarana kesehatan dan lebih memilih menanganinya dengan menghindari
paparan terhadap agen (Belsito, 2008).
C. Etiologi
Peradangan yang terjadi disebabkan karena kulit terpajan dengan bahan
dari luar yang bersifat iritan atau alergen, dan dalam hal ini paparan berasal
dari lingkungan pekerjaan. Hamper 80% kasus dermatitis okupasional
disebabkan karena kontak dengan iritan (DKI) (Kurpiewska, 2011).
Berdasarkan penyebabnya ada yang mengelompokkan DKI menjadi 10
macam, yaitu: DKI akut, lambat akut, kronis, reaksi iritan, traumatik,
noneritematosa, subyetif, eksikasi ekzematik, pustular dan akneiformis
(Sularsito & Djuanda, 2011).
DKI diperantarai oleh faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor
endogen. Faktor eksogen berupa bahan iritan seperti bahan pelarut, detergen,
asam, alkali, dan serbuk kayu. Potensial iritan juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu sifat kimia bahan iritan (pH, konsentrasi, bahan dasar), sifat
pajanan (jenis kontak, lamanya pajan), serta faktor lingkungan (kelembapan,
suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan atau gesekan). Sedangkan faktor
endogen antara lain jenis kelamin (biasanya lebih banyak terjadi pada wanita)
serta umur. DKI yang terjadi setelah paparan pertama kali disebut DKI akut
biasanya disebabkan oleh iritan yang kuat seperti asam kuat, basa kuat, garam,
logam berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa kimia lainya. DKI yang terjadi
setelah paparan berulang biasanya disebabkan oleh iritan lemah seperti

8
detergen, sabun, pelarut, tanah, air, dan faktor fisis (trauma mikro atau
gesekan) (Wolff,2008).
DKA dapat terjadi karena reaksi hiperensitifitas tipe cepat ata lambat,
yang terjadi sesaat setelah kontak langsung dengan zat penyebab atau muncul
24-48 jam setelahnya. Contoh zat-zat ditempat kerja yang dapat menyebabkan
DKA antara lain seperti lateks, komponen agen kecantikan dan obat-obatan
(balsam Peru dan asam benzoat), serta krom, nikel, resin epoksi, atau zat-zat
aditif pada karet. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Al-Otaibi, 2015).
D. Patogenesis
Perjalanan penyakit dermatitis okupasional tergantung dari jenis atau
penyebab yang mendasarinya, dapat diklasifikasikan menjadi DKA dan DKI.
Hal yang paling membedakan adalah reaksi imun yang terlibat. DKA karena
reasi imunologis (hipersensiifitas) sedangkan DKI karena reaksi non-
imunologis (Mandasari, 2016).
Dermatitis kontak iritan
Kelainan kulit yang timbul pada DKI akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, menimbulkan kerusakan pada keratinosit, sebagian
juga dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokndria serta
nukleus. Kerusakan membran mengakibatkan teraktivasinya fosfolipase
kemudian melepaskan diasilgliserida (DAG), asam arakidonat (AA) yang
menyebabkan tersintesisnya eicosanoids, serta faktor aktivasi platelet. AA
kemudian diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT) yang akan
menginduksi vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler. Selain itu,
PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mast untuk melepaskan histamin (stimulasi
rasa gatal) dan akan menyebabkan terjadinya respon inflamasi (kemerahan
atau bengkak) (Marks, 2002).
Diasilgliserida (DAG) dan second messenger lain akan menstimulasi
sintesis sitokin pro inflamasi interleukin-1 (IL-1). IL-1 kemudian akan
mengaktifkan sel T-helper untuk mengeluarkan IL-2 yang akan menstimulasi

9
respon inflamasi. Selain itu keratinosit yang telah kontak dengan iritan akan
melepaskan TNF- suatu sitokin pro inflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag, dan granulosit yang akan menginfiltrasi kulit dan juga berperan
dalam respon inflamasi (Price, 2006).
Akibat reaksi inflamasi gejala yang timbul berupa eritema, edema,
panas, dan nyeri bila iritan kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat
dan iritan lemah. Iritan kuat akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan
pertama pada hampir semua orang, sedangkan iritan lemah akan menimbulkan
kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena depilasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan
fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh
iritan (Sularsito & Djuanda, 2011).
Dermatitis kontak alergi
Terdapat 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elistasi. Pada fase
sensitisasi, alergen atau hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati
stratum korneum diambil oleh sel Langerhans secara pinositosis. Antigen akan
terdegradasi dan terikat pada Human Leucocyte Antigen-DR (HLADR), dan
kompleks yang diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel Langerhans
akan bergerak melalui jalur limfatik ke kelenjar regional, dimana akan terdapat
kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan CD4-positif. Kompleks antigen-
HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR) dan kompleks
CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1). Interaksi
antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan
mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini menyebabkan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di seluruh tubuh
dan kembali ke kulit (Marks, 2002).
Fase elisitasi terjadi setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen,
sel T primer atau memori dengan antigen-TCR spesifik meningkat dalam
jumlah dan beredar melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit. Ketika
antigen kontak pada kulit saat terjadi pajanan ulang, antigen akan diproses dan
dipresentasikan dengan HLA-DR pada permukaan sel Langerhans. Kompleks
akan dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit (atau kelenjar, atau

10
keduanya), dan elisitasi dimulai. Kompleks HLA-DRantigen berinteraksi
dengan kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan baik sel Langerhans
maupun sel T. Ini akan menginduksi sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan
menghasilkan IL-2 dan produksi IL2R oleh sel T. Hal ini menyebabkan
proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan mensekresi IL-3, IL-4, interferon-
gamma, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GMCSF).
Kemudian sitokin akan mengaktifkan sel Langerhans dan keratinosit.
Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1, kemudian IL-1
mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik untuk
produksi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi
aktivasi sel mast dan pelebaran pembuluh darah secara langsung dan pelepasan
histamin yang melalui sel mast (Marks, 2002).
E. Manifestasi Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, penderita umumnya
mengeluh gatal. Gejalanya dapat timbul akut, subakut atau kronik. Iritan kuat
memberi gejala akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. DKA
tergantung dari tipe hipersensitifitas yang mendasarinya, bias akut maupun
lambat, tapi selalu didahului tahap sensitisasi (Sularsito, 2011).
Kelainan kulit ditimbulkan dari lingkugan kerja dan karenanya dapat
bersifat iritan atau alergi. Baik iritan maupun alergi akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi
(basah). Pada kondisi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi
dan mungkin juga fisur. Biasanya batas lesi tidak jelas. DKA dan DKI sulit
dibedakan dan terutama pada kondisi kronis mungkin juga penyebabnya
campuran keduanya. (Sularsito, 2011).
F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan mencakup riwayat kontak dengan alergen
atau iritan setiap harinya di tempat kerja dan di rumah. Seberapa
seringnya berkontak dengan alergen atau iritan pada pekerjaan
penderita juga menambah informasi dalam mendiagnosis penderita.

11
Seberapa lama keluhan sekarang dan lokasi mana yang terlebih dahulu
muncul. Kebersihan dalam bekerja dan di rumah, penggunaan obat-
obatan (baik topikal maupun sistemik), penggunaan sarung tangan,
riwayat atopik dapat memudahkan dalam mendiagnosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Perlu diperhatikan distribusi, dan morfologi kelianan kulit yang
terjadi, terutama lokasi tempat pejanan terjadi. Kelainan kulit yang timbul
dapat bervariasi, umunya berupa kulit kering, eritema, edema dan dapat
membentuk vesikel, skuama, kemudian hiperkeratosis (menebal),
likenifikasi. Bila pajanan terus berlangsung dapat timbul fisur.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena
munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa
yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis,
timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas,
sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi.
Untuk itu diperlukan uji tempel (patch test) terhadap bahan yang dicurigai
(Wolf, 2008). Selain itu pemeriksaan lingkungan kerja penerita dan ditung
kadar eosinophil juga dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan
(Siregar, 2004).
G. Diagnosis Banding
1. Tinea Manus
Tinea manus merupakan dermatofitosis pada tangan yang dapat
disebabkan oleh Tricophyton rubrum (tersering), Tricophyton
interdigitale, dan Epidermophyton floccosum. Biasanya unilateral dan
lebih sering pada tangan yang dominan. Pasien biasanya mengeluhkan
gatal dan memberat jika berkeringat. Pada lesi biasanya ditemukan
gambaran patch disertai skuama dengan batas tegas, hyperkeratosis,
fissure pada palmar serta central healing (lesi berkurang pada bagian
tengah). Tipe dyshidrotic pada tinea manus memiliki gambaran papul,
vesikel dan ula pada telapak tangan dan sisi lateral jari, mirip dengan lesi
pada tinea pedis bullosa (Goldsmith et al 2012).

12
2. Dermatitis Atopik
Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya akan menghebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi dan krusta. Terdapat kriteria diagnosis dermatitis atopik yang
harus ditemukan berupa tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Kriteria
mayor berupa pruritus, distribusi pada daerah fleksura (dewasa) sedangkan
pada muka dan daerah ekstensor (bayi dan anak), riwayat atopi pendrita
atau keluarga dan kronik residif. Kriteria minor antara lain xerosis, iktiosis,
peningkatan kadar IgE, dan sebagainya (Sularsito, 2011).
H. Penatalaksanaan
Pengobatan dermatitis okupsional akut bertujuan untuk membatasi
tidak bisa bekerja dalam waktu yang lama, sedangkan, pengobatan kronik
bertujuan untuk mengembalikan produktivitas penderita dalam pekerjaannya.
Dermatitis akut dapat dikompres dingin dengan larutan Burow (alumunium
acetate dalam air), salin, ataupun air yang dapat mengurangi vesikulasi dan
mengurangi inflamasi. Penggunaan emollients yang mengandung lemak,
dapat digunakan untuk pencegahan pada penderita kronik, walaupun
gejala telah dikontrol. Emollients diberikan untuk membuat lapisan protektif
terhadap kulit yang iritasi dengan meningkatkan hidrasi. Pengobatan
dermatitis okupasional dapat diberikan pengobatan standar untuk dermatitis
(Adam, 2009).
Terapi farmakologis diperlukan untuk mengatasi peradangan yang
terjadi dapat diberikan kortikosteroid topikal misalnya hidrokortison, atau
untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih
kuat. Sedangkan pemberian kortikosteroid sistemik (oral) hanya pada kasus
yang berat misal kelainan kulit yang terjadi meluas disertai dengan erosi
ataupun ekskoriasi yang mengganggu aktivitas penderita. Kortikosteroid
sistemik yang biasa diberikan adalah prednisone 0,5-1 mg/kgBB/hari atau
metil prednisolone. Selain itu dapat diberikan juga antihistamin untuk
mengurangi rasa gatal seperti cetirizine (0,25 mg/kgBB/kali) (Wolf, 2008).

13
Upaya penatalaksanaan dermatitis okupasional yang terpenting adalah
terapi non-farmakologis berupa menghindari pajanan, baik yang bersifat
mekanik, fisik, maupun kimiawi serta menyingkirkan faktor yang
memperberat. Penghindaran dapat dilakukan dengan menggunakan alat
peindung diri (APD) seperti sarung tangan, masker, sepatu boot, kaca mata,
pakaian kerja, topi pengaman, dan jika perlu memindahkan pekerja ke tempat
lain guna mengindari kontak. Selain itu, perlu pula dilakukan edukasi
mengenai cara-cara kerja yang aman dan higenis yang dapat menimbulkan
bahaya ditempat kerja (Siregar, 2004).
I. Komplikasi
Menurut Lau (2011) dermatitis okupasional memiliki dampak lebih besar
pada fungsi psikososial bagi pasien dibandingkan dengan fungsi fisik pasien.
Komplikasi sangat jarang terjadi, terlebih dengan penggunaan APD.
J. Progonosis
Secara umum prognosisnya baik. Menghindari kontak dengan bahan-
bahan yang menyebabkan kelianan kulit adalah bagian terpenting untuk
dilakukan (Siregar, 2004).

14
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Kelainan kulit yang terjadi pada kasus adalah dermatitis okupasional.
Dermatitis okupasional merupakan suatu peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh lingkungan kerja atau oleh kontak kulit dengan zat yang
merusak. Kelainan dapat bersifat iritan atau alergi. Pada kondisi kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur (Sularsito,
2011). Alasan penegakan diagnosis dermatitis okupasional yaitu:
1. Anamnesis
a. Keluhan gatal dan perih di punggung tangan kanan dan kiri sejak 6 bulan
yang lalu.
b. Awalnya kulit terasa kering dan gatal. Setelah itu kulit menjadi
kemerahan dan lama kelamaan menghitam, menebal dan terasa sedikit
perih.
c. Keluhan muncul dan memberat jika digunakan mencangkul di sawah/
ladang, serta dirasakan membaik saat malam hari.
d. Pasien dan keluarga tidak memiliki riwayat alergi obat, debu, makanan,
maupun riwayat penyakit asma.
e. Pasien bekerja sebagai buruh tani sejak 15 tahun terakhir dan bekerja
selama 7 jam setiap harinya.
f. Selama bekerja pasien tidak pernah menggunakan sarung tangan atau
masker dan hanya menggunakan sepatu boot.
g. Mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan sabun selepas
beraktivitas dan mandi 2 kali sehari.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lokasi: dorsum manus dextra dan sinistra, palmar dextra
b. Efloresensi: Makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai likenifikasi.
B. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari dermatitis okupasional pada kasus adalah:
1. Tinea Manus
Biasanya unilateral dan lebih sering pada tangan yang dominan.
Pasien biasanya mengeluhkan gatal dan memberat jika berkeringat. Pada

15
lesi biasanya ditemukan gambaran patch disertai skuama dengan batas
tegas, hiperkeratosis, fisur pada palmar serta central healing (lesi
berkurang pada bagian tengah). Tipe dyshidrotic pada tinea manus
memiliki gambaran papul, vesikel dan ula pada telapak tangan dan sisi
lateral jari, mirip dengan lesi pada tinea pedis bullosa (Goldsmith et al
2012).
2. Dermatitis Atopik
Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya akan menghebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi dan krusta. Terdapat kriteria diagnosis dermatitis atopik yang
harus ditemukan berupa tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Kriteria
mayor berupa pruritus, distribusi pada daerah fleksura (dewasa) sedangkan
pada muka dan daerah ekstensor (bayi dan anak), riwayat atopi pendrita
atau keluarga dan kronik residif. Kriteria minor antara lain xerosis, iktiosis,
peningkatan kadar IgE, dan sebagainya (Sularsito, 2011).
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien adalah memberikan obat
secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah kortikoteroid
topikal berupa desoksimetason 0.25% diberikan 2 kali sehari. Obat sistemik
yang diberikan adalah metilprednisolon sebagai kortikosteroid sistemik untuk
mengatasi reaksi peradangan. Cetirizin yang diminum sehari 1 kali setelah
makan juga diberikan sebagai antihistamin untuk mengurangi rasa gatal.
Tataklasana non farmakologis berupa pemberian emolien (pelembab kulit)
secara topikal pada kulit yang kering dan sering mengaami gesekan. Eduksi
pasien menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik,
maupun kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Dalam kasus
ini pajanan yang harus dihindari adalah cangkul sebagai bahan iritan mekanis.
Pajanan dapat dihindari dengan penggunaan APD missal sarung tangan.

16
V. KESIMPULAN

1. Dermatitis okupasional merupakan suatu peradangan pada kulit yang


disebabkan oleh lingkungan kerja atau oleh kontak kulit dengan zat yang
merusak, dapat bersifat iritan atau alergi.
2. Keluhan sejak 6 bulan dirasakan awalnya kulit kering dan gatal kemudian
menjadi kemerahan lalu menghitam, menebal, serta perih. Memberat jika
digunakan mencangkul.
3. Didapatkan makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai likenifikasi di
dorsum manus dextra dan sinistra, serta palmar dextra.
4. Penatalaksanaan yang terpenting adalah menghidari pajanan, seperti
penggunaan sarung tangan sebagai APD.
5. Terapi faramkologis yang diberikan berupa topikal kortikosteroid dan terapi
sistemik kortikosteroid dan antihistamin. Penatalaksaaan non-farmakologis
dengan pemberian pelembab secara topikal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adam, D., Perry, dan J.P. Trafeli JP. 2009. Hand Dermatitis: Review of Etiology,
Diagnosis, and Treatment. JABFM; 22: 325320.
Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak
Akibat Kerja pada Karyawan Binatu. Skripsi. Universitas Diponegoro;
Semarang.
Al-Otaibi, S.T., dan Alqahtani. 2015. Management of contact dermatitis. Journal
of Dermatology and Dermatologic Surgery; 19: 86-91.
Belsito, D.V. 2008. Occupational contact dermatitis: etiology, prevalence and
resultant impairment/disability. J Am Acad Dermatol; 2005.p.53:303.
Dalam: Fitzpatricks et al, editors. Dermatology in general medicine vol.2
7th ed. New York: Mc Graw Hill Medical.
Emmett, E.A. 2012. Occupational contact dermatiti. Am J Contact Dermat;.13-
30.
Goldsmith, L., Z. Kats , B. Gilchrest, A. Paller, D. Leffel, dan K. Wolf. 2012.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 8th edition. United States:
The McGraw-Hill Companies.
Hogan, D.J. 2011. Irritant Contact Dermatitis. [Online] Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview [diakses 15
Agustus 2017].
Kezic, S., M.J. Visser, dan M.M. Verberk. 2009. Individual susceptibility to
occupational contact dermatitis. Industrial Health; 47:469-78
Kurpiewska, J., J. Liwkowicz, dan K. Benczek. 2011. A survey of work-related
skin disease in different occupations in Poland. Int J Occup Safety and
Ergonomics; 17:207-14.
Lau, M.Y., J.A. Burgess, R. Nixon, S.C. Dharmage, dan M.C. Matheson. 2011. A
review of the impact of occupational contact dermatitis on quality of life. J
Allergy: 964509.
Mandasari, S.S. 2016. Dermatitis Kontak Iritan Akibat Kerja. Jurnal Medula Unila;
vol 4, no4.
Marks, J. G., Elsner P; Deleo, dan V.A. 2002. Contact and Occupational
Dermatology.
Nicholson, P.J. 2010. Evidence Based Guidelines: occupational contact
dermatitis and urticaria. Occup Med; 60 :502-6. 2.
Price, S.A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.

18
Siregar, R.S. 2004. Penyakit Kulit Alergi. Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke
2. EGC. Jakarta.
Smedley, J. 2010. Concise guidance: diagnosis, management and prevention of
occupational contact dermatitis. Clinical Med; 10 :487-90.3.
Sularsito, S. A. dan Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Djuanda, A., Hamzah, M.,
Aisah, S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tersinanda, Trisna, dan L.M. Rusyati. 2012. Dermatitis Kontal Alergi. Denpasar.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana.
Wolff, K. 2008. Dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill.ss.

19

Anda mungkin juga menyukai