Anda di halaman 1dari 26

EFEKTIFITAS PENUSUKAN TITIK ST 2 SIBAI, GB 1 TONGZILIAO

DAN BL 2 CUANZHU DALAM MENURUNKAN DERAJAT MIOPIA


PADA MAHASISWA AKUPUNKTUR POLITEKNIK KESEHATAN
SURAKARTA

PROPOSAL SKRIPSI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Statistik
pada Program Studi Diploma IV Akupunktur Jurusan Akupunktur Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surakarta

Oleh :

YASMIN SYADZA NIM P27240014082

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES SURAKARTA JURUSAN AKUPUNKTUR
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV AKUPUNKTUR
2017

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 2
E. Keaslian Penelitian ................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
A. Landasan Teori ......................................................................................... 4
B. Kerangka Teori ......................................................................................... 15
C. Kerangka Konsep ..................................................................................... 15
D. Hipotesis ................................................................................................... 16
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 17
A. Jenis Penelitian ......................................................................................... 17
B. Populasi, Sampel dan Sampling ................................................................ 18
C. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 19
D. Variabel Penelitian ................................................................................... 20
E. Definisi Operasional Variabel ................................................................... 20
F. Instrumen Penelitian ................................................................................. 21
G. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................................... 22
H. Analisa Data .............................................................................................. 23
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Miopia adalah kelainan refraksi yang hampir selalu menduduki
urutan pertama dibandingkan kelainan-kelainan refraksi yang lain
(Tiharyo et al, 2008 dalam Nurwinda et al,2013 ). Jumlah penderita
kelainan refraksi di Instalasi Rawat Jalan bagian mata RS. dr. Kariadi,
Semarang, yang dicatat selama Agustus 2000 sampai Juli 2001, sebanyak
83,9% dan 12-28% terjadi pada populasi dewasa (Cahyana et al, 2001
dalam Nurwinda et al,2013). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kejadian miopia di Asia lebih tinggi, yaitu 40% pada populasi umum dan
antara 50%-80% pada populasi pelajar (Pritasari, 2003 dalam Nurwinda et
al,2013).
Prevalensi miopia cenderung mengalami peningkatan, terutama
pada anak-anak usia sekolah, baik pada usia belasan maupun dua puluhan.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya frekuensi merekan dalam
melakukan aktivitas seperti mambaca, menonton televisi, bermain
komputer dan bermain game. Penyebab tersebut dapat menyebabkan
miopia ringan atau faktor-faktor lain yang dapat mendukung timbulnya
miopia (Tiharyo et al, 2008 dalam Nurwinda et al,2013).
Penelitian Cahyana et al, (2001 dalam Nurwinda et al,2013)
menjelaskan bahwa mahasiswa merupakan penderita miopia tertinggi
diantara populasi yang lain, seperti SMA, SMP, atau populasi umum.
Penelitian Nurkasih et al, (2010 dalam Nurwinda et al,2013) juga
menyatakan bahwa prevalensi miopia dapat berbeda-beda sesuai
pekerjaannya. Pada kalangan mahasiswa prevalensi miopia ditemukan
sebesar 66,6%. Dari semua penelitian tersebut, telah jelas menyatakan
bahwa prevalensi penderita miopia cenderung dialami oleh usia-usia

1
pelajar, terutama adalah kalangan mahasiswa yang manunjukkan
prevalensi terbanyak.
Wang et al, (2014) melakukan penelitian terhadap 100 remaja
dengan rentang usia tujuh sampai duabelas tahun dengan derajat miopia
ringan sampai sedang. Dalam penelitian tersebut, menggunakan lima titik
akupunktur termasuk di dalamnya titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan
BL 2 Cuanzhu. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dalam menurunkan
derajat miopia pada kalangan mahasiswa dengan terapi akupunktur.

B. Rumusan Masalah
Apakah penusukan pada titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL
2 Cuanzhu efektif dalam menurunkan derajat miopia pada mahasiswa
akupunktur politeknik kesehatan Surakarta ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas
penusukan titik akupunktur titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL 2
Cuanzhu dalam menurunkan derajat miopia pada mahasiswa akupunktur
politeknik kesehatan Surakarta.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memeberikan beberapa
manfaat yaitu:
1. Memberikan gambaran tentang terapi akupunktur pada penderita
miopia.
2. Memberikan masukan terhadap para terapis akupunktur dalam
mengembangkan penelitian penurunan derajat miopia menggunakan
metode dan terapi akupunktur.
3. Menjadi referensi hasil dari penusukan titik akupunktur ST 2 Sibai,
GB 1 Tongziliao dan BL 2 Cuanzhu dalam menurunkan derajat miopia
pada mahasiswa akupunktur politeknik kesehatan Surakarta.

2
E. Keaslian Peneltian
Wang et al, (2014) melakukan penelitian tentang penggunaan
akupunktur pada remaja dengan derajat miopia ringan sampai sedang.
Penelitian tersebut dilakukan di Xingjian Medical University Affiliated
Hospital of Traditional Medicine dengan menggunakan sample 100 remaja
dengan rentang usia tujuh sampai duabelas tahun. Titik yang digunakan
dalam penelitian tersebut adalah ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao, BL 2
Cuanzhu, LI 4 Hegu dan GB 16 Muchuang. Dalam penelitiannya
menjelaskan penusukan titik lokal pada daerah mata dapat mengatur
fisiologi penglihatan.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel dan metode
pengumpulan data. Variabel yang digunakan hanya titik ST 2 Sibai, GB 1
Tongziliao dan BL 2 Cuanzhu. Metode pengumpulan data menggunkan
pre test post test design.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Struktur Bola Mata
Orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida berdinding
empat yang berkonvergensi ke arah belakang. Dinding medial orbita
kanan dan kiri terletak pararel dan dipisahkan oleh hidung. Volume
orbita dewasa kira-kia 30 cc dan bola mata hanya menempati sekitar
seperlima bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian
terbesarnya. Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat
(Vaughan, 2000 dalam Hayatillah, 2011 ).
Diameter anteroposterior bola mata berkisar kurang dari 25mm,
terbagi kedalam dua segmen yang berbeda, yaitu segmen anterior
yang memiliki bagian transparan dan segmen posterior yang memiliki
diameter lebih luas. Nervus optikus memasuki mata melalui diskus
optikus yang berjarak 3mm kebagian nasal (medial) dari kutub
posterior (Ellis, 2008 dalam Hayatillah, 2011).

Gambar 2.1. Penampang Bola Mata


Sumber: T. Schlote, 2006

4
Bola mata terdiri dari :
a. Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
dan permukaan anterior sklera (Vaughan, 2000 dalam
Hayatillah, 2011), pada konjungtiva terjadi proses
fagositosis dan pengenalan antigen (Perdami, 2010 dalam
Hayatillah, 2011).
b. Sklera merupakan pembungkus fibrosa pelindung mata
dibagian luar, jaringan padat dan berwarna putih serta
bersambungan dengan kornea di sebelah anterior dan dura
meter nervus optikus di sebelah posterior (Vaughan, 2000
dalam Hayatillah, 2011).
c. Kornea merupakan jaringan transparan, disisipkan ke sklera
dilambus, kornea dewasa rata-rata memiliki tebal 0,54mm
di tengah, sekitar 0,65mm di tepi, dan diameternya sekitar
11,5mm (Vaughan, 2000 dalam Hayatillah, 2011), kornea
berperan dalam kemampuan refraksi mata (Sherwood, 2001
dalam Hayatillah, 2011).
d. Uvea merupakan lapisan vaskular tengah mata dan
dilindungi oleh kornea dan sklera (Vaughan, 2000 dalam
Hayatillah, 2011). Iris berfungsi mengubah-ubah ukuran
pupil dengan berkontraksi, menentukan warna mata; korpus
siliaris membentuk aqueous humor dan mengandung otot
siliaris; khoroid berfungsi untuk mencegah berhamburnya
berkas cahaya di mata (Sherwood, 2001 dalam Hayatillah,
2011).
e. Lensa merupakan suatu struktur bikonveks, avaskular, tak
berwarna dan hampir transparan, tebalnya sekitar 4mm dan
diameternya 9mm, dibelakang iris lensa digantung oleh
zonula zinii yang menghubungkannya dengan korpus

5
siliaris (Vaughan, 2000 dalam Hayatillah, 2011), berfungsi
dalam menghasilkan kemampuan refraksi yang bervariasi
selama akomodasi (Sherwood, 2001 dalam Hayatillah,
2011).
f. Retina merupakan jaringan saraf yang semitransparan dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga
posterior dinding bola mata, membentang ke depan dan
berakhir di tepi ora serrata, mengandung fotoreseptor
(Vaughan, 2000 dalam Hayatillah, 2011).
g. Korpus vitreus merupakan badan gelatin yang jernih dan
avaskular yang membentuk dua per tiga dari volume dan
berat mata, berisi air 99%, sisanya 1% meliputi kolagen dan
asam hialuronat sehingga mirip gel yang membantu
mempertahankan bentuk mata (Vaughan, 2000; Sherwood,
2001 dalam Hayatillah, 2011).

2. Proses Melihat
Berkas cahaya akan berbelok / berbias (mengalamai refraksi)
apabila berjalan dari satu medium ke medium lain dengan kepadatan
yang berbeda kecuali apabila berkas cahaya tersebut jatuh tegak lurus
permukaan (Sherwood, 2001; Guyton,2008 dalam Hayatillah, 2011).
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media
transparan lain misalnya air dan kaca. Ketika suatu berkas cahaya
masuk ke medium yang densitasnya lebih tinggi, cahaya tersebut
melambat (Sherwood, 2001 dalam Hayatillah, 2011).

6
Gambar 2.2. Proses melihat
Sumber: www.google.com

Dengan masuknya sinar kedalam mata, terjadilah proses


penglihatan yang terdiri empat tahap, yaitu tahap pembiasan, tahap
sintesa fotokimia, tahap pengiriman sinyal sensoris dan tahap persepsi
di pusat penglihatan. Tahap pembiasan terjadi di kornea, lensa dan
badan kaca , dimana titik hasil pembiasan tergantung pada panjang
sumbu bola mata. Sedangkan proses fotokimia tejadi pada fovea di
makula. Proses kimia yang terjadi akan merangsang dan menimbulkan
impuls listrik potensial. Selanjutnya impuls listrik ini akan diantar
oleh serabut saraf kepusat penglihatan di otak untuk diproses sehingga
terjadi persepsi penglihatan (Spraul, 2000 dalam Hayatillah, 2011).
Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil,
kemudian difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu
retina. Fotoreseptor pada retina mengumpulkan informasi yang
ditangkap mata, kemudian mengirimkan sinyal informasi tersebut ke
otak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus bekerja simultan
untuk dapat melihat suatu objek (Vaughan, 2000; Sidarta, 2010 dalam
Hayatillah, 2011).
Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk
penglihatan jauh, tetapi otot siliaris akan berakontraksi untuk

7
memungkinkan lensa menjadi cembung dan lebih kuat untuk
penglihatan dekat (Sherwood, 2001 dalam Hayatillah, 2011).

3. Kelainan Refraksi
Mata normal memiliki susunan pembiasan oleh media refraksi
dengan panjang bola mata yang seimbang. Hal itu memungkinkan
bayangan benda setelah memulai media tersebut tepat dibiaskan di
retina pada mata yang tidak mengalami akomodasi atau istirahat untuk
melihat jauh, sehingga memiliki tajam penglihatan 6/6 (Dandona,
1999 dalam Hayatillah, 2011).
Semakin bertambah usia maka status refraksi berangsur-angsur
menjadi emetropia. Emetropisasi (penyesuaian komponen bola mata
dan kekuatan sistem optik yang mengakibatkan benda dari jarak jauh
akan difokuskan secara tepat di retina tanpa akomodasi) sifatnya
bervariasi pada setiap individu, sehingga pada sekelompok individu
dapat menimbulkan ametropia. Kelainan refraksi merupakan istilah
yang dipakai untuk keadaan ametropia akibat dari satu atau lebih
komponen optik bola mata memperlihatkan variasi yang signifikan
dari nilai variasi biologis normal, bukan merupakan penyakit atau
kelainan bola mata kongenital, yaitu berupa miopia, hipermetropia,
astigmatisma (Taylor, 2005 dalam Hayatillah, 2011).

4. Miopia
a. Definisi
Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas
sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus
yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak
dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan
pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai diretina sinar-sinar ini
menjadi divergen, membentuk lingkaran yang difus dengan akibat
bayangan yang kabur (Curtin, 2002 dalam Mutia, 2014).

8
b. Etiologi
Etiologi dan patogenesis miopia belum diketahui, diduga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik (Mutti, 2002;
Taylor, 2005; Gilmartin, 2004 dalam Hayatillah, 2011). Dari beberapa
studi penelitian genetik di Eropa didapatkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi 80% untuk terjadinya kelainan refrraksi. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi miopia seperti aktivitas melihat
dekat, tingkat pendidikan orang tua dan status sosial ikut
menyebabkan prevalensi miopia yang meningkat (Taylor, 2005 dalam
Hayatillah, 2011).

Gambar 2.3. Kelainan Sumbu Aksial Bola Mata Pada Miopia


Sumber: Encyclopedia Britannica, 2008

Menurut Curtin (2002 dalam Mutia, 2014) ada 2 mekanisme dasar


yang menjadi penyebab miopia yaitu: 1. Hilangnya bentuk mata
(hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina
berkurang; 2. Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika
titik fokus cahaya berada di depan atau di belakang retina. Miopia
akan terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang pada saat masih
bayi. Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar
terang secara langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami

9
miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada
tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para penderita miopia
umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat
pada retina matanya, melainkan didepannya.
c. Klasifikasi
Terdapat beberapa bentuk miopia yaitu miopia aksial, miopia
kurvatura, dan perubahan indeks refraksi. (a) Miopia aksial, yaitu
terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata (diameter
antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal; (b)
Miopia kurvatura, yaitu terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan
dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada
lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa
menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana
ukuran bola mata normal; dan (c) Perubahan indeks refraksi atau
miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga pembiasan lebih
kuat (Ilyas, 2008 dalam Mutia, 2014).
Menurut Ilyas (2008 dalam Mutia, 2014), derajat beratnya miopia
dibagi menjadi miopia ringan, miopia sedang, dan miopia berat atau
tinggi. (a) Miopia ringan, dimana miopia lebih kecil daripada 1-3
dioptri; (b) Miopia sedang dimana miopia lebih besar antara 3-6
dioptri; dan (c) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar
dari 6 dioptri.
Menurut Ilyas (2008 dalam Mutia, 2014), perjalanan miopia
dikenal dalam bentuk miopia stasioner, miopia progresif, dan miopia
maligna. (a) Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa;
(b) Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata; dan (c) Miopia maligna,
miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi
retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia
maligna = miopia degeneratif.

10
d. Faktor Resiko
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor risiko terjadinya
miopia, yaitu berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan,
faktor lingkungan, dan gizi (Ilyas, 2008 dalam Mutia, 2014).
1) Faktor Herediter
Faktor risiko terpenting pada pengembangan miopia
sederhana adalah riwayat keluarga miopia. Beberapa penelitian
menunjukan 33-60% prevalensi miopia pada anak-anak yang
kedua orang tuanya memiliki miopia, sedangkan pada anak-
anak yang salah satu orang tuanya memiliki miopia,
prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian
menemukan bahwa ketika orang tua tidak memiliki miopia,
hanya 6-15% anak-anak yang memiliki miopia (White, 2005
dalam Mutia, 2014).
2) Faktor lingkungan dan gizi
Tingginya angka kejadian miopia pada beberapa pekerjaan
telah banyak dibuktikan sebagai akibat dari pengaruh
lingkungan terhadap terjadinya miopia. Hal ini telah
ditemukan, misalnya terdapat tingginya angka kejadian serta
angka perkembangan miopia pada sekelompok orang yang
menghabiskan banyak waktu untuk bekerja terutama pada
pekerjaan dengan jarak pandang yang dekat secara intensive.
Beberapa pekerjaan telah dibuktikan dapat mempengaruhi
terjadinya miopia termasuk diantaranya peneliti, pembuat
karpet, penjahit, mekanik, pengacara, guru, manager, dan
pekerjaan-pekerjaan lain (White, 2005 dalam Mutia, 2014).
Selain itu, faktor yang diketahui dapat mempengaruhi
miopia adalah pendidikan. Beberapa penelitian secara
konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara tingkat pendidikan dan kejadian miopia. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi risiko untuk

11
terjadinya miopia. Goldschmidt melaporkan bahwa angka
kejadian miopia pada mahasiswa di Hong Kong dan Taiwan
lebih dari 90% dengan derajat miopia rata-rata 4-5 D (White,
2005 dalam Mutia, 2014).
Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi
terjadinya miopia. Adapun sayuran dan buah yang diketahui
mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah
merica dan cabai. Hal ini dikarenakan pada sayuran dan buah
tersebut memiliki kandungan beta karoten yang tinggi, yang
nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A (retinol) untuk
tubuh (Lubis, Siti Mahreni Insani, 2010 dalam Mutia, 2014).

e. Manifestasi Klinis
Pada penderita miopia, keluhan utamanya adalah penglihatan yang
kabur saat melihat jauh, tetapi jelas untuk melihat dekat. Selain itu
pasien akan memberikan keluhan sakit kepala atau mata terasa lelah,
sering disertai dengan juling dan celah kelopak mata sempit (Perdami,
2010; Sidarta, 2010 dalam Hayatillah, 2011). Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam
konvergensi yang akan menimbulkan astenopia konvergensi dan bila
menetap akan terlihat juling kedalam atau esotropia (Vaughan, 2000;
Sidarta, 2010 dalam Hayatillah, 2011).
f. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan adalah koreksi kacamata dengan
menggunakan lensa sferis konkaf (negatif) terkecil yang memberikan
ketajaman penglihatan maksimal (Sidarta, 2010 dalam Hayatillah,
2011). Lensa sferis negatif ini dapat mengoreksi bayangan pada
miopia dengan cara memindahkan bayangan mundur tepat ke retina
(Sidarta, 2010 dalam Hayatillah, 2011), sehingga penderita dapat
melihat dengan baik tanpa akomodasi (Perdami, 2010 dalam
Hayatillah, 2011). Selain dikoreksi dengan lensa kacamata, koreksi

12
miopia dapat menggunakan lensa kontak atau bedah keratorefraktif
(Sidarta, 2010 dalam Hayatillah, 2011).

Gambar 2.4. Koreksi Lensa Negatif Pada Miopia


Sumber: T.Schlote, 2006

g. Tajam Penglihatan (Visus)


Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi
mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang, dapat
digunakan kartu snellen dan bila penglihatan mata kurang maka tajam
penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah
jari atau proyeksi sinar (Sidarta, 2010 dalam Hayatillah, 2011).
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 6
meter atau 20 kaki, karena pada jarak ini mata akan melihat benda
dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi (Sidarta, 2010 dalam
Hayatillah, 2011). Bila dapat melihat dengan baik huruf-huruf dengan
ukuran yang memang seharusnya dapat dilihat pada jarak 20 kaki,

13
orang tersebut dikatakan memiliki penglihatan 20/20 (penglihatan
mata normal). Bila hanya dapat melihat huruf-huruf yang seharusnya
mampu dilihat pada jarak 200 kaki, dikatakan orang itu memiliki
penglihatan sebesar 20/200 (Guyton, 2008 dalam Hayatillah, 2011).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat
kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila penglihatan
berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada
kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang
mengakibatkan penglihatan menurun (Sidarta, 2010 dalam Hayatillah,
2011).

5. Miopia dalam TCM (Traditional Chinese Medicine)


Dalam TCM miopia disebut Jin Shi. Miopia merupakan suatu
gangguan disfungsi dari sistem optik dioptrik. Penglihatan yang fokus
terbentuk di depan retina ketika cahaya melewati sistem optik
dioptrik. Disfungsi pada sistem ini akan mempengaruhi kemampuan
untuk fokus melihat secara normal (Xinghua, 1996) .
Miopia ditandai dengan buruknya penglihatan pada jarak jauh dan
jangkauan normal terdekat. Jangkauan jarak pandang menjadi lebih
pendek (Xinghua, 1996).
Etiologi terjadinya miopia dalam TCM adalah insufisiensi Jing
bawaan (faktor genetik) dan faktor lain yang dapat merusak hati,
ginjal dan limpa sehingga kurangnya nutrisi pada mata (Xinghua,
1996).
Xinghua (1996) menggunakan titik ST 2 Sibai dan BL 2 Cuanzhu
sebagai titik utama sekaligus titik lokal dalam terapi kasus miopia.
Wang et al (2014) menjelaskan penusukan titik lokal pada daerah
mata dapat mengatur fisiologi penglihatan. Penusukan jarum pada titik
lokal akan menimbulkan perlukaan mikro pada jaringan. Hal ini
menyebabkan pelepasan hormon jaringan (mediator) dan
menimbulkan reaksi rantai biokimiawi. Efek yang terjadi secara lokal

14
meliputi dilatasi kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler, perubahan
lingkungan interstisial, stimulasi nosiseptor, aktivasi respons imun
nonspesifik, dan penarikan leukosit dan sel Langerhans. Reaksi lokal
ini dapat dilihat sebagai kemerahan pada daerah penusukan (Saputra,
2005).

B. Kerangka Teori

FAKTOR RESIKO PEMERIKSAAN DERAJAT


MIOPIA
Herediter
Ukuran lensa sferis konkaf
Lingkungan
(negatif) yang digunakakn
Gizi
Tajam penglihatan (Visus)
Pendidikan

Akupunktur pada Miopia


titik lokal

Gambar 2.5 Kerangka Teori Sumber : Saputra (2005), Xinghua (1996), (Ilyas,
2008 dalam Mutia, 2014)

C. Kerangka Konsep
Variabel yang akan diteliti terdiri atas sebelum terapi akupunktur
pada titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL 2 Cuanzhu dan setelah
terapi akupunktur pada titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL 2
Cuanzhu. Gambaran dari variabel yang akan diteliti tersebut terlihat pada
kerangka konsep berikut ini:

15
Variabel bebas

Sebelum terapi akupunktur


titik ST 2 Sibai, GB 1 Variabel terikat
Tongziliao dan BL 2
Cuanzhu Penurunan derajat miopia
pada Mahasiswa
Setelah terapi akupunktur politeknik kesehatan
titik ST 2 Sibai, GB 1 Surakarta
Tongziliao dan BL 2
Cuanzhu

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis
Terapi akupunktur titik ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL 2
Cuanzhu efektif terhadap penurunan derajat miopia pada Mahasiswa
politeknik kesehatan Surakarta.

16
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah menggunakan rancangan One Group
Pretest Postest Design. One Group Pretest Postest menggunakan satu
kelompok subyek, serta melakukan pengukuran sebelum dilakukan terapi
Akupunktur dengan sesudah dilakukan terapi Akupunktur
(Budijanto,2005).

Design penelitian tergambar pada skema di bawah ini :

Pre Test Post Test

A Interverensi A

Gambar 3.1. Design Penelitian

Keterangan :
A = rentang derajat miopia sebelum dilakukan Terapi Akupunktur.
A = rentang derajat miopia setelah dilakukan Terapi Akupunktur.
X = perbedaan derajat miopia sebelum dan sesudah dilakukan Terapi
Akupunktur.

17
B. Populasi, Sample dan Sampling
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Budijanto,2005).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua Mahasiswa akupunktur
politeknik kesehatan Surakarta yang menderita miopia tanpa
mempertimbangkan umur dan jenis kelamin. Jumlah populasi dalam
penelitian ini adalah 20 orang, diambil dari Mahasiswa akupunktur
politeknik kesehatan Surakarta yang menderita miopia tahun 2017.
2. Sampel dan Teknik Sampling
Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai atau
karakteristiknya kita ukur untuk menduga karakteristik dari populasi.
Sampel dari penelitian ini adalah bagian dari keseluruhan obyek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2003
dalam Budijanto,2005). Pada penelitian ini sampel diambil dari seluruh
Mahasiswa akupunktur politeknik kesehatan Surakarta yang menderita
miopia sebanyak 20 orang.
Pada penelitian ini metode sampling yang digunakan adalah total
sampling yaitu dalam penelitian ini sampel diambil dari seluruh
Mahasiswa akupunktur politeknik kesehatan Surakarta yang menderita
miopia dan menjalani program terapi akupunktur serta memenuhi
kriteria inklusi.
Dengan demikian didapatkan Kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek peneliti dari
suatu populasi target dan terjangkau yang akan di teliti atau
karakterisktik sampel yang layak diteliti (Pariani, 2000 dalam
Budijanto,2005).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

18
1) Menderita miopia
2) Menggunakan kacamata lensa sferis konkaf (negatif)
3) Dapat berkomunikasi dengan baik (sadar, kooperatif)
4) Bersedia menjadi responden.
5) Tidak menjalani progam terapi lain selain terapi
akupunktur.
6) Bersedia mengikuti progam terapi akupunktur sebanyak
12 kali terapi.
7) Tidak menderita penyakit berat misalnya penyakit
jantung, ginjal, paru dan lain-lain.
8) Usia responden antara 17-22 tahun.

b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangnya subyek peneliti yang
tidak memenuhi kriteria inklusi berbagai sebab (Pariani, 2000
dalam Budijanto,2005).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Responden mengundurkan diri sebagai subyek peneliti.
2) Responden tidak mengikuti 12 kali terapi akupunktur.
3) Responden yang mengalami penurunan status kesehatan
yang drastis.

3. Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan Total sampling sehingga keseluruhan
pasien atau penderita yang sesuai kriteria inklusi dapat digunakan
sebagai subyek penelitian (sampel).

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Kampus akupunktur politeknik
kesehatan Surakarta. Sedangkan waktunya yaitu pada bulan januari 2017.

19
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu sifat yang akan diukur atau diamati yang
nilainya bervariasi antara objek satu ke objek lainnya
(Budijanto,2005). Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah
variabel dependen dan variabel independen.
1. Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang kondisi atau
dipengaruhi variabel lain. Variabel dalam penelitian ini adalah
Penurunan derajat miopia
2. Variabel independen (bebas) adalah variabel yang akan
menentukan atau berpengaruh terhadap variabel dependen.
Variabel dalam penelitian ini adalah pengaruh penusukan titik
akupunktur ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL 2 Cuanzhu
terhadap penurunan derajat miopia pada mahasiswa akupunktur
politeknik kesehatan Surakarta.

E. Definisi Operasional Variabel


Variabel Definisi Alat dan Cara Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur Ukur
Penusukan Penusukan - - -
Terapi Terapi
Akupunktur akupunktur
adalah terapi
pengobatan
dengan teknik
memasukkan
jarum pada
tubuh dengan
memilih titik ST
2 Sibai, GB 1
Tongziliao dan
BL 2 Cuanzhu.

20
Derajat Derajat Miopia Ukuran lensa <1-3 D = Ordinal
Miopia adalah tingkatan sferis konkaf ringan
miopia yang (negatif) yang >3-6 D =
berdasarkan digunakan sedang
beratnya >6 D = berat

F. Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data :
Derajat miopia dilihat dari ukuran atau nilai lensa sferis konkaf
(negatif) yang digunakan, lalu dikatagorikan kedalam jenis miopia
berdasarkan tingkat keparahannya.
Menurut Ilyas (2008 dalam Mutia, 2014), derajat beratnya miopia
dibagi menjadi miopia ringan, miopia sedang, dan miopia berat atau
tinggi.
1) Miopia ringan, dimana miopia lebih kecil daripada 1-3 dioptri
2) Miopia sedang dimana miopia lebih besar antara 3-6 dioptri
3) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6
dioptri.
Penulis mengambil ukuran atau nilai lensa sferis konkaf (negatif)
yang digunakan sebagai instrument penelitian karena dapat dengan
mudah untuk mengetahui derajat miopia yang diderita pasien.
Setelah didapat hasil pengukuran derajat miopia kemudian akan
dilakukan terapi akupunktur pada ST 2 Sibai, GB 1 Tongziliao dan BL
2 Cuanzhu. Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam terapi
akupunktur :
Alkohol 70%
Kapas Steril
Bengkok
Pinset
Jarum Akupunktur HUANQIU ukuran 0,5 cun
Elektrostimulator YINGDI KWD-808

21
G. Prosedur Pengumpulan Data
1. Pencatatan populasi, seleksi subyek penelitian berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi, menghitung besar sampel, membuat jadwal
pengambilan data dan pengadaan instrument penelitian (alat ukur).
2. Peneliti melakukan wawancara terkait miopia yang diderita dengan
menggunakan kuesioner kepada mahasiswa akupunktur politeknik
kesehatan Surakarta.
3. Memberikan penjelasan kepada klien tentang jadwal terapi selama
6 minggu sebanyak 12 kali terapi seminggu 2 kali terapi dengan
lama penusukan selama kurang lebih 15 menit dan menggunakan
jarum berukuran 0,5 cun dan elektrostimulator.
4. Klien dilihat derajat miopia sebelum dilakukan terapi akupunktur.
5. Klien diberikan terapi akupunktur dengan prosedur SOP
Akupunktur antara lain meliputi :
a. Tahap Pra Interaksi
1) Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
2) Mencuci tangan
3) Menempatkan alat di dekat klien
b. Tahap Orientasi
1) Memberikan salam
2) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan
3) Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan
dilakukan
c. Tahap Kerja
1) Mengatur posisi klien senyaman mungkin untuk klien
dan terapis.
2) Memakai sarung tangan.
3) Membersihkan sekitar daerah yang akan ditusuk dengan
alcohol 70%.
4) Melakukan tindakan penusukan akupunktur

22
5) Memasang stimulator pada jarum yang ditusukkan dan
mengatur timer, jenis gelombang dan outputnya.
6) Setelah selesai, semua kabel stimulator dilepas dan
kemudian jarum dicabut sambil di bersihkan kembali
memakai kapas.
d. Klien dilihat lagi derajat miopia menggunakan ukuran atau
nilai lensa sferis konkaf (negatif) dan visus setelah diberikan
terapi akupunktur selama 12 kali terapi.

H. Analisa Data
a. Univariat
Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mendekripsikan
setiap variabel secara terpisah dengan cara membuat tabel
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel.

b. Uji Bivariat
Analisa bivariat untuk melihat pengaruh antara dua variabel
yang dalam hal ini adalah terapi akupunktur titik ST 2 Sibai, GB 1
Tongziliao dan BL 2 Cuanzhu sebelum dan sesudah terapi terhadap
proses penurunan derajat miopia pada Mahasiswa akupunktur
politeknik kesehatan Surakarta. Untuk memperjelas dan
memperkuat pembahasan serta mengetahui keeratan hubungan
antara variabel dependent dan variabel independent dilakukan uji
statistic dengan analisa willcoxon (Hastono, 2007).

23
DAFTAR PUSTAKA

Nurwinda, S. 2013. Hubungan Antara Ketaatan Berkacamata Dengan


Progresivitas Derajat Miopia Pada Mahasiswa FK Universitas Islam
Indonesia. Yogyakarta: JKKI. Vol. 5, No. 2
Wang et al. 2014. Acupuncture for adolescents with mild-to-moderate myopia.
Trials. 15:477
Hayatillah, Aemsina. 2011. Prevalensi Miopia Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. FKIK
Mutia, Maulud F. 2014. Hubungan Lama Aktivitas Membaca Dengan Derajat
Miopia Pada Mahasiswa Pendidikan Dokter FK Unand Angkatan 2010.
Jurnal Kesehatan Andalas 3:(3)
Xinghua, Bai. 1996. Acupuncture in Clinical Practice. Reed Educational &
Professional Publishing Ltd
Saputra K., 2005. Akupunktur Dasar. Surabaya : Airlangga University Press.
Budijanto, 2005. Metodologi Penelitian. Surabaya: Duatujuh

24

Anda mungkin juga menyukai