Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN

DO NOT RESUSCITATE (DNR)


RUMAH SAKIT

Disusun oleh :
Bidang Pelayanan Medis
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI
Nomor : JS.A.SKR.216.09.15

Tentang
PANDUAN DO NOT RESUSCITATE (DNR)
DI RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI

Bismillahirrohmaanirrohiim
Direktur Rumah Sakit Islam Jemursari

Menimbang : a. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan khususnya bagi


pasien emergensi di Rumah Sakit Islam Jemursari maka
diperlukan Panduan Do Not Resuscitate (DNR).
b. Bahwa agar pelaksanaan panduan dapat diterapkan, maka
perlu diatur dan ditetapkan dengan Surat Keputusan
Direktur.
Mengingat : a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
Pertama : KEPUTUSAN PANDUAN DO NOT RESUSCITATE (DNR) DI RUMAH
SAKIT ISLAM JEMURSARI
Kedua : Surat Keputusan ini agar disosialisasikan kepada pelaksana untuk
diketahui dan dilaksanakan.
Ketiga : Mengamanatkan kepada bidang pelayanan medik untuk
melakukan pemantauan, monitoring dan evaluasi atas
pelaksanaan panduan ini.
Keempat : Panduan akan dilakukan review setiap tiga tahun atau waktu
tertentu apabila diperlukan.
Kelima : Surat Keputusan ini berlaku tanggal 1 September 2015 dan akan
dilakukan perbaikan apabila ditemukan ketidaksesuaian dalam
penetapannya.

Ditetapkan di : Surabaya
Surabaya : 1 September 2015
Direktur,

Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, Sp.PD, Sp.JP (K)


Tembusan :
1. Yth. Yayasan RS Islam Surabaya
2. Yth. Pejabat terkait
Visi
Rumah Sakit Islam Berstandar Internasional.

Misi
a. Memberikan pelayanan jasa rumah sakit secara prima dan Islami
menuju Standar Mutu Pelayanan Internasional dengan dilandasi prinsip
kemitraan
b. Melaksanakan Manajemen Rumah Sakit berdasarkan Manajemen Syariah
yang berstandar Internasional
c. Membangun SDM Rumah Sakit yang profesional sesuai standar
Internasional yang Islami dengan diiringi integritas yang tinggi dalam
pelayanan
d. Menyediakan sarana prasarana rumah sakit untuk mewujudkan
implementasi pelayanan Islami dan berstandar Internasional.

Direktur
RS Islam Jemursari

Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, Sp.PD, Sp.JP (K)

i
Keputusan Direktur
Nomor JS.A.SKR.216.09.15

Tentang
Panduan Do Not Resuscitate (DNR)
Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Disusun oleh :
Bidang Pelayanan Medis

dr. Nurul Imaniati

Disetujui oleh :
Wakil Direktur Medis

dr. Sri Dharmawati

Ditetapkan oleh :
Direktur Utama RS Islam Jemursari

Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, Sp.PD, Sp.JP (K)

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan
Ridhlo dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan panduan Do Not Resuscitate
(DNR).

Do Not Resuscitate atau biasa disebut DNR adalah suatu instruksi yang
memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan usaha resusitasi jantung paru
dasar maupun lanjutan (CPR) jika pasien mengalami henti jantung atau henti nafas.
Panduan DNR ini dibuat sebagai panduan staf medis, paramedis, bidan, dan pemberi
asuhan yang lain jika terjadi henti jantung/napas didalam Rumah Sakit maupun
diluar Rumah Sakit. Sehingga dengan adanya panduan ini diharapkan seluruh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya sama dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien khususnya kasus DNR.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim
penyusun dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan panduan
ini. Kami menyadari bahwa panduan tidak luput dari kekurangan, namun upaya
penyempurnaan akan terus dilaksanakan dan saran dari pembaca dan pengguna
panduan ini akan sangat kami perhatikan guna penyempurnaan panduan ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, 1 September 2015


Manajer Bidang Pelayanan Medis

dr. Nurul Imaniati

iii
DAFTAR ISI

Halaman
Cover
Surat Keputusan
Visi dan Misi i
Halaman persetujuan ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Lampiran v
BAB I DEFINISI 1
BAB II RUANG LINGKUP 2
BAB III TATA LAKSANA 3
A. Tata Laksana Do Not Resuscitate 3
B. Keputusan Dini (Dahulu Dikenal Dengan Istilah Surat 5
Wasiat)
C. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif 6
D. Peninjauan Ulang Mengenai Instruksi DNR 8
E. Pembatalan Instruksi DNR 8
F. Transfer Pasien Dengan Instruksi DNR 8
G. Instruksi DNR Pada Pasien Di Luar Rumah Sakit 8
H. Panduan Pemasangan Identifikasi Alert DNR Pada Pasien 9
Dengan Instruksi DNR
BAB IV DOKUMENTASI 10

iv
DAFTAR LAMPIRAN

No. Nama Gambar


1 Formulir Instruksi Do Not Resuscitate (DNR)

v
BAB I
DEFINISI

A. DEFINISI
1. DNR atau Do Not Resuscitate adalah suatu instruksi yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan usaha resusitasi jantung - paru dasar
maupun lanjutan (CPR) jika pasien mengalami henti jantung dan/atau napas.
Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan
melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung pasien
berhenti.
2. Resusitasi Jantung - Paru (RJP) atau CPR didefinisikan sebagai suatu sarana
dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang
mengalami henti napas dan/atau henti jantung. RJP yang di indikasikan untuk:
pasien yang tidak sadar, tidak benapas, dan yang tidak menunjukkan adanya
tanda-tanda sirkulasi, dan tidak tertulis instruksi DNR di rekam medisnya.
3. Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena kegagalan
jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan tersebut biasa
disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau penyakit sekunder non
jantung.
4. Henti napas adalah berhentinya pernapasan spontan disebabkan karena
gangguan jalan napas baik parsial maupun total atau karena gangguan di pusat
pernapasan.
5. Fase atau kondisi terminal penyakit adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
cedera atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya
tidak dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang singkat, dan di mana
pengaplikasian terapi untuk memperpanjang/mempertahankan hidup hanya
akan berefek dalam memperlama proses penderitaan/sekarat pasien.

B. TUJUAN
1. Memfasilitasi pasien untuk memilih penanganan medis apa yang mereka inginkan.
2. Memfasilitasi dokter, perawat dan pemberi asuhan yang lain jika terjadi henti
jantung/nafas di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit.

1
BAB II
RUANG LINGKUP

Panduan DNR ini digunakan terhadap pasien-pasien yang menjalani perawatan di


RS Islam Jemursari Surabaya dengan indikasi dilakukannya tindakan DNR. Resusitasi
Jantung Paru (RJP) sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:
1. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien.
2. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan
keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.
4. Terdapat instruksi DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat.
5. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya/sekarat, di mana
tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal/kodisi sekarat pasien dan tidak
memberikan keuntungan terapeutik (risiko/bahayanya melebihi keuntungannya).
a. Contoh: henti jantung/napas yang dialami pasien merupakan kejadian
alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin
dapat mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi
kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung/napas akan
terjadi kembali, yang merupakan bagian dan proses alamiah dan tidak dapat
terhindarkan dan proses kematian pasien.
b. Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan/merugikan pasien
dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip "do no harm").

Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut :


1. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian/penderitaan yang
dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi.
2. Pasien yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil
keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.
3. RJP bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh pasien, yang
bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk
mempertahankan hidup pasien.

2
BAB III
TATA LAKSANA

A. TATA LAKSANA DO NOT RESUSCITATE


1. Dokter, perawat, maupun tim kegawatdaruratan medis (Code Blue Team) akan
melakukan usaha RJP pada semua pasien yang ditemukan henti napas dan/atau
henti jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki instruksi DNR yang valid.
2. Secara hukum, yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah:
a. Pasien dewasa yang kompeten secara mental.
b. Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental).
Misalnya: pada pasien anak yaitu pasien dengan usia < 18 tahun, wali sah nya
adalah orang tua pasien.
c. DPJP yang bertindak dengan mempertimbangkan tindakan terbaik untuk
pasien (jika belum ada keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat oleh
pasien/wali sahnya).
3. Sedangkan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan instruksi DNR adalah
DPJP.
4. Sebelum pengambilan keputusan DNR, DPJP harus melakukan proses asesmen
terhadap pasien tersebut. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya
pernapasan dan/atau denyut jantung.
5. Kemudian DPJP menyampaikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai
kondisi dan penyakit pasien, prosedur dan hasil yang mungkin terjadi, termasuk
informasi tentang RJP dan DNR. lnformasi disampaikan kepada pasien dan/atau
keluarga pasien. Pastikan bahwa semua keluarga pasien mengetahui tentang
instruksi DNR ini.
6. DPJP berdiskusi dengan pasien dan/atau keluarga pasien tentang pengambilan
keputusan DNR.
a. Diskusi dapat juga dilakukan oleh dokter jaga atau perawat yang bertugas,
kemudian hasil diskusi tersebut dilaporkan kepada DPJP.
b. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
orang tua atau wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan
keinginan pasien.
c. Jika tidak terdapat orang tua atau wali yang sah, maka keputusan dapat
diambil oleh DPJP.
d. Jika ditemukan hambatan dalam komunikasi, misalnya pada pasien asing
(luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana terdapat kesulitan
pemahaman bahasa, maka diperlukan penerjemah yang kompeten.
e. Pada pasien anak (usia < 18 tahun), pertimbangkan kondisi emosional dan
tumbuh kembang anak.
f. Beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan pasien, yaitu:
1) Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin
mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya.
2) Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien.
3) Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam
hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien dan/atau
keluarga pasein menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya
setelah menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga
membahas mengenai manajemen paliatif dan prognosis secara
keseluruhan.

3
g. Beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien, yaitu:
1) Jika RJP dianggap tidak ada gunanya/sia-sia.
2) Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien
menjadi depresi.
3) Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak
ingin mendiskusikan hal tersebut.
4) Pasien mengalami deteriosasi, misalnya pasien berada claim fase
sekarat/terminal dan penyakitnya.
5) Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil
keputusan.
7. Jika terdapat perbedaan pendapat antara DPJP dengan pasien mengenai
instruksi DNR, maka DPJP dan tim medis harus menghargai keinginan pasien
(pasien yang kompeten secara mental).
8. Pada pasien yang tidak kompeten secara mental, misalnya pasien anak, jika masih
belum ditemukan kesepakatan antara DPJP dengan orang tua atau wali sah pasien,
maka dilakukan proses peninjauan ulang (review) oleh DPJP untuk menentukan
apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti tercantum di bawah ini:
a. DPJP beserta tim medisnya melakukan konfirmasi bahwa terdapat kesepakatan
diantara anggota timnya mengenal keputusan DNR pada pasien.
b. Meminta pendapat dokter lain (second opinion) mengenai apakah RJP pada
pasien ini bersifat non-terapeutik/membahayakan.
c. Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, maka DPJP
menyampaikan hasil second opinion tersebut kepada orang tua atau wali sah
pasien.
d. Jika orang tua atau wali sah pasien masih tidak setuju dengan keputusan DNR
ini, maka DPJP harus menghargai keinginan orang tua atau wali sah pasien.
9. Pada pasien yang tidak kompeten secara mental, tetapi tidak ada orang
tua/wali sah pasien dan/atau keluarga pasien, maka DPJP memberikan instruksi
DNR berdasarkan pada dua hal, yaitu :
a. Instruksi pasien sebelumnya.
b. Keputusan dua orang dokter bahwa CPR akan memberikan hasil yang tidak
efektif.
10. Jika pengambilan keputusan DNR sudah didiskusikan, pasien/wali sah pasien
dan/atau keluarga pasien memahami dan menyetujui keputusan DNR terhadap
pasien tersebut, maka DPJP menulis instruksi DNR di formulir DNR dalam rekam
medis pasien, dengan catatan kenapa DNR dilakukan, kondisi spesifik lain yang
menyebabkan keterbatasan intervensi, hasil diskusi dengan pasien dan/atau
keluarga pasien ( DNR verbal tidak diperbolehkan).
11. Instruksi pembatasan terapi harus mencantumkan instruksi mengenai intervensi
kegawatdaruratan spesifik yang mungkin dibutuhkan, termasuk penggunaan agen
vasopresor, ventilasi mekanis, produk darah, atau antibiotik. Instruksi DNR harus
menyebutkan secara spesifik intevensi mana yang ditunda. Instruksi DNR tidak
serta merta mencakup intervensi lain seperti pemberian cairan parenteral,
nutrisi, oksigen, analgesik, sedasi, anti aritmia, atau vasopresor, kecuali
intervensi ini masuk dalam instruksi DNR tersebut. Beberapa pasien mungkin
memilih untuk diterapi dengan defibrilasi dan kompresi dada tetapi tidak
bersedia diintubasi dan ventilasi mekanis. Instruksi DNR tidak membawa
implikasi pada terapi lain, dan aspek lain dari rencana terapi harus
didokumentasikan secara terpisah dan dikomunikasikan kepada tenaga medis
yang lain.

4
12. Kemudian perawat memasang identifikasi alert DNR pada gelang identifikasi
pasien sesuai panduan pemasangan identifikasi alert DNR.
13. Pada situasi emergensi: tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya
karena mencari ada tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi
jelas bahwa instruksi tersebut ada.
14. Keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat:
dokter, perawat, dan para pemberi asuhan yang lain. Jika dilakukan transfer,
maka tim transfer termasuk petugas ambulans harus mengetahui akan instruksi
DNR ini. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas/
pengoperan pasien ke petugas/unit lainnya.

B. KEPUTUSAN DINI (DAHULU DIKENAL DENGAN ISTILAH SURAT WASIAT)


1. Keputusan dini/awal adalah keputusan yang diambil oleh pasien tentang
penolakan tindakan penyelamatan hidup (DNR) jika suatu saat dirinya
mengalami henti napas dan/atau henti jantung, keputusan ini diambil pada saat
kondisi pasien belum mengalami henti napas dan/atau henti jantung.
2. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan
penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan di bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun.
b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan.
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri
atau keluarga/kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di
rekam medis.
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
1) Penulis/pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien
sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu
menandatanganinya sendiri).
2) 1 orang lain sebagai saksi.
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat
keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain/terpisah yang menyatakan
bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan/penanganan spesifik,
bahkan jika terdapat risiko kematian.
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah juga harus ditandatangani
dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).
3. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan dini/awal
harus atas seijin pasien.
4. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil
keputusan tetapi telah membuat "keputusan dini DNR" sebelumnya yang valid,
keputusan ini haruslah tetap dihargai.
5. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika
terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan
dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut
(misalnya: pasien pindah agama).
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya: perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi
tertentu pasien).
c. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi.
d. Terdapat perdebatan/perselisihan mengenai validitas keputusan dini/awal
dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.

5
6. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan, DPJP
harus bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik untuk pasien.

C. KEPUTUSAN DNR PADA PASIEN DEWASA PERI-OPERATIF


1. Berdasarkan hal-hal berikut ini, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan
DNR sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
a. Tindakan pembedahan dan anestesi turut berkontribusi dalam perubahan
kondisi medis pasien dengan keputusan DNR, dikarenakan adanya perubahan
fisiologis yang dapat meningkatkan risiko pasien.
b. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan
instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan dukungan/penanganan
medis. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara
signifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan
peninjauan ulang mengenai instruksi DNR.
c. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapat
dianggap sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya
pemasangan kateter intravena, pemberian cairan dan obat-obatan
intravena, dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.
d. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan di ruang rawat inap. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi
ini dapat mencapai 92%.
Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan
harus dikonsultasikan kepada dokter spesialis bedah dan dokter spesialis
anestesi.
2. Fase Pre-operatif
a. Dokter spesialis bedah dan dokter spesialis anestesi melakukan asesmen
sebagai berikut:
1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien.
2) Intervensi pembedahan yang diperlukan.
3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
a) Durasi/batas waktu berlakunya keputusan tersebut.
b) Siapa yang bertanggung jawab menetapkan keputusan tersebut.
c) Alasan keputusan tersebut dibuat.
4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini
perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut
pandang pasien, keluarga, dokter spesialis bedah, dan dokter spesialis
anestesi, DPJP).
5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan tindakan
resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase peri-operatif.
b. Kemudian dokter spesialis bedah dan dokter spesialis anestesi melakukan
peninjauan ulang keputusan DNR. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penanganan apa saja yang akan boleh
dilakukan selama prosedur anestesi dan pembedahan. Terdapat 3 pilihan
keputusan setelah dilakukan peninjauan ulang terhadap keputusan DNR
sebelumnya, yaitu:
1) Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan untuk sementara,
maksudnya jika pasien mengalami henti jantung dan/atau henti napas
selama menjalani anestesi dan pembedahan, maka dilakukan RJP.
Untuk selanjutnya keputusan ini ditinjau ulang kembali saat pasien
keluar dari ruang pemulihan.

6
2) Pilihan kedua: resusitasi terbatas yaitu spesifik terhadap prosedur.
Pasien dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur spesifik,
yaitu kompresi dada, kardioversi.
3) Pilihan ketiga: resusitasi terbatas yaitu spesifik terhadap tujuan. Pasien
dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi
dianggap bersifat sementara dan reversible, berdasarkan pertimbangan
dokter spesialis bedah dan dokter spesialis anestesi.
c. Hasil peninjauan ulang beserta pilihannya didiskusikan dengan DPJP.
Kemudian didiskusikan dengan pasien atau wali sah pasien dan/atau
keluarga pasien.
d. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan
DNR mana yang akan digunakan, maka pemegang keputusan tetaplah
diberikan ke pasien atau wali sah pasien.
e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien.
f. Lakukan prosedur anestesi dan pembedahan segera setelah keputusan
dibuat dengan memperhatikan kondisi medis pasien.
g. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi
operatif pada pasien dengan keputusan DNR adalah:
1) Masih dibantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube).
2) Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan
penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut).
3) Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit
kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dan proses
terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif).
4) Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur).
5) Prosedur untuk menyediakan akses vaskular.
3. Fase Intra-operatif
a. Pilihan keputusan berdasarkan peninjauan ulang tersebut harus dikomunikasikan
kepada semua petugas medis yang terlibat dalam perawatan pasien di dalam
kamar operasi, termasuk informasi bahwa pilihan yang diambil diaplikasikan
selama pasien berada di kamar operasi dan ruang pemulihan.
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk
menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum ditransfer
ke kamar operasi.
c. Dokter spesialis bedah dan dokter spesialis anestesi yang terlibat dalam
konsultasi pre-operatif harus hadir selama prosedur pembedahan berlangsung.
4. Fase Pasca-operatif
a. Pilihan keputusan berdasarkan peninjauan ulang tersebut harus
dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang terlibat dalam
perawatan pasien di ruang pemulihan, termasuk informasi bahwa pilihan
yang diambil diaplikasikan selama pasien berada di ruang pemulihan.
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan atau dipindahkan
dari ruang pemulihan.
c. Jika pasien dipulangkan atau dipindahkan ke ruang rawat inap atau ruang
perawatan intensif maka pasien tersebut dilakukan asesmen ulang dan
peninjauan ulang terhadap pilihan keputusan tersebut.
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya
hingga pasien telah ditransfer ke ruang rawat inap pasca operasi.
Misalnya: jika penggunaan infus epidural/alat analgesik akan tetap dipakai
oleh pasien pasca-operasi.
e. Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan DNR
yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.

7
5. Pada Situasi Emergensi
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai
keputusan DNR sebelum melakukan anestesi dan pembedahan.
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya
keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat sebelumnya (jika memungkinkan).

D. PENINJAUAN ULANG MENGENAI INSTRUKSI DNR


1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, terutama
jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien, termasuk juga
jika pasien tersebut akan dilakukan prosedur anestesi dan pembedahan.
2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh DPJP.
3. Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga
dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu.
4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan
kondisi, dan respons pasien terhadap terapi/pengobatan.

E. PEMBATALAN INSTRUKSI DNR


1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan di formulir DNR harus
dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh DPJP.
2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicacat di rekam medis pasien.
3. Identifikasi alert DNR harus dilepas dari gelang identifikasi pasien.

F. TRANSFER PASIEN DENGAN INSTRUKSI DNR


1. Jika pasien ditransfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, DPJP melakukan
asesmen ulang dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat
saat itu mengenai "Apakah instruksi DNR masih berlaku atau tidak?". Sebelum
asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR.
2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter
umum di layanan primer tersebut bertanggungjawab melakukan asesmen ulang
dan pengambilan keputusan harus dikomunikasikan dengan semua petugas yang
terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan,
pasien masih dianggap sebagai DNR.
3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam
rekam medis pasien. Formulir DNR ini tidak boleh difotokopi.

G. INSTRUKSI DNR PADA PASIEN DI LUAR RUMAH SAKIT


1. Pada situasi kasus emergensi yang terjadi di luar rumah sakit, usaha RJP memiliki
angka keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan usia sangat lanjut atau
memiliki penyakit berat/terminal.
2. Saat ini, banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk meninggal
dengan tenang dan tidak ingin menjalani intervensi yang agresif, seperti
banyak juga pasien yang memilih dirawat di rumah sampai akhir usianya tiba.
3. RJP ditujukan kepada semua pasien yang mengalami henti jantung dan/atau
henti napas, kecuali pasien telah ditemukan meninggal sebelumnya dengan
tanda-tanda kematian yang jelas atau pasien memiliki instruksi tertulis DNR yang
valid dan ditandatangani oleh dokter.

8
H. PANDUAN PEMASANGAN IDENTIFIKASI ALERT DNR PADA PASIEN DENGAN
INSTRUKSI DNR
1. Pemasangan identifikasi alert pada pasien dengan instruksi DNR adalah
pemasangan tanda berwarna ungu pada gelang identifikasi pasien sebagai
penanda bahwa pasien tersebut memiliki instruksi DNR yang valid.
2. Identifikasi alert ini harus telah disetujui oleh direksi, resmi, mudah dikenali,
dan khusus/khas, dipasang pada gelang identifikasi pasien.
3. Identifikasi alert ini harus dikenali oleh dokter, perawat, petugas kesehatan yang
lain, termasuk juga tim kegawatdaruratan medis. Dan harus dihargai dan ditaati
oleh tim kegawatdaruratan medis dengan atau tanpa adanya formulir instruksi
DNR tertulis.
4. Sebelurn pemasangan identifikasi alert harus disertai penjelasan tentang
maksud dan tujuan pemasangan tersebut kepada pasien atau wali sah dan/atau
keluarga pasien.
5. Jika instruksi DNR dibatalkan maka identifikasi alert tersebut harus dilepas.

9
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Formulir instruksi DNR adalah formulir yang berisi tentang instruksi dokter
(DPJP) di mana tenaga medis dan tim kegawatdaruratan medis tidak boleh
melakukan resusitasi (RJP) bila pasien tersebut mengalami henti napas (tidak
ada pernapasan spontan) atau mengalami henti jantung (tidak ada denyut nadi).
Formulir ini juga menginstruksikan kepada tenaga medis dan tim kegawat
daruratan medis untuk tetap melakukan intervensi atau pengobatan atau tata
laksana lainnya sebelum terjadi henti napas atau henti jantung.
2. Formulir instruksi DNR berisi tentang:
a. Identitas Pasien: nama lengkap pasien, tempat dan tanggal lahir pasien.
b. Pernyataan dan Instruksi Dokter (tandai salah satu):
1) Usaha komprehensif untuk mencegah henti napas dan/atau henti
jantung TANPA melakukan intubasi. Jika tejadi henti napas atau henti
jantung TIDAK melakukan RJP ( DO NOT RESUSCITATE ).
2) Usaha suportif sebelum terjadi henti napas atau henti jantung yang
meliputi pembukaan jalan napas secara non-invasif, pemberian oksigen,
mengontrol perdarahan, memposisikan pasien dengan nyaman, bidai,
obat-obatan anti-nyeri. TIDAK melakukan RJP bila henti napas atau
henti jantung terjadi.
c. Hasil Diskusi Tentang Instruksi DNR dan Informed Consent diperoleh dari:
1) Pasien sendiri.
2) Wali yang sah atas pasien (termasuk yang ditunjuk pengadilan).
3) Anggota keluarga pasien.
Jika tidak memungkinkan, maka dokter memberikan perintah DNR
berdasarkan pada:
1) Instruksi pasien sebelumnya.
2) Keputusan dua orang dokter bahwa CPR akan memberikan hasil yang
tidak efektif.
d. Identitas dokter, meliputi: nama lengkap dokter, jabatan, nomor telepon
yang bisa dihubungi, tanda tangan dokter.
e. Tanggal dan jam menyatakan instruksi DNR.
3. Formulir ini dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dan disertai informed consent yang terisi
lengkap dan ditandatangani oleh pasien atau wali sah pasien dan saksi. Formulir
DNR disimpan di rekam medis pasien.
4. Selain formulir DNR tersebut, dalam rekam medis pasien dicatat alasan
diputuskannya tindakan DNR, hasil diskusi dengan pasien/wali sah dan/atau
keluarga mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi.

10
Formulir Instruksi Do-Not-Resuscitate (DNR)

Formulir ini adalah perintah dokter di mana tenaga medis dan tim kegawatdaruratan medis
tidak boleh melakukan resusitasi. (RJP) bila pasien dengan identitas di bawah ini
mengalami henti napas (tidak ada pernapasan spontan) atau mengalami henti jantung
(tidak ada denyut nadi). Formulir ini jugs menginstruksikan kepada tenaga medis dan tim
kegawatdaruratan medis untuk tetap melakukan intervensi atau pengobatan atau tata
laksana lainnya sebelum terjadi henti napas atau henti jantung.

Identitas Pasien
Nama lengkap pasien : _____________________________________________________
Tempat dan tanggal lahir pasien : ___________________________________________

Pernyataan dan Instruksi Dokter (tandai salah satu)


Saya, dokter yang bertandatangan di bawah ini menginstruksikan kepada tenaga medis
dan tim kegawatdaruratan medis untuk melakukan hal yang tertulis di bawah ini:

1. Usaha komprehensif untuk mencegah henti napas dan/atau henti jantung TANPA
melakukan intubasi. Jika terjadi henti napas atau henti jantung TIDAK melakukan
RIP (DO NOT RESUSCITATE)
2. Usaha suportif sebelum terjadi henti napas atau henti jantung yang meliputi
pembukaan jalan napas secara non-invasif, pemberian oksigen, mengontrol
perdarahan, memposisikan pasien dengan nyaman, bidai, obat-obatan anti-nyeri.
TIDAK melakukan RIP bila henti napas atau henti jantung terjadi.

Saya, dokter yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa keputusan DNR di
atas diambil setelah pasien atau wali sah dan keluarga pasien diberi penjelasan; dan
informed consent diperoleh dari:
Pasien sendiri
Wali yang sah atas pasien (termasuk yang ditunjuk pengadilan)
Anggota keluarga pasien

Jika hal di atas tidak dimungkinkan, maka saya, dokter yang bertandatangan di bawah
ini memberikan perintah DNR di atas berdasarkan pada:
Instruksi pasien sebelumnya
Keputusan dua orang dokter bahwa CPR akan memberikan hasil yang tidak efektif

Identitas Dokter
Nama lengkap dokter : _____________________________________________________
Jabatan : _____________________________________________________
Nomer telepon yang bisa dihubungi : _________________________________________
Tanggal dan jam menyatakan : _________________________________________
Tandatangan dokter yang menyatakan : ___________________________________________
Keterangan :
: beri tanda centang
*fotokopi atau salinan yang dibuat adalah sah

Anda mungkin juga menyukai