Anda di halaman 1dari 23

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR)

DI RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG

TAHUN 2019

PANDUAN RENCANA PEMULANGAN PASIEN


RUMAH SAKIT BALIMÈD BULELENG

TAHUN 2019

RS. BaliMéd Buleleng


Jl. Gn.Lempuyang, Banjar Tegal , Singaraja – Bali Telp. 0362-3307788
E-mail : info@balimedbuleleng.com
RS. BaliMéd Buleleng
Jl. Gn.Lempuyang, Banjar Tegal , Singaraja – Bali Telp. 0362-3307788
E-mail : info@balimedbuleleng.com 1
KEPUTUSAN DIREKTUR RS BALIMÉD BULELENG

NOMOR : 031/RSBMB/SK/IV/2019

TENTANG

PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR)

DI RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG

DIREKTUR RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit maka perlu
ditetapkan Panduan Penolakan Resusitasi (DNR) sebagai landasan bagi
seluruh penyelenggara dan pelaksana pelayanan kesehatan tentang penolakan
resusitasi di lingkungan Rumah Sakit BaliMéd Buleleng
b. bahwa sebagai pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a tersebut
diatas, perlu ditetapkan dengan keputusan Direktur Rumah Sakit BaliMéd
Buleleng

a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang


Rumah Sakit
Mengingat : b. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
c. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017
2
Tentang Keselamatan Pasien
MEMUTUSKAN :

Menetapkan KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG


TENTANG PANDUAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR) DI
RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG
KESATU Panduan Penolakan Resusitasi (DNR) harus dijadikan acuan dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Baliméd Buleleng
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
KEDUA Keputusan ini berlaku sejak tanggal di tetapkan, dan apabila di kemudian
hari terdapat kekeliruan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di Singaraja

Pada Tanggal : 01 April 2019

Direktur RS. BaliMéd Buleleng

dr. Ni Nyoman Mulyani, M.M

3
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kuasa–Nya sehingga kami selaku
penyusun mampu menyelesaikan “Panduan Penolakan Resusitasi (DNR)” ini sebagai pedoman
bagi petugas rumah sakit di Rumah Sakit BaliMéd Buleleng dan memenuhi persyaratan
akreditasi.

Tak lupa penyusun mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang membantu dalam
penyusunan “Panduan Rencana Pemulangan Pasien”ini sehingga panduan ini dapat selesai dan
diaplikasikan dalam kegiatan di Rumah Sakit BaliMéd Buleleng.

Semoga panduan ini dapat meningkatkan pelayanan kepada pasien di Rumah Sakit BaliMéd
Buleleng. Penyusun sadar bahwa panduan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan pembuatan
panduan ini.

Singaraja, April 2019

4
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................iii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG......................................................................................................1
B. PENGERTIAN................................................................................................................2

BAB II RUANG LINGKUP...............................................................................................................8

BAB III TATALAKSANA..................................................................................................................9

BAB IV DOKUMENTASI.................................................................................................................13

5
6
LAMPIRAN :
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BALIMÉD BULELENG
TANGGAL :
NOMOR :

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah upaya dalam mengembalikan
fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti yang datangnya tiba-tiba dan pada orang
yang bilamana kedua fungsi tadi telah kembali akan hidup normal selanjutnya.
Tindakan RJP dilakukan pada keadaan darurat dimana seseorang membutuhkan
penanganan cepat guna mengembalikan fungsi nafas da sirkulasi dapat kembali pulih
atau normal selanjutnya.
Sedangkan Do Not Resusitate (DNR) adalah untuk pasien-pasien dengan fungsi
otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, yang mengalami kegagalan
jantung paru atau organ multiple yang lain atau dalam tingkat yang akhir penyakit
yang tidak dapat disembuhkan misalnya karsinomatosis lanjut. Setelah henti jantung
ada kalanya perpanjangan hidup tidak dilakukan dengan dasar penilaian medis dari
tim dokter yang bertanggung jawab. Bila ini terjadi maka tindakan RJP tidak
dilakukan dan pasien dibiarkan meninggal.
Oleh karena itu peran dari tim tenaga kesehatan serta ikut sertanya keluarga dalam
mengambil keputusan dilakukan RJP atau DNR penting utuk diketahui guna
pengambilan tindakan selanjutnya kepada pasien.
Untuk meningkatkan pelayanan akan tindakan kegawatdaruratan di Rumah Sakit
BaliMĕd Buleleng diperlukan suatu panduan. Panduan ini diharapkan dapat menjadi
pegangan atau acuan bagi Rumah Sakit BaliMĕd Buleleng untuk melaksanakan
kegiatan pelayanan pada pasien yang membutuhkan RJP atau DNR.

B. Pengertian

1
Resusitasi Jantung Paru adalah upaya dalam mengembalikan fungsi nafas dan
atau sirkulasi yang berhenti yang datangnya tiba-tiba dan pada orang yang bilamana
kedua fungsi tadi telah kembali akan hidup normal selanjutnya. Dikatakan resusitasi
darurat apabila resusitasi yang dilakukan dalam keadaan darurat untuk mengatasi
berhentinya nafas dan atau sirkulasi. Dan resusitasi jangka panjang adalah resusitasi
fase ketiga yang dilakukan didalam HCU. Tindakan resusitasi ini adalah tindakan
medik yang dilakukan dalam upaya memberikan bantuan kehidupan bagi pasien
apabila terjadi kegawat daruratan medis pada pasien.
Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) adalah untuk pasien dengan fungsi otak
yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, yang mengalami kegagalan
jantung paru atau organ multiple yang lain atau dalam tingkat yang akhir penyakit
yang tidak dapat disembuhkan misalnya karsinomatosis lanjut. Setelah henti jantung
ada kalanya perpanjangan hidup tidak dilakukan dengan dasar penilaian medis dari
tim dokter yang bertanggung jawab. Bila ini terjadi maka tindakan RJP tidak
dilakukan dan pasien dibiarkan meninggal. Penolakan pasien atau keluarga pasien
terhadap tindakan resusitasi yang akan dilakukan merupakan salah satu dari hak dan
kewajiban keluarga pasien dalam pengambilan keputusan yang tepat, tindakan
penghentian bantuan hidup disebut withdrawing and withholding treatment.
Dipakai istilah penghentian bantuan hidup karena yang dilakukan adalah
menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah terlanjur
diberikan, yang muncul terutama pada kasus-kasus penderita dengan penyakit tumor
ganas stadium terminal ataupun penyakit lain dengan prognosa dubia ad malam.
Do Not Resuscitate (DNR) Order diterjemahkan sebagai perintah Jangan
dilakukan Resusitasi, merupakan sebuah pesan untuk tenaga kesehatan ataupun
masyarakat umum untuk tidak mencoba RJP (Resusitasi Jantung Paru) jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau pernapasan berhenti. Perintah DNR
diberikan dalam bentuk tertulis dan dicapai setelah diskusi dengan pasien, dokter dan
keluarga. DNR adalah keputusan pasien dan bukan merupakan keputusan yang dibuat
sendiri oleh dokter.

2
Perintah DNR merupakan pernyataan seseorang yang tidak ingin hidupnya
diperpanjang dengan mesin. Hal ini berarti alat-alat luar biasa dan RJP tidak akan
digunakan untuk mencegah kematian. Ketika detak jantung atau nafas pasien
berhenti, biasanya penyedia layanan medis akan melakukan RJP sebagai upaya untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi tersebut. Pasien yang kompeten,
yang berada di ambang kematian dapat meminta untuk tidak dilakukan RJP tersebut.
Dalam hal ini, ia meminta penulisan perintah DNR. Harus dipastikan bahwa perintah
DNR dibuat secara sukarela setelah pasien mendapatkan penjelasan yang cukup
mengenai penyakitnya. Seseorang yang kompeten dapat mengungkapkan
keinginannya tersebut jauh sebelumnya secara tertulis melalui advance directive
(pernyataan di muka), misalnya dalam living will (wasiat hidup) atau Durable
Medical Power of Attorney.
Berikut adalah penjelasan mengenai hal tersebut di atas :

1. Apa yang dimaksud dengan Advance Directive ?

Advance Directive (Pernyataan di muka) adalah instruksi yang diberikan seseorang


mengenai perawatan yang akan dia jalani di kemudian hari. Dengan kata lain,
Advance Directive dibuat pada saat seseorang sadar penuh dan dapat mengambil
keputusan secara rasional, dan dimaksudkan untuk menuntun penyedia layanan
medis bertindak berdasarkan keinginan seseorang jika pada suatu saat ia tidak dapat
lagi menyatakan pilihan perawatan kesehatan yang diinginkannya di kemudian hari.
Advance Directive harus dibuat tertulis oleh pasien agar keluarga, teman-teman, dan
penyedia layanan medis dapat memahami dan melakukan instruksi tersebut. Jika
pasien tidak mampu menulis, Advance Directive dapat dituliskan oleh salah satu
keluarganya dan diperkuat oleh dua orang saksi. Advance Directive dapat berupa
serangkaian petunjuk tentang tindakan kedokteran apa yang diinginkan dan yang
tidak diinginkan dilakukan terhadap dirinya (Living Will / Wasiat hidup), atau berupa
penunjukkan seseorang lain untuk membuat keputusan (Durable Medical Power of
Attorney). Advance Directive bukan merupakan perintah medis, meskipun diakui
oleh hukum. Advance Directive dapat memuat banyak keputusan medis lain selain
perintah DNR, misalnya mengenai pemberian makanan atau hidrasi secara medis.

3
2. Apa yang dimaksud dengan Living Will ?

Living Will (Wasiat hidup) adalah instruksi bagi penyedia layanan kesehatan agar
tidak memberikan perawatan yang bertujuan untuk memperpanjang hidup seseorang
pada saat dia menghadapi kematian atau menjadi tidak sadar secara permanen tanpa
ada harapan untuk sembuh. Living Will dapat mencakup permintaan untuk tidak
memberikan makanan atau hidrasi yang diberikan secara medis.

3. Apa yang dimaksud Durable Medical Power of Attorney ?

Durable Medical Power of Attorney adalah dokumen legal, dimana seseorang


menunjuk orang lain yang diberi tanggung-jawab (seorang wali perawatan
kesehatan) dan diberi kekuatan untuk membuat keputusan mengenai pelayanan
kesehatan jika ia sudah tidak dapat membuat keputusan dan tidak dapat
berkomunikasi lagi. Wali tersebut hanya diberi kekuasaan untuk mengambil
keputusan yang berhubungan dengan tindakan medis, ia tidak diberi kekuasaan untuk
membuat keputusan legal dan finansial.

Untuk menghindari kesulitan dalam pengambilan keputusan, sebaiknya dokter


melakukan diskusi advance directive kepada pasien, terutama pasien penyakit kronis
yang memiliki resiko kelemahan fisik dan mental yang bersifat progresif, agar ia
dapat membuat advance directive sebelum ia menjadi “tidak dapat mengambil
keputusan” (inkompeten).

Jika seseorang telah kehilangan kapasitasnya untuk membuat keputusan medis


dan tidak memiliki advance directive, maka saudara dekat atau temannya dapat
menjadi wali / pengampu (Surrogate Decision Makers) dalam membuat keputusan
pengganti baginya, termasuk untuk mengakhiri sistem pendukung kehidupan.
Adapun urutan prioritas pembuat keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai
berikut:

1. Pasangannya ( suami / istri )


2. Orang tua ( Ayah / Ibu yang sah )
3. Anak dewasa yang sah

4
4. Saudara kandung yang telah dewasa.
5. Pengampu, dalam hal pasien dinyatakan berada di bawah pengampuan.

Dalam hal seorang anak (berusia kurang dari 18 tahun dan belum pernah
menikah), maka orang yang dianggap memiliki tanggung jawab orang tua adalah :

1. Orang tua si anak, bila si anak lahir sebagai anak dari pasangan suami istri yang
sah.
2. Ibu si anak, bila si anak lahir dari pasangan yang tidak sah.
3. Orang tua angkat atau lembaga pengasuh yang sah berdasarkan UU No. 23 tahun
2004 tentang perlindungan anak.
4. Orang yang secara adat / budaya dianggap sebagai wali si anak, dalam hal tidak
terdapat yang memenuhi point 1,2, 3.
Pengganti atau wali / pengampu harus membuat keputusan yang sesuai dengan
keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai kapasitas dalam mengambil
keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan yang diambil harus
berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien. Dalam hal terdapat
ketidaksepakatan di dalam keluarga, maka dokter mempersilakan mereka untuk
bermufakat dan hanya menerima pernyataan yang sudah disepakati bersama.

IDI telah mengeluarkan pernyataan mengenai masalah mati dan pengakhiran


RJP melalui Fatwa IDI No. 336 / PB / A.4 / 88 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul
dengan Fatwa IDI No. 231 / PB.A.4 / 07 /90. Menurut fatwa tersebut, seseorang
dinyatakan mati bila :

1. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti / irreversible
(mati klasik).

2. Telah terbukti Mati Batang Otak (MBO).

Mati klasik adalah terhentinya fungsi spontan pernafasan dan sirkulasi secara
pasti / irreversible dan dapat diketahui setelah dicoba melakukan resusitasi darurat.

5
Pada resusitasi darurat, dimana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang
dapat dinyatakan mati bila :

1. terdapat tanda-tanda mati jantung yaitu asistol ventrikular yang menetap (garis
datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit setelah dilakukan resusitasi dan
pengobatan optimal atau
2. terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi,
pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag
reflex) serta pupil dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pasien
hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.

Mati Batang Otak adalah berhentinya semua fungsi otak secara ireversible,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya Mati Batang Otak, dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga
alat bantu kehidupan dapat dihentikan. Ada istilah yang digunakan untuk itu yaitu :

1. Withhold Treatment yaitu penundaan bantuan hidup.

Penundaan bantuan hidup adalah tidak memberikan bantuan hidup untuk


kelainan baru yang timbul, sambil tetap meneruskan terapi yang terlanjur
diberikan.

2. Withdraw Treatment yaitu penghentian bantuan hidup.

Penghentian bantuan hidup adalah menghentikan sebagian atau semua terapi


bantuan hidup yang terlanjur diberikan.

Keputusan Mati Batang Otak adalah keputusan medis, sehingga yang berwenang
untuk memutuskan adalah tenaga medis. Tenaga medis yang dimaksud terdiri dari 3
(tiga) orang dokter yang berkompeten yaitu dokter spesialis anestesiologi atau dokter
lain yang memiliki kompetensi, dokter spesialis saraf dan 1 (satu) orang dokter lain
yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit. Sebelum melakukan prosedur
pengujian tidak adanya reflex batang otak, dokter wajib menjelaskan keadaan pasien,

6
yang mencakup pengertian Mati Batang Otak, dan tindak lanjutnya kepada keluarga
pasien (bila ada).

Syarat pengujian MBO adalah sebagai berikut :

1. Meyakini bahwa telah terdapat prakondisi tertentu yaitu pasien dalam keadaan
koma dan henti nafas ireversible serta penyebabnya adalah kerusakan otak
struktural yang tak dapat diperbaiki lagi, yang disebabkan oleh gangguan yang
dapat menuju ke MBO.
2. Menyingkirkan penyebab koma dan henti nafas pada kasus reversible (pengaruh
obat-obatan, intoksikasi, kelainan elektrolit, metabolik dan endokrin)
3. Memastikan arefleksia batang otak dan henti nafas yang menetap.

Pasien dinyatakan meninggal ketika batang otak dinyatakan mati, bukan saat
mayat dilepaskan dari ventilator dan jantung berhenti berdetak. Penyebab kematian
adalah penyakit utama pasien, bukan penarikan kembali atau penolakan tindakan
bantuan hidup.

BAB II
RUANG LINGKUP

7
A. Ruang Lingkup DNR

Adanya perintah DNR tidak benar-benar mengubah perawatan atas diri pasien. Pasien
masih diperlakukan dengan cara yang sama. DNR tidak berarti tidak mengobati atau tidak
peduli. Terapi seperti pemberian antibiotika, dialisis, kemoterapi, dan perawatan lainnya yang
dibutuhkan pasien dapat terus diberikan walaupun pasien meminta DNR. Instruksi DNR
hanya berarti bahwa jika pernapasan dan jantung pasien terhenti, tim medis tidak akan
melakukan upaya RJP dan penggunaan ventilasi mekanis. Oleh karenanya DNR adalah
perintah medis yang hanya berlaku bila pernafasan atau jantung pasien berhenti.

Secara umum dikatakan bahwa upaya RJP yang dilakukan pada keadaan darurat dan
diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini :

1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.


2. Upaya resusitasi telah diambilalih orang lain yang lebih berkompeten dan bertanggung
jawab meneruskan resusitasi.
3. Penolong terlalu lelah sehingga tidak sanggup melanjutkan resusitasi.
4. Pasien dinyatakan telah meninggal dunia.\

1. Pasien dengan kriteria Do Not Resuscitate (DNR)


2. Kematian normal pada stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan
lagi.
3. Pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan
memperpanjang kehidupan.
4. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih yaitu setelah ½ - 1
jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa Resusitasi Jantung Paru

8
BAB III
TATALAKSANA

A. Kerangka Konsep Pengambilan Keputusan Do Not Resusitate (DNR)

Apakah pasien 1. Tidak perlu menginiasi diskusi tentang RJP dengan


kemungkinan akan pasien atau keluarganya.
mengalami henti 2. Diskusi dilakukan jika pasien meminta atau
jantung / napas ? menginginkannya.

1. Jika telah diputuskan tindakan DNR secara medis,


informasikanlah kepada pasien (jika memungkinkan).
Apakah ada 2. Pada pasien yang tidak kompeten secara mental;
kemungkinan secara beritahukanlah mengenai keputusan DNR ini berikut
realistis bahwa RJP alasannya kepada pengacara pribadi / wali yang telah
dapat berhasil ? ditunjuk pasien.
3. Dapat meminta pendapat dokter lain (second opinion),
jika diperlukan.

Apakah pasien telah 1. Jika pasien telah membuat keputusan DNR dan
membuat keputusan dini / kriteria validitas telah terpenuhi, haruslah dihargai dan
awal mengenai ? dipatuhi.
2. Keputusan ini harus diberiatahu juga dengan
pengacara / wali yang telah ditunjuk pasien.

1. Jika terdapat kemungkinan yang sangat kecil akan


tingkat keberhasilan RJP, dan terdapat pertanyaan
Apakah potensi risiko apakah risikonya lebih besar daripada keuntungan
dan beban RJP dianggap dilakukan RJP; keterlibatan pasien atau walinya (jika
lebih besar daripada pasien tidak kompeten) dalam membuat keputusan
keuntungan yang merupakan hal yang krusial.
didapat ? 2. Pada pasien anak/ remaja, orang tua harus dilibatkan
dalam diskusi ini (jika memungkinkan).
3. Pada pasien dewasa yang kompeten secara mental,
pertimbangkanlah pendapat / pandangan pasien
terhadap keputusan DNR ini.
RJP harus dilakuakan kecuali pasien
(kompeten secara mental) menolak
tindakan RJP

RJP harus dilakuakan


Apakah pasienkecuali
telah
pasien (kompeten secara mental)
membuat keputusan dini /
menolak tindakan
awal RJP?
mengenai 9
1. Keputusan tindakan RJP ini adalah hal yang sensitif dan kompleks, sehingga harus
dilakukan oleh personel medis yang kompeten dan berpengalaman , dan dilakukan
dokumentasi dengan jelas dan lengkap.
2. Keputusan harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, minimal setiap 7 hari sekali
dan tiap kali terdapat perubahan kondisi.
3. Jika terdapat keraguan / ketidakpastian, mintalah saran dari dokter senior.

B. Proses Penolakan dilakukan Resusitasi Jantung Paru dan DNR

1. Pertama, pemberian informasi oleh dokter mengenai tindakan resusitasi yang didasarkan
atas nilai-nilai dan etika profesi tenaga kesehatan.
2. Kedua, permintaan oleh pasien dan atau keluarga pasien terhadap penolakan tindakan
resusitasi yang dinyatakan secara suka rela (tanpa tekanan/paksaan secara fisik maupun
secara psikis) dan secara tegas (tanpa perantara/ kuasa; dan dinyatakan dalam bahasa
yang jelas, dan dimengerti; serta diketahui oleh berbagai pihak terkait).
3. Ketiga, penuangan permintaan oleh pasien dan atau keluarga pasien terhdap penolakan
tindakan resusitasi kedalam suatu perjanjian atas dasar kesepakatan/persetujuan dari
berbagai pihak terkait sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

C. Mendiskusikan Keputusan DNR Dengan Pasien

1. Memilih waktu untuk berdiskusi (Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi
segera setelah diagnosis ditegakkan. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan
prognosis sudah jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya).
b. Memastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
c. Menghadirkan orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam mendiskusikan hal
ini.
d. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien, memberi
dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter meninggalkan ruangan.
e. Berusaha untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya saat ini, sifat dasar
resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan serta harapan dan keinginan pasien. Pasien
dan keluarganya sering memiliki harapan/ekspektasi yang tidak realistis dari nilai
resusitasi.
f. Memberikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat
dimengerti oleh pasien.

10
g. Menilai tingkat pemberian informasi yang tercemin dari respons dan pemahaman setiap
pasien.
h. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang dokter (paramedis)
mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: “Pendapat saya
mungkin berbeda dengan apa yang Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin
berdiskusi dengan Anda.”
i. Mencoba untuk mengerti sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan
ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang dijalani pasien)
j. Mencatat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup
pengaplikasian di rekam medis.
k. Mendiskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian dari
perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan / ditelantarkan dan
merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.
l. Petugas menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap diberikan, pasien
masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur, pengendalian nyeri, dan
memberikan kenyamanan kepada pasien.
m. Penting untuk memisahkan/membedakan keputusan DNR dengan keputusan mengenai
manajemen pasien lainnya.
n. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan dokter, akan
membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan/stress pasien juga.
o. Berikan waktu kepada pasien atau wali sah untuk berdiskusi sebelum pengambilan
keputusan tindakan DNR.
p. Apabila pasien atau wali sudah memutuskan untuk DNR, maka anjurkan pasien atau wali
sah untuk mengisi formulir penentuan DNR dengan lengkap dan ditandatangani oleh 2
orang saksi (Dokter yang memberi penjelasan dan pasien atau wali sah).
q. Menyimpan formulir keputusan DNR pada status rekam medis pasien.
r. Memasang gelang ungu pada pergelangan tangan pasien.
s. Melakukan peninjauan ulang atau assessment ulang terhadap keputusan DNR yang
diambil.
t. Pembatalan keputusan DNR dilakukan oleh pasien atau wali sah dengan mengisi
pembatalan status DNR pada formulir tindakan DNR yang sudah ditandatangani

11
D. Do Not Resusitate bagi pasien yang tidak mampu (keterbatasan)
a. Pasien memiliki gangguan fungsi kognitif atau mental yang membuatnya tidak dapat
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
b. Pasien tidak mengerti mengenai informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan
yang diberikan oleh dokter atau petugas medis lainnya.
c. Pasien memiliki gangguan dalam hal mengingat informasi yang baru diberikan.
d. Pasien tidak dapat mengolah atau mempertimbangkan informasi tersebut sebagai bagian
dari proses pengambilan keputusan.
e. Pasien tidak dapat mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, bahasa,
tubuh atau cara lainnya.

12
BAB V

TATALAKSANA

A. Persiapan :

1. Pastikan kebenaran identitas pasien.

2. Menyiapkan formulir penolakan tindakan resusitasi.

3. Menyiapkan lingkungan yang tenang.

4. Menyiapkan kursi untuk keluarga pasien.

B. Pelaksanaan :

1. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014

tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ, dimana:

a. Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat

penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia

(futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.

b. Keputusan untuk menghentikan atau menundaan terapi bantuan hidup dilakukan

oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter

yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.

c. Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus di

informasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang mewakili

pasien.

d. Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang

bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary),

meliputi:

- Rawat di Intensive Care Unit;

- Resusitasi Jantung Paru;

13
- Pengendalian disritmia;

- Intubasi trakeal;

- Ventilasi mekanis;

- Obat vasoaktif;

- Nutrisi parenteral;

- Organ artifisial;

- Transplantasi;

- Transfusi darah;

- Monitoring invasif;

- Antibiotika; dan

- Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.

e. Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen,

nutrisi enteral dan cairan kristaloid.

f. Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau

penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk

penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, akan tetapi permintaan oleh

keluarga hanya dapat dilakukan pada pasien yang sudah tidak kompeten untuk

membuat keputusan dan menyatakan keinginannya, akan tetapi bila pasien masih

mampu membuat keputusan dan masih mampu untuk menyatakan keinginannya

maka permintaan untuk melakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan

hidup harus dilakukan oleh pasien.

g. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rekomendasi tim

yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, dimana keluarga tetap meminta

14
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di

pihak keluarga.

2. Apabila Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), secara medis telah memutuskan

pasien berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang

dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) serta

keputusan untuk menghentian atau menundaan terapi bantuan hidup, maka DPJP

menjelaskan kondisi ini kepada pasien dan keluarga :

a. Apabila kondisi pasien masih kompeten, maka tanyakan pasien terlebih dahulu

untuk menetukan apakah perlu di resusitasi apabila terjadi henti jantung.

b. Lakukan verifikasi pada pasien, bahwa setelah menerima informasi dari DPJP dan

pasien memutuskan untuk tidak dilakukan resusitasi atau DNR (Do Not

Resuscitate), maka sarankan untuk menandatangani formulir penolakan tindakan

resusitasi dan pasang gelang warna ungu di pergelangan tangan pasien.

c. Apabila kondisi pasien tidak kompeten, keputusan DNR ditentukan oleh keluarga

terdekat setelah mendapatkan penjelasan dari DPJP.

d. Lakukan verifikasi untuk mengetahui bahwa keluarga paham atas informasi

tersebut.

e. Setelah keputusan DNR ditetapkan, sarankan kepada keluarga untuk

menandatangani formulir penolakan tindakan resusitasi DNR dan pasang gelang

warna ungu di pergelangan tangan pasien.

3. Pemasangan Identitas DNR

a. Siapkan gelang berwarna ungu.

b. Ucapkan salam

c. Sebutkan nama dan instansi/unit kerja anda

15
d. Jelaskan maksud dan tujuan pemasanagan gelang berwarna ungu pada pasien.

e. Pasangkan gelang berwarna ungu di pergelangan tangan pasien.

f. Informasikan kepada pasien dan atau keluarga bahwa keputusan untuk tidak

dilakukan resusitasi ini bisa berubah apabila kondisi pasien menunjukkan

perbaikan, atau ada perubahan keputusan dari pasien dan atau keluarga.

g. Sarankan kepada pasien dan atau keluarga untuk menginformasikan kepada petugas

apabila ada perubahan keputusan.

16
BAB V

DOKUMENTASI

A. Daftar Formulir Yang Dibutuhkan

1. Formulir Jangan Dilakukan Resusitasi (Do Not Resuscitate)

17

Anda mungkin juga menyukai