PENDAHULUAN
1
1.2.2 Bagaimana anatomi fisiologi apendiks?
1.2.3 Bagaimana system pengklasifikasin apendisitis?
1.2.4 Bagaimana epidemiologi apendisitis?
1.2.5 Bagaimana etiologi dan Faktor risiko pada apendisitis?
1.2.6 Bagaimana mekanisme patofisiologi apendisitis?
1.2.7 Bagaimana manifestasi klinis apendisitis?
1.2.8 Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose
apendisitis?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaan pada apendisitis?
1.2.10 Bagaimana komplikasi pada apendisitis?
1.2.11 Apakah definisi peritonitis?
1.2.12 Bagaimana system pengklasifikasin peritonitis?
1.2.13 Bagaimana epidemiologi peritonitis?
1.2.14 Bagaimana etiologi dan Faktor risiko pada peritonitis?
1.2.15 Bagaimana mekanisme patofisiologi peritonitis?
1.2.16 Bagaimana manifestasi klinis peritonitis?
1.2.17 Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose
peritonitis?
1.2.18 Bagaimana penatalaksanaan pada peritonitis?
1.2.19 Bagaimana komplikasi pada peritonitis?
1.2.20 Bagaimana rentang Hb Normal berdasarkan usia dan jenis kelamin?
1.2.21 Bagaimana proses penyembuhan luka?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. APENDISITIS
3
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin
ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran
cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
4
Didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren
pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau
keabuan, atau merah kehitaman
Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya:
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan
adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5% (Pieter,
2005)
Appendisitis infiltrate
Appendisitis infiltrate adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan masa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya
Appendisitis abses
Appendisitis abses terjadi bila masa local yang terbentuk berisi nanah
Appendisitis perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum
Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak
perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
5
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut. (Doenges,Marilynn E.2005)
6
Faktor sumbatan atau obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis yang diikuti oleh infeksi
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenensis primerpada apendiks
c. Faktor genetic
Hal ini dihubungkan dengan adanya malformasi organ, apendiks yang
terlalu panjang,vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mdah
terjadi apendisitis.
d. Faktor Diet
e. Pola konsumsi rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi mengalami
apendisitis karena dengan terjadinya fekalit mengakibatkan obstruksi
lumen.
7
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.
2. Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan
yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya mual dan
muntah.
3. Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di
dinding usus).
4. Rasa sakit hilang timbul
5. Diare atau konstipasi
6. Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
7. Perut kembung
8. Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila
sudah terjadi perforasi
9. Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan.
10. Bising usus yang bisa hilang akibat ileus paralitik jika berlanjut ke
peritonitis.
8
gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada
bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usiakehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa
yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
9
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,
hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus
psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan
luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).
10
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor
Alvarado, yaitu:
Tabel Skor Alvarado Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral 1
ke fossa iliaka kanan
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit 10 x 2
109/L
Neutrofilia dari 75% 1
Total 10
11
Larutan Barium Sulfat ( 250 gram) + 120-200 cc air.
Persiapan Pasien:
Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam
air masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu
puasa.
Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan
puasa.
Pasien diminta untuk membuka pakaian.
Pasien diberi baju RS untuk dipakai.
Prosedur:
Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.
Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.
Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer
sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.
Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta
untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama
3 hari berturut-turut.
USG (Ultrasonografi)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian
usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang
maksimal, Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian
dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6
mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis.
Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan
merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang,
akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif
bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa
pericaecal.Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan
sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%.
Foto polos abdomen
12
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada
pasien Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara
dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith
jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung
diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri
alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.
13
2) Jika appendiks mengalami perforate bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika
3) Abses appendiks diobati dengan antibiotika intravena, massa
mungkin mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam
jangka waktu beberapa hari
4) Appendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah
6 minggu 3 bulan.
c. Pasca Operasi
1) Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan
didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama pasien dipuasakan
5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforate, puasa
dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal
6) Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi
30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari
berikutnya makanan lunak
7) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2 x 30 menit
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9) Hari ke 7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
10) Perawatan luka dengan memperhatikan dressing yang tepata agar
luka terhidrasi dengan baik.
14
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima, segera setelah
terjadi luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan
retraksi disertai reaksi homeostatis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen homeostatis ini akan
melepaskan dan mengangtifkan sitokinin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor Beta (TGF-Beta) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, sel endoteliel
dan fibroblast. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini
kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi leukosit polimorphonuclear
(PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi
Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF Beta 1) yang juga dikeluarkan
oleh makrofsg. Adanya TGF beta 1 akan mengangtifkan fibroblast untuk
mensintesis kolagen.
2. Fase poliperatif
Fase ini terjadi pada hari kelima hingga ke-21 hari setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi
hubungan desmosomal antara keratinosit pada membrane basal
menyebabkan sel keratin bermigrasi kea rah lateral. Keratinosit bergerak
melalui interaksi dengan matriks protein ekstraseluler (fibronectin dan
kolagen tipe 1). Faktor proangiogenik dilepaskan oleh makrofag, vascular
endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi neovascularisasi dan
pembentukan epitalisasi dan jaringan granulasi.
3. Fase remodeling
Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses
penyembuhan luka, terjadi pada hari ke-21 hingga 1 tahun. Terjadi
kontraksi luka akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin
mikrofilamen yang memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan
luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling kolagen. Kolagen tipe III
digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks Metaloproteinase yang
disekresi makrofag, fibroblast dan sel endotel. Pada masa 3 minggu
15
penyembuhan luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal.
16
B. PERITONITIS
17
Spesifik : misalnya Tuberculosis
Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko
tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b. Penyebab sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder
lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas.
c. Penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat).
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien
yang imunokompromais.
d. Bentuk lain dari peritonitis :
a. Aseptik/steril peritonitis
b. Granulomatous peritonitis
c. Hiperlipidemik peritonitis
d. Talkum peritonitis
18
2.14 Etiologi dan Faktor Resiko Peritonitis
Etiologi
Faktor Resiko
a. Peritonitis bacterial primer
Faktor risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah malnutrisi,
keganasan intraabdomen, splenektomi dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan imunosupresi. Biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronis. Akibat asites akan terajdi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau
pembuluh limfe mesentrium.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder
Faktor resiko pada peritonitis ini adanlah adanya infeksi pada daerah
abdominal,seperti :
- Apendisitis
- Ulkus gaster
19
- Pancreatitis
- Colitis ulseratif
- Dialysis peritoneum
- Trauma abdomen
c. Peritonitis tertier
Pada peritonitis jenis ini biasanya terjadi karena pasien tidak responsive
terhadap terapi medis (surgical) dan antibiotic sehingga menyebabkan infeksi
sebelumnya recuren.
21
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal
(Reksoprodjo, 1995).
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral
yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang
tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang
tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale
(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan
pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan (Reksoprodjo, 1995).
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena
adanya udara bebas tadi (Reksoprodjo, 1995).
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik.Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan
usus besar berdilatasi.Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus
22
perforasi.Foto rontgen diambil dalam posisi berbaring dan berdiri.Gas bebas
yang terdapat dalam perut dapat terlihat pada foto rontgen dan merupakan
petunjuk adanya perforasil.
Pada pemeriksaan foto polos abdomen dijumpai asites, tanda-tanda obstruksi
usus berupa air-udara dan kadang-kadang udara bebas (perforasi). Biasanya
lambung, usus halus dan kolon menunjukkan dilatasi sehingga menyerupai ileus
paralitik. Usus-usus yang melebar biasanya berdinding tebal
Pada peritonitis umum gambaran radiologinya menyerupai ileus paralitik.
Terdapat distensi baik pada usus halus maupun pada usus besar. Pada foto
berdiri terlihat beberapa fluid level di dalam usus halus dan usus besar. Jika
terjadi suatu ruptur viskus bisa menyebabkan peritonitis, udara bebas mungkin
akan terlihat pada kavitas peritoneal
23
Tindakan bedah mencakup mengangat materi terinfeksi dan mengatasi
penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan
drainase (abses). Pada sepsis yg luas, perlu dibuat diversi fekal.
Penatalaksanaan lain :
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum. (Schwartz,2006)
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih
terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik
harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
sensitivitas (Cole et al. 1970)
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu,
selama dan setelah operasi. (Schwartz,2006)
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan
dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit
dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
24
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al. 1970)
25
Pada fase ini bila terjadi luka akan ada perdarahan di daerah luka,
kemudian terapat aktivas cascade pembekuan darah yang menyebabkan
terbentuknya klot hematoma.
2. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi ini terjadi penggalakan hemostasis, menyingkirkan
jaringan mati, dan mencegah infeksi. Fase inflamasi terjadi dari hari ke 2
4.
3. Fase proliferasi
Fase proliferasi terjadi dari hari ke 5 - 21. Pada fase ini factor
proangiogenik dilepaskan oleh makrofag berupa VEGF (Vascular
Endohelial Growth Factor) dan kemudian terjadi neovaskularisasi dan
pembentukan jaringan granulasi.
4. Fase remodeling
Fase remodeling terjadi pada hari ke 2 2 1 tahun. Terjadi kontraksi luka
akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang
memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Apendisitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada apendiks, dapat
menyerang anakhingga dewasa. Insidensi di dunia semakin berkembang dan
meningkat sehingga dikatakan sebagai salah satu kegawatdaruratan abdomentiga
terbesar di dunia. Beberapa etiologi dengan proses penyakit ini diantaranya
obstruksi lumen apendik, adanya fekalit, bakteri dan diet rendah serat dikaitkan
dengan mekanisme terjadinya peradangan local di apendiks.
Tanda dan gejala yang khas muncul pada penderita adalah nyeri di abdomen
kanan bawah atau sekitar umbilicus akibat rangsangan saraf nyeri di sekitar
apendik, namun nyeri ini bervariasi ditemukan tergantung letak apendiks. Selain itu
gejalan lainnya adalah mual, muntah hingga anoreksia.
Pemeriksaan yang dapat menunjang untuk penegakan diagnosis dinataranya
USG, foto abdomen polos, barium enema, dan pemeriksaan darah ditandai dengan
leukositosis. Penanganan yang segera perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi
salah satunya dengan apendiktomi.
Peritonitis merupakan salah satu komplikasi akibat apendisitis. Apendisitis dan
Peritonitis mempunyai banyak hal yang hampir sama salah satunya adalah
etiologinya. Apendisitis yang perforatif dapat menyebabkan peritonitis.
3.2 Saran
Mengingat belum sempurnya laporan ini, diharapkan adanya masukan untuk
perbaikan sehingga dapat menciptakan laporan yang bermutu.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati. 2013. Apendiktomi dan Laparotomi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St.
Elisabet, Semarang.
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S. Bedah digestif. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi 3, Jilid: 2. Jakrta: Media Aesculapius FKUI; 2000.h 302-21.
Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. AppeltonCentury
Corp, Hal 784-795
Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment
12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc
Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta:EGC
Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume
2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter
JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardani, W.I., Setiowulan, W. 2005. Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima.Jakarta:
Media Aesculapius
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ. 2004. Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6.
Jakarta: EGC.
Prinz RA, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins.
Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2011
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen akut. Dalam: Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya Baru; 1999.h.256-7.
Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9th edition, 2006, USA : McGraw Hill Company;
Hal1459-1467
28
Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC Jakarta
Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2001. Buku Saku Keperawatan Medika l Bedah : Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.
Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi Jilid 2A Untuk SMA Kelas XI. Jakarta:Erlangga.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Gawat abdomen. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.h.221-39.
29