Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam
serangkaian periode berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia.
Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti. Setiap masa yang
dilalui merupakan tahap-tahap yang saling berkaitan dan tidak dapat diulang
kembali, hal-hal yang terjadi dimasa awal perkembangan individu akan
memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap
yang akan dilalui oleh individu tersebut adalah masa lanjut usia atau lansia
yang ditandai dengan beberapa kondisi khas yang disebabkan proses menua
(Hurlock, 1999).
Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik dengan terlihat adanya penurunan fungsi organ tubuh. Hal ini
juga diikuti dengan perubahan emosi secara psikologis dan kemunduran
kognitif seperti suka lupa, dan hal-hal yang mendukung lainnya seperti
kecemasan yang berlebihan, kepercayaan diri menurun, juga kondisi biologis
yang kesemuanya saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia.
Adapun masalah khusus yang sering dialami lansia yaitu seperti
Kesepian (Loneliness), depresi, maupun masalah dalam spiritual. Masalah-
masalah ini akan menyebabkan mereka kehilangan minat dan kegembiraan,
konsentrasi berkurang, merasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistis serta menurunnya harga diri dan
kepercayaan diri. Kemunduran-kemunduran psikologis tersebut dapat terjadi
saat lansia mengalami kesendirian, baik karena ditinggal anak, cucu, saudara
maupun pasangan hidup. Kematian pasangan hidup mempengaruhi tingkat
dan aktivitas sosial serta persahabatan yang biasa dilakukan serta
mempengaruhi pola hidupnya yang mengalami perubahan. Perubahan ini
menimbulkan efek terhadap penyesuaian diri dan pola kehidupan dalam
keluarga.
Sehingga dukungan keluarga dan masyarakat sangat membantu untuk
mengurangi masalah pada lansia seperti depresi, kesepian (Loneliness),
masalah spiritual. Diharapkan dengan adanya dukungan dari keluarga
mengurangi masalah-masalah yang dialami lansia seperti masalah pada lansia
seperti depresi, kesepian (Loneliness), masalah spiritual.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kesepian atau Loneliness pada lansia?
2. Apa yang dimaksud dengan Depresi pada Lansia?
3. Apa yang dimaksud dengan penyakit degeneratif yang terjadi pada Lansia?
4. Apa saja masalah spiritual yang terjadi pada Lansia?
1.3 Tujuan Tulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari Kesepian atau Loneliness pada Lansia
2. Untuk mengetahui maksud dari Depresi Pada Lansia
3. Untuk mengetahui maksud dari penyakit degenerative pada Lansia
4. Untuk mengetahui masalah spiritual yang terjadi pada Lansia
1.4 Manfaat Tulisan
Dengan mengetahui dan memahami tentang masalah khusus pada
lansia kesepian (loneliness), depresi, penyakit degenerative dan masalah
spiritual maka dapat membantu mahasiswa dan pembaca menambah wawasan
mengenai tentang masalah khusus pada lansia kesepian (loneliness), depresi,
penyakit degenerative dan masalah spiritual.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesepian (Loneliness) Pada Lansia


A. Pengertian
Kesepian merupakan suatu perasaan pedih, sunyi, lengang, tidak ramai,
hidup dalam keterasingan karena kehilangan (Prasetya, 2004). Kesepian atau
loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang
dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan social yang kita
inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki (Perlman &
Peplau,1981). Kesepian merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan
karena memiliki hubungan yang sedikit dan tidak memuaskan serta adanya
ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan
sosial pada kenyataan akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial
yang dimiliki seseorang.
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang lansia pada
saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya
saat itu juga mengalami penurunan status kesehatan, misalnya menderita
gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran.
Harus dibedakan anatara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di
antara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas
sosial yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun
hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak tetap mengalami
kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti,
karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih
meningkatkan peran sosial penderita, disamping memberikan bantuan
pengerjaan pekerjaan dirumah bila bila memang terdapat disabilitas penderita
dalam hal-hal tersebut.
B. Tipe Kesepian
Sears et al. (2009: 215) membedakan dua tipe kesepian, berdasarkan
hilangnya ketetapan sosial tertentu yang dialami oleh seseorang yaitu:
1. Kesepian emosional
Timbul dari ketiadaan figure kasih sayang yang intim, seperti yang
biasa diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau yang bias diberikan
tunangan atau teman akrab kepada seseorang.
2. Kesepian social
Terjadi bila orang kehilangan rasa terintegrasi secara sosial atau
teritegrasi dalam suatu komunikasi, yang bisa diberikan oleh
sekumpulan teman atau rekan kerja.
Cheryl & Parello (2008:67) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian
yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda, yaitu:
1. Isolasi Emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk kesepian
yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang
intim,; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh
pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.
2. Isolasi Sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang
muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi
dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau
komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama,
aktivitas yang terorganisir, peran-peran yang berarti; suatu bentuk
kesepian yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan
dan cemas. Bentuk kesepian dapat terjadi ketika seseorang mengalami
salah satu kesepian tanpa mengalami yang lain. Kesepian berkaitan
dengan usia. Stereotipe yang popular menggambarkan usia tua sebagai
masa kesepian besar.
Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) kesepian dapat
dibagi menjadi tiga bentuk berdasarkan durasi kesepian yang dialaminya,
yaitu:
1. Transcient loneliness yaitu perasaan kesepian yang singkat dan
muncul sesekali, banyak dialami individu ketika kehidupan
sosialnya sudah cukup layak. Meer mengemukakan bahwa
transcient loneliness memiliki jangka waktu yang pendek, seperti
ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang
mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh
(dalam Newman & Newman, 2006).
2. Transitional loneliness yaitu ketika individu yang sebelumnya
sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi kesepian
setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya (misalnya
meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat
baru).
3. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak
dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya
setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan
waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor
yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja
berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat
intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg &
Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan
social tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan
komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap
orang lain memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan
tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000)

C. Penyebab
Menurut Sears et al. (2009: 216) orang yang kesepian cenderung lebih
tertutup dan pemalu, lebih sadar diri dan kurang asertif. Orang yang kesepian
sering memiliki keterampilan sosial yang buruk. Kesepian juga berkaitan
dengan kecemasan dan depresi. Ada dua faktor yang mendorong kesepian
(Cheryl & Parello 2008: 67 ) yaitu :
1. Faktor situasional
Faktor ini mengenai situasi kehidupan yang dialami ketika perasaan
seseorang akan menjadi kesepian. Situasi kehidupan, seperti
perceraian, perpisahan, sosial situasi individu dirawat di rumah sakit
atau sakit kronis anak-anak atau anggota keluarga, dan mereka yang
baru saja pindah kelingkungan baru.
2. Faktor characterological
Characterological faktor yang mendorong kesepian adalah ciri-ciri
kepribadian seperti introversi, rasa malu, dan rendah diri. Individu
dengan ciri-ciri kepribadian dapat dilihat di lingkungannya. Sejumlah
faktor telah dihipotesiskan untuk berkontribusi kesepian seperti
karakteristik demografi, pengaturan hidup, dan karakteristik
kepribadian. Pendapat dan penilaian diri akan status kesehatan juga
telah disarankan sebagai kontributor untuk kesepian. Alpass & Neville
(2010:212) menemukan 30 keterbatasan fisik, kurangnya perawatan
kesehatan, sikap, dan lainnya yang signifikan berkontribusi terhadap
kesepian pada lansia. Kesepian dapat mengancam perasaan nilai
pribadi dan merusak kepercayaan pada kemampuan untuk
mengembangkan dan memelihara hubungan interpersonal (Alpass &
Neville, 2010: 213)
D. Penanganan
Terdapat dua cara yang bisa ditempuh oleh lansia untuk dapat
menghilangkan rasa kesepian yang dialami :
a. Dari lansia itu sendiri
Seorang lansia di rumah dapat menjalin kontak sosial dengan teman,
tetangga atau sanak saudara.
Misalnya aktif dalam berbagai kegiatan sosial, senam, paduan suara,
hobi, atau kegiatan keagamaan. Bahkan kegiatan ini perlu
dipersiapkan dan dirintis sejak pralansia. Kegiatan dan keterikatan
dalam kelompok akan menghadirkan nuansa kegembiraan pada saat
pertemuan berlangsung. Setidaknya lansia memiliki agenda kapan
bisa bertemu dengan teman-teman untuk saling bertukar informasi
dan bersendau gurau. Kegiatan periodik ini merupakan kegiatan yang
dinanti-nantikan serta mampu membangkitkan semangat hidup.
Mengingat arti penting kegiatan sosial ini maka setiap kegiatan perlu
diisi dengan acara yang bersifat meningkatkan kualitas hidup baik
fisik maupun psikisnya.
Kontak sosial tidak harus dalam arti kontak secara fisik.
Jika kontak fisik tidak dapat dilakukan lansia bisa menggunakan
media yang mampu membantu lansia untuk melakukan kontak sosial
yaitu melalui telpon, surat atau e-mail, kiriman lagu lewat radio, atau
cara lain yang menjadi penghubung dengan orang lain. c. Bila rasa
kesepian datang agar melakukan suatu aktivitas seperti : membaca,
menulis, mendengarkan musik, melihat TV, berjalan-jalan,
berbelanja, menyiram tanaman, memberi makan binatang peliharan,
menyapu, menyanyi, mengatur buku, membersihkan kamar, dan
kegiatan lain yang mungkin dilakukan yang menimbulkan rasa
senang dan sibuk untuk menghalau kesepian, menelpon atau
mengunjungi teman untuk mengobrol, diskusi, atau membicarakan
sesuatu).
Secara sistematis dapat juga dengan langkah sebagai berikut:
1. Catat kegiatan yang mendatangkan rasa senang dan lakukan
dalam agenda kegiatan sehari-hari,
2. Tingkatkan kegiatan dan hindari waktu luang yang panjang,
berkomunikasi dengan orang lain sehingga memperoleh
dukungan dan stimulan dari orang lain.
3. Tingkatkan berfikir positif dan pelajari terus serta praktekkan cara
untuk lebih nyaman.
b. Dari pihak orang lain
Penanganan dari pihak lain baik oleh anak, cucu, sanak keluarga
maupun orang lain yang peduli pada lansia. Keuntungannya selain
mengurangi rasa kesepian juga memonitor kondisi kesehatan.
Disediakan radio, TV , telpon dan lain sebagainya. Adanya tetangga
dekat sangat besar perannya. Bahkan ada yang sengaja berjualan
dengan tujuan agar tidak kesepian.

2.2 Depresi Pada Lansia


A. Pengertian
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat
merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons
dari kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan. Depresi pada lansia
adalah depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia adalah
didiagnosa ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti
( mood terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan)
bersama dengan empat atau lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2
minggu: perasaan diri tidak berguna atau perasaan bersalah, berkurangnya
kemampuan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi
atau retardasi psikomotor, insomnia atau hipersomnia, perubahan signifikan
pada berat badan atau selera makan, dan pemikiran berulang tentang kematian
atau gagasan tentang bunuh diri (American Psychiatric Association/APA,
2000).
Depresi menurut WHO (2010) merupakan suatu gangguan mental
umum yang ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau
minat, perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur,
kurang energi,dan konsentrasi yang rendah. Depresi adalah perasaan sedih,
ketidakberdayaan dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan.
Dapat berupa serangan yang ditujukan kepada diri sendiri atau perasaan
marah yang dalam (Nugroho, 2012) Depresi merupakan kondisi emosional
yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat sangat mendalam,
perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain dan tidak
dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat serta
kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Davison dkk, 2006).
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan komponen
psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal, putus asa
dan penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda
Wahywlingsih dan Sukamto).
B. Penyebab
Dalam Kaplan & Sadock, 2010 penyebab terjadinya depresi adalah :
a. Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic-
seperti asam 5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA)
dan 3 metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG)- di dalam darah, urine dan
cairan serebrospinalis pasien dengan gangguan mood. Laporan data ini
paling konsisten dengan hipotesisi bahwa gangguan mood disebabkan
oleh disregulasi heterogen amin biogenic.
b. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola
pewarisan genetik terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Tidak
hanya menyingkirkan pengaruh psikososial tetapi faktor nongenetik
mungkin memiliki peranan kausatif didalam timbulnya gangguan mood
pada beberapa orang. Komponen genetik memiliki peranan yang
bermakna didalam gangguan bipolar I daripada gangguan depresi berat.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan penuh tekanan lebih sering timbul mendahului
episode gangguan mood yang mengikuti. Hubungan ini telah dilaporkan
untuk pasien gangguan depresif berat dan gangguan depresif I. sebuah
teori yang diajukan untuk menerangkan pengamatan ini adalah bahwa
stress yang menyertai episode pertama mengakibatkan perubahan yang
bertahan lama didalam biologi otak.Perubahan yang bertahan lama ini,
dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan system pemberian sinyal interaneuron, perubahan
yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak
sinaps yang berlebihan. Akibatnya seseorang memiliki resiko tinggi
mengalami episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor
eksternal.
Sejumlah klinis bahwa peristiwa hidup memegang peranan utama dalam
depresi. Klinisi lain menunjukkan bahwa peristiwa hidup hanya
memegang peranan terbatas dalam awitan dan waktu depresi. Data yang
paling meyakinkan menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling
sering menyebabkan timbulnya depresi dikemudian hari pada seseorang
adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stresor lingkungan
yang paling sering menyebabkan timbulnya awitan depresi adalah
kematian pasangan. Factor resiko lain adalah PHK.Seseorang yang
keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung memberikan
laporan gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja.
d. Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi dibawah situasi
yang sesuai. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu seperti
objektif kompulsif, histrionic dan borderline mungkin memiliki resiko
yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan
gangguan kepribadian antisocial atau paranoid. Gangguan kepribadian
paranoid dapat menggunakan mekanisme defense proyeksi dan
mekanisme eksternalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari
kemarahan didalam dirinya. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
gangguan kepribadian tertentu terkait dengan timbulnya gangguan
bipolar I dikemudian hari. Meskipun demikian, orang dengan gangguan
distemik dan siklotimik memiliki resiko gangguan depresi berat atau
gangguan bipolar I kemudian hari.
f. Faktor Psikodinamik Depresi
Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund freud
dan dikembangkan Karl Abraham dikenal dengan pandangan klasik
mengenai depresi. Teori ini memiliki 4 poin penting :
1. Gangguan hubungan ibu-bayi selama fase oral (10-18
bulanpertama kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan
selanjutnya terhadap depresi
2. Depresi dapat terkait dengan kehilangan objek yang nyata atau
khayalan
3. Introyeksi objek yang meninggal adalah mekanisme pertahanan
yang dilakukan untuk menghadapi penderitaan akibat kehilangan
objek
4. Kehilangan objek dianggap sebagai campuran cinta dan benci
sehingga rasa marah diarahkan kedalam diri sendiri.
C. Tanda dan Gejala
PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III)
dalam penelitia Trisnapati (2011) yang menyebutkan depresi gejala menjadi
utama dan lainnya seperti dibawah ini :
Gejala utama meliputi :
1. Perasaan depresif atau perasaan tertekan
2. Kehilangan minat dan semangat
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah.
Gejala lain meliputi :
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Perasaan bersalah dan tidak berguna
3. Tidur terganggu
4. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
5. Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6. Pesimistik
7. Nafsu makan berkurang
D. Tingkat Depresi
Berpedoman pada PPDGJ III dalam penelitian Trisnapati 2011
dijelaskan bahwa, depresi digolongkan ke dalam depresi berat, sedang dan
ringan sesuai dengan banyk dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap
fungsi kehidupan seseorang. Gejala tersebut terdiri atas gejala utama dan
gejala lainnya yaitu :
1. Ringan, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala depresi
utama ditambah dua dari gejala lainnya namun tidak boleh ada gejala
berat diantaranya. Lama periode depresi sekurang- kurangnya selama
dua minggu. Hanya sedikit kesulitan kegiatan sosial yang umum
dilakukan.
2. Sedang, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama
depresi seperti pada episode depresi ringan ditambah tiga atau empat
dari gejala lainnya. Lama episode depresi minimum dua minggu serta
menghadaapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial.
3. Berat, tanpa gejala psikotik yaitu semua tiga gejala utama harus ada
ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya. Lama episode
sekurang-kurangnya dua minggu akan tetapi apabila gejala sangat
berat dan onset sangat cepat maka dibenarkan untuk menegakkan
diagnosa dalam kurun waktu dalam dua minggu. Orang sangat tidak
mungkin akan mampu meneruska kegiatan sosialnya.
E. Gambaran Klinis Depresi pada Lansia
Mengenali depresi pada usia lanjut memerlukan suatu keterampilan
dan pengalaman, karena manifestasi gejala-gejala depresi klasik (perasaan
sedih, kurang semangat, hilangnya minat/hobi atau menurunya aktivitas)
sering tidak muncul. Sangat tidak mudah untuk membedakan sekuele gejala
psikologik akibat penyakit fisik dari gangguan depresi atau gejala somatik
depresi dari efek sistemik penyakit fisik. Keduanya bisa saja terjadi pada
seorang individu usia lanjut pada saat yang sama. Usia lanjut yang mengalami
depresi bisa saja mengeluhkan mood yang menurun, namun kebanyakan
menyangkal adanya mood depresi, yang sering terlihat adalah gejala
hilangnya tenaga/energi, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur, atau
kehilangan rasa sakit/nyeri (Depkes RI, 2001).
Menurut Brodaty, 1991 dalam Depkes RI (2001), gejala yang sering
muncul adalah anxietas atau kecemasan, preokupasi gejala fisik, perlambatan
motorik, kelelahan, mencela diri sendiri, pikiran bunuh diri, dan insomnia.
Sedangkan gejala depersonalisasi, rasa bersalah, minat seksual menurun agak
jarang. Sebagai petunjuk kearah depresi perlu diperhatikan tanda-tanda
berikut (Depkes RI, 2001) :
a. Rasa lelah yang terus menerus bahkan juga sewaktu beristirahat
b. Kehilangan kesenangan yang biasanya dapat ia nikmati (tidak
merasa senang lagi jika dikunjungi oleh cucu-cucunya),
c. Mulai menarik diri dari kegiatan dan interaksi sosial.
Gambaran klinis depresi pada usia lanjut dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda berbeda, usia lanjut cenderung meminimalkan atau
menyangkal mood depresinya dan lebih banyak menonjolkan gejala
biologisnya, disamping mengeluh tentang gangguan memori, juga pada
umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena kurang dapat
menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan depresi yang
mereka alami.
F. Penatalaksanaan
Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan
kepribadian masing-masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi
merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada
kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup,
diperlukan farmakoterapi.
Banyak orang membutuhkan dukungan dari penting dalam
penyembuhan dan dapat mencegah episode kekambuhan penyakit. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok di lingkungan
merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas
hidup.
Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat
antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya
mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan
cara menormalkan neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti
serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada
lansia dengan depresi mayor dan selective serotonin reuptake
inhibitors(SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Beberapa obat
antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan dan
kekurangan tiap golongan ada pada tabel 6. Pemilihan obat tersebut per
individu dengan pertimbangan efek samping dari tiap golongan.
Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal
terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu.
Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat
antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua
golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan,
obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy)
selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila
kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan
tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%.
Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak
menimbulkan gejala seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip
flu (flu-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi
perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya.
Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk
therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi.
Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau
konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-behavioral
therapy (CBT ) dan interpersonal therapy. CBT terfokus pada orang-orang
terdekat terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan
kelompok, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi
depresi. Selain itu, mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut
merupakan salah satu bagian cara baru berpikir untuk mengubah perilaku,
terapis membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif
yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy
membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan hubungan
sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak penderita
mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan memahami cara
menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi ringan; jika
depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan menimbulkan depresi
berulang.
2.3 Penyakit Degeneratif Pada Lansia
A. Pengertian
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang mengiringi proses penuaan
pada seseorang seiring bertambahnya usia. Penyakit degeneratif merupakan
istilah yang secara medis digunakan untuk menerangkan adanya suatu proses
kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang diketahui, yaitu dari keadaan
normal sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. Tubuh mengalami
defisiensi produksi enzim dan hormon, imunodefisiensi, peroksida lipid,
kerusakan sel (DNA), pembuluh darah, jaringan protein dan kulit. Penyebab
penyakit sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok penyakit
yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sedikit terjadi pada salah
satu anggota keluarga (faktor familial) sehingga sering disebut penyakit
heredodegeneratif. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sulit
diperbaiki serta merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh gaya hidup
seseorang. Gaya hidup orang yang sehat akan memperlihatkan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan serta meningkatkan status
kesehatannya (Notoadmojo, 2010).
B. Tanda Penyakit Degenerative
a) Perubahan fisik
1. Sistem Persyarafan
Perubahan persyarafan meliputi :
Berat otak yang menurun 10-20% (setiap orang berkurang sel syaraf
otaknya dalam setiap harinya), cepat menurunnya hubungan
persyarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya
dengan stress, mengecilnya syaraf panca indra, berkurangnya
penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman
dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu, serta kurang
sensitive terhadap sentuhan.
2. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi :
Timbulnya sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih
berbentuk sferis (bola), terjadi kekeruhan pada lensa yang
menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya
adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat pada
cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang
pandang, serta menurunnya daya untuk membedakan warna biru atau
hijau. Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran
pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga
terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur menjadi
lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi
kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang
warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun tampak sama.
Pandangan dalam area yang suram dan adaptasi terhadap
kegelapan berkurang (sulit melihat dalam cahaya gelap) menempatkan
lansia pada risiko cedera. Sementara cahaya menyilaukan dapat
menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk membedakan
objek-objek dengan jelas, semua hal itu dapat memengaruhi
kemampuan fungsional para lansia sehingga dapat menyebabkan lansia
terjatuh.
3. Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi :
Terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal
dan menjadi kaku, menurunnya kemampuan jantung untuk memompa
darah yang menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh
darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat
mengakibatkan tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari
duduk ke berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah
perifer.
4. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pencernaan, meliputi :
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi
setelah umur 30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas
saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar,
rasa lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul
konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil dan
tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
5. Sistem Endokrin
Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi:
Produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, dan daya pertukaran zat
menurun, Produksi aldosteron menurun, Sekresi hormon kelamin,
misalnya progesterone, estrogen, dan testoteron menurun.
6. Sistem musculoskeletal
Perubahan pada sistem musculoskeletal meliputi :
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan
dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan,
tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut
otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan
menjadi tremor, aliran darah ke otot berkurang sejalan dengan proses
menua.
Semua perubahan tersebut dapat mengakibatkan kelambanan
dalam gerak, langkah kaki yang pendek, penurunan irama. Kaki yang
tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang
goyah, perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah atau
terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan terpeleset, tersandung,
kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan jatuh.
b) Perubahan mental
Faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu
perubahan fisik kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan
(hereditas), dan lingkungan. Kenangan (memory) terdiri dari kenangan
jangka panjang (berjamjam sampai berharihari yang lalu mencakup
beberapa perubahan), dan kenangan jangka pendek atau seketika (0-10
menit, kenangan buruk). I.Q. (Intellegentian Question) tidak berubah
dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya
penampilan, persepsi dan keterampilan psikomotor (terjadinya perubahan
pada daya membayangkan karena tekananteanan dari faktor waktu).
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan
struktural dan fisiologis, begitu juga otak. Perubahan ini disebabkan
karena fungsi neuron di otak secara progresif. Kehilangan fungsi ini akibat
menurunnya aliran darah ke otak, lapisan otak terlihat berkabut dan
metabolisme di otak lambat. Selanjutnya sangat sedikit yang di ketahui
tentang pengaruhnya terhadap perubahan fungsi kognitif pada lanjut usia.
Perubahan kognitif yang di alami lanjut usia adalah demensia dan
delirium.
Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis lansia
menurut Darmojo, (2004) yaitu adanya perubahan dari sistem persyarafan
dapat dipicu oleh gangguan dari stimulasi dan inisiasi terhadap respon dan
pertambahan usia. Perubahan pada lansia dapat diasumsikan terjadi respon
yang lambat yang dapat mengganggu dalam beraktivitas akan menurun
disebabkan antara lain oleh motivasi, kesehatan, dan pengaruh dari
lingkungan. Pada lansia yang mengalami kemunduran dalam kemampuan
mempertahankan posisi mereka dan menghindari kemungkinan jatuh.
Terdapat kemampuan untuk mempertahankan posisi dipengaruhi oleh tiga
fungsi yaitu: Keseimbangan (Balance), Postur tubuh, Kemampuan
berpindah.
Adapun gangguan yang sering muncul pada lansia diantaranya
dizziness, sinkop, hipotermi dan hipertermi, gangguan tidur, delirium, dan
demensia. Salah satu bentuk dari demensia pada lansia adalah alzheimers
disease yang penyebabnya belum di ketahui.
Sedangkan menurut Kushariyadi (2010), perubahan yang terjadi
pada sistem neurologis lansia adalah perubahan pada lansia dari cara
bicara dan berkomunikasi, perubahan pada pola tidur lansia, perubahan
status mental, perubahan status memori, perubahan kepribadian dan
kehilangan keseimbangan (gangguan cara berjalan).
C. Klasifikasi
1. Hipertensi
Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan
sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan
diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg.
Seseorang dikatakan terkena hipertensi mempunyai tekanan dara sistolik
140mmHg dan tekanan darah diastoltik 90mmHg. Seseorang dikatakan
terkena hipertensi tidak hanya dengan 1 kali pengukuran, tetapi 2 kali atau
lebih pada waktu yang berbeda. Waktu yang paling baik saat melakukan
tekanan darah adalah saat istirahat dan dalam keadaan duduk atau
berbaring.
2. Osteroporosis
Osteoporosis adalah penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai
dengan rendahnya massa tulang dan penipisan jaringan tulang. Hal
tersebut dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
Diagnosis dari penyakit ini berdasarkan massa tulang. Karena penyakit ini
tidak memberikan gejala hingga terjadi patah tulang, maka penting untuk
dilakukan skrining untuk mencegah penyakit ini. Selain itu, penderita juga
harus menjaga diri dan melakukan penyesuaian agar tidak mudah jatuh,
misalnya kamar mandi menggunakan lantai yang kasar.
3. Diabetes Mellitus
Kencing manis (Diabetes Mellitus) adalah suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah secara terus menerus (kronis) akibat kekurangan insulin
baik kuantitatif maupun kualitatif. Faktor Risiko DM :
a. Faktor genetik (keturunan).
b. Gaya hidup pola makan yang salah.
c. Kurang aktivitas.
d. Kegemukan.
e. Gangguan lemak darah, HDL < 35 mg/dl atau Trigliserida 250
mg/dl.
f. Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah.
4. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh
adanya sumbatan pada pembuluh darah koroner. Pembuluh darah koroner
adalah pembuluh darah yang memperdarahi jantung. Sumbatan dari
pembuluh darah tersebut diakibatkan oleh adanya proses aterosklerosis
atau penumpukan lemak atau plak dipembuluh darah sehingga diameter
pembuluh darah makin kecil dan mengeras atau kaku. Proses
aterosklerosis terjadi perlahan-lahan seiring dengan waktu, tetapi pada
orang-orang dengan kadar lemak di dalam darah yang tinggi, proses ini di
pembuluh darah menjadi semakin cepat dan banyak.
5. Asam Urat
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan
kerusakan jaringan tulang rawan pada sendi yang ditandai dengan
perubahan pada tulang. Faktor resiko terjadinya penyakit ini adalah
genetik, perempuan, riwayat benturan pada sendi, usia dan obesitas.
Gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini adalah:
Nyeri pada sendi terutama setelah beraktivitas dan membaik setelah
beristirahat.
Kadang dapat ditemukan kekakuan di pagi hari, durasi tidak lebih
dari 30 menit.
Gejala tersebut menyebabkan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari dan bekerja. Umumnya sendi yang terkena adalah sendi-sendi yang
menopang tubuh seperti lutut, panggul, dan punggung.
D. Pencegahan Penyakit Degenerative
Faktor-faktor resiko utama penyebab penyakit degeneratif adalah pola
makan yang tidak sehat, kurangnya aktifitas fisik, serta konsumsi rokok. Pola
makan yang tidak sehat contohnya adalah mengkonsumsi makanan berlemak
jenuh seperti junk food serta makanan berkolestrol lainnya.
Melakukan kegiatan fisik dan olahraga (setiap hari jalan kaki) sangat
dianjurkan untuk meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,
meningkatkan fungsi jantung, paru dan otot serta memperlambat proses
penuaan. Selain berolahraga berjemur pada matahari pagi dan sore
memberikan kontribusi dalam menjaga aktifitas sel-sel tubuh. Sinar matahari
sesungguhnya sangat bermanfaat bagi kita. Yang terbaik bila kita disinari
cahaya matahari sebelum pukul 09.00 pagi dan setelah pukul 16.00 sore,
karena sinar matahari mengurangi kolesterol darah. Cara lain istirahat yang
cukup, hal ini akan menjaga tubuh dalam kondisi alkali (basa). Dalam kondisi
ini tubuh akan melakukan metabolism secara normal.
Proses penuaan sel-sel tubuh berjalan lebih lambat, hal ini sangat
menguntungkan jika terjadi pada alat-alat vital tubuh. Selain itu, makan
makanan bergizi seimbang. Manusia dalam proses pertumbuhan dan
perkembangannya, dimulai dari saat pembuahan, berlangsung sepanjang masa
hidupnya hingga dewasa sampai masa tua, memerlukan zat gizi yang
terkandung dalam makanan. Jadi manusia mendapat zat gizi atau nutrient
dalam bentuk makanan yang berasal dari hewan (hewani) dan tumbuh-
tumbuhan (nabati). Makanan dengan gizi seimbang adalah makanan yang
mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
2.4 Masalah Spiritual Pada Lansia
A. Pengertian
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang
manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul.
Kebutuhan dasar tersebut meliputi: kebutuhan fisiologis, keamanan dan
keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri. Aktualitas diri
merupakan sebuah tahapan Spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan
kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi,
kerendahatian serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Maslow 1970, dikutip
dari Prijosaksono, 2003).
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha
Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 1999). Spiritual juga disebut sebagai
sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain,
yang dapat diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah
terhadap orang lain, menghormati setiap orang untuk membuat perasaan
senang seseorang. Spiritual adalah kehidupan, tidak hanya doa, mengenal dan
mengakui Tuhan (Nelson, 2002).
Beberapa istilah yang membantu dalam pemahaman tentang spiritual
adalah : kesehatan spiritual adalah rasa keharmonisan saling kedekatan antara
diri dengan orang lain, alam, dan lingkungan yang tertinggi (Hungelmann et
al, 1985 dalam Potter & Perry, 1995). Ketidakseimbangan spiritual
(Spirituality Disequilibrium) adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi
ketika kepercayaan yang dipegang teguh tergoncang hebat. Kekacauan ini
seringkali muncul ketika penyakit yang mengancam hidup berhasil
didiagnosis (Taylor, 2002 dikutip dari Young, 2007).

B. Karakteristik Spiritual
Adapun karakteristik spiritualitas menurut Hamid (2000) meliputi :
1. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance)
meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya)
dan sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri sendiri).
2. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang tanaman,
pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam (bertanam,
berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi: berbagi
waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak,
orang tua dan orang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian
(mengunjungi, melayat dll), dikatakan tidak harmonis apabila: konflik
dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi.
4. Hubungan dengan Ketuhanan (agamais atau tidak agamais) meliputi:
sembahyang atau berdoa atau meditasi, perlengkapan keagamaan dan
bersatu dengan alam (hamid, 2000)

C. Dimensi Spiritual
Menurut Koezier & Wilkinson, (1993), dimensi spiritual adalah upaya
untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar,
berjuang untuk menjawab atau mendapat kekuatan ketika sedang menghadapi
stres emosional, penyakit fisik atau kematian.
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi
eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan
dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan
seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep
dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang
Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi
horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain
dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua
dimensi tersebut (Hawari, 2002).
D. Perkembangan Spiritual Lansia
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak
waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti agama dan
berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda.
Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi
kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan
mawas diri. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat
membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam
kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai
sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan (Hamid, 2000).
Mubarak et.al (2006), perkembangan spiritual yang terjadi pada lanjut
usia antara lain:
1. Agama/kepercayaan semakin terintegrasi dalam kehidupan
2. Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler :
universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara
mencintai dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Hendri Irawan. 2013. Gangguan Depresi Pada Lanjut Usia. (Online),


http://www.kalbemed.com/portals/6/06_210gangguan%20depresi%20pada%
20lanjut%20usia.pdf, diakses pada tanggal 5 November 2017 pukul 13.30
WITA)

Universitas Sumatra Utara. 2007. Kesepian (Loneline). (Online),


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22288/5/Chapter%20II.pdf,
diakses pada tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA)

Universitas Sumatra Utara. 2011. Spiritual. (Online),


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20906/4/Chapter%20II.pdf,
diakses pada tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA)

Ani. 2012. Depresi pada Lansia. http://digilib.unila.ac.id/6562/16/BAB%20I.pdf .


Diakses tanggal tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA

Browsch, Nuriel.2011. Diabetes Mellitus pada Lansia.


https://www.academia.edu/10720499/DM_lansia . Diakses tanggal 5
November 2017 pukul 13.30 WITA .

Esa. 2010. Masalah Spiritual Lansia. http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-


Undergraduate-2527-bab1.pdf. tanggal 5 November 2017 pukul 13.30
WITA

Indra Juana, Teuku. 2011. Depresi pada Lansia.


https://www.scribd.com/doc/70898168/Depresi-pada-lansia. Diakses
tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA
Kurniawati, Vetty. 2012. Kesepian (Loneliness) pada Lansia.
http://eprints.undip.ac.id/44194/3/VettyKurniawati_G2A009145_BA
B2KTI.pdf. Diakses tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA

Monday, Sulay.2010. Penyakit Degeneratif.


https://www.academia.edu/8935032/Penyakit_degeneratif. Diakses
tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA

Purwadi,Esti. 2013. Penyakit Degeneratif.


https://www.scribd.com/doc/245611326/Makalah-Penyakit-
Degeneratif. Diakses tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA

Soraya.2011. Penyakit Degeneratif pada Lansia.


http://dokumen.tips/download/link/makalah-penyakit-degeneratif-
lansia-newdocx . Diakses tanggal 5 November 2017 pukul 13.30
WITA

Suwita. 2012. Gangguan Depresi pada Lansia.


http://www.kalbemed.com/portals/6/06_210gangguan%20depresi%20
pa. Diakses tanggal 5 November 2017 pukul 13.30 WITA

Anda mungkin juga menyukai