Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENGANTAR FARMASI KLINIS

MESO ( MONITORING EFEK SAMPING OBAT)

KELOMPOK IV

NAMA KELOMPOK

1. YULIA NOFITASARI 1311011005


2. NISA KURNIA SARI 1311011065
3. OCTY AISYAHHARMA 1411011038
4. MEGARASWITA S 1411012036

DOSEN : Dr. (Clin.Pharm) Dedy Almasdy, M.Si,Apt

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar
farmasi klinis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalh ini jauh dari
sempurna dan disana sini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Pada kesempatan ini juga kami tak lupa mengucapkan terimakasih. Dan
semoga dengan selesainya akalh ini dapt bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Padang, 23 februari 2017

Penulis
BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia,


sebagai lembaga yang mengemban otoritas regulatori di bidang obat di Indonesia
mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua
produk obat yang beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat dan mutu. Secara khusus, kegiatan pengawasan pasca pemasaran utamanya
pemantauan aspek keamanan obat merupakan upaya Badan POM dalam rangka
jaminan keamanan obat (ensuring drug safety) pasca pemasaran. Kegiatan ini
merupakan kegiatan strategis pengawasan yang harus dilakukan secara
berkesinambungan, karena upaya jaminan keamanan obat pasca pemasaran akan
berdampak pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai
pengguna akhir dari suatu obat. Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat
pasca pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan
penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat
dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan
pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal
dengan istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen
penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara
umum.

2. Rumusan Masalah
1. Apa itu MESO (Monitoring Efek Samping Obat) ?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu MESO (Monitoring Efek Samping Obat) ?
2. Untuk mengetahui tujuan dari MESO (Monitoring Efek Samping Obat ?
BAB II. ISI

A. Efek Samping Obat


Munculnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau Efek Samping
Obat (ESO) harus diwaspadai pada pemakaian semua jenis obat yang
digunakan oleh pasien, baik obat yang diresepkan maupun obat yang dapat
dibeli bebas. Untuk itu, diperlukan peran Farmasis, sebagai bagian dari tenaga
kesehatan yang mempelajari obat secara mendalam, baik di rumah sakit
maupun apotek. Keamanan penggunaan obat perlu dijamin bukan hanya pada
saat dalam tahap uji coba tetapi juga pada saat obat tersebut telah dipasarkan
dan digunakan. Oleh karena itu peran Farmasis sangat penting dalam
menentukan keberhasilan dan keamanan pengguna obat/pasien.
Efek samping obat (ESO) sering merupakan kejadian yang menyertai
terapi obat, dan lebih mungkin terlihat bila pemakaian obat sudah meluas.
Namun yang menjadi masalah utama adalah pelaporan ESO yang sangat
sedikit (10%). Padahal pemantauan Efek Samping Obat adalah tanggung
jawab kita bersama, yang sangat memerlukan perhatian dan keterlibatan
banyak unsur di dalam masyarakat, dan diharapkan dapat berlangsung secara
terus menerus.
Dengan demikian kejadiannya dapat ditekan sekecil mungkin, dan
terulangnya kasus yang sama dapat dihindari. ESO yang tidak terdeteksi pada
uji awal,. mungkin terlihat bila pemakaiannya sudah Iebih Iuas. Namun yang
menjadi masalah utama adalah pelaporan ESO yang sangat sedikit(10%).
Salah satu kesulitan dalam pemantauan ESO adalah bila ESO itu
jarang sekali terjadi. Namun jalan keluarnya adalah dengan melakukan studi
kontrol, yaitu dengan membandingkan kelompok penderita yang mengalami
gejala-gejala efek samping tertentu dengan kelompok kontrol yang dipapari
oleh faktor/ obat yang sama. Masih ada cara lain untuk memantau ESO, yaitu
pemantauan intensif. Pengumpulan informasi yang meliputi latar belakang
informasi (umur, berat/tinggi badan, dan lain-lain), riwayat penyakit, obat
yang diberikan, ESO, perubahan nilai uji laboratorium, dll.

B. Masalah Efek Samping Obat


Obat, selain memberikan efek terapi yang diharapkan, juga dapat
memberikan efek yang tidak diinginkan yaitu efek samping obat, atau
adverse drug reaction. Efek samping merupakan efek sekunder, efek yg
tidak diinginkan, dapat diprediksi. Kedua efek muncul dengan frekuensi dan
durasi yang berbeda pada setiap individu, tergantung dari dosis obat, frekuensi
penggunaan, cara pakai, kondisi fisik, dan faktor genetis sang pengguna.
Hampir sebagian besar obat memiliki efek samping karena jarang
sekali obat yang beraksi cukup selektif pada target aksi tertentu. Suatu obat
bisa bekerja pada suatu reseptor tertentu yang terdistribusi luas dalam
berbagai jaringan di tubuh. Sehingga walaupun sasarannya adalah reseptor
pada pembuluh darah jantung misalnya, ia bisa juga bekerja pada reseptor
serupa yang ada di saluran nafas, sehingga menghasilkan efek yang tak
diinginkan pada saluran nafas. Contohnya, obat anti hipertensi propanolol
dapat memicu serangan sesak nafas pada pasien yang punya riwayat asma.
Misalnya Digitalis : meningkatkan konstraksi miokard, Efek sampingnya:
mual, muntah.
Semakin selektif suatu obat terhadap target aksi tertentu, semakin kecil
efek sampingnya. Dan itulah yang kemudian dilakukan pada ahli produsen
obat untuk membuat suatu obat yang semakin selektif terhadap target aksi
tertentu, sehingga makin kurang efek sampingnya.
Efek samping tidak dapat dihindari atau dihilangkan sama sekali,
tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari
factor-faktor resiko yang sebagian besar sudah diketahui.
C. Macam-macam Efek Samping
1. Obat Tipe A
Efek Samping Tipe A adalah efek samping yang sudah terdeteksi saat
uji klinik, berkaitan dengan dosis (dose-related) dan timbul berkaitan dengan
efek farmakologi (khasiat) dari obat tersebut. Meningkatkan efek samping
yang ditimbulkan, secara umum efek samping tipe A ini tidaklah berat.
Contohnya penggunaan fenotiasin dapat menimbulkan ekstrapiramidal karena
efek anti kolinergiknya, penurunan dosis berkemungkinan dapat menurunkan
efek sampingnya.
Peningkatan efek farmakologi melebihi normal suatu obat pada dosis
terapi yang dianjurkan, seperti bradikardia pada pengguna antagonist beta-
adrenoseptor dan perdarahan pada pengguna antikoagulan. Mudah diduga
(prediktabilitas tinggi) melalui pengenalan efek farmakologi obat yang
bersangkutan, biasanya tergantung pada dosis yang digunakan. Insiden dan
mordibitasnya tinggi tetapi umumnya memiliki angka mortalitas yang rendah.
Sering timbul akibat perubahan farmakokinetik obat oleh penyakit atau
farmakoterapi yang bersamaan.
Efek Samping Tipe A bersifat intrinsik, bergantung dari konsentrasi,
dosis, serta bahan-bahan kimia yang dikandung oleh suatu jenis obat.
Umumnya merupakan kelanjutan khasiat terapetik. Kejadiannya dapat
diprediksi sebelumnya. Insidens tipe ini paling tinggi. Reaksi-reaksi ini dapat
diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder obat dan biasanya
tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk hipoglikemia
dengan hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi. Reaksi ini
harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi dosis.
Reaksi-reaksi ini dapat diprediksi dalam hal farmakologi primer dan sekunder
obat dan biasanya tergantung kepada dosis. Contoh jenis reaksi ini termasuk
hipoglikemia dengan hipoglikemi oral dan hipotensi dengan anti-hipertensi.
Reaksi ini harus diantisipasi, dan sering bisa dieliminasi dengan mengurangi
dosis.
2. Obat Tipe B
ESO type B (ESO dose Independent) ialah ESO yang merupakan
suatu respon jarang atau tidak umum terjadi dan tidak dapat diduga
sebelumnya. Si ESO tipe B tidak berhubungan dengan khasiat farmakologik
obat, dan yang terjadi tidak bergantung pada dosis. Reaksi ini lebeh jarang
terjadi (dibanding dengan tipe A), tetapi lebih sering bersifat fatal.
Reaksi tipe B ini biasanya berat, bahkan sering menyebabkan
kematian dan pengurangan dosis tidak bermanfaat untuk mengurangi efek
amping. Oleh karene itu, pemberian obat harus segera dihentikan. Reaksi tipe
B ini umumnya bersifat imunologik dan dapat timbul sebagai syok anafilakti
atau hiperfeleksi maligna.
Untuk menghindari dan untuk kewaspadaan kita terhadap reaksi tipe B
ini.diperlukan data-gata berisi informasi mengenai ESO yang telah dilaporkan
dari pengalaman pemakaian obat, atau dari evaluasi pemakaian obat.
3. Obat Tipe C (Chronic)
Reaksi yang terkait dengan penggunaan obat jangka lama, contohnya
adalah ketergantungan Benzodiazepine, chloroquine dan analgesik nefropati
(kerusakan pada ginjal). Reaksi-reaksi dapat dijelaskan dengan baik dan
kronik tetapi dapat diantisipasi.

. 4. Obat Tipe D
Efek samping obat tertunda/lambat yang terjadi beberapa tahun setelah
terapi seperti karsinogen (penyabab kanker) dan teratogen. Diperkirakan
bahwa toksisitas tersebut dihalangi oleh penelitian mutagenisitas praklinis.
Penelitian karsinogen untuk senyawa kimia baru perlu dilakukan secara
menyeluruh sebelum lisensi produk diberikan
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing,
baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek
samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat
bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko
obat, dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah.
Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling
dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi
pengobatan.
Upaya pencegahan
Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan
untuk melakukan hal-hal berikut:
a. Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-
waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun
dari pengobatan sendiri
b. Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-
farmakoterapi
c. Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus
d. Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi,
usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan
jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi
karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran
e. Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat
bila dirasa tidak perlu lagi
f. Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau
penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut
karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena
efek samping obat
Penanganan efek samping
Dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme
terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut
ini:

a. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah
bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat
efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi
pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis
kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus
diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi
alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat
penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang
mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.

b. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.Pada
bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang
spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat
serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi,
diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau
kortikosteroid (bila diperlukan), dan lain-lain.

D. MESO (Monitoring Efek Samping Obat)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek Samping Obat/ESO (Adverse
Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan
tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada
manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk
modifikasi fungsi fisiologik (Syah, 2012).

Tujuan MESO :
a. Memberikan kesempatan untuk mengenali suatu obat dengan baik dan untuk
mengenali respon orang terhadap obat.
b. Membantu meningkatkan pengetahuan tentang obat, manusia atau penyakit
dari waktu ke waktu.
c. Menerima info terkini tentang efek samping obat (Purwantyastuti, 2010).
d. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang.
e. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenal
dan yang baru saja ditemukan.
f. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya efek samping obat.
g. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki.
h. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (Syah,
2012).

E. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat


Menurut BPOM (2012) MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia
masih bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir
pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning.
Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan
dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga
pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare provider
merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).

Pelaporan Monitoring Efek Samping Obat dapat dilakukan oleh


Tenaga kesehatan, yaitu:
a. dokter,
b. dokter spesialis,
c. dokter gigi,
d. apoteker,
e. bidan,
f. perawat, dan
g. tenaga kesehatan lain.
Hal-hal yang perlu dilaporkan adalah setiap kejadian yang dicurigai
sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek samping yang belum
diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR). Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat
melaporkan kejadian efek samping obat yang terjadi segera setelah muncul
kasus diduga ESO atau segera setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi
dari laporan keluhan pasien yang sedang dirawatnya.
Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO
dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai berikut:
a. Kode sumber data : Diisi oleh Badan POM

b. Informasi tentang
penderita
- Nama (singkatan) : Diisi inisial atau singkatan nama
pasien, untuk menjaga kerahasiaan
identitas pasien
- Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umut
pasien. Untuk pasien bayi di bawah 1
tahun diisi angka dari minggu (MGG)
atau bulan (BL) sesuai umur bayi,
dengan diikuti penulisan huruf MGG
atau BL misal 7 BL
- Suku : Diisi informasi nama suku dari pasien
- Berat Badan : Diisi angka dari berat badan pasien
(Kg)
- Pekerjaan : Diisi apabila jenis pekerjaan pasien
mengarah kepada kemungkinan
adnaya hubungan antara jenis
pekerjaan dengan gejala atau
manifestasi KTD atau ESO
- Kelamin : Apabila pasien berjenis kelamin
wanita, agar diberi keterangan dengan
memberikan tanda (X) pada pilihan
kondisi berikut : hamil, tidak hamil,
atau tidak tahu
- Penyakit Utama : Diisikan informasi diagnosa penyakit
yang diderita pasien sehingga pasien
harus menggunakan obat yang
dicurigai menimbulkan KTD atau ESO
- Kesudahan penyakit : Diisi informasi kesudahan/outcome
utama dari penyakit utama, pada saat pasien
mengeluhkan atau berkonsultasi
tentang KTD/ESO yang dialaminya.
Terdapat pilihan pada formulir kuning
beri tanda (X) pada informasi :
sembuh, meninggal, sembuh dengan
gejala sisa, belum sembuh, atau tidak
tahu
- Penyakit/kondisi lain yang : Diisi informasi tentang
menyertai penyakit/kondisi lain di luar penyakit
utama yang sedang dialami pasien
bersamaan dengan waktu mula
menggunakan obat dan kejadian
KTD/ESO. Terdapat pilihan dan
berikan tanda (X) pada informasi
seperti gangguan ginjal, gangguan
hati, dll. Informasi ini bermanfaat
untuk proses evaluasi hubungan
kausal, untuk memverifikasi
kemungkinan penyebab lain dari
KTD/ESO

c. Informasi tentang
KTD/ESO
- Bentuk/manifestasi KTD : Diisi informasi tentang diagnosa
atau ESO KTD/ESO yang dikeluhkan atau
dialami pasien setelah menggunakan
obat yang dicurigai
- Saat/tanggal mula terjadi : Diisi tanggal awal terjadinya KTD
atau ESO, dan juga jarak interval
waktu antara pertama kali obat
diberikan sampai terjadinya KTD/ESO
- Kesudahan KTD atau : Diisi informasi kesudahan/outcome
ESO dari KTD/ESO yang dialami oleh
pasien. Beri tanda (X) sesuai kondisi
seperti sembuh, meninggal, sembuh
dengan gejala sisa, belum sembuh,
atau tidak tahu
- Riwayat ESO yang pernah : Diisi informasi tentang riwayat atau
dialami pengalaman ESO yang pernah terjadi
pada pasien di masa lalu, tidak terbatas
terkait dengan obat yang saat ini
dicurigai menimbulkan KTD/ESO
namun juga obat lainnya

d. Obat
- Nama Obat : Ditulis semua nama obat yang
digunakan oleh pasien, baik yang
diberikan dengan resep maupun yang
digunakan atas inisiatif sendiri,
termasuk suplemen, obat tradisional
yang digunakan dalam waktu yang
bersamaan. Nama obat ditulis dengan
nama generik atau nama dagang.
- Bentuk sediaan : Ditulis bentuk sediaan dari obat yang
digunakan pasien
- Beri tanda (X) untuk obat
yang dicurigai
- Cara pemberian : Ditulis cara pemberian atau
penggunaan obat oleh pasien
- Dosis/waktu : Dosis :
Ditulis dosis obat yang digunakna oleh
pasien dinyatakan dalam satuan berat
atau volume
Waktu L
Ditulis waktu penggunaan obat oleh
pasien, dinyatakan dalam satuan waktu
- Tanggal mula : Ditulis tanggal dari pertama kali
pasien menggunakan obat yang
dilaporkan lengkap dengan bulan dan
tahun
- Tanggal akhir : Ditulis tanggal dari kali terakhir pasien
menggunakan obat yang dilaporkan
atau tanggal penghentian penggunaan
obat lengkap dengan bulan dan tahun
- Indikasi penggunaan : Ditulis jenis penyakit atau gejala
penyakit untuk maksud penggunaan
masing-masing obat
- Keterangan Tambahan : Ditulis semua keterangan tambahan
yang kemungkinan ada kaitannya
secara langsung atau tidak dengan
gejala KTD/ESO, misal kecepatan
timbulnya ESO, reaksi setelah obat
dihentikan, dll
- Data laboratorium (bila : Ditulis hasil uji laboratorium
ada) dinyatakan dalam parameter yang diuji
dan hasilnya apabila tersedia

e. Informasi pelapor : Informasi pelapor diperlukan untuk


klarifikasi lebih lanjut dan follow up
apabila diperlukan

Karakteristik suatu pelaporan spontan (Spontaneous reporting) yang


baik, meliputi beberapa elemen penting berikut:
1. Diskripsi efek samping yang terjadi atau dialami oleh pasien, termasuk
waktu mula gejala efek samping (time to onset of signs/symptoms).
2. Informasi detail produk terapetik atau obat yang dicurigai, antara lain:
dosis, tanggal, frekuensi dan lama pemberian, lot number, termasuk
juga obat bebas, suplemen makanan dan pengobatan lain yang
sebelumnya telah dihentikan yang digunakan dalam waktu yang
berdekatan dengan awal mula kejadian efek samping.
3. Karakteristik pasien, termasuk informasi demografik (seperti usia,
suku dan jenis kelamin), diagnosa awal sebelum menggunakan obat
yang dicurigai, penggunaan obat lainnya pada waktu yang bersamaan,
kondisi ko-morbiditas, riwayat penyakit keluarga yang relevan dan
adanya faktor risiko lainnya.
4. Diagnosa efek samping, termasuk juga metode yang digunakan untuk
membuat/menegakkan diagnosis.
5. Informasi pelapor meliputi nama, alamat dan nomor telepon.
6. Terapi atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien untuk
menangani efek samping tersebut dan kesudahan efek samping
(sembuh, sembuh dengan gejala sisa, perawatan rumah sakit atau
meninggal).
7. Data pemeriksaan atau uji laboratorium yang relevan.
8. Informasi dechallenge atau rechallenge (jika ada).
9. Informasi lain yang relevan.

Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk


menentukan atau menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping
yang terjadi atau teramati dengan penggunaan obat oleh pasien. Badan
Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan analisis kausalitas laporan
KTD/ESO. Sejawat tenaga kesehatan dapat juga melakukan analisis kausalitas
per individual pasien, namun bukan merupakan suatu keharusan untuk
dilakukan. Namun demikian, analisis kausalitas ini bermanfaat bagi sejawat
tenaga kesehatan dalam melakukan evaluasi secara individual pasien untuk
dapat memberikan perawatan yang terbaik bagi pasien. Tersedia beberapa
algoritma atau tool untuk melakukan analisis kausalitas terkait KTD/ESO.
Pendekatan yang dilakukan pada umumnya adalah kualitatif sebagaimana
Kategori Kausalitas yang dikembangkan oleh World Health Organization
(WHO), dan juga gabungan kualitatif dan kuantitatif seperti Algoritma
Naranjo.
Di dalam formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum
tabel Algoritma Naranjo, yang dapat sejawat tenaga kesehatan manfaatkan
untuk melakukan analisis kausalitas per individu pasien. Berikut diuraikan
secara berturut-turut Kategori Kausalitas. WHO dan Algoritma Naranjo.
Certain
Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari
waktu kejadian dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan
obat (Event or laboratory test abnormality with plausible time
relationship to drug intake)
Tidak dapat dijelaskan bahwa efek samping tersebut merupakan
perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh penggunaan obat
lain (Cannot be explained by disease or other drugs)
Respon terhadap penghentian penggunaan obat dapat terlihat (secara
farmakologi dan patologi (Response to withdrawal plausible
(pharmacologically, pathologically))
Efek samping tersebut secara definitive dapat dijelaskan dari aspek
farmakologi atau fenomenologi (Event definitive pharmacologically or
phenomenologically (An objective and specific medical disorder or
recognised pharmacological phenomenon))
Rechallenge yang positif (Positive rechallenge (if necessary)

Probable

Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari
waktu kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah
penggunaan obat (Event or laboratory test abnormality with reasonable
time relationship to drug intak)
Tidak tampak sebagai perkembangan penyakit atau dapat disebabkan
oleh obat lain (Unlikely to be attributed to disease or other drugs)
Respon terhadap penghentian penggunaan obat secara klinik dapat
diterima (Response to withdrawal clinically reasonable)
Rechallenge tidak perlu (Rechallenge not necessary)

Possible

Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari
waktu kejadian masih dapat obat (Event or laboratory test abnormality
with reasonable time relationship to drug intake)
Dapat dijelaskan oleh kemungkinan perkembangan penyakit atau
disebabkan oleh obat lain (Could also be explained by disease or other
drugs)
Informasi terkait penghentian obat tidak lengkap atau tidak jelas
(Information on drug withdrawal lacking or unclear)

Unlikely

Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari
hubungan waktu kejadian dan penggunaan obat adalah tidak mungkin
(Event or laboratory test abnormality with a time relationship to drug
intake that makes a connection improbable (but not impossible))
Perkembangan penyakit dan akibat penggunaan obat lain dapat
memberikan penjelasan yang dapat diterima (Diseases or other drugs
provide plausible explanations)

Conditional / Unclassified

Terjadi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal (Event or
laboratory test abnormality)
Data yang lebih lanjut diperlukan untuk dapat melakukan evaluasi
yang baik (More data for proper assessment needed)
Atau data tambahan dalam proses pengujian (Or additional data under
examination)

Unassessable / Unclassifiable

Laporan efek samping menduga adanya efek samping obat (A report


suggesting an adverse reaction)
Namun tidak dapat dinilai karena informasi yang tidak lengkap atau
cukup atau adanya informasi yang kontradiksi (Cannot be judged
because of insufficient or contradictory information)
Laporan efek samping obat tidak dapat ditambahkan lagi informasinya
atau tidak dapat diverifikasi (Report cannot be supplemented or
verified)
Skala Naranjo
No Pertanyaan/Question Scale
Ya/Yes Tidak/No Tidak
diketahui/
unknown
1 Apakah ada laporan efek samping obat 1 0 0
yang serupa?
2 Apakah efek samping obat terjadi setelah 2 -1 0
pemberian obat yang dicurigai?
3 Apakah efek samping obat membaik 1 0 0
setelah obat dihentikan atau obat antagonis
khusus diberikan?
4 Apakah efek samping obat terjadi berulang 2 -1 0
setelah obat diberikan kembali?
5 Apakah ada alternatif penyebab yang -1 2 0
dapat menjelaskan kemungkinan
terjadinya efek samping obat?
6 Apakah efek samping obat muncul -1 1 0
kembali ketika placebo diberikan?
7 Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di 1 0 0
dalam darah atau cairan tubuh lainnya
dengan konsentrasi yang toksik?
8 Apakah efek samping obat bertambah 1 0 0
parah ketika dosis obat ditingkatkan atau
bertambah ringan ketika obat diturunkan
dosisnya?
9 Apakah pasien pernah mengalami efek 1 0 0
samping obat yang mirip sebelumnya?
10 Apakah efek samping obat dapat 1 0 0
dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif?
Skor total

Skala probabilitas NARANJO :


Total skor Kategori
9+ Sangat mungkin/highly probable
58 Mungkin/probable
14 Cukup mungkin/possible
0- Ragu-ragu/doubtful

F. Analisis Jurnal
Judul Jurnal :
Monitoring of Cutaneous Adverse Drug Reactions in a Tertiary Care Hospital

Analisis :
ADR pada kulit adalah ADR yang paling sering terjadi atas
penggunaan obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi
pola morfologi ADR kulit dan untuk menentukan agen memberatkan dan
Untuk mengakses kausalitas dan tingkat keparahan ADRs kulit.
Metode:Sebuah penelitian prospektif, observasional, kuesioner adalah
Dilakukan di Departemen Dermatologi, Venereologi dan
Kusta, Rumah Sakit Guru Nanak Dev, pada 1000 tempat tidur, studi
dilakukan selama 1 Maret 2014-31 Mei 2015. Hasilnya dihitung dalam bentuk
persentase. Pola ADR kulit, kelas obat-obatan untuk ADR. Hubungan
kausalitas dinilai. Sesuai skala kausalitas WHO-UMC, yang
mengklasifikasikan reaksi sebagai. Tertentu / pasti, kemungkinan / mungkin
dan mungkin. Tidak mungkin, kondisional /Reaksi yang tidak terklasifikasi
dan tidak dapat ditebak / tidak dapat diklasifikasikan dapat dikecualikan.
ADR kutaneous dikategorikan menjadi ringan, sedang dan berat
Reaksi menurut skala keparahan Hartwig.
Hasil: Pada penelitian ini, kejadian ADRs kulit tertinggi terjadi pada
kelompok usia 31-40 tahun (25,0%), dan lebih sering pada pasien wanita
(54,2%). Implikasi dari:

Antimikroba (37,5%)

anti-inflamasi non-steroid (25,0%),

kombinasi obat (10,0%),

kortikosteroid dan antiepilepsi (6,6%).

Pola morfologi yang paling sering diamati

obat-obatan terlarang (33,3%) (Kausalitas 1,6%)

ruam makulopapular (30,8%) (Kausalitas 93,3%)

Steven Johnson Syndrome (5,8%) (Kausalitas 41,5%)

109 kasus adalah tingkat keparahan tingkat 3, 10 kasus sampai tingkat 4 dan
satu kasus tingkat 7 dimana ADR bertanggung jawab atas kematian pada satu pasien.
Diskusi: Sebagian besar reaksi obat yang merugikan dapat dicegah,
asalkan obat-obatan tersebut digunakan secara rasional. Antimikroba adalah
kelompok penyebab yang paling umum dan erupsi obat terlarang adalah pola
morfologi yang paling banyak ditemui. Oleh karena itu sangat penting bahwa
pada setiap pasien risiko pemberian obat harus dipertimbangkan terhadap
manfaat terapeutik yang diharapkan.
BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak
dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions)
dari suatu pengobatan. Monitoring efek samping obat (MESO) adalah
program pemantauan keamanan obat yang sudah tepaberedar (pasca-
pamasaran). MESO atau Monitoring Efek Samping Obat sangat diperlukan
hal ini bertujuan untuk pemantauan efek samping obat yang sudah beredar
masih perlu dilakukan karna penelitian atau ijin yang dilakukan sebelum obat
diedarkan.

B. SARAN
Kami berharap makalah ini bias menjadi bahan bacaan yang bermanfaat dan
semoga kedepannya ada lagi pembuatan makalah tentang MESO yang lebih
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI. 2012.
Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT
Badan POM RI.

Purwantyastuti. 2010. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Majalah Kedokteran


Indonesia, volume : 60.

Amrinder et al. 2016. Monitoring of Cutaneous Adverse Drug Reacitons in a Tertiary


Care: Journal of Pharmacovigilance 4:3.

Anda mungkin juga menyukai