Anda di halaman 1dari 15

Karena BPJS, Omzet

Apotek Turun dan


Apoteker Harus Rubah
Paradigma
http://bidhuan.id/apoteker-edukasi/35213/karena-bpjs-omzet-apotek-turun-dan-apoteker-harus-rubah-paradigma/

Karena BPJS, Omzet Apotek Turun dan Apoteker Harus Rubah


Paradigma. Hal itu diungkap oleh mantan Kepala Badan POM, Dr Sampurno
MBA Apt dalam acara seminar Prospek Industri Farmasi Indonesia di
Univercity Club UGM Yogyakarta, Sabtu (16/01/2016).
Sedangkan Direktur PT. Sido Muncul, Irwan Hidayat menilai bahwa Indonesia
memiliki bahan baku obat tradisional yang melimpah sehingga prospek
industri jamu sangat cerah. Bukan hanya pasar domestik, pasar
Internasional pun bisa digarap asalkan dilakukan serangkaian pengujian
khasiat dan keamanan jamu serta penanganan amdal dari Industri jamu.

Dikutip dari media online krjogja.com, Implementasi BPJS Kesehatan


ternyata berdampak besar bagi kefarmasian Indonesia meliputi apotik,
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan industri farmasi.

Obat yang selama ini tidak terjangkau daya beli masyarakat telah dipaksa
oleh BPJS untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya
customer apotik terutama ekonomi kelas menengah pindah secara besar-
besaran ke BPJS karena berbiaya sangat murah. Sementara sebagian besar
obat BPJS masih dilayani Puskesmas dan Rumah Sakit.

Apotik mengalami penurunan omset berkisar 20-60 persen, kata dosen


Fakultas Farmasi UGM Dr Sampurno MBA Apt dalam seminar Prospek
Industri Farmasi Indonesia di Univercity Club UGM Yogyakarta, Sabtu
(16/01/2016).
Menurut Sampurno, tahun 2015 lalu, BPJS Kesehatan telah melayani 106,1
juta anggotanya. Jumlah pasien sebanyak itu adalah potensi apotik
kehilangan pasiennya. Sedangkan dokter yang mendapatkan kapitasi
cenderung memberikan langsung kepada pasien atau self dispensing.

Tak hanya itu, pengadaan obat yang berfokus pada obat generik dalam
jumlah besar melalui E-Catalog membawa perubahan pada pasar farmasi
Indonesia. Dewasa ini Obat Generik Berlogo (OGB) telah dikendalikan oleh
BPJS Kesehatan dengah harga yang sangat murah. Industri farmasi dan
seluruh mata rantai jaringan distribusinya harus beroperasi low price dan low
marging, kata Sampurno.

Dampak BPJS Kesehatan juga dirasakan PBF lokal yang kehilangan captive
marketnya, dikarenakan pengadaan obat sektor pemerintah dilakukan
melalui E-Catalog. Sedangkan industri farmasi domestik menengah kebawah
menghadapi kesulitan pemasaran produknya. Sebagian besar perusahaan
manufaktur farmasi yang tidak bisa memasok obat BPJS berusaha memasok
RS swasta, namun pihak RS minta diskon sampai 80%.

Dengan kondisi seperti ini, menurut Sampurno, farmasi komunitas harus


mengubah paradigma layanan apoteker dari supervisory menjadi provider
yang full services atau face to face service. Farmasi komunitas perlu
membangun kolaborasi profesional dengan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya baik secara individual maupun institusional. Perlu dibangun jejaring
dengan layanan online terutama apotik yang dikelola penuh oleh apoteker,
katanya.

Sedangkan Irwan Hidayat mengatakan, dengan memiliki bahan baku yang


melimpah, prospek industri jamu Indonesia kedepan sangat cerah. Untuk
bisa merambah ke pasar dunia, syaratnya jamu harus menjadi tuan rumah
di negeri sendiri dan menjadi best seller. Seperti halnya baju batik, kalau
semua orang Indonesia memakainya, orang asing akan ikut-ikutan memakai.
Begitu juga dengan jamu, katanya.
Irwan mengakui bahwa untuk mengekspor jamu tidak semudah mengekspor
obat-obatan yang sudah memiliki standar global. Produsen jamu perlu
meyakinkan konsumen melalui uji khasiat, uji toksisitas serta kemampuan
pabrik mengolah limbah yang ramah lingkungan. Kalau orang sudah
terkesan pabriknya ramah lingkungan, pasti tidak akan masalah dengan
produknya, katanya.

Adanya program Apoteker Praktek Bersama sebagai pioner dalam


menyatukan visi dan misi Apoteker di Indonesia sehingga terbentuk jaringan
atau network sesama Apoteker bisa dijadikan solusi jitu yang nyata seperti
apa yang diusulkan oleh Sampurno.
Pengusaha Apotek di Medan
Bangkrut
http://koran-sindo.com/page/news/2016-09-
14/5/75/Pengusaha_Apotek_di_Medan_Bangkrut

MEDAN- Penjualan obat non generik atau obat paten terus menurun sejak
era BPJS Kesehatan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada perusahaan
farmasi, tetapi juga pengusaha apotek yang akhirnya memilih tutup.

"BPJS Kesehatan pengaruhnya kepada obat non generik memang sangat


besar. Dalam dua tahun belakangan penjualannya sudah menurun sampai
40%," ujar Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Sumatera Utara
(Sumut), Amin Wijaya kepada wartawan, Selasa (13/9). Menurut Amin,
pihak yang paling terkena dampak pada situasi ini adalah distributor obat
seperti apotek.

Penjualan obat di apotek saat ini turun drastis dan mereka semakin
terpukul karena tidak bisa ikut tender pengadaan obat untuk BPJS
Kesehatan. BPJS Kesehatan itukan obatnya ekatalog, jadi sudah ada
tendernya, sedangkan pihak distributorkan tidak bisa ikut tender. Memang
seharusnya dalam BPJS ini distributor juga dilibatkan," imbuhnya.

Akibat penurunan penjualan obat nongenerik, banyak juga perusahaan


obat yang kini memangkas produksi. Untungnya perusahaan obat masih
terbantu karena permintaan obat generik justru tinggi sehingga produksi
bisa ditingkatkan. Tidak bisa kita pungkiri ada pabrik yang memang
memangkas produksi non generiknya dan lebih meningkatkan produksi
generik.

Ini harus dilakukan jika bisnisnya tidak ingin terpuruk, katanya. Penjualan
obat generik memang meningkat drastis sejak era BPJS Kesehatan,
bahkan kenaikannya lebih dari 100%. "Kalau obat generik sangat banyak
kenaikannya, karena dimana- mana masyarakat sudah memakai BPJS
Kesehatan untuk berobat sehingga pemakaian obat generik pun
meningkat," ucapnya.

Pada prinsipnya, GP Farmasi sangat mendukung pemakaian obat generik


di masyarakat. Karena dengan obat generik masyarakat bisa lebih mudah
mendapatkan obat mengingat harganya jauh lebih murah ketimbang obat
non generik. Obat generik bisa lebih murah karena umumnya tidak
dikenakan biaya promosi atau iklan. Sementara itu, sejumlah apotek di
Kota Medan terpaksa tutup karena penjualan merosot tajam.

Seperti terlihat di sekitar kawasan RSUD dr Pirngadi, Jalan HM Yamin,


Medan, sudah ada 3 apotek yang menutup usahanya. Salah seorang
pemilik apotek yang enggan menyebutkan namanya mengaku penjualan
obat di tempatnya turun drastis sehingga usahanya juga kini berada di
ujung tanduk. Apalagi resep dokter yang biasanya bisa mereka peroleh
sudah sangat jarang didapat sejak era BPJS Kesehatan.

Jangankan obat non generik, semua obat di tempat kita sejak BPJS
Kesehatan berlaku, sudah sepi. Dalam sehari pun belum tentu ada obat
resep yang ditebus. Paling yang bisa dijual cuma obat-obat biasa saja,
makanya sudah ada tiga apotek di sekitar sini yang tutup. Ke depan, bisa
jadi kami juga ikut tutup, ucapnya.

irwan siregar
Keuntungan Bisnis Apotek dan Cara Memulai Usahanya
20 Maret 2017

http://www.investasiuntung.com/2017/03/keuntungan-bisnis-apotek-cara-usaha.html

Dalam membuka sebuah usaha sangatlah mudah. Aspek yang diperlukan adalah modal
usaha yang meliputi dana, keterampilan, alat dan perlengkapan, promosi, sistem
penjualan dan lain sebagainya. Terkadang ada suatu jenis usaha yang tak
membutuhkan modal besar. Penulis mengajak kepada para pembaca agar bisa memulai
suatu bisnis dari bawah. Supaya ia merasakan bagaimana pahit getirnya dalam
membangun usaha yang besar sehingga tercipta pondasi kuat. Salah satu jenis usaha
yang bisa dimulai dari bawah dengan modal kecil adalah bisnis apotek.

Keuntungan Bisnis Apotek


Sekarang ini sangat mudah dijumpai baik di kota maupun di desa, sebuah usaha toko
obat atau apotik mini. Bahkan persaingan bisnis farmasi ini terbilang sangat tinggi
terutama di perkotaan. Dalam jarak kurang dari 10 meter ada berjajar toko obat atau
apotek. Dimulai dari brand sendiri sampai waralaba terkenal seperti apotek Kimia
Farma, Century, dan lain sebagainya. Begitupula di pedesaan tingkat kompetitor usaha
toko obat apotek mini cukup tinggi. Dalam satu daerah di pedesaan penulis ada tiga
gerai apotek yang bisa ditemukan. Jarak yang sangat dekat. Namun semuanya laris
manis.

Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak penulis, mengapa banyak pelaku usaha
kecil dan menengah mencoba membuka usaha apotek mini di desa maupun di kota?
Jawabannya ternyata bisnis dalam bidang farmasi atau membuka gerai apotek banyak
sekali keuntungan yang didapatkan oleh para pengusaha itu sendiri. Berikut ini sejumlah
keuntungan dari bisnis apotek yang perlu sobat ketahui, antara lain:

Selalu Dibutuhkan

Anda tak akan pernah rugi dalam membuka usaha apotik. Karena bisnis ini akan selalu
dicari orang terutama oleh orang yang sedang dilanda sakit. Tak selamanya manusia
hidup dalam kondisi sehat. Suatu waktu ia pasti sakit. Kita lihat di berbagai rumah sakit
dan puskemas banyak orang yang sedang dirawat sakit. Dan ada pula orang yang
menderita sakit tapi berdiam diri di dalam rumah. Saking banyaknya orang sakit
membuat bisnis apotek mini sangat menjanjikan untuk dijalankan.

Suatu hari penulis berkunjung ke apotek Asy Syifa di daerah terdekat karena harga
murah dan laris manis untuk membeli obat. Ternyata para pembeli membludak. Hingga
giliran penulis membeli obat batuk. Setelah memesan obat batuk dan memberikan uang.
Uang itu oleh pemilik apotek dimasukkan ke dalam sebuah laci besar. Tampak laci besar
itu berisi penuh uang pecahan Rp 100 ribu. Wow! Penulis memperkirakan banyak sekali
keuntungan dari bisnis apotek dalam satu hari. Apalagi dikalikan dalam satu bulan.
Bisnis apotek termasuk dalam jenis usaha yang perputaran uang sangat cepat dan tak
pernah mengalami musim. Ia akan selalu laris manis kapanpun juga.

Gampang Dijalankan
Usaha apotik mini di desa dan kota masih mempunyai prospek yang bagus sekarang ini.
Pendek kata, prospek bisnis apotek sangat menjanjikan dan mudah dijalankan, praktis
serta menguntungkan. Tidak perlu ada proses produksi, pemasaran dan lain
sebagainya. Karena semua sudah berjalan baik. Anda tinggal menyewa lokasi usaha
apotek yang strategis. Dengan sendirinya para pembeli akan datang berduyun-duyun.

Salah satu modal usaha dalam membuka usaha apotek mini selain uang adalah
keterampilan dalam meracik obat. Adik kandung penulis merupakan seorang asisten
apoteker yang memahami seluk beluk bisnis ini dari nol sampai besar. Ia pernah
merintis sebuah usaha apotek di kota Cimahi dari bawah hingga apotek sukses untung
besar. Kepada penulis, ia mengatakan untuk memulai bisnis apotek di desa memerlukan
modal usaha sebesar Rp 100 juta yang mencakup surat perijinan usaha apotek,
pembelian stok obat-obatan, belum ditambah sewa lokasi usaha strategis.

Cara Memulai Usaha Apotik Mini


Kebutuhan masyarakat akan obat-obatan sangat tinggi. Hal ini seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Sehingga memberikan keuntungan yang
besar bagi usaha apotek mini dan toko obat-obatan baik di desa maupun di kota.
Apalagi setiap orang membutuhkan obat dan vitamin untuk menyembuhkan dan
menjaga kesehatan tubuh. Sebagai peluang usaha yang menjanjikan, omset apotek per
bulan diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Tentu ini menjadikan bisnis apotek
menjadi pilihan usaha yang tepat dijalankan oleh anda saat ini.

Untuk memulai bisnis apotek di era BPJS sekarang ini tidaklah mudah. Diperlukan
syarat-syarat dalam mendirikan apotek rakyat, persiapan modal usaha dan perencanaan
yang matang. Berikut ini sejumlah rincian modal usaha apotek yang diperlukan dalam
membuka usaha toko obat atau apotek mini di desa maupun di kota, antara lain:

Sewa Lokasi usaha: Rp 9 juta


Etalase kaca: Rp 2 juta
Perlengkapan alat: Rp 1 juta
Kursi dan Meja: Rp 2 juta
Lemari: Rp 1 juta
Modal Awal Beli Obat: Rp 14 juta
Jadi modal awal yang diperlukan dalam membuka usaha apotek mini rakyat sebesar Rp
29 juta. Keuntungan bisnis apotek lumayan besar sehingga bisa balik modal dalam
kurun waktu singkat atau enam bulan ke atas. Untuk menghemat pengeluaran usaha,
anda bisa membuka toko obat atau apotek mini di halaman rumah anda yang strategis.
Atau sobat bisa membuka gerai usaha apotek di desa yang masih lemah persaingan
dan baru berkembang.

Waralaba Apotek
Keuntungan bisnis apotek yang lumayan tinggi membuat banyak orang berminat
memulai usaha toko obat ini baik dengan skala besar maupun kecil. Hal ini tak terlepas
dari budaya masyarakat Indonesia yang lebih memilih membeli obat di apotek
ketimbang di rumah sakit dan dokter. Dikarenakan harga obat-obatan di apotek terbilang
lebih murah.

Apabila sobat kesulitan dalam membuka usaha apotek mini disebabkan tidak
mempunyai latar belakang atau keahlian dalam ilmu obat-obatan maka ada beberapa
pilihan yang bisa anda lakukan, antara lain: Pilihan pertama, merekrut seorang tenaga
ahli farmasi yang disebut apoteker dan asisten farmasi. Gaji yang ditawarkan bisa
sesuai UMR kota atau kabupaten. Para lulusan sekolah farmasi lumayan banyak di
Indonesia. Anda bisa mempekerjakan mereka di gerai usaha apotek milik sobat.

Pilihan kedua, sobat bisa membuka bisnis apotek dalam bentuk waralaba. Ada berbagai
waralaba apotek yang bisa sobat pilih, antara lain apotik kimia farma, Century, Medicine,
dan lain sebagainya. Semua standar operasional usaha, sistem rekrut karyawan,
pemilihan lokasi usaha, sistem promosi dan lain-lain sudah diatur oleh manajemen
waralaba pusat. Anda sebagai mitra waralaba apotik hanya menyetorkan biaya investasi
dan menunggu hasil omset apotek per bulan.

Namun agar sukses dalam bisnis waralaba apotek sama seperti usaha apotik yang
dijalankan secara sistem mandiri diperlukan ruang tunggu yang nyaman, pelayanan
cepat dan ramah, serta lokasi usaha yang strategis. Tempat usaha bagi gerai apotek
mini sangat menentukan sukses tidaknya bisnis farmasi ini. Sehingga anda harus
memastikan lokasi usaha apotik yang sobat dirikan berada di tempat yang strategis
seperti berada di dekat pusat keramaian orang, di pinggir jalan raya, mudah dilihat orang
dari berbagai sudut jalan, mudah dijangkau dari segala arah, berdekatan dengan rumah
sakit, sekitar minimarket, dan lain-lain.

Kisah Pengusaha Sukses Bisnis Apotek


Salah seorang pengusaha yang sukses membuka apotek dari nol hingga besar adalah
Wina. Wanita yang ramah ini memulai bisnis apotek dari modal awal Rp 30 juta. Lantas
alasan apa yang membuat perempuan kelahiran Bandung ini memilih usaha apotek.
Wanita murah senyum ini berujar bahwa usaha dalam bidang penjualan obat-obatan
adalah bisnis yang tidak pernah sepi pembeli disebabkan obat sebagai kebutuhan pokok
manusia. Hal inilah yang membuat ia tertarik menekuni usaha buka apotek mini selepas
lulus dari pendidikan farmasi di sekolahnya.

Berbekal keterampilan dan disiplin ilmu farmasi yang diperoleh di bangku sekolah, Wina
membuka usaha apotek mini dengan brand Griya Farma. Asalnya ia sempat ragu-ragu.
Tapi berkat motivasi dan dorongan dari beberapa orang sahabatnya ia berani mencoba
membuka apotek mini. Ternyata respon masyarakat sangat baik menyambut kehadiran
apoteknya. Oleh karena itu, ia semakin semangat untuk menjalankan dan
mengembangkan apotek yang dirintisnya tersebut. Hingga kini Wina telah mempunyai
enam gerai apotek dengan jumlah pegawai 60 karyawan.

Untuk memperluas pangsa pasar, wanita yang cerdas ini terus membuka cabang di
beberapa kota di tanah air termasuk membuka sistem kemitraan waralaba usaha
apotek. Sudah ada 18 apotek yang menggunakan sistem franchise darinya. Jika
diestimasikan omzet apoteknya per bulan sekitar Rp 100 juta lebih. Ia mengatakan
semua orang bisa mempunya toko obat atau apotek. Yang penting ada kemauan dan
modal usaha.

Itulah sepenggal kisah dari seorang pengusaha yang sukses dalam bidang farmasi dan
toko obat atau apotek di Indonesia. Semoga bisa menjadikan motivasi bagi kita semua
untuk menjalankan sebuah usaha baru yang menjanjikan dan untung besar seperti yang
dijalankan oleh Wina dengan bisnis apotek waralaba.
Senin, 21 Oktober 2013
http://asapindo.blogspot.co.id/2013/10/bpjs-memaksa-apoteker-berkolaborasi.html

BPJS Memaksa Apoteker Berkolaborasi


Tak disangkal, histori dan kultur apoteker memang dicetak untuk egois. Di lab
praktikum kimia analitis dulu kita berpacu dengan waktu untuk menemukan
beberapa jenis senyawa obat dari suatu preparat sampel tanpa boleh
bertanya kepada rekan semeja. Menyakitkan. Demi pendidikan. Apa lacur
sekarang ?

Setelah lulus sekolah, setiap apoteker ingin membuat apotek sendiri. Ah bukan,
bukan membuat apotek sendiri. Tepatnya adalah ingin bekerja di apotek.
Apotek milik 'orang lain'. Ironis ! (Ref : baca Ps 1.13 dan Ps.25 PP51/2009).
Apoteker yang memaksakan diri untuk menjalankan praktik di suatu apotek
sendirian, kini layak ditinjau ulang. Egoisitas diri harus dibayar mahal
sekarang. Kesanggupan fisik untuk melakukan praktik selama 4 - 5 jam sehari
tidak mungkin dapat meng-cover 13 jam operasional apotek dengan asumsi
buka jam 08.00 s/d jam 21.00 dari senin hingga sabtu. Kebiasaan untuk
mendelegasikan pelayanan kepada petugas-petugas akan berisiko tidak
berjalannya mekanisme kendali biaya kapitasi. Membanjirnya pasien paserta
BPJS akan meminta tambahan SDM dan daya dukung lainnya serta
menyebabkan terjadinya sedotan perbekalan yang tidak terkendali.
Ujungnya sama. Keberlangungan apotek jadi pertaruhan.
Hanya satu yang mesti dilakukan. Beberapa apotek(er) harus berkolaborasi. 5 - 10
apotek(er) berpadulah. Dengan anggaran yang tertentu dan terbatas,
apoteker harus menyusun rancangan kerja bersama. Siapa melakukan praktik
berapa lama pada suatu tempat tertentu dengan menggunakan SDM
(karyawan) dan alat-alat yang sama. Hal ini akan efektif menekan biaya-
biaya sekaligus diharapkan akan efisien memperbesar "sisa pelayanan". Di
pihak lain, beberapa apoteker dapat berbagi tugas memberikan edukasi
publik dalam upaya-upaya promotif dan preventif. Jangan khawatir, puluhan
ribu peserta BPJS akan mengepung.
Anda mungkin akan menyangkal, apakah pemilik modal mau ? Satu saja saran
saya, tinjaulah kembali Perjanjian Modal yang Anda susun. Apakah ada hak
bagi pemilik modal untuk melakukan intervensi kebijakan internal atas
apotek yang Anda selenggarakan ?
Diposting oleh asapin
Penerapan Ina CBGs, Ancam
Keberlangsungan Apotek
Senin, 25 April 2016 | Dibaca 346 kali

Url Berita

(Analisa/istimewa) SEMINAR: Chazali Husni Situmorang bersama Ketua GP Farmasi Amin Wijaya
(kanan) Kadis Kesehatan Sumut RR Surdjantini foto bersama sebelum seminar.

Medan, (Analisa). Keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


(BPJS) Kesehatan yang menerapkan sistem pembayaran paket mulai
dari pelayanan kesehatan hingga menebus resep obat dalam melayani
pasiennya berdampak hebat terhadap keberlangsungan apotek.
Pendapatan apotek tidak hanya dirasakan menurun, bahkan banyak di
antaranya terancam gulung tikar.

Sekarang tidak ada lagi resep yang keluar, karena sekarang resep
pasien sudah langsung dihandle provider BPJS Kesehatan, seperti
rumah sakit, klinik dan puskesmas, ujar Ketua GP Farmasi Medan Ho-
esni Karim saat mengikuti Dampak BPJS Terhadap Profesi dan Bisnis
Farmasi yang diselenggarakan GP Farmasi Sumut di Koki Sunda,
Sabtu (23/4).

Dengan kondisi yang ada sekarang, lanjutnya, dari empat anggota


yang bergabung dalam GP Farmasi, dua di antaranya terancam
menurunnya pendapatan bahkan bisa tutup.

Pengusaha Besar Farmasi (PBF) juga pelan-pelan terimbas. Sebab


selama ini PBF menjual ke apotek karena resep bisa ditebus di
apotek. Sekarang sistemnya sudah berubah, otomatis mempengaruhi
pasokan obat ke apotek. Belum lagi pemberlakuan e-katalog yang
mengondisikan pihak rumah sakit bisa langsung membeli obat ke
industri pabrik.

"Kondisi ini membuat pukulan bagi pengusaha farmasi," keluhnya.

Chazali Husni Situmorang, Pokja Revolusi Mental dan Direktur


Security Development Institute yang tampil sebagai pembicara dalam
pertemuan itu menampik keberadaan BPJS dengan sistem paket atau
Ina CBGs nya berdampak negatif terhadap keberadaan apotek.

Menurutnya, agar apotek bisa tetap hidup dan eksis dengan kondisi
sekarang, apotek itu harus dikelola langsung oleh apoteker.

Jika apotek mau survive apoteker langsung mengelola bukan sekadar


nama seperti selama ini. Karena kini, para investor sekarang sudah ti-
dak tertarik berinvestasi apotek. Selain itu, pihak apotek juga harus
bekerjasama satu sama lain. Bukan sebaliknya saling menjatuhkan.

Sekarang yang banyak apotek milik pengusaha atau apoteker? Bagi


pengusaha kondisi sekarang ini justeru dapat dijadikan momentum
untuk take over, apotek ini harus kerjasama satu sama lain. Belum
ada BPJS apotek di Sumut pun sudah saling mematikan, kritiknya.

Berhati-hati

Dikatakannya, kita harus berhati-hati menilai apakah persoalan-


persoalan apotek itu banyak tutup berkaitan langsung dengan BPJS
Kesehatan, banyak faktor. BPJS ini prinsip undang-undangnya adalah
kendali biaya dan kendali mutu.

Jadi artinya, ke depan ini semua unit-unit pelayanan harus bisa maz-
habnya kendali biaya, kendali mutu. Mazhabnya begitu. Dengan
mazhab kendali mutu kendali biaya ini pasti memakan korban. Kor-
bannya adalah jika suatu service tempatnya pelayanan apakah itu
apotek atau rumah sakit. Kalau dalam pelayanannya itu tidak
melakukan pelayanan berdasarkan kendali biaya dan kendali mutu,
tuturnya.

Dia mengilustrasikan, selama ini apotek atau rumah sakit menikmati


dengan pelayanan fee for service , dibayarkan berdasarkan pelayanan,
padahal belum tentu ada jaminan sembuh. Seorang pasien di rs di-
periksa bisa sampai dua tiga laboratorium belum tahu penyakitnya,
tapi sudah keluar uang. Baru nanti diagnosa ditegakkan oleh dokter,
bayar lagi. Ini sebelum BPJS. Setelah BPJS tidak bisa lagi begitu,
namanya perspektif payment dengan cara paket, Ina CBGs. Seorang
itu dibayarkan dengan jaminan sembuh, soal mati urusan lain.

Misalkan, Pak Amin sudah didiagnosa operasi usus buntu dari


pengalaman rumah sakit, penanganan opname ini hanya empat hari,
sudah bisa dihitung. Uang sekian termasuk obat, dibayarlah seusai
paket, ini efisien. Cara seperti ini yang selama ini apotek sudah
menikmati fee for service tidak ada lagi.

Ketua GP Farmasi Sumut Amin Wijaya mengimbau kepada pengusaha


farmasi agar fokus dan inovatif dalam mengelola bisnis farmasi agar
bisnis tersebut tidak mati. Sebenarnya, saya yakin, dari pemerintah
mengeluarkan undang-undang itu memang untuk memajukan, hanya
saja dalam praktiknya kan masih berjalan, tuturnya.

Dalam pertemuan yang turut dihadiri Ketua IAI Sumut Drs Siskandri
Apt, Wakil Ketua IAI Sumut Drs Djamidin Manurung MM Apt, Kadis
Kesehatan Sumut RR Surdjantini, diikuti peserta yang merupakan
apoteker pemilik apotek maupun pengusaha juga menampilkan
pembicara dr Michael Bujung Nugroho dari Enseval. (mc)
BPJS Berjalan, 40% Revenue Ritel
Farmasi Terancam Hilang

http://bandung.bisnis.com/read/20
131126/34231/461983/bpjs-
berjalan-40-revenue-ritel-
farmasi-terancam-hilang
Ardia Selasa, 26/11/2013 15:21 WIB

(bisnis/jabar.com)

(bisnis-jabar.com)

Bisnis-jabar.com, BANDUNG--Setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


(BPJS) Kesehatan berjalan efektif, sedikitnya 40% revenue dari pelaku usaha
apotek di dalam negeri akan tergerus akibat pelaksanaan program pemerintah
tersebut.

Direktur Utama PT K-24 Indonesia Gideon Hartono mengatakan ancaman hilangnya


pendapatan tersebut hanya akan terjadi bagi para pemilik bisnis ritel farmasi yang
selama ini fokus menggarap masyarakat kelas bawah.
"Pada umumnya apotek jenis ini mereka tidak memiliki jaringan karena memang
berdiri sendiri. Sedangkan ketika BPJS efektif dilaksanakan masyarakat yang
membeli obat dipastikan berkurang," katanya, saat dihubungi Bisnis, Selasa
(26/11/2013).

Menurut dia, dengan adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masyarakat
miskin yang selama ini kesulitan mengakses pelayanan kesehatan karena terbentur
biaya akan dengan gagahnya mereka memilih untuk berobat langsung dengan
mendapatkan pelayanan pemeriksaan medis oleh dokter.

Dirinya memprediksi pelaksanaan BPJS akan mulai masif dilaksanakan pada 2019
mendatang dimana seluruh warga negara harus tergabung didalamnya, meskipun
pada tahun depan sudah mulai berjalan akan tetapi masih dalam ranah 'abu-abu'.

"Pada 2014, itu yang baru dilibatkan peserta Askes, Asabri Jamkesda dan
sejenisnya. Kami mencatat setidaknya ada 121 juta orang yang masuk ke dalam
sistem ini dengan 80 juta diantaranya orang miskin," ujarnya.(k6/k29)

Perbedaan Harapan dan Persepsi Pasien Rawat Jalan Terhadap Pelayanan Kefarmasian di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan Rumah Sakit Bhetesda Yogyakarta.

Hendrawan, D., 2015, Peluang Apotek Dalam SJSN, dipresentasikan pada Seminar
Nasional Menakar Peluang dan Tantangan Pelayanan Kefarmasian Komunitas Di Era JKN di
Yogyakarta, 8 April 2015.

WHO, 2012, Pharmaceutical Benefits in Insurance Programs, MDS-3: Managing Access to


Medicines and Health Technologies, 3rd edition, WHO, 22.

Anda mungkin juga menyukai