Hutan Mangrove Pasar Banggi Rembang PDF
Hutan Mangrove Pasar Banggi Rembang PDF
Abdul Hafidz
Bupati Rembang
Ahlan Zulfakhri
Sekjen Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI)
Albicia Hamzah
Praktisi promosi daerah
Syaiful Huda
Pengembang, Konsultan Bisnis, Pegiat Ekonomi Pesisir
Hutan
Mangrove
Pasar Banggi
Rembang
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta,
kecuali mencantumkan identitas pemegang hak cipta.
Hutan Mangrove
Pasar Banggi
Rembang
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Purwowibowo; Soni Akhmad Nulhaqim
Hutan Mangrove Pasar Banggi Rembang/Purwowibowo; Soni Akhmad
Nulhaqim, editor: Arif Giyanto. Yogyakarta: Pandiva Buku 2016.
xvi + 318 hal; 21 cm
ISBN: 978-602-73748-1-2
1. Judul I. Giyanto, Arif.
Penerbit:
PANDIVA BUKU
Jogokaryan MJ III/503 Mantrijeron Yogyakarta
Telp. 62 274 384657
www.pandivabuku.com
pandivabuku@gmail.com
@PandivaBuku
Kata Pengantar
xi
Bila mangrove rusak, tanggul tambak pun akan rusak.
Setelahnya, budidaya tidak akan pernah berhasil, karena air
laut merangsek ke dalam tambak.
Sekian waktu tak berhasil pada awal program, ia terus
konsisten melakukannya. Hingga pada titik ke sekian, ia berhasil
mengembangkan komunitas dan terbentuklah Kelompok Tani
Peduli Mangrove.
Fantastis. Upayanya berhasil. Kini, Anda dapat menjadi
saksi hidup keberhasilan Suyadi merehabilitasi mangrove di
Desa Pasar Banggi. Sabuk hijau itu membentang hingga 3,5
kilometer dengan ketebalan antara 65-150 meter.
Suyadi bukan hanya Ketua Kelompok Tani Peduli Mangrove,
tapi juga pemimpin informal yang berhasil. Ia mencontohkan
perbuatan, lalu ditiru banyak orang karena bersinggungan de-
ngan kebutuhan warga lebih luas. Ia dipercaya karena dianggap
paling berpengalaman dalam hal rehabilitasi mangrove dan
terbukti berhasil mengamankan tambaknya dari serbuan air laut.
Penulis buku adalah seorang pakar di bidangnya. Ia bukan
hanya memotret, mendokumentasikan, menemukan masalah,
dan berusaha merumuskan pola perubahan. Penulis manunggal
dengan realitas yang ada. Ia bahkan tinggal untuk beberapa
lama di Desa Pasar Banggi untuk menyelesaikan studinya.
Bagi siapa pun Anda yang memedulikan lingkungan,
sepeduli Anda pada jiwa dan raga Anda, pun dengan kema-
nusiaan, buku di tangan Anda ini dapat menjadi salah satu
rujukan bermanfaat. Bahwa untuk menjadi orang baik dan pah-
lawan, selalu dimulai dari diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Penerbit
xii
Daftar Isi
Pengantar ............................................................................................v
Daftar Isi .............................................................................................vii
xiii
E. Aspek-aspek Pemimpin Informal .............................................................62
xiv
Bab 5. REHABILITASI HUTAN MANGROVE
SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN KOMUNITAS ..............183
A. Rehabilitasi Hutan Mangrove sebagai Bentuk
Pengembangan Komunitas ....................................................................183
1. Pengembangan Komunitas dari Bawah ....................................184
2. Tujuan Pengembangan Komunitas dari Bawah ...................197
B. Pemimpin Informal dan Pengembangan Komunitas
dari Bawah .........................................................................................................221
C. Peran-peran Pemimpin Informal dalam Pengembangan
Komunitas ..........................................................................................................234
1. Sebagai Agen Perubahan Sosial dalam
Pengembangan Komunitas ..............................................................235
2. Sebagai Inisiator Terbentuknya Lembaga Lokal .................238
3. Membangun Modal Sosial Komunitas ........................................245
4. Sebagai Pengorganisasi Anggota Kelompok Tani .............257
5. Sebagai Penggerak Partisipasi Anggota Komunitas ..........263
6. Sebagai Relawan Sosial dalam Pengembangan
Komunitas ...................................................................................................268
D. Aspek-aspek Keberhasilan Pemimpin Informal dalam
Pengembangan Komunitas .....................................................................275
1. Aspek Internal Pemimpin Informal ................................................275
2. Aspek Eksternal, Dukungan Anggota Komunitas ................281
xv
BAB 1
Pendahuluan
1. Brokensha and Hodge,1969: 35; Rubin and Rubin, 2001: 3, Kenny, 2007: 10.
1
lestari dan sebagian besarnya telah mengalami kerusakan.
Setiap tahun, degradasi hutan mangrove terus berlangsung
dan akselerasi kerusakannya terus meningkat. Kerusakan hutan
mangrove dan berbagai kawasan di wilayah pesisir semakin
meluas dan sulit dikendalikan.2
2
anggota masyarakat yang peduli terhadap keberadaan dan
kelestariannya. Pemberian penghargaan Kalpataru yang diberi-
kan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, misalnya, merupa-
kan wujud dari kepedulian masyarakat terhadap keberadaan
lingkungan dan hutan mangrove. Pada 2013, sebanyak 18
orang dan tahun 2014 ada 13 orang penerima Penghargaan
Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia.4
3
Sesungguhnya, kerusakan hutan mangrove dan lingkungan
bertolak belakang dengan keberadaan berbagai peraturan
perundangan tentang pelestarian mangrove. Jumlah peraturan
yang berlaku mulai dari tingkat nasional, regional, hingga
lokal berjumlah sangat banyak dan berbagai kegiatan dalam
memulihkan dan melestarikan hutan mangrove terus ditingkat-
kan.7
7. KLH, 2014.
8. Kementerian Kehutanan, 2006 dan 2010.
9. Mahardi, 2012: 105-114.
4
tinggal manusia, dan sekadar ditebang batang pohonnya
untuk dijadikan kayu bakar.10
5
dan sosial. 14 Studi lain yang membahas fungsi mangrove
sebagai sumberdaya sosial masih terbatas sebagai tempat
rekreasi atau ekowisata15, yang hanya memahami fungsi sosial
ekosistem hutan mangrove sebagai bamper atau mitigasi
bencana alam wilayah pesisir dan pantai.16 Studi tentang aspek
sosial hutan mangrove masih sangat terbatas, terutama aspek
pengembangan komunitas dari perspektif Ilmu Kesejahteraan
Sosial.
6
diinisiasi pihak luar. Banyak rehabilitasi hutan mangrove
merupakan program pemerintah dan diinisiasi oleh lembaga
swadaya masyarakat.18
7
Hal ini terkait dengan pemimpin informal yang mempunyai
basis modal sosial.
20. Pa on, 2005; Sulasmi, 2008; Ros ya , 2009; Washington, 2010; Suradisastra,
2011.
8
membangun masyarakat. Menurut Hoy dan Rowley (1996), hal
terpenting untuk melakukan pengembangan komunitas adalah
melakukan pengembangan dan pembangunan sumberdaya
manusianya.
21. Foster, 1997; Gi ell and Vidal, 1998; Zeuli and Radel, 2004; Traynor and Andor,
2005; dan Brown, 2007.
22. Delgado, 2000; Ife dan Tosoriero, 2008.
9
Penggunaan aset-aset ekologis dan hutan mangrove di-
sebut juga sebagai strategi pengembangan komunitas berbasis
lingkungan dan pariwisata.23 Sedangkan Zhang et al. (2011)
serta Ife dan Tosoriero (2008) menggunakan istilah strategi
pengembangan komunitas dengan model atau strategi hijau
(green model or green strategy). Dengan banyaknya strategi
pengembangan komunitas seperti diuraikan di atas, ternyata
masih sangat terbatas studi yang menggunakan model bottom-
up, khususnya mengenai keberadaan pemimpin informal di
komunitas perdesaan.
10
yang terkait dengan mangrove adalah mangrove itu sendiri
sebagai sumberdaya alam dan berbagai sumberdaya lain yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas.
Semua sumberdaya itu memberikan kontribusi kepada seluruh
komunitas untuk meningkatkat kualitas hidup dan kesejahteraan
seluruh komunitas desa pesisir.
11
menjadi inisiator, membangun modal sosial, mengorganisasi
dan menggerakkan partisipasi seluruh anggota komunitas.
12
Pada mulanya, anggota komunitas tidak percaya tentang
usaha yang dilakukan orang untuk dapat menanam mangrove.
Selama ini, mereka masih mempercayai bahwa hutan mangrove
tidak dapat ditanam manusia dan hanya Tuhan yang dapat
menumbuhkannya. Untuk membangun kepercayaan bahwa
hutan mangrove dapat ditanam manusia, mereka memerlukan
contoh keberhasilannya. Setelah ada wujud hutan mangrove
yang dapat tumbuh, anggota komunitas baru mempercayai
bahwa hutan mangrove dapat ditanam manusia.
13
komunitas. Partisipasi tersebut menjadi modal sosial penting
komunitas, karena terjadi kebersamaan dan tanggung jawab
bersama. Selain itu, keberhasilan dalam membangun modal
sosial dan mengorganisasi serta menggerakkan anggota komu-
nitas didukung oleh aspek intern yang ada di dalam diri pemim-
pin informal dan aspek berupa dukungan seluruh komunitas.
14
Dalam konsep kesejahteraan sosial hijau (green social
welfare), kesejahteraan hidup manusia ditentukan oleh ke-
beradaan lingkungannya. Mangrove merupakan lingkungan
hidup komunitas pesisir dan dapat menentukan tingkat kesejah-
teraan hidup manusia di sekitarnya. Sumberdaya alam yang
ada dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota komunitas untuk
memenuhi kebutuhandan meningkatkan kualitas hidupnya.
15
Pengembangan komunitas yang telah menghasilkan
produk sosial berupa hutan mangrove dilakukan oleh ang-
gota komunitas dalam rangka memulihkan aset komunitas
dan lingkungan. Prosesnya dimulai sejak 1964 dan terus ber-
langsung sampai sekarang. Data yang telah tersimpan begitu
lama di tengah kehidupan komunitas dapat diungkap dengan
metode kualitatif. Dengan demikian studi ini berusaha mema-
hami keseluruhan proses pengembangan komunitas tersebut
sejak diinisiasi, dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, sampai
dampaknya terhadap komunitas yang bersangkutan.
16
BAB 2
COMMUNITY
DEVELOPMENT
DAN PEMIMPIN
INFORMAL
17
sebelumnya mengutamakan modernisasi atau disebut pem-
bangunan konvensional. Korten menulis, Conventional deve-
lopment practice emphasizes capital transfers, formal planning,
specification, and central government control. 24 Pendekatan
pembangunan model tersebut di negara-negara berkembang
banyak mengalami kegagalan, sehingga para ilmuwan men-
cari alternatif pembangunan berlandaskan kondisi lokal atau
community development bersifat bottom-up.
18
seluruh proses kegiatan; dari anggota masyarakat, oleh ma-
syarakat, dan untuk masyarakat itu sendiri. Jika partisipasinya
rendah, berarti proses pengembangan komunitas bottom-up
tersebut tidak dapat berjalan dengan baik.
19
pendekatan yang digunakan lebih bersifat sentralistis, top-
down, dan mengutamakan keseragaman. Sebaliknya, asumsi
yang digunakan dalam paradigma pembangunan bottom-
up adalah masyarakat atau komunitaslah yang paling tahu
kebutuhannya sendiri. Jika mereka tidak dilibatkan dalam proses
pembangunan, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan
tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka, yang pada akhirnya
banyak gagal di tengah jalan dalam implementasinya.29
20
peningkatan kapasitas komunitas, sehingga taraf kehidupannya
menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Green
and Haines (2007), Community Development as planned effort
to produce assets that increase the capacity of residents to
improve their quality of life.32
21
dan mencapai tujuannya. Untuk mencapai pemberdayaan
demikian bisa melalui jalan dan orientasi politik yakni dengan
melakukan pembelaan dari masalah konflik kekuasaan.34
22
di mana komunitas dapat mengidentifikasi dan menempatkan
masalah, kebutuhan, dan problem yang dihadapinya sendiri.
23
seperti ikan di laut dan hutan telah habis, atau seluruh badan air
mengalami polusi. Dengan demikian, strategi pengembangan
dan pemberdayaan komunitas merupakan upaya untuk men-
jamin kegiatan ekonomi yang dapat menyediakan bahan makan
bagi masyarakat, perumahan, barang produksi, dan dapat
memberikan layanan memadai bagi generasi mendatang.
24
berkaitan dengan reformasi pemerintahan lokal. Hal ini di-
anggapnya sebagai bagian sangat penting untuk membawa
anggota dewan dan anggota pemerintahan lebih mendekat
kepada masyarakat lokal dengan melibatkan kepemimpinan
komunitas, mengajak masyarakat lokal dalam mengkonsultasi-
kan, dan berpartisipasi guna menentukan kebijakan pemba-
ngunannya.
25
fasilitas yang ada di komunitasnya. Pekerja sosial hanya
melakukan pendampingan secara profesional berdasarkan
pendekatan keahlian. Mereka harus lebih banyak melakukan
praktik pekerjaan sosial. Pekerja sosial pengembangan
komunitas bersama-sama dengan organisasi pengembangan
lainnya serta kelompok lain menggunakan keterampilan lobi
dan pembelaan (advocacy) untuk mendukung pencapaian
tujuan ideal yang diinginkan oleh pekerjaan sosial dalam
mengembangkan komunitas.
26
Karena, banyak teknologi masyarakat lokal yang merupakan
lokal genius (kearifan lokal); bukan hanya murah dari segi
pembiayaan, tetapi juga ramah lingkungan.
27
Sedangkan pendekatan yang lebih radikal dalam me-
mulihkan lingkungan adalah melakukan perubahan sosial.
Langkah kedua ini mempunyai konsekuensi besar terhadap
perubahan masyarakat, karena lebih revolusioner. Pendekatan
radikal ini dilandasi atas pemikiran bahwa kerusakan lingkungan
bersumber dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam
masyarakat yang sudah karut marut, sehingga sulit dibenahi
dengan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, langkah
yang dilakukan adalah melakukan revolusi sosial.37
28
kebanyakan para ahli dan praktisi sepakat bahwa komunitas
sesungguhnya merupakan bentuk perkumpulan orang dalam
suatu kesatuan dan terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial
serta berupa jaringan modal sosial.38
29
komunitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Schneider (2006),
Community as the conjunction of instances when individuals
develop the common recognition of share interest, culture, and
potential for trust envisioned as the basis for social capital and
mutual action.42
30
lain. Selain itu, dengan modal sosial, seseorang merasa yakin
akan keberadaan orang lain, bahkan merasakan ketergantungan
kepada orang lain dalam komunitas yang seseorang tersebut
hidup bersama. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang bukan
semata-mata keberhasilan individu, tetapi lebih merupakan
keberhasilan bersama di dalam komunitas.
31
tersebut saat ini telah berkembang luas memasuki ranah ilmu
sosial lain, termasuk Ilmu Kesejahteraan Sosial.
32
Bowling Alone. 46 Orang semakin senang bermain bowling
sendiri daripada bersama-sama mengikuti suatu kompetisi,
sehingga Liga Bowling di Amerika menjadi merosot.
33
kelompok besar dapat secara efektif mengorganisasikan modal
sosial untuk mendukung apa yang mereka butuhkan, terutama
kepentingan politik tertentu (political interest group).
34
Hubungan sosial merupakan istilah lain dari jaringan
sosial yang ada di komunitas. Field (2010) 50 menulis, inti
konsep dari modal sosial adalah soal hubungan sosial, yakni
hubungan seseorang dengan orang lain. Dengan membangun
hubungan sosial dengan orang lain, terus menjaganya agar
dapat berlangsung sepanjang waktu, seseorang akan mampu
mencapai berbagai hal dengan lebih mudah jika dibandingkan
dengan melakukan sendiri. Hubungan sosial antar-orang
tersebut menggunakan media yang disebut jaringan. Sejauh
jaringan yang dibangun menjadi sumberdaya maka jaringan
tersebut menjadi modal sosial baginya. Semakin banyak orang
memiliki jaringan sosial, ia akan memiliki modal sosial yang
banyak pula terhadap dirinya.
35
Modal sosial berkaitan erat pula dengan modal ekonomi.51
Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memiliki
hubungan yang tidak bisa dipisahkan dengan modal ekonomi.
Keduanya paralel dengan istilah modal manusia yang atribut-
nya adalah keterampilan, pengetahuan, dan kondisi kesehatan
seorang individu. Konsep modal sosial sebagai cara meng-
integrasikan teori sosial dengan teori ekonomi, sehingga modal
sosial dan modal manusia keberadaannya saling melengkapi.
Sejalan dengan pemikiran Coleman, gagasan sentral modal
sosial adalah bahwa jaringan sosial merupakan aset yang
sangat bernilai ekonomi.52 Jaringan sosial tersebut akan mem-
berikan dasar bagi kohesi sosial, sehingga bisa mendorong
seseorang bekerja sama satu dengan yang lain, tidak sekadar
dengan orang yang mereka kenal secara langsung, tetapi
juga orang-orang yang lebih luas guna mendapatkan manfaat
timbal balik.
36
mengatakan, modal manusia dapat digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan produktivitas ekonomi.
37
akhirnya adalah kesejahteraan sosial baik bagi individu maupun
komunitas.
Dengan interaksi sosial dan kerja sama, menurut Schneider,
fungsi modal sosial mencakup tiga hal berikut.
1. Fungsi mengikat (bonding), yang berarti bahwa ikatan
antar-orang dalam situasi sama, seperti keluarga dekat,
teman akrab, dan rukun tetangga.
2. Fungsi menjembatani (bridging), yang mencakup ikatan
lebih longgar dari beberapa orang seperti teman jauh dan
rekan sekerja.
3. Fungsi menghubungkan. Fungsi ini menjangkau orang-
orang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka
yang sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga men-
dorong anggotanya memanfaatkan banyak sumberdaya
daripada apa yang tersedia di dalam komunitasnya.56
Modal sosial dalam komunitas harus dimanfaatkan dalam
kerangka pengembangan komunitas. Delgado (2000) meng-
gunakan istilah modal sosial atau kapital sosial dengan sebutan
aset komunitas (communities asset).57 Aset komunitas tersebut
dapat digunakan untuk menggerakkan komunitas dalam me-
lakukan pembangunan komunitasnya. Aset komunitas dapat di-
gunakan untuk melakukan peningkatan kapasitas warga komu-
nitas dan juga disebut sumberdaya ekologi atau lingkungan.
Dengan menggunakan empat tipe aset komunitas yang
dikemukakan, yakni gambar dinding (murals), taman (gardens),
38
taman bermain (playground), dan patung-patung (sculptures),
pengembangan komunitas yang dilakukan oleh pekerja
sosial dapat mendayagunakan aset komunitas dalam rangka
peningkatan kapasitas warga komunitas dan untuk melakukan
pemberdayaan komunitas (community empowerment).
39
atau menonaktifkan perkembangan perusahaan domestik dan
pasar, serta mendorong atau menghambat investasi asing.
Secara keseluruhan, modal sosial di tingkat makro lebih peduli
dengan perkembangan sosial dan pertumbuhan ekonomi.
60. ibid.
61. Coleman, 1990.
62. Grootaert, 1999.
40
ekonomi dengan membangun kepercayaan dan mendorong
norma-norma bersama.63
63. ibid.
64. Lin, 2008.
41
di masyarakat dapat diorganisasi dari semua anggotanya dan
dapat digunakan secara bersama.
42
serta memperkuat kepercayaan yang memungkinkan seseorang
atau individu untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya
sebagai layanan sosial, pekerjaannya, dan janji pemerintah.67
Schneider juga mengungkapkan dua unsur tambahan, yakni
hubungan yang didasarkan atas kepercayaan orang-orang atau
organisasi untuk mengakses sumberdaya, serta pengetahuan
mengenai modal budaya yang mengindikasikan seseorang
tersebut merupakan anggota dari suatu komunitas dan harus
diberikan akses dalam hubungan sosialnya. Hanya saja,
Schneider tidak menyertakan peran tokoh informal dalam
mengorganisasi modal sosial untuk mempertinggi atau
memperkuat kepercayaan, norma, dan jaringan sosial guna
mengakses sumberdaya lingkungan.
43
1. Mendorong pikiran dan sikap manusia untuk menghormati
dan menghargai sesama manusia dan sumberdaya alam.
44
Istilah pemberdayaan telah digunakan secara luas di ber-
bagai bidang ilmu sosial dan juga praktik pekerjaan sosial, baik
di lingkup mikro, makro, dan pekerjaan sosial klinis, berkaitan
dengan kebijakan sosial yang diambil oleh pemerintah.70 Pem-
berdayaan komunitas tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
modal sosial, karena mempunyai sumbangan sangat penting
bagi pengembangan komunitas. Putnam (1993) menjelaskan
bahwa modal sosial bisa bekerja pada pemberdayaan komu-
nitas atau pengembangan komunitas di level internal dan
eksternal.
45
socialising; nopolitization and reported levels of inter-personal
trust; (b) With associational membership more important for
tolerance and other indicators of socialcohesion, and trust
more important for economic outcomes; (c) Many prefer to use
a simple measure of social capital e.g. whether people think
other peoplecan, in general, be trusted, no preasure and no
politization and role of culture.71
46
Sesungguhnya, modal sosial dapat diukur dengan berbagai
dimensi. R. Liu, dan Terry Besser (2003) mengkaji secara kritis
konsep teoretis dan pengukuran modal sosial menggunakan
empat dimensi modal sosial, yakni hubungan sosial informal,
ikatan sosial formal, kepercayaan, dan norma-tindakan kolektif
dengan mengaitkannya melalui kesadaran komunitas berikut
partisipasinya dalam perbaikan sarana-sarana yang ada di
masyarakat perdesaan di Negara Bagian Iowa. Temuannya,
banyak anggota komunitas berusia lanjut terlibat aktif. Ikatan
informal dan kesadaran komunitas memiliki hubungan lebih
kuat dengan keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan
komunitas setempat.
47
dipimpinnya; juga bisa dari sudut formal dan informalnya. Ada
pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal ada-
lah pemimpin yang mampu mempengaruhi orang lain melalui
cara-cara resmi dilandasi kekuasaan, misalnya pemimpin politik
atau pemimpin negara, serta pemimpin perusahaan.
Sementara pemimpin informal adalah pemimpin berlandas
kemampuan yang ada dalam dirinya, sehingga mampu secara
personal berdasarkan pengalaman, keterampilan, dan kemam-
puannya menjadi seorang pemimpin di level komunitas. Dalam
organisasi informal, hubungan antar-anggotanya diikat dalam
suatu kepercayaan dan bersifat informal. Keberadaan pemimpin
informal dalam suatu komunitas sangat penting, karena dapat
menggerakkan anggota komunitas mencapai tujuannya.
Leadership is the relationship in which one person, or the
leader, influences others to work together willingly on related
task to attain that which the leaders desire.73
48
peraturan-pertaturan tertulis, seperti pada kelompok atau
organisasi formal. 74 Selain itu, pemimpin informal, menurut
Darmaputera (2004), tidak memerlukan faktor legalitas, tetapi
lebih kepada faktor legitimasi. Artinya, walaupun tidak ada
kongres atau muktamar, maupun kegiatan lain untuk memilih
seorang pemimpin informal, namun masyarakat secara spontan
menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai
pemimpin mereka.
Jadi, pemimpin informal tidak ditetapkan dengan surat
keputusan tertentu, tetapi berdasarkan suara hati masyarakat
atau komunitas, sehingga ikatan antara pemimpin informal
dengan orang yang dipimpinnya tidak diatur secara resmi,
melainkan hubungan secara spontan, karena ada rasa hormat
dan cinta yang tidak dipaksa-paksakan.
49
Informal leader is a person who influences the behaviour
of others, even though he or she does not have a formal
position of authority. He or she is generally recognized by
peers to prosses some leadership capacity. Informal leader are
sometimes referred to as authentic leaders, servant leaders,
grassroots leaders, emergent leaders, volunteer leaders, or
community leaders.76
50
dan kepatuhan mutlak. Kekuasaannya bersifat sentralistis dan
otoriter, namun semua warga merasa terayomi, sehingga
kekuasaan tetap memiliki sifat hakiki kerakyatan.
51
pimpinan, seseorang harus mempunyai kemampuan berjen-
jang, terutama dari anak tangga terbawah hingga pemimpin
perahu.
52
kepemimpinan formal yang kesemuanya dilandasi aturan
bersifat formal.
53
pengembangan komunitas. Pemimpin informal dan lembaga
lokal sangat penting keberadaannya dan mempunyai peran
penting di dalam wilayah perdesaan yang berada di lereng-
lereng pegunungan Kenya. Pemimpin informal dapat berperan
secara aktif dan tanpa lelah, sehingga bisa diterima oleh
anggota masyarakat setempat. Akhirnya, anggota komunitas
dapat memahami kondisi lingkungan, sehingga terjadi
kesadaran dalam melakukan rehabilitasi lingkungan.
54
pemimpin informal melekat (inherent) trust, kepemimpinan,
pendidik, dan dapat memberikan inspirasi, sehingga
warga komunitas melakukan apa yang ditransformasikan
kepadanya.
55
sepenuhnya tanpa dipikirkan (taken for granted) anggota ko-
munitasnya. Jika ada suatu keinginan dari pemimpin informal
dalam rangka pengembangan komunitas misalnya maka untuk
pelaksanaan kegiatan sosial dalam komunitas semacam itu
masih lebih efektif menggunakan sistem komando pemimpin
informal daripada menggunakan jalur komando pemimpin
formal. Selain itu, pemimpin informal mempunyai banyak
prakarsa, terutama berkaitan dengan upaya melestarikan
ekosistem lingkungan.
56
level komunitas kecil tersebut, sehingga dapat berhasil dengan
baik dalam usaha melestarikan lingkungannya.
57
tahapan kegiatan komunikasi sejak perencanaan, pengorga-
nisasian, penggerakan, hingga pengawasan pembangunan.
Sebagai komunikator dan mediator, ia dapat berperan men-
dorong terjadinya forum-forum kegiatan di perdesaan, sehingga
warga berperan serta (partisipasi) secara aktif di berbagai
kegiatan pengembangan komunitas. Sebagai komunikator dan
mediator, pemimpin informal mampu berperan secara persuasif,
dialogis, dan deliberatif terhadap komunitas perdesaan
dalam mengkomunikasikan program-program pembangunan
perdesaan.
58
Pemimpin informal di wilayah Kasepuhan Cicarucub
Kabupaten Lebak disebut dengan pemimpin adat atau olot.84
Model kepemimpinan ini didasarkan pada adat-istiadat yang
telah menjadi tradisi, mencakup kepercayaan, aturan atau
norma, dan pantangan. Pengaruh olot sangat besar dan
berperan penting dalam keseluruhan kehidupan komunitas.
Hubungannya dengan warga sangat kuat dan terjalin secara
harmonis. Olot menjadi panutan warga; tempat meminta
pendapat mengenai berbagai kegiatan sosial, terutama yang
berkaitan dengan pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya;
dan menjadi pemimpin informal seumur hidup.
59
kelompok masyarakat. Dengan berlandaskan hubungan
kooperatif secara vertikal akan memperbesar kapasitas kedua
belah pihak, sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih
besar, daripada bila kekuasaan hanya berpusat dan bertumpu
pada atasan. Demikian pula, hubungan kooperatif secara
horizontal akan memperbesar semangat kerja sama dan saling
menghormati serta menghargai, sehingga dapat membentuk
kekuatan yang luar biasa dalam komunitas.
60
Hal tersebut dapat diukur dari adanya beberapa hasil pem-
bangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pemimpin informal dapat berperan membantu kelompok (ko-
munitas) dalam mencapai tujuannya; memungkinkan para
anggota memenuhi kebutuhannya; mewujudkan nilai kelompok
di mana pemimpin informal merupakan personifikasi dari nilai,
dan aspirasi dari anggotanya; merupakan pilihan para anggota
kelompok untuk mewakili pendapat mereka dalam berinteraksi
dengan pimpinan yang lebih tinggi; serta merupakan seorang
fasilitator yang dapat menyelesaikan konflik kelompok.85
61
pemimpin informal, oleh banyak orang, Kyai diyakini mem-
punyai pengaruh kuat di komunitas dan mempunyai otoritas
kebenaran. Selain itu, Kyai mempunyai karisma luar biasa di
tengah komunitas, sehingga dianggap sebagai orang suci yang
dianugerahi berkah Ilahi.87
62
dari komunitas setempat, sehingga disebut sebagai pemimpin
asli atau authentic informal leaders.
63
mengabaikan kondisi dan situasi struktural. Dalam istilah
lain, tidak membedakan antara anggota dengan pemimpin
dari sisi hierarki-struktural, tetapi lebih nonheirarchical.
Pemimpin informal dapat menempatkan diri di mana saja,
tidak tergantung posisi struktural yang dimiliki. Pemimpin
informal harus bertingkah laku sesuai kondisi dan situasi di
mana berada (contextual). Dalam komunitas, ia bisa berperan
sebagai pemimpin yang dapat menggerakkan pengembangan
komunitas dengan mendudukkan posisinya; di mana dan
kapan harus menjadi pemimpin dan kapan serta di mana dia
menjadi anggota kelompok dari komunitasnya.
64
menggerakkan anggota komunitas dalam proses pengem-
bangan komunitas. Status pemimpin demikian berarti sama
dengan anggota komunitas lain, sehingga mempunyai posisi
strategis. Dengan kondisi ini, pemimpin informal dan anggota
komunitas mempunyai kedudukan yang sama pula, sehingga
hubungan di antara mereka bersifat egaliter.
65
itu sendiri. Aspek ini mencakup banyak hal berkaitan dengan
diri pemimpin informal. Menurut Maxwell (2011), aspek yang
mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan ke-
pemimpinan mencakup 21 hal, di antaranya karakter, karisma,
komitmen, tanggung jawab, disiplin, selalu mau belajar, dan
lain sebagainya.
66
BAB 3
DESA
PASAR BANGGI
KECAMATAN
REMBANG
67
komunitas yang dilakukan komunitas Desa Pasar Banggi. Hutan
mangrove tersebut sekarang menjadi kebanggaan mereka dan
masyarakat Rembang pada umumnya. Dibandingkan desa-
desa lain di sekitarnya, seperti Desa Tireman di sebelah barat
dan Desa Tritunggal di sebelah timur yang juga merupakan
desa berpesisir maka tampak di kedua desa tersebut hanya
beberapa batang pohon mangrove yang tersisa.
A. Keadaan Geografi
Desa Pasar Banggi merupakan salah satu desa berpesisir
di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa
68
Tengah. Wilayah Kabupaten Rembang mempunyai beberapa
desa berpesisir di wilayah utara yang berbatasan dengan Laut
Jawa. Sedangkan wilayah Kabupaten Rembang terletak di ujung
timur Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, kondisi tanahnya
berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum
kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut.91
69
Secara topografi, ketinggian wilayah Desa Pasar Banggi
mulai dari 2 meter sampai dengan 10 meter dari permukaan
laut. Oleh karena itu, desa ini juga disebut sebagai desa pesisir.
Sebelah barat Desa Pasar Banggi berbatasan dengan Desa
Tireman, sebelah selatan Desa Padaran, sebelah timur Desa
Tritunggal, dan Laut Jawa di sebelah utara. Jarak desa ini
dengan pusat Kota Rembang sekitar 5 kilometer, sedangkan
dengan kantor Kecamatan Rembang sekitar 7 kilometer.94
70
Tabel 3.1
Penggunaan Wilayah Desa Pasar Banggi
71
ini mendapatkan bantuan teknis dan pendanaan dari Dinas
Perindustrian Kabupaten Rembang.
72
menjadi korban perekonomian kapitalis. Dibentuknya kelompok
KUGAR (Kelompok Usaha Garam Rakyat) di desa ini tidak bisa
berbuat apa-apa untuk melawan sistem ekonomi kapitalis yang
banyak merugikan masyarakat kecil.
73
desa karena dapat dibudidayakan sepanjang tahun. Sawah
digunakan untuk budidaya pada musim hujan dengan ditanami
padi, dan tanaman pertanian lain pada musim kemarau,
sehingga sawah tersebut disebut sawah tadah hujan.
74
Sistem sanitasi lingkungan Dusun Pasar Banggi belum
memadai. Di sekitar permukiman digenangi air laut dan air
tambak sepanjang tahun. Bahkan di musim-musim rob (air laut
naik) banyak rumah di perkampungan Dusun Pasar Banggi
dimasuki air laut. Sebelah utara permukiman, berjajar perahu-
perahu nelayan tradisional berbagai ukuran dan berwarna-
warni sebagai ikon kehidupan komunitas pesisir.
75
dilewati jalur utama Pantura (Pantai Utara Jawa) antara
Semarang-Surabaya. Setiap hari, selama 24 jam, berbagai
kendaraan besar dan kecil hilir-mudik melewati desa ini.
76
menjanjikan pendapatan yang diperoleh daripada mencari
ikan sendiri. Perahu mereka yang rusak dibiarkan dan tidak
diperbaiki. Mereka lebih senang menjadi pekerja nelayan pada
perahu-perahu besar.
Selain TPI, ikon lain dari desa Pasar Banggi adalah hutan
mangrove buatan sepanjang 3,5 kilometer di pesisir wilayah
utara desa. Keberadaan hutan mangrove ini bukan alamiah,
tetapi hasil kegiatan pengembangan komunitas (community
development) warga komunitas setempat. Hutan mangrove
menjadi sabuk hijau (greenbelt) di wilayah pesisir desa dan
menjadi ikon alami Desa Pasar Banggi.
77
Gambar 3.1
Hutan Mangrove sebagai
Sabuk Hijau (Greenbelt) Desa Pasar Banggi
78
Kegiatan anggota komunitas yang melakukan penanaman,
penyulaman, pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian
mangrove sekarang dapat dilihat hasilnya, yakni kawasan
pesisir desa tertanami dan terlindungi hutan mangrove. Oleh
karena itu, mulai 1968 sampai sekarang, hutan mangrove
dikatakan sebagai ikon abadi Desa Pasar Banggi. Setiap kali
orang menyebut Desa Pasar Banggi, bukan TPI yang mereka
kenal, tetapi hutan mangrove yang membentang sebagai sabuk
hijau (greenbelt) di desa tersebutlah yang banyak dikenal.
Orang-orang akan selalu teringat di dalam benak mereka
masing-masing bahwa Desa Pasar Banggi adalah desa dengan
hutan mangrove.
79
Gambar 3.2
Desa Pasar Banggi sebagai
Kawasan Konservasi Hutan Mangrove
80
hadap kerusakan lingkungan tambaknya dengan melakukan
penanaman, penyulaman, perawatan, dan pelestarian pohon
mangrove mulai 1964 sampai sekarang.
Gambar 3.3
Plangboard Kelompok Perikanan Sidodadi Maju
81
merupakan aset yang menjadi sumber kehidupan anggota
komunitas setempat. Mereka menanam pohon mangrove agar
tanggul tambaknya tidak rusak dari abrasi dan gempuran
ombak air laut. Tanggul-tanggul yang ditanami bakau atau
mangrove dapat digunakan sebagai tempat budidaya. Oleh
karena itu, organisasi lokal ini bisa disebut sebagai indigenous
organization. Suatu organisasi dalam bentuk kelompok
beranggotakan petani tambak yang mempunyai kepedulian
terhadap pelestarian hutan mangrove.
82
Banggi merupakan aset komunal, yakni perairan laut. Laut
merupakan satu-satunya aset mereka yang tidak hanya dimiliki
sendiri, tetapi juga masyarakat luas. Itulah sebabnya, dukuh
tersebut lebih miskin dibandingkan dengan Dusun Kaliuntu.
Tabel 3.2
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Pasar Banggi
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Dalam %
1 Belum sekolah 49 01,66
2. Lulus pendidikan SD 2549 86,55
3. Lulus setingkat SLTP 201 06,83
4. Lulus setingkat SLTA 121 04,11
Lulus pendidikan Tinggi
5. 25 00,85
(Diploma dan S-1)
J u m l a h 2945 100,00
Sumber: Monografi Desa Pasar Banggi 2011
83
Gambaran pendidikan yang dimiliki masyarakat Desa
Pasar Banggi menunjukkan bahwa desa ini masih belum
mementingkan pendidikan dan keterampilan. Bagi mereka
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan keterampilan
tertentu, melakukan migrasi ke daerah lain atau ke kota besar
untuk mencari pekerjaan. Tujuannya adalah untuk men-
dapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan ke-
terampilan yang mereka miliki. Sementara mereka yang masih
terus bertahan dan menekuni hidup di desa, berpendidikan
menengah ke bawah. Desa Pasar Banggi hanya ada berbagai
pekerjaan yang berkaitan dengan alam perdesaan berpesisir,
yakni berkaitan dengan tambak dan mencari hasil laut.
84
pendidikan di SD tersebut, sedangkan anak-anak yang berada
di Dusun Kaliuntu bersekolah di SD lain.
2. Mata Pencarian
Masyarakat Desa Pasar Banggi Kecamatan Rembang
mempunyai variasi sangat beragam tentang jenis pekerjaan
yang ditekuni. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan
yang banyak, yakni mencapai 694 orang atau 47,08 persen.
Sedangkan petani lahan kering dan buruh tani jumlahnya se-
banyak 118 orang atau 7,99 persen. Pekerjaan petani tambak
dan buruh tambak mencapai 59 orang atau 4 peresn. Jumlah
tersebut merupakan keseluruhan anggota petani tambak yang
ada di Desa Pasar Banggi. Jumlah jenis pekerjaan lain, seperti
PNS, pedagang keliling, montir, pedagang kecil, buruh pabrik,
sangatlah kecil.97
85
Petani sawah dan buruh taninya hanya berjumlah 118
orang. Hal ini tentu berkaitan dengan sawah yang ada di desa
ini hampir semuanya sawah tadah hujan, sehingga mereka
hanya bisa mengerjakan sawah untuk ditanami padi di musin
hujan. Selebihnya, dibiarkan tanpa tanaman apa pun, karena
memang sumber air sungai dan air tanah sulit didapatkan
untuk bisa digunakan mengairi sawah pertanian mereka.
Selain itu, banyak sawah mereka telah dijual kepada warga
komunitas desa lain untuk ditanami tebu, sementara pekerjanya
didatangkan dari daerah lain.
86
terjadi Musim Angin Barat (Desember-Februari), mereka tidak
bisa melaut, karena hambatan gelombang yang besar. Selain
Musim Angin Barat, hambatan lain adalah Musim Angin Timur
(Maret-Mei). Ketika itu akan terjadi hal sama, yakni gelombang
besar dan pasang, sehingga para nelayan tidak bisa menjalani
pekerjaannya mencari ikan di laut. Pada bulan-bulan itu, mereka
banyak yang tidak melaut. Ada yang memperbaiki jaring dan
banyak pula yang menganggur.
C. Sosial-Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Pasar Banggi me-
rupakan pencerminan dari kehidupan alam pesisir. Kehidupan
87
masyarakat lebih banyak bergantung pada sumberdaya alam
yang tersedia di wilayah pesisir dan laut, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat
desa ini tidak terlepas dari denyut kehidupan alam pesisir,
mulai dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan
dan udang, petani pembuat garam, buruh pembuat garam,
pedagang ikan, pengolah ikan. Selain itu, ada penyedia sarana
produksi perikanan.
88
pertumbuhan tenaga kerja tersebut pada sumberdaya pesisir,
tambak, dan laut.
89
hasil tangkapan ikan tidak sebanding. Misalnya, semalam
melaut, nelayan memerlukan bahan bakar 3 liter solar seharga
sekitar Rp16.500. Jikalau mendapatkan 2-3 kilogram udang
kecil seharga Rp30 ribu sampai Rp45 ribu, penghasilan
nelayan kecil banyak yang gulung tikar atau tidak melaut lagi.
Banyak di antara nelayan kecil ikut perahu besar yang ada di
Pelabuhan Tasik Agung di Kota Rembang sebagai buruh kapal
yang melaut menggunakan kapal besar dalam rentang waktu
berminggu-minggu sampai satu bulan penuh.
90
keluar dari lingkaran pertambakan dan laut sebagai upaya
meningkatkan taraf kehidupan.
91
yang berkaitan dengan kebijakan keuangan, perkreditan, dan
perundangan-undangan lain. Kebijakan lebih banyak berpihak
pada kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin,
terutama nelayan kecil dan buruh tambak yang tidak memiliki
aset. Dengan kondisi buruh tani dan nelayan yang merupakan
bagian terbesar dari bidang pekerjaan masyarakat pesisir di
Desa Pasar Banggi, akan terus mengalami keadaan kemiskinan
yang terus-menerus.
92
di pesisir utara Pulau Jawa. Sebagian besar penduduknya
mengandalkan hasil laut sebagai nelayan kecil. Itulah sebabnya,
mereka berbeda sangat mencolok bila dibandingkan dengan
kondisi Dusun Kaliuntu. Sebagai nelayan, penghasilannya
bukan hanya kecil, tetapi tidak menentu dan tidak pernah
menghasilkan ikan dalam jumlah besar. Alat-alat tangkap yang
digunakan masih sederhana dan perahu mereka yang kecil
tidak akan mampu menghasilkan tangkapan ikan banyak. Hal
ini tentu berbeda dengan komunitas Dukuh Kaliuntu yang
mempunyai tambak. Tambak bisa menghasilkan ikan bandeng,
udang, dan produksi garam dengan jumlah banyak, sehingga
bisa dipahami bahwa kehidupannya lebih baik secara sosial-
ekonomi, bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di
Dusun Krajan (Pasar Banggi). Selain itu, banyaknya jumlah
penduduk mengakibatkan tidak meratanya sumberdaya yang
terbatas.
93
Sebagaimana etnis Jawa pada umumnya, etnis ini di-
tandai dengan penggunaan Bahasa Jawa dalam kehidupan
sehari-hari saat berkomunikasi, baik antar-anggota komunitas
setempat maupun berkomunikasi dengan orang lain yang
belum dikenalnya. Bahkan tidak jarang saat berkunjung ke
kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor-kantor lain warga
menggunakan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Meski
demikian, jika diajak berkomunikasi dengan menggunakan
Bahasa Indonesia, baik orang tua maupun anak-anak, hampir
semua orang bisa dan mengerti.
94
ditemukan suatu kebiasaan atau tradisi-tradisi tertentu yang
tidak ditinggalkan, seperti upacara selamatan, upacara petik
laut, upacara menanam tanam padi, dan upacara memulai
pembuatan garam.
95
pengakuan atas kapasitas orang tersebut dalam bidang ter-
tentu untuk menjadi pemimpin informal. Dalam hal ini, model
pemimpin informal adalah pemimpin dalam bidang keaga-
maan dan pemimpin informal yang menggerakkan anggota
komunitas dalam pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.
Pemimpin informal di komunitas desa ini tidak bersifat paternal-
istik, meskipun yang bersangkutan sebagai pemimpin informal
di bidang keagamaan. Pemimpin informal di komunitas Desa
Pasar Banggi tidak dibatasi oleh masa kerja tertentu, melainkan
selama yang bersangkutan mampu menjadi pemimpin informal
komunitas, akan diakui sebagai pemimpin informal.
96
BAB 4
REHABILITASI
HUTAN MANGROVE
DESA PASAR BANGGI
97
Selain berzikir kepada dirinya sendiri
juga mendoakan yang menanam dan yang melestari-
kannya
98
Beberapa anaknya telah berumah tangga dan menetap di
daerah lain. Pekerjaan utamanya adalah petani tambak, sejak
1964 sampai sekarang. Tambak seluas 2 Ha merupakan satu-
satunya sumber kehidupan keluarga. Tambak tersebut bukan
hasil pembelian dirinya, melainkan warisan orangtua.
99
tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik melindungi tambak.
Setelah melihat kondisi tersebut, kesadarannya muncul. Setelah
diselidiki dan diamati, ternyata tanggul tambak banyak yang
mengalami kerusakan dan hancur akibat abrasi dari gelombang
air laut. Dengan masuknya air laut ke dalam tambak, para
petani tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak tidak bisa
memfungsikan tambak sebagai tempat budidaya.
100
gerakan komunitas di desanya. Sesungguhnya, penanaman
mangrove dimaksudkan agar bisa bekerja mengelola tambak
dan mempunyai penghasilan yang dapat digunakan memenuhi
kebutuhan hidup. Karena pengunduran diri dari keanggotaan
TNI secara baik-baik dan baru bergabung selama dua tahun,
akhirnya tidak mendapatkan hak pensiun. Harapan satu-satunya
untuk memperoleh penghasilan adalah membudidayakan
tambak. Kepeduliannya terhadap rehabilitasi hutan mangrove,
sesungguhnya sebagai suatu usaha tidak langsung dalam
mengembalikan fungsi tambak sebagai tempat budidaya ikan,
udang, dan pembuatan garam. Dengan menanam mangrove,
harapannya tambak dapat berfungsi dengan baik dan
digunakan sebagai tempat kerja.
101
para petani tambak tersebut hanya bisa bertahan sementara.
Jika ada gelombang air laut yang besar dari biasanya, tanggul
dengan tiang pancang bambu dan batu dengan semen
tersebut juga mengalami kerusakan atau abrasi.
102
yang mempunyai niat untuk melakukan usaha menanam
mangrove di tanggul tambaknya. Inisiatifnya tersebut dilandasi
faktor sosial ekonomi, yakni memulihkan tempat budidaya
berupa tambak agar dapat dimanfaatkan sebagai budidaya
dan tempat kerja. Hingga sekarang, mereka mengandalkan
kehidupannya dari hasil budidaya tambak. Mereka saling
memahami dan mengerti kegiatan yang mereka lakukan, satu
dengan yang lain. Keadaan tersebut mudah dipahami, karena
kehidupan di wilayah perdesaan memang masih menjalin
solidaritas mekanis, sehingga masing-masing orang dapat
mengenal lebih dekat dan akrab dengan anggota komunitas
di lingkungan desanya.
103
Sebagai pencetus, kegiatan penanaman pohon mangrove
yang dilakukan adalah menanam sampai berhasil. Kegiatannya
sedikit demi sedikit diikuti oleh anggota komunitas lain.
Dapat disebut pelopor atau perintis pelestarian lingkungan,
khususnya hutan mangrove karena menjadi inisiator gerakan
rehabilitasi hutan mangrove dan agen perubahan sosial di
tingkat komunitas pesisir sekaligus.
Jika ada tamu yang datang dari mana pun untuk mencari
tahu proses rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove pasti
datang dan menemuinya. Pengetahuan dan pengalamannya
sangatlah luas dan mendalam tentang pohon dan hutan
mangrove dan mengenal dan hafal berbagai jenis pohon
mangrove di luar kepala serta dapat menunjukkan kelebihan
dan kelemahan masing-masing jenis pohon mangrove. Dengan
kemampuannya itu, dapat menceritakan dan menjelaskan
104
tanaman mangrove dengan teperinci, mulai pembibitan, pe-
nanaman, perawatan, jenis penyakit, berbagai jenis mangrove,
dan lain sebagainya.
105
menggugah kesadaran dan membangkitkan niat Suyadi untuk
menanami tanggul tambak miliknya. Rencana menanam
mangrove di tanggulnya, kemudian ia pikirkan sendiri, mulai
dari cara mencari bibit sampai pelaksanaan penanamannya.
Hal ini dilakukan dilandasi motivasi kuat bahwa tanggul tambak
dapat aman jika ada pohon mangrove-nya.
106
Dengan mengumpulkan bibit yang diambil dari sela-sela
pohon mangrove kemudian ditaruh di sekitar pohon yang sudah
besar. Pohon besar dapat menjadi pelindung bibit mangrove.
Selain itu, dengan menempatkan bibit di antara pohon yang
sudah besar akan memudahkan pengambilan dan penanaman.
Bibit yang ada tidak perlu perawatan, seperti menyiangi atau
memberi air. Dengan kebutuhan yang banyak, juga dilakukan
pembibitan menggunakan polybag yang ditempatkan di
belakang rumah. Hal ini memudahkan perawatan agar dapat
tumbuh menjadi bibit yang baik. Berdasarkan hal tersebut,
dalam mempersiapkan bibit, sehingga tidak perlu melakukan
persemaian, tetapi cukup mengumpulkan bibit-bibit mangrove
yang tersedia. Setelah bibit yang didapatkan, kemudian barulah
mulai penanaman bibit pohon mangrove di tanggul tambaknya
sendiri.
107
ditanam sendiri di area tanggul tambak miliknya tidak berhasil
diwujudkan.
108
paling tidak ia mendapatkan pengalaman dan pengetahuan
berharga tentang sulitnya menanam pohon mangrove. Selain
itu, kegagalan yang dilakukan tidak mempengaruhi penghasilan
dan kondisi ekonomi keluarga. Karena, bibit batang mangrove
sangat mudah didapat di sela-sela pohon mangrove yang
sudah dewasa. Pengumpulan buah mangrove juga tidak
memerlukan biaya. Asal mau mengambil akan didapatkan
bibit mangrove yang banyak jumlahnya. Kegiatan pembibitan
pun mudah dilakukan.
109
tambaknya berhasil diwujudkan. Upayanya mencari jalan keluar
tersebut menemui jalan buntu, karena tidak bisa bertanya
kepada siapa pun di lingkungan masyarakat desanya Tidak
ada yang mempunyai pengalaman menanam pohon mangrove
sampai berhasil.
110
untuk mempelajari sendiri tata cara penanaman yang bisa
menghidupkan tanaman mangrove.
111
menanami pohon mangrove, tanggul tambaknya dapat aman
secara alami dari gempuran atau abrasi dan gelombang air
laut. Jika suatu saat nanti tanggul tambaknya aman maka
seluruh petani tambak bisa melakukan budidaya ikan bandeng
dan udang di musim penghujan dengan aman, sedangkan di
musim kemarau dapat memproduksi garam.
112
ditanam juga ribuan bibit, penanamannya dapat dilakukan
seorang diri dan memerlukan waktu penanaman beberapa
bulan.
113
tersebut banyak menuai ejekan dari anggota komunitas. Ada
yang mengatakan bahwa mimpi Suyadi mewujudkan hutan
mangrove dengan menanam bibit pohon mangrove di tanggul
tambak sebagai suatu pekerjaan sia-sia. Anggota komunitas lain
mengatakan bahwa keinginannya untuk mewujudkan hutan
mangrove merupakan keinginan orang gila dan suatu pekerja-
an yang tidak ada gunanya. Pernyataan anggota komunitas
itu justru membakar semangatnya untuk menanam pohon
mangrove di tanggul tambaknya pada tahun berikutnya.
114
dilakukan penanaman, kemudian dibiarkan. Penanaman bibit
mangrove harus dilanjutkan dengan melakukan perawatan,
pemeliharaan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan per-
kembangan dan pertumbuhan penanaman pohon mangrove
itu sendiri. Pohon mangrove diibaratkan sebagai anak kecil,
mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, sampai
pohon mangrove dapat berbuah memerlukan perawatan
secara intensif. Setelah menanam pohon mangrove, tugas
berikutnya adalah memelihara agar tingkat kematiannya tidak
terlalu tinggi.
115
Dengan berbagai kasus kematian bibit-bibit batang
mangrove tersebut akhirnya menambah pengalaman dan
pengetahuan baru baginya. Dengan usaha yang tidak me-
ngenal lelah dalam mempelajari perilaku tanaman mangrove
dan pola pasang surut air laut, Suyadi akhirnya mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman yang cukup memadai untuk
diterapkan dalam menanam bibit pohon mangrove pada tahun-
tahun berikutnya.
116
anggota komunitas turut berpartisipasi dalam kegiatan pena-
naman pohon mangrove.
117
Pada awalnya, banyak yang tidak mau melakukan pe-
nanaman, karena memang hasilnya belum memuaskan. Ber-
dasarkan kenyataan ini, semangatnya terus berkobar dan tidak
patah arang. Dengan terus berusaha memelihara batang-
batang pohon mangrove yang sudah tumbuh dari hasil kerja-
nya yang menjadi semakin besar, kegiatan menyosialisasikan
pentingnya pohon mangrove terus lakukan. Pertumbuhan
pohon mangrove yang semakin besar, akhirnya dapat memberi-
kan keyakinan kepada tetangganya bahwa pohon mangrove
dapat ditanam dan bisa tumbuh dengan baik. Dari kenyataan
tersebut, tetangga kanan dan kiri pemilik tambak mulai tertarik
menanam bibit pohon mangrove di masing-masing tanggulnya
sendiri.
118
bersama-sama di area lebih luas. Mereka juga menanami bibit
pohon mangrove di tanah milik pemerintah desa dan tanah
negara.
119
Rehabilitasi hutan mangrove demikian berkat usaha Suyadi
sebagai pionir kegiatan dalam menyosialisasikan pentingnya
tanaman pohon mangrove dan menjaga kelestarian sebagai
pelindung alami tambak mereka. Setelah berjalan delapan
tahun, gerakan menanam mangrove yang dilakukan secara ber-
sama berhasil membentuk kelompok sebagai inisiasi akselerasi
kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Tepatnya
pada 1972, warga sepakat membentuk suatu kelompok tani
perikanan peduli kelestarian mangrove. Kelompok lokal ter-
sebut dimaksudkan untuk mengintensifkan gerakan komunitas
dalam melakukan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan
pelestarian pohon mangrove yang sudah tumbuh.
120
akan diberi sanksi penanaman kembali sebanyak tiga kali luas
hutan mangrove yang dirusaknya. Sanksi tersebut berupa
pernyataan secara tertulis, kemudian dipegang oleh ketua
kelompok dan pengawasan terhadap sanksi tersebut dilakukan
oleh anggota kelompok yang tergabung dalam pemulihan dan
pelestarian hutan mangrove.
121
anggota komunitas petani tambak dan seluruh masyarakat
Desa Pasar Banggi sekarang menjadi pelindung alami tambak-
tambak seluas 72 Ha. Sedangkan luas hutan mangrove
sendiri mencapai 60 Ha atau sepanjang 3,5 kilometer dengan
ketebalan antara 65-150 meter. Sumberdaya alam dan hutan
mangrove pun pulih serta tambak sebagai tempat budidaya
perikanan dapat terlindungi.
122
berbagai tempat di wilayah Rembang pada khususnya, dan
Jawa Tengah pada umumnya, ternyata banyak mengalami
kegagalan. Karena, orang-orang yang terlibat dalam gerakan
penanaman pohon mangrove tidak memahami benar tata
cara dan pola tanam pohon mangrove. Selain itu, tidak ada
pionir yang bertanggung jawab dan dapat menggerakkan serta
memberikan pengetahuan mengenai tata cara penanaman
mangrove yang benar dan baik.
123
B. Proses Tumbuhnya
Partisipasi Anggota Komunitas
Proses pengembangan dalam melakukan kegiatan pemu-
lihan dan pelestarian atau rehabilitasi hutan mangrove yang
terjadi di Desa Pasar Banggi tidak mungkin dapat diwujudkan
jika tidak disertai partisipasi secara aktif anggota komunitasnya.
Partisipasi anggota komunitas merupakan faktor penting dan
bahkan dapat menentukan keberhasilan keseluruhan proses
pengembangan komunitas.
Kegiatan dalam melakukan pemulihan dan pelestarian
hutan mangrove tidak bisa dilakukan seorang diri dari pionir
atau perintis maupun kelompok kecil orang tertentu. Kegiatan
tersebut dapat diwujudkan dengan partisipasi yang dilakukan
anggota komunitas lain secara bersama-sama. Sebagaimana
ditunjukkan oleh anggota komunitas desa tersebut dalam
mendukung upaya mewujudkan tanggul tambak dan pesisir
pantai dengan menanam hutan mangrove sebagai pelindung
alami tambak diikuti partisipasi aktif anggota petani tambak.
Partisipasi anggota komunitas petani tambak tidak be-
gitu saja muncul dan terwujud dengan mudah. Terwujudnya
partisipasi anggota komunitas, dimulai dari upaya yang tidak
mengenal lelah dari seorang perintis dan pelestari lingkungan,
khususnya hutan mangrove dalam mengkomunikasikan pen-
tingnya hutan mangrove sebagai pelindung alami tambak. Hal
ini melihat kenyataan bahwa pelindung tambak yang terbuat
dari tiang pancang, berupa bambu atau batang kayu maupun
campuran batu bata semen, tidak mampu menahan gelombang
dan abrasi air laut.
124
Melihat kenyataan tersebut, pionir dari gerakan rehabilitasi
mangrove berinisiatif untuk menanami tanggul tambak dengan
pohon mangrove, yang diyakini dapat memberi contoh nyata
pelindung alami tambak. Meskipun hal ini merupakan sesuatu
yang logis dan dapat diterima oleh akal, akan tetapi anggota
komunitas pemilik tambak tidak serta-merta mau mengikuti
dan melakukan penanaman pohon mangrove. Sebagai orang
awam, anggota komunitas pemilik tambak perlu contoh
nyata tentang fungsi hutan mangrove yang dapat menjadi
pelindung alami tambak. Oleh karena itu, mengajak anggota
komunitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemulihan
dan pelestarian hutan mangrove diperlukan kerja keras untuk
mengkomunikasikannya.
125
Sikap tidak percaya tersebut diikuti penolakan dari anggota
komunitas dengan menentang hingga mengejek. Bahkan
kegiatan penanaman pohon mangrove dianggap sia-sia dan
tidak ada gunanya, serta belum tentu mampu melindungi
tambak mereka.
126
orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa melibatkan anggota
komunitas untuk berpartisipasi dalam penanaman pohon
mangrove bukan perkara mudah. Namun demikian, dengan
keterlibatan lima orang tersebut, kegiatan penanaman pohon
mangrove semakin diperluas. Pada 1969, luas tanam pohon
mangrove bertambah 1 Ha, dengan jumlah bibit yang ditanam
sebanyak kurang lebih 9000-an batang.
127
Selanjutnya, pada 1972, merupakan awal terbentuknya
Kelompok Tani Tambak yang melakukan penanaman pohon
mangrove. Jumlah anggota yang terlibat kegiatan mengalami
kenaikan, yakni 11 orang. Berdasarkan kesepakatan, akhirnya
11 orang petani tambak membentuk kelompok tani yang
dinamai Kelompok Tani Perikanan Sidodadi Maju. Kelompok
ini terbentuk atas kesadaran anggota komunitas mengenai
pentingnya kegiatan bersama dalam melakukan penanaman
pohon mangrove. Dengan kelompok tersebut, para petani
tambak semakin intensif melakukan kegiatan penanaman
bersama. Selain itu, kegiatan pembibitan, penanaman, dan
pemeliharaan dilakukan bersama-sama.
128
juga hanya beberapa orang. Pada 1981 sampai 1987, anggota
kelompok tani yang peduli pada penanaman mangrove
bertambah menjadi 18 orang. Bertambahnya anggota kelompok
tani ini menambah sumberdaya manusia (SDM) yang ada,
sehingga kegiatan penanaman yang dilakukan semakin meluas.
Tidak hanya lokasi pantai di Desa Pasar Banggi, penanaman
mangrove dilakukan pula desa lain di kawasan Kecamatan
Lasem. Jika pada tahun sebelumnya, hanya sebelah kiri dan
kanan desa Pasar Banggi, kegiatan penanaman pohon mang-
rove sudah sangat luas, bahkan di luar kecamatan.
129
luas penanaman berlokasi di Desa Tireman dan Tritunggal,
serta Desa Lasem. Bahkan ada pemerintah daerah lain yang
memesan bibit mangrove dari Kelompok Tani Sidodadi Maju.
130
Pengembangan kegiatan anggota kelompok terus di-
lakukan dan tidak terbatas pada menanam dan memelihara
tanaman mangrove, melainkan kegiatan sosial-ekonomi
yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan seluruh
anggota komunitas. Kegiatan arisan, simpan pinjan, dana
taktis, dan pemberdayaan anggota komunitas perempuan terus
dikembangkan terkait keberadaan sumberdaya alam hutan
mangrove dan sumberdaya alam lain yang tersedia.
131
Pengakuan demikian sangat terkait erat dengan keseluruhan
proses pengembangan komunitas yang dimulai tahun 1964
sampai dengan 2013.
132
komunitas, lembaga, atau kelompok lokal baru dapat dibentuk.
Berdasarkan kesepakatan anggota komunitas peduli mangrove
melalui berbagai pertemuan, pemimpin tersebut menyampai-
kan pentingnya kelompok. Dalam menyampaikan pentingnya
kelompok, dilakukan di berbagai tempat, misalnya di tempat
pembibitan dan sewaktu melakukan kegiatan penanaman
pohon mangrove secara gotong royong, atau kegiatan bersama
lainnya. Dalam semua situasi, ia selalu mengungkapkan ke-
inginannya untuk membentuk kelompok.
133
Hal-hal tersebut sangat penting disampaikan kepada
anggota komunitas yang sudah terlibat dalam penanaman
pohon mangrove, agar apa yang dikerjakan, yakni dalam
melakukan pembibitan mangrove dapat menghasilkan bibit
pohon mangrove berkualitas. Selanjutnya, disampaikan tata
cara menanam mangrove yang baik dan benar, sehingga
menghasilkan tanaman mangrove yang dapat tumbuh sem-
purna. Dengan menanam baik dan benar, diharapkan tingkat
kematian bibit mangrove yang ditanam menjadi lebih kecil per-
sentasenya. Semua itu ia sampaikan kepada anggota komunitas
yang terlibat penanaman mangrove berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki.
134
kapasitas dan pengalaman anggota yang sangat terbatas,
sehingga tidak ada usulan mengenai nama kelompok yang
dibentuknya. Berdasarkan usulan yang disampaikan inisiatornya
kemudian anggota kelompok menyetujuinya, yakni adanya
nama kelompok. Nama kelompok tani tambak yang disepakati
adalah Kelompok Tani Perikanan Sidodadi Maju. Makna
dari nama tersebut menurut pencetusnya bahwa kelompok
tani tambak peduli mangrove tersebut dapat memajukan
dan memakmurkan masyarakat desanya melalui gerakan
penanaman pohon mangrove.
135
Gerakan ini juga disebut sebagai gerakan dari bawah
(bottom-up), karena merupakan gerakan yang muncul atas
kesadaran diri dari anggota komunitas setempat. Kesadaran
tersebut mengenai pentingnya pohon mangrove dan hutan
mangrove sebagai bagian dari lingkungan pesisir di wilayah
perdesaannya. Hutan mangrove diyakini sebagai lingkungan
yang harus dipulihkan dan dilestarikan karena dapat menjadi
pelindung alami tambak dan di dalam hutan mangrove itu
sendiri mengandung berbagai sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas desa.
136
peduli mangrove dengan komunitas lain. Kelak di kemudian
hari, jika terjadi kesalahpahaman akan lebih mudah diatasi,
daripada bertindak sendiri-sendiri. Dengan kata lain, kegiatan
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove memerlukan
kehadiran lembaga lokal. Konflik akan mudah terjadi, karena
hutan mangrove merupakan aset milik bersama, sehingga
banyak orang mempunyai hak sama. Dengan kepentingan
seperti itu, gesekan kepentingan mudah terjadi.
137
membutuhkan sumberdaya air laut. Air laut tersebut digunakan
untuk mengisi tambak demi kepentingan memelihara ikan
dan udang serta dibutuhkan untuk membuat garam. Dengan
kepentingan yang sama tersebut, akhirnya anggota kelompok
terus bertambah jumlahnya setiap tahun.
138
kelompok sering dilakukan untuk merencanakan dan mem-
persiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan, berkaitan
dengan penanaman pohon mangrove. Karena kelompok tani
tambak peduli mangrove ini tidak mempunyai kantor sampai
tahun 2013 maka pertemuan kelompoknya di rumah anggota
kelompok secara bergiliran. Hal tersebut bersamaan dengan
kegiatan arisan kelompok yang diselenggarakan tanggal 20
setiap bulannya.
139
dan menumbuhkan partisipasi anggota kelompok dalam me-
lakukan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Dengan
kelompok yang telah dibentuk akhirnya ditentukan pengurus.
Berdasarkan kesadaran dan kesepakatan bersama seluruh
anggota kelompok kemudian membentuk dan menyusun
pengurus kelompoknya.
140
berhubungan dengan kegiatan kelompok dilakukan secara
informal. Tanggung jawab secara kolegial, yakni tanggung
jawab bersama, tetapi ada penanggung jawab utamanya, yaitu
ketua kelompok.
141
Kemampuannya dalam mempengaruhi orang lain untuk
mengikuti tindakannya atau mendukung apa yang dilakukannya,
sangat nyata. Dengan selalu mengajak anggota komunitas
untuk melakukan kegiatan menanam dan merehabilitiasi pohon
mangrove menjadi buktinya. Dengan proses kegiatan demikian,
anggota kelompok menyetujuinya menjadi pemimpin. Dengan
status pemimpin, rehabilitasi hutan mangrove menjadi tanggung
jawabnya. Selain itu, ia menjadi penanggung jawab kegiatan
kelompok tani tambak peduli mangrove dan kegiatan lain
yang berkaitan dengan keseluruhan proses pengembangan
komunitas di wilayahnya.
142
sekaligus pemimpin informal mereka. Kemampuan terpenting-
nya sebagai seorang pemimpin terkait dengan proses keselu-
ruhan pengembangan komunitas. Disetujui dan diberi amanah
oleh anggota komunitas sebagai pemimpin, karena kemampu-
annya melakukan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.
Meskipun tidak pernah mempelajari tumbuhan mangrove me-
lalui bangku sekolah atau membaca buku tentang mangrove,
namun pengetahuannya tentang mangrove sangat luas dan
mendalam.
143
dibandingkan dengan anggota komunitasnya, terutama dalam
menjalin hubungan sosial, baik sesama petani tambak maupun
dengan masyarakat luas. Hal ini terlihat dari sikapnya yang selalu
menerima siapa pun yang datang dan memerlukan dirinya.
Sebagai bagian dari komunitas Desa Pasar Banggi sejak kecil
sampai sekarang, prinsipnya selalu memegang teguh norma
dan nilai-nilai masyarakat setempat. Menurutnya, tamu atau
orang luar yang datang ke Desa Pasar Banggi adalah orang
yang harus dihargai dan dihormati. Tamu adalah raja, begitu
prinsip Suyadi dalam menghormati tamunya. Penghargaan
demikian akhirnya berimbas pada dirinya sendiri bahwa yang
bersangkutan juga dihargai dan dihormati oleh orang luar desa
dan masyarakat luas sebagai pemimpin komunitas.
144
diserahi mandat menjadi ketua kelompok tani perikanan peduli
mangrove. Sedangkan pemimpin lama kemudian menjadi
penasihat kelompok.
145
berdasarkan kapasitas yang dimiliki, khususnya berkaitan
dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
146
Perannya sangat dominan dibandingkan dengan anggota
komunitas lain, sehingga didaulat sebagai pemimpin komunitas.
Kontribusinya dalam mewujudkan hutan mangrove dimulai
dari memikirkan ide perlindungan tambak dengan tanaman
mangrove, melakukan penanaman pertama, menggerakkan
petani tambak, sampai menjaga kelestarian hutan mangrove.
Dengan dominannya peran yang dilakukan dalam melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove maka dapat dikatakan
ia merupakan motor atau ruh penggerak kegiatan tersebut.
Sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove maka peran Suyadi sangat me-
nentukan keberhasilan kegiatan tersebut. Untuk itu, peran-
perannya dalam keseluruhan kegiatan rehabilitasi hutan mang-
rove di Desa Pasar Banggi dideskripsikan sebagai berikut.
147
Sebagian besar komunitas pesisir tersebut mengandalkan
tambak sebagai tempat bekerja, yakni sebagai tempat budidaya
ikan, udang, dan pembuatan garam. Ketergantungan mereka
terhadap keberadaan tambak sangatlah nyata. Penghasilan
yang diperoleh dari berbagai budidaya tambak digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tambak bukan
hanya tempat bergantung hidup petani, melainkan juga
penyewa tambak dan buruh tambak.
148
ketiga, hingga keempat, penanaman masih dilakukan sendiri.
Pasalnya, penanaman yang dilakukan belum menunjukkan
keberhasilan, sehingga anggota pemilik tambak lain belum
tertarik melakukannya. Setelah penanaman mangrove me-
nunjukkan keberhasilan, pemilik tambak yang lain mulai
tertarik melakukan kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi
selanjutnya lebih banyak dilakukan dengan bergotong royong
atau bersama-sama.
149
terus disosialisasikan kepada warga. Dengan keberhasilan-
nya menanam mangrove dan sudah dapat diwujudkan hutan
mangrove-nya, sosioalisasi terus dilakukan kepada pemilik
tambak lain agar mau berpartisipasi.
150
perlu wadah, berupa kelompok petani tambak, khususnya
dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
151
peduli pada keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan
dan penting. Hal tersebut terkait dengan kegiatan kelompok
yang telah melakukan penanaman pohon mangrove di tanah
desa dan tanah negara, sampai wilayah desa lain.
152
dimaksudkan untuk memberikan peluang pekerjaan tambahan
bagi perempuan dalam mengolah sumberdaya alam pesisir,
terkait keberadaan hutan mangrove. Sumberdaya alam yang
berkaitan hutan mangrove sangat melimpah dan perlu ke-
terlibatan kaum perempuan, terutama dalam mengolah buah
mangrove. Hasil sumberdaya alam berupa buah mangrove
yang sudah tua dapat diambil oleh kaum perempuan untuk
dijadikan bibit serta dibuat makanan dan minuman. Pekerjaan
demikian dirasakan sangat tepat dan cocok dilakukan oleh
kaum perempuan dan dapat memperluas lapangan kerja, me-
nambah pendapatan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup
seluruh komunitas.
153
itu, modal sosial diperlukan untuk dijadikan ruh atau semangat
bagi anggota komunitas. Desa Pasar Banggi yang melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove perlu didukung modal
sosial, berupa nilai-nilai atau norma, kepercayaan, dan jaringan
sosial.
154
tersebut berhubungan erat dengan keberadaan tambak, pesisir,
dan hutan mangrove.
155
3. Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya
dan Lingkungan
Peran selanjutnya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove
adalah revitalisasi modal sosial komunitas yang berkaitan
dengan nilai atau norma sosial-budaya dan nilai lingkungan.
Keberadaan modal sosial demikian menunjukkan bahwa
komunitas pesisir mempunyai ketergantungan hidup kepada
lingkungannya. Nilai sosial-budaya dan lingkungan tersebut
berfungsi sebagai media untuk dijadikan visi komunitas, yakni
melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Revitalisasi nilai-nilai
tersebut dapat ditemukan dalam ungkapan atau pepatah yang
berada di tengah kehidupan komunitas.
156
Selain itu, merevitalisasi nilai dan norma agama berupa
ungkapan, Pohon-pohon mangrove selalu berzikir dengan
bergoyang setiap diterpa angin. Selain berzikir kepada dirinya
sendiri juga mendoakan yang menanam dan yang meles-
tarikannya. Ungkapan ini merupakan nilai dan norma terkait
agama yang dapat menjadi modal sosial dalam mewujudkan
hutan mangrove. Hubungan komunitas pesisir dengan Sang
Pencipta, yakni pencipta alam semesta merupakan modal
sosial. Wujud menanam mangrove bukan hanya diartikan se-
bagai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Hasil
kerja berupa hutan mangrove diartikan sebagai perbuatan baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pohon-pohon mang-
rove mendoakan penanamnya agar mendapatkan balasan baik
pula dari-Nya.
157
mangrove. Pohon mangrove dan hutan mangrove dapat ber-
fungsi sebagai pelindung alami tambak. Untuk membangun
modal sosial berupa kepercayaan tersebut diperlukan sikap
keteladanan, komitmen, dan kerja keras. Kepercayaan anggota
komunitas akan dapat tumbuh manakala pemimpinnya dapat
dipercaya. Kemampuannya dalam membangun modal sosial,
yakni dengan mewujudkan hutan mangrove, yang sebelumnya
merupakan mimpinya, kemudian menjadi kenyataan. Berdasar-
kan kenyataan ini, angota komunitas menaruh kepercayaan
besar terhadap apa yang dilakukan pemimpin.
158
sosial (social-networking) dengan kelompok lain. Modal sosial
ini berbentuk jaringan sosial horizontal dan jaringan sosial
vertikal terkait dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
159
kepentingan sama, yakni lestarinya hutan mangrove, suburnya
tambak, dan tersedianya berbagai sumberdaya alam untuk
kepentingan hidup mereka secara keseluruhan.
160
Dengan kelompok, semua anggota kelompok lebih menyadari
manfaat yang dilakukan daripada hanya melakukan kegiatan
sendiri-sendiri. Berdasarkan kelompok kegiatan lebih terarah
dan terfokus. Bahkan melalui keanggotaan kelompok tumbuh
kesadaran kelompok, sehingga menjadi kekuatan yang sangat
besar. Kekuatan tersebut mampu mempengaruhi orang yang
belum terlibat, sehingga akhirnya ikut bergabung.
161
kekuatan kelompok dapat diorganisasi menjadi kekuatan dah-
syat untuk memecahkan masalah bersama. Dengan bergabung-
nya anggota komunitas pemilik tambak dalam kelompok dapat
didayagunakan dan diorganisasikan secara efektif dan efisien
dalam mengatasi masalah kerusakan tanggul tambak.
162
pentingnya bekerja secara kelompok dalam mewujudkan hutan
mangrove. Sebagai pengorganisasi juga memberikan wawasan
tentang perubahan sosial kepada anggota komunitas. Anggota
komunitas dapat dibangkitkan kesadaran dan pengetahuannya
tentang masalah yang dihadapi dan dapat menunjukkan jalan
keluarnya.
163
Meskipun ada sebagian anggota yang tidak mendukung,
misalnya, namun secara umum, dalam mengorganisasi anggota
kelompok tani tambak peduli mangrove dikatakan berhasil. Hal
ini ditandai dengan berhasilnya keseluruhan anggota kelompok
saling bekerja sama tanpa ada konflik berarti selama lebih dari
40 tahun. Anggota komunitas mau berpartisipasi aktif dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
164
Setelah ada usaha dari pemimpin mereka melalui kegiatan
penanaman mangrove sampai berhasil, barulah anggota petani
tambak mau berpartisipasi. Sebelumnya, perlu kesadaran
terlebih dahulu sebelum mereka ikut serta kegiatan. Kesadaran
itulah yang menjadi persoalan penting munculnya partisipasi
anggota komunitas.
165
tani dari waktu ke waktu. Sesungguhnya, anggota kelompok
tani pada mulanya terdiri dari para pemilik tambak saja, tetapi
diperluas bagi semua orang yang ikut membudidayakan
tambak. Siapa pun anggota komunitas yang menggantungkan
hidupnya pada keberadaan tambak, meskipun penyewa dan
buruh tambak, dapat menjadi anggota kelompok tani tambak.
166
tentang mangrove, sehingga tidak dengan mudah menerima
perubahan sosial dalam bentuk gerakan penanaman pohon
mangrove. Diperlukan contoh nyata dan keteladanan. Oleh
karena itu, dalam memberikan contoh nyata, hal yang dilakukan
adalah mewujudkan keberhasilan tanam pohon dan hutan
mangrove. Dengan contoh nyata tersebut, sekaligus menjadi
guru terbaik bagi komunitas bahwa mangrove dapat ditanam.
Selain itu, tanaman mangrove dapat menjadi bukti kuat untuk
membantah mitos atau stigma negatif tentang sulitnya me-
nanam mangrove yang dipercayai komunitas.
167
rehabilitasi hutan mangrove bukanlah merupakan keberhasilan
pribadi saja. Keberhasilan tersebut merupakan keberhasilan
keseluruhan anggota komunitas dalam proses pengembangan
komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi tidak mungkin dilakukan seorang diri, namun harus
didukung partisipasi secara aktif komunitas.
168
Dengan didorong komitmen kuat, ia kemudian mempelajari
sendiri semua hal mengenai tata cara penanaman pohon
mangrove. Meskipun tidak menggunakan buku literatur atau
guru yang ahli mangrove, komitmennya untuk mewujudkan
hutan mangrove tampak pada upayanya secara autodidak
semua persoalan mengenai tanaman mangrove. Setelah men-
dapatkan pengetahuan dan pengalaman mengenai kegagal an
penanaman mangrove, akhirnya ia mendapat sedikit penge-
tahuan dan pengalaman untuk diterapkan dalam penanaman
tahun berikutnya. Pengalaman dan pengetahuannya terus
bertambah, sehingga ia pun benar-benar memahami semua
hal terkait pohon mangrove dan tata cara penanamannya.
169
yang dialami dalam menanam pohon mangrove pada awal-
awal tahun tidak menyurutkan komitmennya. Ia justru semakin
tertantang untuk segera mewujudkan tanaman mangrove.
170
untuk mempelajari tata cara penanaman yang baik dan benar.
Dengan pengetahuan tata cara menanam pohon mangrove
dengan baik dan benar maka pohon mangrove dapat tumbuh
seperti yang diinginkan.
b. Kapasitas
Selain komitmen kuat memperjuangkan hutan mangrove
di wilayah pesisir desa, dalam usaha mewujudkan hutan
mangrove, pemimpin informal ditunjang dengan kemampuan-
nya menanam mangrove. Semangat besar dan kuat ditambah
dengan adalah pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman
pemimpin informal tentang tata cara penanaman pohon
mangrove. Pengetahuan dan pengalamannya tersebut bukan
diperoleh dari bangku sekolah atau pun dari buku bacaan
yang ada. Hal-hal tersebut diperoleh secara autodidak, yakni
mempelajari sendiri semua hal terkait penanaman, perawatan,
pemeliharaan, dan pelestarian tanaman mangrove.
171
Kapasitas berupa pengetahuan dan pengalaman me-
rupakan hal penting dalam melakukan kegiatan rehabilitasi
mangrove. Menanam mangrove bukan pekerjaan sekali jadi.
Mangrove yang telah ditanam harus dipelihara agar tidak mati.
Pohon mangrove yang masih kecil rentan terhadap kematian.
Oleh karena itu, ada usaha untuk memeliharanya agar dapat
hidup.
c. Pekerja Keras
Dalam mewujudkan hutan mangrove sebagai sumberdaya
ekologis di wilayah pesisir Desa Pasar Banggi terus dilakukan
dengan prinsip kerja dan terus bekerja. Pekerja keras berarti
mengalokasikan semua potensi dan waktu yang dimiliki untuk
mewujudkan hutan mangrove. Seorang pekerja keras harus
mau dan dapat mengorbankan waktunya untuk mewujudkan
apa yang diinginkan. Keinginannya dalam menghutankan
kembali wilayah pesisir dengan tanaman mangrove merupakan
cita-cita yang terus diperjuangkan.
172
kenyataan. Mimpi adanya hutan mangrove sebagai pelindung
alami tambak yang ada di wilayahnya diusahakan terus de-
ngan usaha tanpa mengenal lelah. Waktunya ia gunakan un-
tuk memikirkan dan mengusahakan agar tanaman mangrove
dapat tumbuh di tanggul tambak yang kelak dapat menjadi
hutan mangrove. Keinginan tersebut jauh dari kepentingan
pribadi, ambisi pribadi, dan juga kepentingan politik tertentu.
Sebagai relawan, ia tidak memikirkan tentang apa yang didapat
dari pekerjaan menanam mangrove, misalnya gaji atau ingin
menjadi terkenal, atau bahkan ingin menjadi Kepala Desa.
d. Model Kepemimpinan
Aspek lainnya adalah model kepemimpinan yang dijalan-
kan atau diterapkan. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mang-
rove diperlukan model kepemimpinan yang sesuai dengan
kondisi komunitas setempat. Model yang diterapkan dalam
menjalankan kepemimpinan, jauh dari model formal. Dalam
menerapkan model kepemimpinan, dilandasi prinsip kesetaraan;
tidak membedakan pemimpin dengan anggota kelompok tani.
Oleh karena itu, dalam menjalankan kepemimpinan se lama
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dilandasi
prinsip dengan relasional (relational), tidak terstruktur (non-
hierarchical), dan kontekstual (contextual). Prinsip-prinsip
173
tersebut digunakan untuk memimpin kelompok tani peduli
mangrove dalam melakukan kegiatan rehabilitasi.
174
sekaligus bagian dari kelompok dan komunitas. Kegiatan reha-
bilitasi hutan mangrove membutuhkan model kepemimpinan
demikian, karena kegiatan tersebut terkait dengan penanaman,
pemeliharaan, dan berhubungan dengan komunitas lain.
175
2. Aspek Eksternal Pemimpin Informal
a. Pemimpin Akar Rumput (Grassroot Leader)
Keberhasilan mewujudkan hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi merupakan hasil dari kegiatan seluruh komunitas. Hutan
mangrove bukan hanya wujud keberhasilan seseorang yang
mempunyai visi, komitmen, kapasitas, dan keteladanan sebagai
pemimpin, melainkan keberhasilan komunitas desa yang
melakukan kegiatan pengembangan komunitas. Oleh karena
itu, sebagai pemimpin dari kelompok tani peduli mangrove
keberhasilan pemimpin formal juga didukung asal-usulnya.
176
Asal usul yang sama ini terkait dengan status sosial-
ekonomi. Secara sosial-ekonomi, Suyadi tidak berasal dari
struktur yang lebih tinggi dibandingkan anggota komunitas
atau anggota kelompok petani tambak. Selain itu juga bukan
merupakan orang kaya di komunitasnya. Kepemilikan luas
tambaknya hanya dua hektar. Ada orang lain yang mempunyai
tambak lebih luas dibandingkan tambaknya. Secara struktur
ekonomi, Suyadi sama dengan anggota petani tambak lain.
177
misalnya arisan simpan pinjam, dan kegiatan ekonomi produktif
lain. Dengan asal usul yang sama dari komunitasnya maka
dapat disebut sebagai pemimpin akar rumput atau grass-
root informal leaders. Pemimpin akar rumput merupakan
pemimpin yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal,
karena masyarakat tersebut sedang melakukan perubahan
sosial, terutama gerakan rehabilitasi hutan mangrove, mulai
penanaman hingga kelestariannya.
178
melainkan seluruh komunitas. Terlindunginya tambak dari
gelombang air laut maka tambak dapat digunakan sebagai
tempat budidaya. Budidaya bukan hanya pekerjaan pemilik
tambak, tetapi juga melibatkan penyewa dan buruh tambak.
Dengan keuntungan demikian, seluruh anggota mendukung
apa yang dilakukan pemimpinnya.
179
memerlukan bantuan. Dengan kehadiran mereka, masyarakat
mendapatkan tambahan penghasilan dari tempat menginap
atau menyediakan bahan makan; menjadi pemandu mengun-
jungi hutan mangrove; dan kegiatan lainnya. Selain itu, dengan
berbagai kunjungan masyarakat, ada juga kelompok peduli
mangrove yang datang, kemudian memesan bibit mangrove
dalam jumlah banyak.
180
penanaman 3 kali lipat luas area yang telah dirusaknya. Jika
yang melakukan perusakan adalah anggota masyarakat di luar
Desa Pasar Banggi akan diberi sanksi untuk tidak mengulangi
perbuatan. Jika tetap melakukan lagi akan dibawa dan diproses
kepolisian sampai pengadilan.
181
melakukan kegiatan penanaman secara gotong royong. Selain
itu, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan
pemerintah pusat mendukung kegiatan komunitas dalam
merehabilitasi pantainya dengan gerakan menanam mang-
rove. Dukungan pemerintah kabupaten misalnya, memberikan
bantuan polybag untuk pembibitan. Sementara pemerintah
pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), mem-
berikan dana bergulir untuk mengakselerasi kegiatan anggota
komunitas peduli mangrove.
182
BAB 5
REHABILITASI
HUTAN MANGROVE
SEBAGAI MODEL
PENGEMBANGAN
KOMUNITAS
183
1. Pengembangan Komunitas dari Bawah
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di pesisir Desa
Pasar Banggi menggunakan tema atau slogan tertentu. Pada
pintu masuk desa terpampang plangboard besar bertuliskan
Kawasan Konservasi Hutan Mangrove Desa Pasar Banggi
Kecamatan Rembang. Plangboard menyambut semua orang
yang datang bahwa desa pesisir ini merupakan desa yang
menyelenggarakan konservasi hutan mangrove.
184
bagi siapa pun dilarang untuk melakukan perusakan. Semua
orang diminta menjaga kelestarian hutan mangrove, karena
keberadaannya merupakan inisiatif dan jerih payah mereka
sendiri. Hutan mangrove bermanfaat langsung dan tidak
langsung terhadap komunitas desa pesisir. Oleh karena itu,
kepedulian komunitas terbukti sampai saat ini bahwa hutan
mangrove di kawasan tersebut masih aman dan lestari.
185
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi
berbeda dengan program nasional maupun internasional yang
bersifat top-down dari mana pun. Karena, kegiatan tersebut
telah berlangsung sejak lama, yakni mulai 1964 sampai seka-
rang; jauh sebelum program rehabilitasi hutan mangrove yang
digalakkan sekarang. Program-program rehabilitasi hutan
mangrove secara nasional dan internasional baru berlangsung
setelah tsunami tahun 2004.102
186
kegiatan rehabilitasinya bersifat top-down, yakni merupakan
program pemerintah atau lembaga penyelenggaranya dengan
berusaha melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu,
program-program yang berkaitan pelestarian hutan mangrove
dapat dikatakan sebagai upaya penggabungan pendekatan
top-down dan bottom-up sekaligus.103 Sementara rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi merupakan kegiatan
dalam lingkup lokal (perdesaan). Kegiatan rehabilitasi di tempat
ini tidak merupakan gabungan program top-down dan bottom-
up, tetapi benar-benar bottom-up atau asli dari komunitas
bawah.
187
rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di wilayah pesisir
merupakan faktor penting yang harus disertakan.104
188
Dengan keadaan hutan mangrove yang sangat luas dan
mencakup wilayah seluruh pesisir desa maka tidak mungkin
dapat ditanam atau direhabilitasi seorang diri. Sang Pionir,
Suyadi, dalam penanaman mangrove hanya mungkin mampu
menanami tanggul tambaknya sendiri. Oleh karena itu, parti-
sipasi angggota petani tambak dan seluruh komunitas desa
pesisir dalam melakukan kegiatan rehabilitasi sangat penting
dan menentukan keberhasilan mewujudkan hutan mangrove
di desa pesisir tersebut. Partisipasi aktif anggota komunitas
menjadi unsur pengembangan komunitas dalam kegiatan
rehabilitasi mangrovet.
189
menyebutkan inisiator dari kegiatan adalah seorang pemimpin,
namun salah seorang anggota komunitas itu sendiri.
105. Sudtongkong and Webb, 2008; Shah And Baparikor, 2012; Olesu-Adjei, 1998;
Gawler, 1998; Fikriani dan Mussadun, 2014.
190
rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pesisir desa ini bukan
merupakan model pengembangan komunitas top-down
demikian.
191
program nasional pemerintah atau pun lembaga swadaya
masyarakat, kemudian baru melibatkan partisipasi anggota
komunitas. Namun, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini
tumbuh dan berkembang dari kesadaran komunitas pesisir
atas kerusakan tanggul tambak, terbukti dengan adanya
pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan
mangrove yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Hal
tersebut berbeda dengan program canangan pemerintah yang
dibatasi durasi waktu tertentu, misal 5 atau 10 tahun. Selain
itu, rehabilitasi hutang mangrove diinisiasi oleh salah seorang
anggota komunitas petani tambak, kemudian diikuti partisipasi
petani tambak lain secara aktif.
192
Pada tahun 1972, dibentuklah kelompok tani tambak
peduli mangrove. Nama kelompok tersebut, Kelompok Tani
Perikanan Sidodadi Maju. Kelompok tani ini menjadi wadah
partisipasi petani tambak dalam mewujudkan hutan mangrove.
Perkembangan partisipasi terus berlangsung, tidak hanya
petani tambak, melainkan penyewa tambak dan buruh tambak,
sehingga pada 2013, jumlahnya mencapai 57 orang.
193
masyarakat terlibat dalam program kegiatan rehabilitasi,
karena kegiatan tersebut merupakan kebutuhan mereka dalam
mengatasi masalahnya.
194
Menurut Korten, hal yang diperlukan dalam melaksanakan
pengembangan komunitas dari bawah adalah peningkatan
kualitas sumberdaya manusianya. Pengembangan komunitas
demikian disebut dengan people centered development. Ke-
berhasilan pembangunan dalam bentuk pengembangan ko-
munitas akan berhasil jika didukung sepenuhnya oleh kualitas
sumberdaya manusianya.107 Sebagaimana kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi yang dapat berhasil
mewujudkan hutan mangrove juga ditentukan oleh kualitas
sumberdaya manusianya.
195
tugas dan tanggung jawab, visi untuk pemberdayaan anggota
komunitas. Penekanan keseluruhan proses pengembangan
komunitas dalam bentuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
bukan hanya pada hasil, yakni tanaman dan hutan mangrove,
tetapi pada proses dari keseluruhan kegiatan rehabilitasi.
196
itu, membentuk lembaga keuangan mikro berupa arisan dan
dana taktis untuk kegiatan ekonomi produktif. Ada kelompok
pengajian yang dilakukan setiap malam Jumat dan tempat-
nya bergiliran di antara rumah anggota kelompok. Mereka
membentuk kelompok perempuan untuk pemberdayaan
dengan nama Kartini 1 dan Kartini 2. Pemberdayaan kelompok
perempuan dilakukan untuk mengolah hasil mangrove, yakni
mengolah buah mangrove menjadi makanan dan minuman.
197
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi yang merupakan pe-
ngembangan komunitas dari bawah dan mandiri. Pengem-
bangan komunitas dalam lingkup wilayah perdesaan pesisir
kecil ini direncanakan serta dilaksanakan sendiri oleh semua
anggota komunitas.
198
jawabnya. Kegiatan pengembangan komunitas demikian akan
berhenti dengan sendirinya.
199
terjadi perdamaian, keselerasan di antara anggota masyarakat,
dan perubahan nasib seluruh anggota komunitas. Perubahan
nasib tersebut dari kondisi ekonomi kurang baik menjadi lebih
baik. Dengan membudidayakan tambak, warga yang semula
tidak bekerja kemudian bisa bekerja.
200
tersebut dapat dipulihkan kondisinya sebagai tempat budidaya
dengan baik, sehingga disebut sebagai investasi sosial. Tambak
bagi komunitas pesisir merupakan modal utama yang tidak
pernah habis, bahkan disebut sebagai modal berkelanjutan,
sehingga kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sama dengan
melakukan investasi sosial bagi mereka sendiri, yakni melindungi
tambak dengan menanam mangrove. Sebagai modal utama,
tambak dapat digunakan sebagai tempat bekerja selamanya
dan berkelanjutan bagi petani tambak di kawasan pesisir.
201
pendapatan per kapita komunitas setempat. Pada satu sisi,
terjadi peningkatan pendapatan, dan pada sisi lain, mening-
katkan kualitas sumberdaya manusia serta lingkungan hidup-
nya. Dengan melakukan rehabilitasi hutan mangrove, berarti
komunitas desa pesisir tersebut telah melakukan model
pembangunan sosial. Sebuah kegiatan yang menyelaraskan
semakin meningkatnya pendapatan komunitas pesisir di satu
sisi dan rehabilitasi hutan mangrove yang dapat memperbaiki
lingkungan pesisir di sisi lain.
202
pengembangan komunitas bersifat bottom-up dan bukannya
top-down. Model top-down sering kali mengutamakan sentralitas
dan keseragaman, sedangkan bottom-up justru sebaliknya.
203
dibutuhkan maka kehidupan komunitas juga mengalami
kemakmuran dan kesejahteraan.
204
Lingkungan dan sumberdaya alam pesisir merupakan
aset bagi komunitas pesisir. Hal tersebut berbeda dengan
pengembangan komunitas ini bahwa aset tersebut dapat berupa
tambak yang dimiliki secara pribadi dan hutan mangrove serta
sumberdaya alam lainnya sebagai aset bersama. Sedangkan
aset menurut Delgado hanya potensi lingkungan yang ada di
wilayah perkotaan. Keberadaan aset-aset dalam pengembangan
komunitas ini merupakan faktor penting bagi sistem sumber
pemecahan masalah yang dihadapi komunitas. Aset menjadi
modal yang dapat dipergunakan anggota komunitas dalam
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
205
Dalam konsep intervensi komunitas di ranah ilmu kesejah-
teraan sosial, misalnya, menggunakan sistem sumber. Salah
satunya, yakni suatu sistem pemecahan masalah sosial dengan
menggunakan sistem sumberdaya alam dan lingkungan atau
aset-aset ekologis. Lingkungan dan sumberdaya alam yang
ada di kawasan hutan mangrove dapat dipergunakan sebagai
sistem sumber untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas
pesisir.
206
secara berkelanjutan. Hal tersebut berarti bahwa kegiatan dalam
memulihkan dan melestarikan aset yang dimiliki oleh komunitas
bukan hanya berorientasi pada kebutuhan petani tambak saat
ini, melainkan juga kebutuhan masa depan generasi mereka.
207
kembali. Artinya, sumberdaya alam yang berupa hutan mang-
rove merupakan aset lestari. Demikian pula, tambak juga
merupakan aset lestari. Setiap saat, selama setahun penuh,
dapat dipergunakan sebagai tempat budidaya ikan, udang,
dan pembuatan garam. Sumberdaya demikian tidak akan habis
manakala dimanfaatkan secara lestari sesuai dengan daya
dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, pengembangan
komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove berarti
berorientasi pada kesejahteraan hidup komunitas sekarang dan
generasi mereka di masa datang.
208
Pengembangan komunitas dari bawah dalam bentuk
rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir ini mempunyai
tujuan untuk melakukan adaptasi yang dilakukan komunitas
terhadap kerusakan lingkungannya. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove merupakan bentuk adaptasi komunitas pesisir
terhadap kerusakan tanggul tambak. Tanggul yang mengalami
kerusakan tidak mampu menjadi pelindung alami tambak.
Dengan menanam pohon mangrove, berarti merupakan bentuk
adaptasi, agar lingkungan pesisir mereka pulih kembali. Secara
alamiah, pesisir ditumbuhi hutan mangrove yang mempunyai
fungsi ekologis bagi lingkungan dan fungsi sosial bagi komu-
nitas setempat.
209
menyediakan berbagai sumberdaya alam di lingkungan pesisir
dan laut. Berdasarkan hal tersebut, rehabilitasi hutan mangrove
merupakan upaya memperbaiki sistem ekologis dan sistem
sosial-budaya sebagai bagian dari perjuangan hidup komunitas
pesisir.
210
Hutan mangrove bukan hanya berwujud lingkungan fisik
sebagai lingkungan ekologis di wilayah pesisir, tetapi juga me-
rupakan lingkungan sosial-budaya. Hutan mangrove merupakan
lingkungan sosial-budaya yang berarti bahwa keberadaannya
dapat memunculkan berbagai kegiatan dalam komunitas pesisir.
Keberadaan hutan mangrove menghidupkan kembali kegiatan
petani tambak. Mereka yang bergantung hidupnya pada ke-
beradaan tambak dapat mengolah atau membudidayakannya.
Pembudidayaan tambak merupakan suatu lingkungan sosial-
budaya, karena orang yang terlibat di dalamnya terdiri atas
pemilik, penyewa, buruh tambak, dan kegiatan sosial-budaya
lain. Dengan hutan mangrove, kehidupan sosial-budaya komu-
nitas pesisir dapat bergerak dan berjalan normal kembali.
211
pemberdayaan kaum perempuan dalam mengolah hasil laut
dan buah mangrove menjadi minuman dan makanan.
212
hutan mangrove juga meningkatkan keterampilan anggota
komunitas. Bukan hanya terkait keterampilan menanam pohon
mangrove, tetapi juga berbagai keterampilan yang diperlukan
komunitas dalam meningkatkan taraf hidupnya. Paling tidak,
dengan meningkatnya keterampilan yang dimiliki, anggota ko-
munitas mempunyai rasa percaya diri lebih kuat dalam meng-
hadapi tantangan dan masalah apa pun berkaitan komunitas,
di masa datang. Bahkan dapat berusaha sendiri meningkatkan
kualitas hidupnya melalui kegiatan ekonomi produktif berkaitan
dengan keberadaan hutan mangrove.
213
Gerakan rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka pe-
ngembangan komunitas dapat menghubungkan berbagai
sumberdaya (connect existing ressources) dengan anggota
komunitas.116 Kegiatan rehabilitasi merupakan proses pengem-
bangan komunitas dalam rangka pemulihan sumberdaya alam
dan sumberdaya yang ada di komunitas. Pulihnya sumberdaya-
sumberdaya alam tidak akan bermanfaat jika anggota komu-
nitas tidak kreatif mendayagunakannya.
116. ibid.
117. Ife dan Tesoriero, 2008.
214
unsur-unsur lokal. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini juga
mendasarkan pada unsur-unsur lokal yang ada.
118. ibid.
215
telah menghargai kebudayaan lokal. Budaya lokal ini, salah
satunya terkait dengan penggunaan teknologi.
216
Pengembangan komunitas ini telah menghargai sumber-
daya lokal. 119 Pengembangan komunitas yang dilakukan
komunitas pesisir Desa Pasar Banggi dalam melakukan reha-
bilitasi mangrove tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan
sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal bukan hanya terkait ke-
beradaan sumberdaya alam yang tersedia, tetapi juga sumber-
daya manusianya. Dalam melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, komunitas menggunakan sumberdaya lokal
yang ada. Misalnya, bibit mangrove yang diperlukan dalam
jumlah banyak tidak perlu didatangkan dari luar daerah, me-
lainkan diambil dari wilayah pesisir desa setempat. Artinya, pe-
ngembangan komunitas yang ada di komunitas pesisir tersebut
lebih menekankan penggunaan sumberdaya alam lokal.
119. ibid.
217
kebersamaan dalam kelompok, keterampilan menanam mang-
rove pun terus bertambah. Hal ini tampak dari keberhasilan
mereka dalam menanam mangrove.
120. ibid.
218
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini sebagai bentuk
pengembangan komunitas yang mendasarkan proses kerja
dalam bentuk solidaritas sosial lokal dan bersifat mekanis.121
Pengembangan komunitas dalam melakukan rehabilitasi
hutan mangrove dapat terwujud, dilandasi oleh solidaritas
sosial. Solidaritas tersebut dibangun berdasarkan solidaritas
mekanis. Artinya, solidaritas atau kerja sama yang dibangun
di antara anggota komunitas bukan berdasarkan keahlian
tertentu, melainkan suatu kepercayaan dan kerja sama di
antara anggota komunitas bersangkutan. Peran yang dilakukan
oleh semua anggota komunitas pun sama, yakni melakukan
rehabilitasi hutan mangrove.
219
Solidaritas mekanis tidak dilandasi keahlian atau keteram-
pilan tertentu, melainkan solidaritas yang berdasarkan gotong
royong. Solidaritas tersebut ternyata cocok dalam melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi.
Dalam solidaritas ini tidak ada struktur tertentu, karena hal yang
dipentingkan dalam menanam dan melestarikan mangrove
adalah kerja sama dan kebersamaan. Selain itu, komunitas
desa pesisir demikian tidak mungkin membangun solidaritas
secara organis, karena kondisi sosial-budaya dari komunitas
tersebut lebih homogen dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan
keterampilan.
220
B. Pemimpin Informal dan
Pengembangan Komunitas dari Bawah
Pemimpin informal Desa Pasar Banggi muncul dari komu-
nitas setempat, bersamaan dengan proses pengembangan
komunitas dari bawah. Pemimpin informal demikian disebut
dengan indigenous leader, yaitu pemimpin di lingkup wilayah
desa pesisir yang sedang melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Disebut demikian karena memiliki asal usul
dari mereka sendiri dan bukan datang dari anggota komunitas
lain, yakni orang luar komunitas tersebut.
221
sangat dibutuhkan masyarakatnya. Paling tidak, masyarakat
membutuhkan pemimpin informal untuk memimpin gerakan
rehabilitasi hutan mangrove. Prosesnya sangat panjang,
karena pemimpin ini diakui oleh anggota masyarakat setelah
pengembangan komunitas berlangsung selama delapan
tahun. Berbeda dengan pemimpin informal lain di tengah
masyarakat pada umumnya, yang keberadaannya ada lebih
dulu dibandingkan dengan kegiatan yang dilaksanakan. Bisa
jadi, pemimpin informal di suatu tempat sebagai pengganti
pemimpin sebelumnya di tengah masyarakatnya.
222
yang bersangkutan dipercaya sebagai indigenous leader di
masyarakatnya.
223
Foster (2008) menjelaskan, pemimpin akar rumput tidak
mempunyai jabatan formal di komunitasnya, namun diakui
oleh anggota komunitasnya sebagai pemimpin. Sebagimana
pemimpin akar rumput dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, di mana Suyadi tidak memiliki jabatan formal di
tengah komunitas. Jabatannya hanya sebagai ketua kelompok
tani tambak yang peduli terhadap penanaman pohon mang-
rove. Pemimpin akar rumput ini tidak diakui secara formal oleh
pemerintah atau lembaga tertentu. Pengakuan secara formal
belum ada, karena sampai saat ini belum ada surat keputusan
tertentu dari mana pun yang mengakui kepemimpinannya.
Pengakuannya sebagai pemimpin dilakukan oleh anggota
komunitas petani tambak itu sendiri secara informal bahwa
yang bersangkutan layak untuk menjadi pemimpin mereka,
khususnya memimpin kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
224
tambak, dan buruh tambak. Meskipun secara kepemilikan
tambak berbeda, tetapi mereka sama-sama membudidayakan
tambak, sehingga hubungannya tidak terpengaruh struktur
ekonomi yang dimiliki. Dalam masyarakat pesisir ini, pemilik
tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak secara bersama-
sama mengerjakan tambak. Mereka tidak mengenal juragan
dan buruh, karena semua mengerjakan pekerjaan yang sama
di tambak.
225
stakeholder kemudian memberikan berbagai dukungan untuk
terus menanam, merawat, dan melestarikan hutan mangrove.
226
memiliki jaringan sosial tersebut, sehingga dapat mengikat
dirinya dengan anggota masyarakat petani tambak.
227
kelompok dengan kelompok tidak bisa dipisahkan satu dengan
yang lain. Kelompok memerlukan ketua atau pemimpin, dan
kelompok pada umumnya memiliki pemimpin. Pada akhirnya,
ketua kelompok memimpin anggota petani tambak melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove secara bersama-sama
sampai dapat mewujudkan hutan mangrove.
228
atau nakhoda perahu.125 Proses menjadi pemimpin informal di
bidang maritim berbasis pada asas kapitan laut atau nakhoda
perahu.
229
diperoleh melalui pengalaman menanam yang mengalami
kegagalan pada tahun-tahun pertama dan berhasil pada tahun
berikutnya. Dengan pengetahuan dan pengalaman, pemimpin
informal mempunyai kemampuan dan pengalaman memadai
dalam menanam mangrove. Berdasarkan hal tersebut, anggota
kelompok tani mengakuinya, kemudian menyetujuinya sebagai
pemimpin. Sebagai pemimpin dalam proses pengembangan
komunitas merehabilitasi mangrove, berbeda dengan proses
seseorang menjadi pemimpin informal sebagai kyai126. Status
sosial di tengah komunitas seorang kyai lebih dilandasi pada
basis keturunan.
230
di masyarakat Badui, pemimpin yang berupa Olot maupun
Puun berkaitan dengan adat istiadat dalam bidang pertanian
dan lingkungan hidup pada umumnya.127 Olot atau Puun ter-
kait adat istiadat tetapi penekanannya lebih kepada kearifan
lokal dan berfungsi menjadi harmoni antara lingkungan dengan
masyarakat. Pemimpin demikian dianggap mempunyai ke-
lebihan supranatural tertentu, sehingga masyarakat sangat
respek terhadap apa yang disampaikannya.
231
Dengan kegiatan yang dilaksanakan bersama komunitas-
nya, pemimpin informal mendapatkan pengetahuan dan peng-
alaman sangat berharga dalam melakukan penanaman pohon
mangrove. Dalam proses pengembangan komunitas, pemimpin
demikian lebih dilandasi pada kemampuan dan pengetahuan
yang berkaitan dengan kearifan lokal (local genius) untuk
mewujudkan hutan mangrove. Selain itu, sosoknya sangat
penting di tengah komunitas desa pesisir terkait adat-istiadat.
Pemimpin akar rumput dapat memberikan penjelasan dan
pemahaman tentang pentingnya hutan mangrove bagi masya-
rakat di lingkungan pesisir.
232
sehingga mau berpartisipasi secara aktif, mengikuti gerakan
rehabilitasi mangrove. Jadi, pemimpin dalam pengembangan
komunitas ini berusaha memberikan pemahaman kepada ang-
gota komunitas tentang pentingnya lingkungan yang berupa
hutan mangrove untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
233
kelompok. Dengan kedudukan unik tersebut, pemimpin asli
dapat mengkomunikasikan dengan baik tentang pentingnya
hutan mangrove dan tata cara menanam yang baik bagi ang-
gota komunitas serta lingkungan di sekitarnya.
234
1. Sebagai Agen Perubahan Sosial
dalam Pengembangan Komunitas
Pengembangan komunitas yang terjadi di wilayah pesisir
Desa Pasar Banggi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
pemimpin informal sebagai agen perubahan sosial dalam
komunitas; sebagai agen perubahan sosial terjadinya kegiatan
komunitas dalam melakukan rehabilitasi hutan mangrove.
235
dan dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Kegagalan yang
dialami tidak menyurutkan niatnya dalam mewujudkan tanggul
tambak dengan tanaman mangrove. Usahanya terus dilakukan
dengan mempelajari pola tanam dan tata cara menanam pohon
mangrove.
236
Selain itu, sebagai agen perubahan sosial, pemimpin infor-
mal selalu mencari alternatif baru dalam memecahkan masalah
yang dihadapi komunitas. Masalah komunitas tidak mungkin
dipecahkan sendiri, melainkan harus dipecahkan ber sama.
Sebagai agen perubahan sosial, berusaha mengajak petani
tambak lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
Sebagai agen perubahan sosial dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, perannya dapat menjadi inisiator terjadinya
pengembangan komunitas sekaligus pengelola dan penang-
gung jawab kegiatan tersebut. Kegiatan rehabilitasi hutan
memerlukan waktu lama dan keterlibatan banyak anggota
komunitas. Kegiatan demikian tidak mungkin dilakukan sendiri,
tetapi memerlukan kebersamaan dan kerja sama di antara
anggota petani tambak.
237
Sebagai agen perubahan sosial dalam melakukan kegiatan
mangrove, ia melakukan perubahan pemikiran, pembuatan
tiang pancang dan beton-semen diubah dengan penanaman
mangrove.
129. Winarto dan Choesin (2001); Cramb (2002); Khandewell, 2007); dan Nasrul
(2013).
238
pemimpin informal bersamaan dengan proses pengembangan
komunitas. Lembaga-lembaga sosial tersebut bersifat mikro,
yakni suatu lembaga dengan para anggota dari komunitas
setempat.
239
yang terbentuk di desa pesisir tersebut dimaksudkan sebagai
wadah mengorganisasi anggota komunitas, terkait dengan
kegiatan menanam pohon mangrove dan mengolah hasil
sumberdaya alam pesisir. Berbagai lembaga lokal ini dapat di-
sebut sebagai pendukung penting dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Salah satu masalah komunitas desa pesisir
adalah tanggul tambak yang rusak.
240
Sesuai pengembangan komunitas yang telah berlangsung
di desa pesisir tersebut, pelaksanaan kegiatan lebih terorganisasi
dan berhasil berkat dukungan lembaga lokal yang ada. Banyak
lembaga lokal yang pernah ada dan dibentuk oleh pemerintah
secara top-down, seperti BUUD atau KUD beberapa tahun lalu,
tidak berhasil menjadi wadah pengembangan komunitas di
perdesaan. Sekarang ini, lembaga lokal itu menyisakan nama
dan gedung-gedung yang rusak.
241
sedangkan kelompok tani tambak hanya mengkhususkan
kegiatan pada rehabilitasi hutan mangrove. Namun, semuanya
berusaha untuk memulihkan dan melestarikan lingkungan.
Kegiatan LSM atau NGO lebih berdasar pada konsep pelestarian
lingkungan dari atas atau model top-down sedangkan kelompok
tani tambak bersifat bottom-up; suatu kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove untuk kepentingan perlindungan alami tambak dan
pesisir yang direncanakan dan dilaksanakan sendiri.
242
Selain itu, kelompok menyediakan dana bergulir yang
diperoleh dari bantuan pemerintah pusat dan dapat dipinjam
oleh anggota yang memerlukan. Keperluan anggota kelompok
bukan hanya kepentingan mendadak seperti kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi diutamakan memberi bantuan pendanaan bagi
usaha para petani tambak terkait kegiatan ekonomi produktif
dan pengembangan usaha kecil yang dilakukan. Lembaga
keuangan mikro ini dapat mendukung dan memperlancar pro-
ses pengembangan komunitas, terutama kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Lembaga lain yang terkait dengan lembaga
keuangan mikro adalah perkumpulan koperasi. Anggota dari
koperasi sama dengan keanggotaan kelompok tani tambak dan
anggota arisan. Jadi, semua anggota komunitas yang menjadi
anggota kelompok tani tambak sekaligus menjadi anggota
arisan dan anggota koperasi.
243
Sesungguhnya, keterlibatan perempuan selama ini ada di
balik layar. Untuk itu, diperlukan adanya wadah sendiri, yakni
kelompok perempuan. Hal ini terkait dengan pengembangan
komunitas yang telah menghasilkan produk sosial132, berupa
hutan mangrove. Hutan mangrove dapat menghasilan sumber-
daya alam lain, seperti buah mangrove dan sumberdaya alam
dari hasil laut.
244
pengembangan komunitas. Perempuan di komunitas pesisir
yang selama ini hanya bekerja di rumah merawat anak dan
bekerja di dapur, melalui kelompok perempuan, pekerjaannya
sekarang diperluas. Dengan mengolah buah mangrove berarti
memperluas lapangan kerja, menambah pendapatan, sekaligus
peningkatan kesejahteraan hidup seluruh komunitas.
245
sosial. Modal sosial tersebut terkait dengan nilai sosial-budaya
serta nilai lingkungan, kepercayaan, dan jaringan sosial. Oleh
karena itu, peran penting yang dilakukan dalam pengembangan
komunitas adalah mampu membangun modal sosial yang ada,
salah satunya adalah kebersamaan.133
246
tani peduli mangrove, sesungguhnya merupakan wujud dari
kebersamaan tersebut.
247
dari tiga unsur atau elemen, yakni norma atau nilai (norms or
values), kepercayaan (trust), dan jaringan (network).
Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir
ini, modal sosial komunitas berkaitan dengan kehidupan
komunitas dan dipengaruhi oleh kondisi sosial-budayanya.
Etnis Jawa yang menjadi bagian besar penduduk Desa Pasar
Banggi, sangat erat berhubungan dengan keberadaan modal
sosial yang ada. Selain itu, sistem religi (agama) dari komunitas
dan lingkungan pesisir dapat membentuk modal sosial yang
ada. Oleh karena itu, etnis Jawa mewarnai adat-istiadat dan
kebiasaan komunitasnya. Agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar komunitas pesisir tersebut juga menjadi latar
belakang terbentuknya modal sosial komunitas.
Selain etnis dan agama, modal sosial yang ada di Desa
Pasar Banggi dipengaruhi lingkungan pesisir dan tambak. Pe-
sisir dan tambak merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari
mereka, sehingga mempengaruhi modal sosial yang ada. Oleh
sebab itu, dalam membangun modal sosial untuk kepentingan
mengorganisasi dan menggerakkan anggota komunitas, diper-
lukan revitalisasi nilai-nilai sosial-budaya dan lingkungan. Modal
sosial demikian dijadikan visi dan tujuan komunitas.
Brown (2007) menjelaskan bahwa sesungguhnya, melak-
sanakan pengembangan komunitas sama artinya dengan mem-
bangun modal sosial komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove di desa pesisir tersebut dapat diwujudkan dengan
membangun modal sosial komunitasnya.
Membangun modal sosial dengan merevitalisasi nilai sosial-
budaya dan lingkungan dapat dijadikan sebagai energi positif
248
bagi komunitas yang melaksanakan gerakan pengembangan
komunitas, khususnya mewujudkan hutan mangrove. Oleh sebab
itu, modal sosial ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-
budaya dan lingkungan komunitas pesisir, yakni keberadaan
tambak, pesisir, dan hutan mangrove. Secara sosial-budaya
dan lingkungan nilai-nilai keduanya, dapat mempengaruhi
dan bahkan menentukan kehidupan komunitasnya. Dengan
membangun modal sosial berarti membangun ruh-nya dalam
pengembangan komunitas.
Dalam merevitalisasi norma atau nilai sosial-budaya dan
lingkungan dapat dipergunakan sebagai visi atau acuan dalam
mewujudkan tujuan komunitas, yakni hutan mangrove. Keber-
adaan hutan mangrove sangat penting bagi wilayah pesisir,
karena mampu menjadi pelindung alami tambak dan penyedia
sumberdaya alam secara lestari.
249
Menurut Delgado (2000), modal sosial berupa aset ling-
kungan dapat dipergunakan sebagai suatu sistem pemecahan
masalah melalui sistem sumber lingkungan. Kegiatan reha-
bilitasi hutan mangrove telah berhasil memulihkan berbagai
sumberdaya alam sebagai aset komunitas yang dapat di-
gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan
kesejahteraan komunitas. Bahkan semua aset komunitas
yang pulih dari kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dapat
dipergunakan secara lestari dan berkelanjutan.
250
Ungkapan tersebut merupakan salah satu bentuk revitalisasi
nilai sosial-budaya dan lingkungan, serta dipegang teguh oleh
semua anggota komunitas petani tambak peduli mangrove.
Modal sosial demikian selalu dikomunikasikan kepada anggota
komunitas. Hutan mangrove bukan hanya memberikan perlin-
dungan secara alami tambak, melainkan juga menjadi peneduh
lingkungan desa pesisir.
251
kesuburan tambak, dan kesuburan tambak dengan kemakmuran
komunitas desa pesisir.
Begitu pula lingkungan tambak yang gersang akan menye-
babkan kehidupan komunitas meradang. Gersangnya tambak
menyebabkan petani tambak tidak mampu memenuhi ke-
butuhan hidup. Hubungan nilai sosial-budaya dan lingkungan
tersebut menjadikan hubungan simbiosis mutualisme antara
komunitas pesisir, hutan mangrove, dan tambak.
Selain itu, ada modal sosial yang merupakan revitalisasi
nilai atau norma agama dengan nilai lingkungan. Nilai-nilai
tersebut direvitalisasi menjadi visi komunitas, sehingga dapat
mempengaruhi komunitas dalam menyikapi kerusakan ling-
kungan pesisirnya. Dengan modal sosial tersebut, anggota
komunitas mau melibatkan diri dalam kegiatan penanaman
mangrove.
Ungkapan yang berhubungan dengan nilai agama ada-
lah Hutan mangrove mendoakan penanamnya dan pelestari-
nya. Jika diterpa angin, pohon mangrove selalu bergoyang.
Goyangnya pohon mangrove, sebagaimana manusia dalam
berdoa menggoyangkan tubuhnya. Penanam mangrove selalu
didoakan oleh batang mangrove dengan bergoyang, agar
kehidupannya lebih baik.
Pepatah demikian merupakan norma atau nilai yang terkait
dengan agama atau kepercayaan kepada Tuhan. Nilai tersebut
dapat menjadi penyemangat seluruh anggota komunitas
dalam mewujudkan hutan mangrove. Hubungan komunitas
pesisir dengan Sang Pencipta, yakni pencipta alam semesta
merupakan modal sosial penting dalam mewujudkan hutan
252
mangrove. Hubungan tersebut menjadi wujud hubungan antara
manusia dengan Tuhan dan lingkungannya.134
Wujud menanam mangrove bukan hanya diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan lingkungannya saja, tetapi
juga berhubungan dengan Tuhan Pencipta Alam dan Ling-
kungan. Hasil kerja bersama seluruh komunitas yang berupa
hutan mangrove diartikan sebagai perbuatan baik terhadap
lingkungannya dan Tuhan. Dengan perbuatan demikian, ling-
kungan atau hutan mangrove yang telah direhabilitasi mendoa-
kan agar manusia yang menanamnya mendapat balasan atas
kebaikan yang dikerjakannya dari Tuhan Yang Mahakuasa.
253
Sebagai wilayah pesisir, komunitas di Desa Pasar Banggi
mempunyai hubungan sosial yang sepadan dan erat. Mereka
diikat oleh kegiatan yang sama, yakni melakukan rehabilitasi
mangrove. Pada awalnya, petani tambak tidak percaya bahwa
tanggul tambak akan aman dengan tanaman mangrove. Setelah
mangrove dapat tumbuh dan dapat menjadi pelindung alami
tambak maka anggota menaruh kepercayaan kepada pemimpin
informal dan apa yang dikomunikasikannya.
254
mempercayai bahwa pohon mangrove dapat ditanam. Ber-
dasarkan kepercayaan yang telah terbangun, mereka mau
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
255
Dengan kebersamaan demikian, terjalin kepercayaan di antara
anggota kelompok dengan kelompok lain. Kepercayaan ang-
gota komunitas kemudian dapat tumbuh dan berkembang dari
keteladanan dan contoh nyata dari pemimpinnya. Keteladanan
diwujudkan dalam bertindak dan bertingkah laku sehari-hari,
sehingga anggota komunitas mau menaruh kepercayaan ke-
padanya. Oleh karena itu, membangun kepercayaan anggota
komunitas dimulai dari perilaku dan tindakan pemimpinnya
serta contoh nyata yang dikerjakan, sehingga anggota komu-
nitas menaruh kepercayaan kepada apa yang ditransformasi-
kannya.
256
dengan masyarakat yang lebih luas. Dengan jaringan sosial
lokal ini semua produk yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi
produktif oleh komunitas di desa dapat didistribusikan kepada
masyarakat lain di tempat yang lebih jauh. Dengan terbentuknya
jaringan sosial tersebut, terjadi akselerasi peningkatan pereko-
nomian di wilayah Desa Pasar Banggi, sehingga dapat me-
ningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan seluruh warga
komunitas.
4. Sebagai Pengorganisasi
Anggota Kelompok Tani
Dalam rangka proses pengembangan komunitas, khusus-
nya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pemimpin informal
berperan sangat penting, terutama terkait pengorganisasian
anggota kelompok dan merancang kegiatan kelompok.
257
Kegiatan mengorganisasi meliputi semua proses untuk
membantu anggota dan kelompok dalam merencanakan
dan melaksanakan semua kegiatan. Dalam hal ini, termasuk
mengkomunikasikan visi komunitas dan menyusun kerangka
kerja, sehingga semua anggota kelompok dalam bekerja secara
bersama-sama dapat efektif dan efisien, mewujudkan hutan
mangrove di bawah koordinasinya.
258
disebut dengan subsistem. Setiap subsistem saling pengaruh-
mempengaruhi dan mendukung sistem secara keseluruhan.
259
menangani serta penanggung jawabnya. Kegiatan rehabilitasi
mangrove harus dilihat sebagai sebuah sistem. Mulai dari
persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan harus menjadi
satu kesatuan untuk mencapai tujuan, yakni terwujudnya hutan
mangrove. Jika ada subsistem dari kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove mengalami masalah dan tidak berjalan sebagaimana
direncanakan maka dapat segera dicari jalan keluarnya.
260
selama melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dapat
berjalan dengan baik tanpa ada kendala berarti. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semua unsur kelompok mendukung
sesuai apa yang telah direncanakan sebelumnya.
261
salah satu metode intervensi dalam bidang pekerjaan sosial
komunitas137. Hal tersebut menunjukkan bahwa mengorgani-
sasi anggota komunitas dengan membentuk satu kelompok
lokal merupakan metode intervensi komunitas. Membentuk ke-
lompok peduli mangrove yang melakukan kegiatan rehabilitasi
mangrove merupakan bentuk intervensi yang dilakukan terhadap
komunitas pesisir di dalam mengatasi masalah mereka. Tujuan
akhir dari intervensi komunitas tersebut adalah peningkatan
kesejahteraan hidup melalui kegiatan yang dirancang secara
bersama-sama dalam satu kelompok.
262
semua anggota komunitas bisa menjadi anggota kelompok,
kemudian diorganisasi sebagai sumberdaya untuk menjadi
kekuatan besar dalam komunitas kepentingan, mewujudkan
hutan mangrove.
263
pulihnya hutan mangrove. Berbeda dengan apa yang dikemu-
kan Erftemeijer and Bualuang (1998) bahwa kegiatan ini tidak
berasal dari atas melainkan tumbuh dan berkembang dari
komunitas yang bersangkutan. Namun demikian, partisipasi
anggota komunitas sangat penting dan diperlukan dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
264
tambak mengalami kerusakan, banyak anggota komunitas yang
membiarkan keadaan tersebut. Ada usaha yang dilakukan
untuk memperbaiki, tetapi hasilnya tidak maksimal. Setiap ada
gelombang besar, hasil usahanya tersebut rusak. Alternatif
menanam pohon mangrove bagi anggota komunitas dianggap
aneh dan tidak masuk akal.
265
Resistensi anggota petani tambak dan komunitas pesisir
terkait dengan kegagalan seorang penanam mangrove pertama
kali dalam bentuk sikap dan perbuatan yang tidak kondusif.
Oleh karena itu, partisipasi komunitas dalam kegiatan menanam
pohon berjalan lambat, karena berbagai hal. Misalnya, mitos yang
berkembang di tengah komunitas bahwa hutan mangrove tidak
bisa ditanam oleh seseorang dan mempengaruhi sikap terhadap
penanamnya.
266
mangrove disebabkan kegagalan penanaman yang dilakukan
pionir penanam mangrove dan stigma negatif terhadap pohon
mangrove. Oleh karena itu, keberhasilan membangun dan
menggerakkan partisipasi anggota komunitas sesungguhnya
juga ditunjang dengan keberadaan kelompok.
267
sehingga mereka berpartisipasi aktif dalam mewujudkan
dan melestarikannya. Contoh nyata merupakan guru dan
teladan terbaik bagi komunitas pesisir dalam memulihkan dan
melestarikan hutan mangrove.
268
Sebagai relawan komunitas dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, pemimpin informal menggunakan pengetahuan
dan pengalamannya dalam memulihkan sumberdaya alam
sebagai infrastruktur komunitas pesisir. Mangrove merupakan
infrastruktur penting bagi kehidupan, baik bagi manusianya
maupun makhluk hidup lain. Melakukan rehabilitasi hutan
mangrove berarti juga memulihkan infrastruktur yang ada.
269
sosial, pemimpin informal berusaha mencari peluang-peluang
yang bisa digunakan untuk memperluas kesempatan berusaha
anggota komunitas melalui ekonomi kreatif dan ekonomi
produktif. Pendirian kelompok petani tambak, kelompok arisan
simpan pinjam, penyediaan dana taktis, serta pembentukan
kelompok perempuan Kartini I dan Kartini II merupakan wujud
social enterprenuer tersebut.
270
a. Membangun Ide dan Melaksanakannya
Wujud pertama yang dilakukan pemimpin informal adalah
membangun ide dan kemudian melaksanakannya. Idenya
sangat berbeda dengan komunitasnya. Sewaktu komunitas
melakukan pembuatan tanggul tambak dengan tiang pancang
dan tanggul semen beton, sebagai wirausahawan sosial, ia
memiliki ide menanam pohon mangrove.
271
atau ide demikian merupakan hasil dari produk sosialnya dalam
menyikapi kerusakan lingkungan.
272
dapat berlangsung selama lebih 40 tahun, suatu bentuk kerja
sama dalam mewujudkan dan melestarikan hutan mangrove
di wilayah pesisirnya.
c. Wujud Nyata
Wujud ketiga adalah wujud nyata dari produksi sosial
berupa hutan mangrove. Hasil nyata atau wujud fisik (tangible
products) dari kegiatan tersebut adalah hutan mangrove dan
keberadaan sumberdaya alam. Hutan mangrove yang mem-
bentang di wilayah Desa Pasar Banggi merupakan benda fisik
yang bisa dilihat dan dirasakan.
273
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan aktivitas
pekerja sosial yang lebih menekankan isu makro dibandingkan
isu mikro, meskipun dalam konteks wilayah perdesaan, per-
ubahan lingkungan yang dilakukan melalui kegiatan rehabili-
tasi hutan mangrove sesungguhnya berdampak lebih luas
dibandingkan dampak di sekitar hutan mangrove dan tambak.
Kerusakan tanggul tambak dan hutan mangrove tersebut bukan
merupakan masalah individu, melainkan masalah komunitas
yang menyangkut banyak orang, dan bahkan merupakan
masalah global.
274
D. Aspek-aspek Keberhasilan
Pemimpin Informal dalam
Pengembangan Komunitas
Keberhasilan pengembangan komunitas yang terjadi di
Desa Pasar Banggi dalam mewujudkan hutang mangrove
sebagai pelindung alami tambak tidak terlepas dari aspek
internal pemimpin informal dan aspek eksternal. Aspek internal
terkait dengan modal sosial yang dimiliki pribadinya, sedangkan
aspek eksternal terkait dukungan seluruh anggota komunitas
terhadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
275
menggerakkan anggota komunitas untuk terlibat secara
aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Beberapa
aspek intern dalam dirinya diterapkan melalui kepemimpinan
kelompok dan komunitasnya.
276
didukung dengan komitmen kuat agar apa yang diinginkan
dapat direalisasikan.
277
yang dimiliki, kegiatan pengembangan komunitas dalam
bentuk rehabilitasi hutan mangrove, tidak melahirkan konflik
berarti. Kegiatan lebih menunjukkan suatu kehidupan harmonis,
yang ditandai dengan harmoninya hubungan antar-anggota
komunitas dengan yang lain, maupun antara anggota komunitas
dengan pemimpinnya. Selama 50 tahun, proses rehabilitasi
hutan mangrove tidak menuai konflik di tengah kehidupan
komunitas terkait pelaksanaannya.
278
Pengetahuan menanam mangrove dan memberikan teladan
yang baik merupakan aspek penting dari kepemimpinannya.
Anggota komunitas mau diorganisasi dan digerakkan jika
pemimpinnya mempunyai kapasitas yang memadai, sesuai
dengan kebutuhan komunitas. Dengan kapasitas tersebut,
anggota komunitas respek pada apa dikerjakan dan mengikuti
apa yang direncanakan, yakni terwujudnya hutan mangrove.
279
Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi, pemimpin informal mengemban tanggung jawab
besar, terkait kepentingan seluruh komunitas. Tanggung jawab
demikian tidak disertai dengan keinginan pribadi tertentu.
Misalnya, ingin menjadi kepala desa atau ingin menjadi
pemimpin partai politik. Dalam dirinya hanya ada niat tulus
dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
bersama komunitas, yakni selalu memberikan layanan untuk
kepentingan terwujudknya hutan mangrove.
280
Suatu model kepemimpinan dari komunitas kecil yang
mengutamakan rasa cinta kasih, pemberian layanan, visioner
dalam mewujudkan masa depan komunitas, disertai dedikasi
tinggi, yakni mewujudkan hutan mangrove.
2. Aspek Eksternal,
Dukungan Anggota Komunitas
Pengembangan komunitas di komunitas pesisir Desa Pasar
Banggi Rembang berhasil mewujudkan hutan mangrove. Hal
tersebut bukan hanya dipengaruhi peran pentingnya pemimpin
informal dan aspek-aspek internal dalam dirinya semata dalam
menjalankan kepemimpinan. Aspek eksternal juga memberikan
kontribusi besar. Aspek eksternal tersebut berupa dukungan
atau partisipasi aktif dari anggota komunitas pada keseluruhan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Selain itu, dukungan
berbagai stakeholder yang ada di daerah sampai pemerintah
pusat juga memberikan kontribusi dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove.
281
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sangat dibutuhkan.
Hutan mangrove bukan hanya milik pribadi, melainkan juga
milik komunitas setempat. Untuk mewujudkan hal tersebut,
diperlukan dukungan dan partisipasi anggota komunitas.
282
mampu menetapkan kebutuhan mereka sendiri dan meng-
gunakan caranya sendiri untuk dapat memenuhinya ke-
butuhan sendiri yang diperlukan.143 Komunitas desa pesisir ini
merupakan komunitas yang hidup pada level paling bawah
dan merupakan kelompok komunitas yang memiliki kearifan
lokal. Berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki, seluruh anggota
komunitas kemudian mendukung kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove. Artinya, hutan mangrove merupakan kebutuhan
mereka dan menjadi ekologi yang dapat mendukung kehidupan
komunitas.
283
mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung,
sehingga mendukung dan berpartisipasi secara total dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Hal ini ditandai dengan
kapasitas anggota komunitas yang bertambah naik, yakni
bertambahnya aktivitas yang dilakukan anggota, baik laki-
laki maupun perempuan, dari pulihnya hutan mangrove dan
berfungsinya kembali tambak. Seluruh anggota komunitas pun
mendukung kegiatan pengembangan komunitas tersebut.
Tabel 5.1
Hasil Pengembangan Komunitas di Desa Pasar Banggi
Inputs Activities Outputs Interme- Outcomes
(Kegiatan) diate Out- (Hasil
comes Akhir)
(Hasil Se-
mentara)
Pulihnya Pariwisata Penyerapan Menam-
sumber- Tempat tenaga kerja bah peng-
daya alam penelitian Diversifikasi hasilan
(hutan pekerjaan
mangrove) Lestarinya Pening-
SDA sebagai katan
Terlindungi- Terwujud- aset komuni- Kesejah-
nya tanggul nya tas teraan
tambak dari budidaya dengan
abrasi dan bandeng, bertambah-
masuknya udang dan nya peng-
air laut ke pembua- hasilan ke-
tambak tan garam luarga dan
rakyat komunitas
284
Tersedianya Penang- Pengolahan Bertam- Berkurang-
biota laut kapan ikan, sumberdaya bah-nya nya migrasi
(udang, udang, dan menjadi dan
ikan, dan kepiting di bahan tersedia-
kepiting) sekitar hu- pangan nya
di sekitar tan mang- olahan dan berbagai
hutan rove dijual jenis
mangrove Pembuatan pekerjaan
dan laut makanan
sekitarnya dan
Tersedia- Pemanen- minuman Pelibatan
nya buah an buah dari buah tenaga
mangrove mangrove mangrove kerja
Pengolah- Pembibitan perem-
an buah mangrove puan
mangrove
285
memberikan akselerasi dan diversifikasi munculnya berbagai
jenis pekerjaan.
286
BAB 6
PENUTUP
287
sekitarnya. Rehabilitasi mangrove dapat melindungi aset ko-
munitas dan menghasilkan berbagai sumberdaya alam yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas yang
merupakan upaya seluruh masyarakat pesisir.
288
itu, dapat membangun modal sosial dengan merevitalisasi
nilai sosial-budaya dan lingkungan, membangun kepercayaan,
dan membangun jaringan sosial. Modal sosial tersebut di-
gunakan untuk mengorganisasi dan menggerakkan anggota
komunitas guna berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove.
Dalam mengemban proses pengembangan komunitas,
terutama kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pemimpin infor-
mal dilandasi modal sosial pribadi, yakni memiliki komitmen
tinggi, bekerja tanpa mengenal lelah, serta selalu memberi
contoh atau teladan terhadap komunitasnya.
Sementara itu, dalam menerapkan kepemimpinannya,
mengutamakan cinta, kasih sayang, dan selalu memberikan
bantuan, sehingga anggota komunitas mau berpartisipasi
aktif, mendukung kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan
mangrove. Dukungan komunitas disebabkan oleh hasil
kegiatan pengembangan komunitas yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan seluruh anggota komunitas.
Secara teoretis, pelibatan pemimpin informal dalam proses
pengembangan komunitas dapat menambah konsep teoretis
model pengembangan komunitas yang ada. Model pengem-
bangan komunitas dengan pelibatan pemimpin informal demi-
kian dapat disebut sebagai strategi pengembangan komunitas
berbasis kearifan lokal. Karena, berbagai strategi pengem-
bangan komunitas yang ada belum menekankan pendekatan
bottom-up, menggunakan sumberdaya lokal.
Salah satu sumberdaya lokal tersebut adalah keberadaan
pemimpin informal komunitas. Pelibatan pemimpin informal
289
dalam pengembangan komunitas dapat menambah model
strategi pembangunan di perdesaan. Selama ini, pendekatan
pengembangan komunitas masih bersifat top-down, karena
terjadi atas stimulan pihak lain di luar komunitas. Pengembangan
komunitas banyak diinisiasi pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga sosial tertentu, kemudian melibatkan
pemimpin informal dan partisipasi anggota komunitas.
Model demikian tidak dapat dikatakan sebagai pendekatan
pengembangan komunitas bottom-up dan lebih cocok disebut
top-down. Pengembangan komunitas bottom-up merupakan
pendekatan pengembangan komunitas asli, karena diinisiasi,
dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, dan hasilnya dijaga oleh
komunitas yang bersangkutan. Pendekatan pengembangan
komunitas tersebut dapat menambah teori pengembangan
komunitas sebagai suatu model indigenous community deve-
lopment strategy.
290
pula pekerja sosial komunitas bekerja sama dengan pemimpin
informal guna mengakselerasi proses pengambangan komunitas.
Banyak kasus terjadi, masyarakat baru tergerak jika ada pihak
luar yang memberikan stimulasi. Pekerja sosial dapat bekerja
sama dengan pemimpin informal untuk memberikan stimulasi
komunitas untuk menentukan tujuan pembangunan.
291
Hal ini berkaitan dengan penggunaan sumberdaya lingkungan
sebagai aset yang dapat digunakan dalam memberikan
kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial komunitas
pesisir. Sistem sumber ini sesuai dengan praktik pekerjaan
sosial komunitas dan perspektif kesejahteraan sosial yang
menggunakan pendekatan ekologi manusia (green social work
atau green social welfare). Para ahli di bidang kesejahteraan
sosial sekarang ini telah banyak menggunakan sistem sumber
dari aset komunitas buatan dan alamiah untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial komunitas.
292
Daftar Pustaka
293
................(2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset
Komunitas, dari Pemikiran Menuju Penerapan. Jakarta: FISIP
UI Press.
294
Brokensha, D and Hodge, Peter (1969). Community Deve-
lopment, an Interpretation. Chicago: Chander Publising
Company.
295
Bramen, J. (2004) Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif. Samarinda: Penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN
Antasari.
296
Cie, Y; Wisudo, S. H.; Purbayanto, A. (2011). Partisipasi masya-
rakat nelayan dalam pemanfaatan Kawasan Mangrove
untuk perikanan tangkap di Halmahera Utara. Laporan
Penelitian. Bogor: IPB Scientific Repository. http://repository.
ipb.ac.id/handle/123456789/5394. 20 September 2012.
297
Delgado, M. (2000). Community Social Work Practice in an
Urban Context: The Potential of a Capacity-Enhancement
Perspective. England: Oxford University Press.
298
Esser, H. (2007). The Two Meaning of Social Capital in
Castiglione, D. Eds. (2008). The Handbook of Social Capital.
New York: Oxford University Press.
Etzioni, A. (1996). The Responsive Community: A communitarian
perspective. American Sociological Review, 61, pp. 1 -11.
Falmer, D. (2011). Insiders Voices: A Phenomelogical Study
of Informal Teacher Leadership From The Perspective of
Those Who Choose to Lead. Dissertation. USA: School of
Education, Indiana University of Pennsylvania.
Field, J. (2010). Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana.
Fikriyani, M. dan Massadun (2014). Evaluasi Program Rehabilitasi
Mangrove di Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak. Jurnal Ruang. Volume 2 No. 1 Tahun
2014. Issn 1858 3881 pp. 381 - 390
Fitriani, N. (2010). Konservasi Hutan Mangrove Sebagai
Ekoswisata. Thesis. Surabaya: UPN. Faculty of Civil
Engineering and Planning. : http://www.upnjatim.ac.id 1
Nopember 2012
Foley, M. W. and Edwards, B. (1999). The Paradox of Civil
Society. Journal of Democracy. National Endowment for
Democracy and The John Hopkins University Press Da-
lam http://info.worldbank.org/etools/docs/library/108361/
session7k.pd 23 September 2012
Foster, M. (2008). Informal Leadership in Community-Driven
Development: Implications for Transformation. ProQuest
Dissertations and Theses. The Humanities and Social
Sciences Collection pg. n/a.
299
Foster-Bey, J. (1997). Bridging Communities: Making The
Link Between Regional Economies and Local Community
Development. Journal Stau. L. And Poly Review. Vol 8.2
No. 25. pp. 213 - 222
300
Older People Building Better Communities Through Informal
Community Leadership. Australia: Productive Centre.
National Senior.
301
Hanifan, L. J. in Arniel, B. (2006). Diverse Communities The
Problems With Social Capital. USA: Cambridge University
Press.
302
Hoy, F. And Rowley, T. D. (1996). Entrepreneurship: A Strategy
for Rural Development. Rural Development Research: A
Foundation for Policy. pp. 29-46.
303
Kilduff, M. and Tsai, W. (2003). Social Network and Organization.
London: Sage Publication.
304
Lin, N. (2008). Social Capital: Theory and Research, New
Brunsevick, New Jersey: Transaction Publisher, Fourt
Printing.
305
Mathie, A. And Cunningham, G. (2003). From Clients to Citizen:
Asset-Based Community Development as a Strategy for
Community-Driven Development. Journal Development in
Practice. Vol 13. Issue 5 pp. 474-486.
Maxwell, J. C. (2011). The 21 Indispensable Qualities of A
Leader. Surabaya: Mic. Publishing.
Mayo, M. (2002). Community Work in Christopher, H. and
Philpot, T. (Ed.) (2002). Practicing Social Work. London
and New York: Routladge.
McClleland, D. (1988). Human Motivation, USA: Cambridge
University Press dalam: http://www.newworldencyclopedia.
org/entry/David. 2 Nopemner 2012
Merlina, N. (2008). Sistem Kepemimpinan Pada Masyarakat
Kasepuhan Cicarucub, Kabupaten Lebak Banten. Jurnal
Penelitian. Volume 40. No. 2 Agustus 2008. pp. 641 - 676.
Mezirow, J. (2002). Learning to Think Like an Adult: Core
Concept of Transformastion Theory. In Mezirow, J &
Associates (ed.) Learning as Transformation (pp. 3 -33).
San Francisco: Jossey-Bass.
Midgley, J. (1995). Social Development : The Development
Perspective in Social Welfare (pp. 1- 36) London: Sage
Publication.
Midgley, J. and Conley, A. (2010). Social Work and Social
Development, Theories and Skills for Development Social
Work. England: Oxford University Press.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
306
Monografi Desa Pasar Banggi. (2011).
307
Parrillo, V. N. (2002). Contemporary Social Problem. Fifth Edition.
Boston USA: Allyn and Bacon.
Parson, Talcott. 1970. The Social System, London: Routledge
and Kegan Paul.
Paryono, T. J. (1999). Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di
Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Laporan Penelitian. http://repository.ipb.
ac.id/handle/123456789/27567. 22 September 2012.
Pattanaik, P.K. (2008). Rational Choice and Social Welfare.
Theory and Aplication. Berlin: Springer.
Patton, A. (2005). Efektivitas Pemimpin Informal di Daerah
Perbatasan Kabupaten Malinau Kalimantan Timur dengan
Serawak Malaysia Timur. Jurnal Aplikasi Manajemen.
Volume 3. Nomor 3. hlm. 287 293. Samarinda: FISIP
Universitas Mulawarman. Desember 2005.
Payne, M. (1997) Modern Social Work Theory. Second Edition,
Great Britain: Macmillan.
Peck, H. B.; Kaplan, S. R. and Roman, M. (2010). Prevention,
Treatment and Social Action: Strategy Intervention in a
Disadvantaged Urban Area. American Journal of Orthopsy-
chiatry. Vol. 36, Issue 1. pp. 57 69. March (2010).
Pescosolido, J. E. (2001). Informal Leader and The Development
of Group Efficacy. Small Group Research 32(1), pp. 74 93.
From ProQuest database.
Pielstick, C. D. (2000). Formal vs. Informal Leading: Comparative
Analysis. Journal of Leadership and Organization Studies.
7(3). p 99 -114.
308
Pirie, I. (2011). Theories of Social Capital. Journal Capital and
Class 35.2 pp. 328-330.
309
Purwoko, A. (2008). Analisis Perencanaan Peruntukan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Pengembangan
Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Begedai.
Laporan penelitian. repository. usu.ac.id
310
Rostiyati, A. (2009). Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat
Guradog. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 1 No.2
Juni (2009).
311
Schneider, J. A. (2006). Social Capital and Welfare Reform,
Organizations, Congregations, and Communities. New York:
Columbia University Press.
312
Sulaksono, J. (2002). Peranan Pemimpin Informal dalam Ke-
berlanjutan Kelompok (Kasus : Gapoktan Ternak Domba
Mekar Jaya, Desa Kadipaten, Kecamatan Kadipaten, Kabu-
paten Majalengka, Propinsi Jawa Barat). Laporan Penelitian.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7074. 23
September 2012
313
Telaumbanua, A. S. (2011). Persepsi dan Peran serta Anggota
Kelompok Tani terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan
Mangrove (Studi Kasus pada Kelompok Tani Hutan Serai
Mangrove di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan
Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Medan:
USU. Laporan Penelitian.
314
Umairoh. (2010). Kajian Kelembagaan dan Persepsi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di
Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten
Serdang Bedahgai. Medan: USU. Laporan Penelitian.
315
Dari Atas (top-down). Disertasi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
316
Tentang Penulis
317
Dr. Soni Akhmad
Nulhaqim, S.Sos., MSi
Staf Pengajar Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran sejak
1994 dan Ketua Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia
(IPPSI) periode 2012-2014. Pria kelahiran Garut, 4 Februari
1968 ini sangat mencintai profesi pekerja sosial profesional.
318