Anda di halaman 1dari 4

Arsitektur Stasiun tawang

Pada awal beroperasinya, tidak ada jalur kereta api yang menghubungkan antara stasiun
Semarang Tawang dan Semarang Poncol, dua-duanya merupakan stasiun ujung atau
kopstation. Stasiun Semarang Poncol melayani kereta api dari/ke menuju barat (Cirebon) dan
stasiun Semarang Tawang melayani kereta api dari/ke timur (Solo dan Yogyakarta). Ini
dikarenakan bahwa kedua stasiun tersebut milik dua perusahaan kereta api yang berbeda
yaitu NIS dan SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij). Akibat jaringan kereta
api yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula.
Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi (terutama) untuk angkutan
barang. Baru ketika awal pemerintah Jepang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942/1943,
kedua stasiun itu dapat dihubungkan dengan jalur kereta api karena kedua perusahaan kereta
api itu digabungkan oleh pemerintahan Jepang di Indonesia.

Bangunan membentuk siluet simetris dengan bangunan utama di tengah yang beratap kubah
tinggi sebagai vocal point serta sayap-sayap bangunan di kanan kirinya yang didominasi oleh
atap pelana dari genteng merah dengan bukaan-bukaan atap sebagai variasi. Bentuk bangunan
yang simetris itu merupakan salah satu ciri arsitektur kolonial yang merupakan perpaduan
antara langgam desain yang populer di Eropa dengan penyesuaian terhadap iklim lokal tropis
melalui penggunaan atap pelana serta banyak bukaan untuk penghawaan.
Tidak banyak ornamen yang dijumpai, karena gaya arsitektur Romaticism yang populer di
Eropa pada awal abad ke 20 lebih menekankan pada komposisi dan proporsi elemen-elemen
garis dan bidang-bidang bukaan sebagai ornamen bangunan. Komposisi bidang-bidang
bukaan pada tembok yang kokoh serta atap kubah membentuk kemegahan bangunan ini.

Ruang-ruang pada bangunan Stasiun Tawang disusun secara linier dengan pintu masuk utama
yang berada di tengah sebagai orientasi. Ruang di bawah kubah merupakan vestibule atau
hall dengan langit-langit yang tinggi. Atap kubah membentuk langit-langit persegi
memberikan pencahayaan atas yang memperkuat kesan megah ruangan ini. Empat kolom
utama yang menyangga atap kubah sepintas mirip dengan bagian tengah sebuah pendapa
joglo. Bagian ini diperindah dengan empat lampu hias serta jendela kaca memanjang di
sekeliling bangunan bagian atas.

Ornamen paling menonjol pada bangunan Stasiun Tawang adalah pintu-pintu utama serta
jendela ventilasi atas yang berbentuk lengkung yang dipertegas dengan bingkai konstruksi
Arch pasangan batu bata di tepi atasnya. Pada ujung lengkungan bata tersebut diakhiri dengan
moulding dari semen dan keramik warna dan material yang berbeda dari elemen - elemen
bukaan (pintu, jendela, dan ventilasi) tersebut menjadi ornamen yang mempercantik
arsitektur Stasiun Tawang. Cornice berupa ballustrade/pagar pembatas atap datar di atas
pintu-pintu tersebut memperkuat akhiran atas dari komposisi itu.

Sayap bagian kanan merupakan ruang tunggu kelas satu, ruang kepala stasiun, ruang sinyal
serta ruang-ruang operasional. Sayap kiri merupakan ruang tunggu kelas dua dan kelas tiga
yang pada masa kolonial diperuntukkan bagi pribumi. Ruang-ruang tersebut berderet di
sepanjang concourse (peron) membentuk model stasiun satu sisi dengan peron dan sepur
yang terletak sejajar dengan bangunan stasiun. Peron dan sepur dinaungi atap pelana yang
memanjang sejajar dengan struktur rangka baja dan penutup seng gelombang.

Dalam finishing ruang, dominasi warna putih menutup hampir semua tembok bagian dalam
serta cokelat tembaga sebagai penghiasnya. Dari penelitian para arsitek pencinta bangunan
bersejarah, material dasar bangunan stasiun ini pada waktu didirikan berasal dari batu yang
dilapisi semen tumbukan bata merah dan kapur. Cat yang dipergunakan juga masih
sederhana, hanya kapur.

Namun sungguh sayang akibat perkembangan kota Semarang yang semakin pesat serta
sistem tata kota yang belum pas dengan kondisi kota pinggir pantai maka stasiun Semarang
Tawang sering digenangi banjir akibat hujan atau rob (rembesan air laut jika permukaan laut
pasang). Penyebab banjir, selain curah hujan yang tinggi tiga hari berturut-turut dan air
pasang laut Jawa, juga hilangnya area resapan di sebelah utara stasiun. Rawa yang dahulu
melingkupi bagian utara stasiun sejak 1985 berubah menjadi pemukiman. Banjir merupakan
hantu yang harus dihadapi bangunan Stasiun Tawang. Namun, gunungan sampah di tambak
sebelah timur stasiun juga musuh utama yang harus dihadapi. Dampaknya, perjalanan kereta
api melalui jalur utara di Jawa menjadi terganggu. Untuk mengatasi masalah itu telah tiga
kali dilakukan pengurukan lantai bangunan. Ketinggian bangunan telah berkurang 1.5 meter
akibat peninggian itu. Tak hanya bangunan yang ditinggikan, jalan rel pun ikut ditinggikan.
Selain itu sejumlah bagian terpaksa disesuaikan, misalnya, pengurangan tinggi pintu.

Anda mungkin juga menyukai