Anda di halaman 1dari 9

REFLEKS SPINAL PADA KATAK

Oleh :
Nama : Finna Fernanda Hapsari
NIM : B1A015122
Kelompok : 4
Rombongan : IV
Asisiten : Dini Darmawati

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem saraf merupakan sistem koordinasi yang berfungsi sebagai


penerima dan penghantar rangsangan ke semua bagian tubuh dan selanjutnya
memberikan tanggapan terhadap rangsangan tersebut. Jadi, jaringan saraf
merupakan jaringan komunikasi dalam tubuh (Campbell et al., 2002). Sistem
saraf memiliki dua macam gerakan, yaitu gerakan yang dikehendaki dan gerakan
refleks. Gerak refleks merupakan respon otomatis yang sederhana terhadap suatu
rangsangan yang hanya melibatkan beberapa neuron yang semuanya
dihubungkan dengan tingkat yang sama dalam sistem saraf pusat. Sejumlah
gerakan refleks melibatkan hubungan antara banyak interneuron dalam sumsum
tulang belakang. Sumsum tulang belakang tidak hanya berfungsi dalam
menyalurkan impuls dari dan ke otak tetapi juga berperan penting dalam
memadukan gerak refleks (Villee et al., 1988).
Refleks merupakan sebagian kecil dari perilaku hewan tingkat tinggi,
tetapi memegang peranan penting dalam perilaku hewan tingkat tinggi. Refleks
biasanya menghasilkan respon jika bagian distal sumsum tulang belakang
memiliki bagian yang lengkap dan mengisolasi ke bagian pusat yang lebih
tinggi. Tetapi kekuatan dan jangka waktu menunjukan sifat involuntari yang
meningkat bersama dengan waktu (Madhusoodanan, 2007).
Katak termasuk dalam kelas Amphibi yang memiliki bentuk timpanum
bulat utuh tanpa ada lapisan kulit yang menutupi. Selaput renang tidak ada pada
jari tangan, sedangkan pada jari kaki hanya menjangkau dari panjang jari
tengah. Pada punggung terdapat guratan yang menonjol (Kurniati, 2008).
Penggunaan umpan tulang belakang pada kecebong saat sinyal maju merupakan
mekanisme untuk mengemudi, gerakan mata korektif mungkin terkait dengan
ekor, perilaku renangnya relatif sederhana dimana diprediksi rotasi kepala kiri-
kanan terjadi pada bidang horizontal (Uckermann et al., 2013).

1.2 Tujuan

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mengetahui terjadinya refleks


spinal pada katak.
II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi

Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah katak


(Fejervarya cancrivora) dan larutan asam sulfat (H2SO4) 1%.
Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah jarum, gunting,
pinset, lateks, dan baki.

2.2 Cara Kerja

1. Otak katak dirusak dengan menggunakan jarum preparat. Caranya adalah


katak dipegang dengan kepala ditundukkan ke arah ventral (ke arah perut).
Pada batas kepala dan punggung, ujung jarum dimasukkan kurang lebih
sedalam 1 cm.
2. Refleks katak saat diberi perlakuan pembalikan tubuh, penarikan kaki depan
dan belakang, kemudian pencelupan kakinya ke dalam larutan H2SO4 1%
diamati.
3. Bagian medulla spinalis dirusak mulai dari , , , sampai total bagian,
lalu saat diberi perlakuan pembalikkan tubuh, penarikan kaki depan dan
belakang, kemudian pencelupan kakinya ke dalam larutan H2SO4 1%
diamati kembali.
4. Hasil percobaan dicatat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 3.1 Pengamatan Gerak Refleks Spinal pada Katak


Respon
Penarikan Penarikan
No. Perlakuan Pembalikan Pencelupan
kaki kaki
tubuh H2SO4 1%
depan belakang
1 Perusakan otak +++ +++ +++ +++
Perusakan
2 sumsum tulang ++ ++ ++ +++
belakang
Perusakan
3 sumsum tulang + + + ++
belakang
Perusakan
4 sumsum tulang - - - ++
belakang
Perusakan total
5 sumsum tulang - - - +
belakang

Keterangan:
+ : respon lambat
++ : respon tidak terlalu cepat
+++ : respon cepat
- : tidak ada respon
3.2 Pembahasan

Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil yang pertama pada perlakuan


perusakkan otak, katak masih dapat memberikan respon gerak refleks yang cepat
pada perlakuan pembalikan tubuh, penarikan kaki depan, kaki belakang, dan
pencelupan kaki ke dalam larutan asam sulfat. Perusakan selanjutnya adalah
bagian sumsum tulang belakang, hasil yang diperoleh adalah katak masih
memberikan respon gerak refleks pada perlakuan pembalikan tubuh, penarikan
kaki depan, penarikan kaki belakang, dan pencelupan kaki ke dalam larutan
asam sulfat, tetapi responnya lebih lambat dibandingkan dengan pada saat
perlakuan perusakan otak. Perusakan bagian dari medulla spinalis diperoleh
hasil yaitu katak tersebut masih memberikan respon gerak refleks tetapi semakin
lambat pada perlakuan pembalikan tubuh, penarikan kaki depan, kaki belakang,
dan pencelupan ke dalam larutan asam sulfat. Perusakan bagian dari medulla
spinalis diperoleh hasil yaitu katak tersebut masih memberikan respon gerak
refleks pada pencelupan H2SO4 dan tidak memberikan respon pada perlakuan
pembalikan tubuh, penarikan kaki depan, dan kaki belakang. Pada perusakan
total medulla spinalis katak ternyata masih mampu memberikan respon pada
perlakuan pencelupan H2SO4 tetapi semakin lambat, dan tidak memberikan
respon pada perlakuan pembalikan tubuh, penarikan kaki depan, dan kaki
belakang. Hasil dari percobaan tersebut sesuai dengan pernyataan Djuhanda
(1982), yang menyatakan bahwa perusakan otak tidak berakibat langsung
terhadap respon gerak refleks yang diberikan oleh suatu hewan. Ketika otak
dirusak, serabut-serabut saraf penghubung yang berada di sumsum tulang
belakang masih terhubung sehingga masih dapat menghantarkan impuls untuk
memberikan respon dari perlakuan yang diberikan.
Percobaan ini menggunakan larutan H2SO4 yang merupakan asam kuat
dan berbahaya apabila terkena kaki katak yang dicelupkan ke dalam larutan
H2SO4. Hal ini mengakibatkan katak sebisa mungkin akan menarik kakinya dari
larutan itu karena larutan H2SO4 memberikan rangsangan panas yang membakar
kulit. Ini merupakan salah satu gerakan untuk perlindungan tubuhnya dari zat-zat
kimia yang berbahaya. Refleks yang diberikan katak saat perlakuan tersebut
sesuai dengan pernyataan Villee et al. (1988), yaitu respon menarik kaki setelah
dicelupkan ke dalam larutan H2SO4 melibatkan sejumlah otot yang bekerja
secara terpadu dan merupakan suatu refleks murni. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh pernyataan Frandson (1992) yaitu, katak akan menarik kakinya
apabila diberi stimulus seperti masuknya rangsangan asam, misalnya H2SO4.
Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem
saraf pusat meliputi otak dan batang spinal yang berguna sebagai pusat
koordinasi untuk aktivitas yang harus dilaksanakan (Michel et al., 1996). Otak
dilindungi oleh tulang kranial, sedangkan saraf spinal dilindungi oleh tulang
belakang (Leksono et al., 2014). Sistem saraf perifer meliputi saraf cranial, saraf
spinal, dan trunkus simpatikus yang berfungsi memberikan informasi kepada
sistem saraf pusat tentang adanya stimulus yang menyebabkan otot dan kelenjar
melakukan respon (Michel et al., 1996).
Gerak refleks dapat dibedakan menjadi refleks kompleks dan refleks
tunggal. Refleks kompleks adalah refleks yang diikuti oleh respon yang lain,
misalnya memegang bagian yang kena rangsang dan berteriak yang dilakukan
pada waktu yang sama. Refleks tunggal adalah refleks yang hanya melibatkan
efektor tunggal. Berdasarkan tempat konektornya refleks dibedakan menjadi dua
yaitu refleks tulang belakang (refleks spinalis) dan refleks otak (reflek cranialis)
(Frandson, 1992).
Mekanisme pada gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor,
ke saraf sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian
hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motorik sebagai
perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor. Mekanisme gerak refleks yaitu
mula-mula rangsang diterima reseptor lalu diteruskan ke sumsum tulang
belakang melalui saraf sensor kemudian dari sumsum tulang belakang, rangsang
diteruskan ke efektor tanpa melalui saraf motorik ke otak, tetapi langsung ke otot
melalui jalan terpendek yang disebut lengkung refleks (Wulangi, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi refleks spinal salah satunya adalah
harus ada stimulus atau rangsangan, khususnya rangsangan dari luar, seperti
derivate temperature, kelembaban, sinar, tekanan, dan bahan kimia. Beberapa
rangsangan langsung beraksi pada sel atau jaringan, tetapi kebanyakan hewan-
hewan mempunyai reseptor yang special untuk organ yang mempunyai
kepekaan (Gordon et al., 1982). Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
refleks spinal adalah masih berfungsinya sumsum tulang belakang. Sumsum
tulang belakang mempunyai dua fungsi penting yaitu mengatur impuls dari dan
ke otak dan sebagai pusat refleks, dengan adanya sumsum tulang belakang,
pasangan saraf spinal dan cranial akan menghubungkan tiap reseptor dan efektor
dalam tubuh sampai terjadi respon. Sumsum tulang belakangnya telah rusak total
maka tali-tali spinal sebagai jalur syaraf akan rusak dan tidak ada lagi yang
menunjukkan respon terhadap stimulus (Villee et al., 1988). Faktor lain yang
mempengaruhi refleks spinal menurut Gunawan (2002), yaitu adanya refleks
spinal dari katak berupa respon dengan menarik kaki depan atau kaki belakang
saat perusakan sumsum tulang belakang disebabkan karena masih terjadi
interkoneksi dari satu sisi korda spinalis ke sisi yang lain.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Refleks spinal pada katak dikontrol oleh sumsum tulang belakang dengan proses
dimulai dari adanya stimulus yang diterima oleh neuron sensori lalu diteruskan
ke sumsum tulang belakang kemudian diteruskan lagi ke neuron motorik dan
timbullah respon. Refleks spinal pada katak dapat terjadi jika ada rangsangan
baik berupa rangsangan mekanik dengan pembalikan tubuh, penarikan kaki
depan, penarikan kaki belakang, ataupun kimiawi dengan pencelupan ke dalam
larutan H2SO4.
DAFTAR REFERENSI

Campbell, N. A., Reece, J. B. & Mitchell, L. G. 2002. Biologi Edisi kelima Jilid III.
Jakarta: Erlangga.

Djuhanda, T. 1982. Anatomi Perbandingan Vertebrata II. Bandung: Armico.

Frandson, F. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: UGM Press.

Gordon, M. S., Bortholomew, G. A., Grinell, A. D., Jorgenscy, C. B. & White, F. N.


1982. Animal Physiology: Principle and Adaptation, 4th Edition. New York:
MacMillan Publishing.
Gunawan, A. 2002. Mekanisme Penghantaran dalam Neuron (Neourotransmisi).
Integral, 7(1), pp. 38-43.

Kurniati, H. 2008. Jenis-Jenis Kodok Berukuran Besar yang dapat Dikonsumsi dan
Mampu Beradaptasi dengan Habitat Persawahan di Sumatra. Fauna Indonesia,
8(1), pp. 6-9.

Leksono, I. A. R. A., Saichudin & Januarto, O. B. 2014. Pengembangan Model


Latihan Pliometrik Three Point-Shoot Bola Basket Menggunakan Stimulasi
Pleksus Brakhialis pada Siswa Ekstrakurikuler di SMA. Jurnal Sport Science,
4(1), pp. 43-48.

Madhusoodanan, M. G. P. 2007. Continence Issues in the Patient with Neurotrauma.


Senior Consultant Surgery, Armed Forces Medical Services M Block,
Ministry of Defence, DHQ, New Delhi. Indian Journal of Neurotrauma
(IJNT), 4(2), pp. 75-78.

Michel, A. L., Hogan, N. & Bizzi, E. 1996. Recruitment Modulation of Force Fields
Organized in the Frogs Spinal Cord. Cambridge: Departments of
Mechanical Engineering and Brain & Cognitive Sciences, Massachusetts
Institute of Technology.

Villee, C. A., Walker, W. F. & Barnes, R. D. 1988. Zoologi Umum. Jakarta:


Gramedia.

Wulangi, K. S. 1994. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta: Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai