Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Budaya mendidik suku bugis. Mungkin pembahasan ini masih kurang
bersahabat dengan telinga pembaca. Dalam makalah ini penulis menjelaskan
tentang bagaimana masyarakat bugis punya bibit unggul dalam setiap aspek
keturunannya. Budaya bugis senantiasa memberikan buah hasil penanaman
khas dan karakter aslinya kepada para keturunan-keturunannya. Dewasa ini
dengan perkembangan zaman, IPTEK dan keadaan lingkungan serta
perubahan kondisi alam mengakibatkan bergesernya pula nilai-nilai yang
selama ini masih dipegang teguh oleh masyarakat pada umumnya. Anak-anak
sekarang ini mengalami kemunduran dalam pemahaman moril, karakter dan
tingkah laku serta daya kreativitas karena pengaruh zaman tadi.
Dahulu bagaimana anak-anak dengan keterbatasannya dan hanya
memanfaatkan lingkungannya dapat dengan suka cita bermain, dan hal ini
membuat daya kreatifitas anak semakin bertambah juga dengan sendiri.
Apabila kita memberikan perbandingan dengan yang sekarang bahwa anak-
anak dengan tekhnologi yang semakin tingginya dan anak yang hanya
mengandalkan jiwa komsumtifnya maka dengan hal tersebut jiwa kreatifitas
anak akan berkurang. Mereka akan sangat tergantung dengan hal-hal yang
sudah ada, mobil-mobilan remote control, playstation dll. Dengan seperti ini
maka struktur pemikiran anak tadi akan mengalami krisis kreatifitas dan krisis
karakter , karena budaya instan tadi. Di samping itu juga, dewasa ini saya
sebagai penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya
tentang mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu
dari hasil tingkah laku dan morilnya.
Memang saya dapat mengatakan bahwa sangat berbeda. Krisis-krisis
seperti dijelakan diatas sangat jelas terlihat. Maka dari itu, dalam makalah ini

1
saya menjelaskan tentang keadaan seperti diatas dan bagaimana solusi saya
sebagai penulis dalam masalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana karakter keluarga bugis ?
2. Bagaiaman Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak ?
3. Bagaimana pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan
keseharian masyarakat bugis ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan :
1. Karakter keluarga bugis.
2. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.
3. Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian
masyarakat bugis.
4. Pembatasan dalam pergaulan dan tingkah laku masyarakat bugis.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Dengan pembahasan di atas maka akan lebih mengembangkan
pemahaman dan pengetahuan baru sebagai perbandingan metode mendidik
masyarakat bugis dan lainnya secara umum.
2. Sebagai bahan referensi kepada para pembaca dalam membahas materi
yang berhubungan dengan masalah yang di jelaskan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Gaya mendidik masyarakat bugis memanglah sangat unik. Dengan


banyaknya pengaruh-pengaruh yang menjulur kearah kearifan lokal maka
karakter yang dibentuk juga berjalan dengan apa yang di wanti-wanti
sebelumnya. Karakter turun temurun masyarakat bugis khususnya keluarga
bugis dengan apa yang mereka pertahankan baik itu pedoman kehidupan
dahulu sampai aspek religiusnya. Karakter keluarga bugis bukanlah
seotoriteran apa yang dibayangkan akan tetapi bagaimana keotoriteran yang
dia kaji tersendiri mengahasilkan kedisiplinan, kepatuhan dan kemandirian
yang berbeda dengan yang lain dan menjadi identitas buah pendidikan dari
keluarga dan lingkungannya.
Masyarakat suku bugis yang masih memelihara kekentalan kebudayaan
dan nilai-nilai estetika dalam kepercayaan terhadap tradisinya memang tidak
bisa dihilangkan begitu saja. Regenerasi dengan menggunakan nilai-nilai
tersebut dalam pola mendidik anak menjadikan nilai-nilai tersebut terpelihara
rapi dalam bingkai kehidupan yang mengarah ke bekal masa depan. Memang
apabila kita berbicara tentang mitos dan pamali seakan kita masih berfikir
primitif (katanya) akan tetapi malah dengan begitu masyarakat bugis dapat
menstrukturkan relief-relief kehidupan mereka dengan landasan ajaran
pendahulu yang sarat akan pemkanaan. Dan dengan semua itu dihasilkan anak
yang bertanggung jawab,kukuh, berkarakter dan terstruktur tentang pola
pemikiranya. Jarang ada masalah lain yang tersirat dari hasil mendidik dengan
gaya seperti ini.

3
1. Karakter Keluarga Bugis
Suku Bugis yang terletak umumnya di daerah Sulawesi dan terkhusus
di daerah Sulawesi selatan, memiliki keberagamana budaya dan
pemaknaannya. Bugis yang dikenal dengan tata krama dan norma-norma
yang menjadi ciri dan khas masyarakat atau populasinya. Dan juga bugis
yang dikenal dengan etos dan karakter yang kuat serta bugis yang
populasinya berada dimana-mana. Secara garis besar masyarakat bugis
yang masih sangat kental dengan kebudayaan khasnya dan masih
berpegang teguh dan menjalankan setiap tradisi-tradisinya.
Masyarakat bugis yang dikenal dengan gelar-gelar kebangsawananya
masih sangat mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sistem
kekerabatannya juga sangat baik dan dijaga sampai sekarang ini, walaupun
zaman sudah secanggih ini pemaknaan mengenai rasa penghormatan
kepada orang yang berstrata lebih diatas masih terjaga. Inilah yang
menyebabkan mengapa tradisi dalam nilai-nilai bugis itu masih ada.
Suku Bugis terikat pada satu sistem budaya yang disebut
panngaderreng, yang menjadi acuan bagi individu dalam kehidupan
sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang
lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Inti dari sistem
budaya ini adalah apa yang disebut siri dan pess. Adanya budaya pada
suku Bugis yang mengikat kuat setiap anggotanya, membuat penelitian ini
penting dilakukan. Hal ini dikarenakan, sistem budaya tersebut dapat
berpengaruh pada kekuatan karakter yang berhubungan dengan
kebahagiaan yang mereka rasakan.
Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga
menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik
keluarga, karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur
estetika dalam artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan
tingkah laku bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan
seluruhaspek lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini
bagaimana pembeda atau apabila dikaji mendalam bagaimana karakteristik

4
keluarga bugis dibandingkan dengan yang lain, bisa dikatakan keluarga
bugis mempunyai banyak aturan yang nilai ke sakralannya sangat tinggi,
sehingga dalam bertindak dan bertingkah laku seakan berhati-hati atau
penuh dengan ikatan yang membuatnya sangat berhati-hati.

2. Budaya Otoriter dalam Penanaman Etos Kedisiplinan Anak.


Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang itu bersifat
otoriter, namun ke otoriteran dari karakter bugis itu sendiri bukan otoriter
menurut pemaknaan aslinya, akan tetapi kedisiplinan dan ketaatan untuk
tidak melakukan hal yang tidak biasanya atau diluar unsur kebiasaan dan
tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma dan asas-asas beretika
yang berlandaskan dari kebiasaan suku bugis tersebut atau biasanya
disebut dengan pamali, Begitupun dengan gaya mendidik anaknya.
Keotoriteran masyarakat bugis ini juga dalam pemaknaan seperti diatas,
kedisiplinan yang ketat mengajarkan anak untuk menjadi orang-orang
yang nantinya bisa cepat mandiri atau dapat mengatur hidupnya sendiri,
kedisiplinan juga menjadikan bekal moril kepada anak agar dapat lebih
bertanggung jawab dan berfikir positif dalam kesehariannya. Bekal-bekal
lain yang tersirat dalam etos kedisiplinan dalam gaya mendidik
masyarakat bugis adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik
keluarga. Dalam hal ini nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana
pola pemikiran anak dan proses orangtua memberikan pengertian kepada
anak membuat anak lebih bertanggung jawab atas etika dan penanaman
karakter yang lebih matang, biasanya dengan begini pola kestruktural
pemikiran anak akan lebih baik, bagaimana bisa lebih paham dengan
kepekaan sosial dan juga anak akan mendapatkan kesadaran diri yang
tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini seperti etika dalam makan
yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilai-nilai kebersamaan itu
semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama dan masih
banyak aspek-aspek lainnya.

5
Lain lagi dalam pola religius. Masyarakat bugis sangat
memperhatikan masalah ini dalam batasannya ajaran islam. Bagaimana
masyarakat bugis cenderung taat atau patuh dalam pelaksanaan ajaran
agama ini. Hal ini jelas terlihat bagaimana banyak dari acara-acara yang
dilaksanakan oleh masyarakat bugis yang memiliki nilai religius dalam
landasannya seperti, maccera (akikah), panre temme (tamat al quran)
tama bola ( masuk rumah baru ) ini merupakan bukti dasar bagaimana
masyarakat bugis sangat mengilhami ajaran-ajaran islam itu sendiri.
Biasanya dalam masyarakat bugis yang telah mempunyai anak, mereka
kebanyakan telah menanamkan pada anak apabila dia telah bersekolah
maka dia juga harus dapat mengaji atau mulai mempelajari dasar dalam
agamanya. Dan dengan di dukung oleh kebudayaan bugis yang masih
mengedepankan ke estetikaan nilai-nilai terdahulu seperti maka
perkembangan keagamaan ini terdapat semacam umpan balik yang sangat
menguntungkan keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan
didukung oleh budaya, dan budaya yang tetap terpelihara dengan semakin
banyaknya masyarakat yang tetap stay dan menjalankannya. Abayak
contoh spesifik tentang pembuktian hal ini. Seperti pada umumnya isra
miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan suci ramadhan yang di
tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam kegiatan islamic
di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang membuat edukasi
lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat berkembang
dengan kemauannya sendiri.
Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang
difikirkan akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya
dan tradisi masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola
mendidik anak tetap terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang
akan tetapi akan tetap ada dan stay karakter-karakter itu dengan semakin
transparannya hasil buah gaya mendidik seperti ini.

6
3. Pengaruh Budaya Mitos/Pamali dalam Mendidik dan Keseharian
Masyarakat Bugis
Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur
budaya Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontan,
sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan , untuk tidak
melanggar yang di pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat
dengan pappaseng , oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun
pappaseng sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah
yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya sastra ,
dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassar.
tetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan, memberi efek yang berbeda
dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan
sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami
paparkan seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre
I' salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na
ellungnge" "pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo'
"Enre manekko ana-ana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge"
"Tempeddingi tewwe tudang riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada
masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum teraplikasi dengan baik
sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam mempengaruhi emosional
lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi kemestian untuk tidak
melakukan yang bersifat larangan(harus diindakan) meski dengan tidak
rela terpaksa mengikuti.
Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang
keramat dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang
dalam bahasa Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang
Bugis dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai
pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995).
Sebagai suatu sistem, panngaderreng mempunyai beberapa unsur, yaitu
(1) ade, (2) bicara, (3) rappang, (4) Wari, dan (5) Sara (Melalatoa,
1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).

7
Unsur ade berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma
dalam sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang
berhubungan dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang
terkait dengan peradilan, yang kurang lebih sama dengan hukum acara.
Rappang merupakan analogi, kias, perumpamaan atau ungkapan adat.
Wari adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan
bermasyarakat menurut kategori-katergorinya. Sedangkan Sara adalah
pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam. Hukum Islam
atau syariah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara
sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai
keseluruhan panngaderreng.
Yang menjadi inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri.
Konsep siri mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari
panngaderreng. Basjah (dalam Koentjaraningrat, 1997) memberi tiga
pengertian terhadap kosep siri yaitu, malu, daya pendorong untuk
membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan
seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak
mungkin. Said (dalam Koentjaraningrat, 1997) mengungkapkan bahwa
siri adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk
membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal
hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Melalatoa (1995) kata siri
secara harafiah berarti malu atau kehormatan.
Siri merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan
bentuk solidaritas sosial. Siri dapat menjadi motif penggerak kehidupan
sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis.
Menurut masyarakat Bugis, siri seharusnyadan biasanya, memang
seiring sejalan dengan pess. Pess, atau lengkapnya pess babua, berarti
ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri,
mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap
tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial (Pelras, 2006).
Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah

8
dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang
sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah,
atau menderita sakit keras. Pess berhubungan erat dengan identitas dan
merupakan pengikat antar anggota kelompok sosial atau etnis. Pess
mendasari rasa memiliki identitas ke-Bugis-an para orang Bugis yang
merantau. Kedua konsep inisiri dan pessdapat digunakan sebagai
kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis,
khususnya dua perilaku yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan
dan kesetiakawanan.
Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa
bugis memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam
bertindak dan bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam
mendidik pada masyarakat bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia
keterikatan tentang norma-norma yang baik semakin tumbuh pada diri
anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa dikatakan mau tidak mau mitos
mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat bugis. Dalam segala
aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu mengikat ini
adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar menyeluruh
pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada dasarnya
diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu.
Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar
menancapkan pesan dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan
berada pada cangkupannya seperti contoh kecil:
Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de
e narapi nawa-nawa adalah sinyalemen untuk
mendeskripsikan reso (semangat tinggi), berfungsi sebagai alat pendidikan
bagi generasi muda manusia Bugis. yang terjemahannya : berangan-
anganlah hingga tak terjangkau angan-angan. (disampaikan oleh
panrita/agamawan).
Menurut Abdul Kadir Parewe : Para pi nawa-nama adalah sebuah
keinginan dari penutur agar masyarakat senantiasa menggunakan tenaga

9
pikiran dalam menciptakan atau menemukan hal-hal baru (inovasi), atau
sebagai manusia perlu memelihara pikiran-pikiran yang kita inginkan,
memperjelas apa yang kita inginkan di dalam benak, dari situ kita mulai
membangun salah satu hukum terbesar di Semesta, dan itulah hukum
tarik-menarik. Anda tidak hanya menjadi apa yang paling Anda pikirkan,
tetapi Anda juga meraih apa yang paling Anda pikirkan demi
kemaslahatan orang banyak. Tendensi dalam pappseng ini sebagai bentuk
pelahiran tokoh (to macca), pada generasi berikutnya. Keinginan pada
kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir
dalam pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).
Dan juga "pamali/ pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa
napura bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah
(untuk perjalanan jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan,
dicuci terlebih dahulu). kata "bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini
apakah hanya berarti "cuci piring" , sebab dalam sinyalemen pengunaan
kata bissai penne ini dapat juga berarti memperlakukan wanita/istri dengan
merawatnya, setelah berhubungan badan, menuju sikap verbal pada
penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah kearifan lokal.
Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang
mengambil peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan
yang menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi
kebiasaan.

B. Kerangka Pikir

Dalam upaya memberikan penjelasan dasar pemikiran dalam


penelitian ini, maka penulis mencoba menggunakan dalam suatu bentuk
kerangka pemikiran sehingga dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana konsep pemikiran antar variabel independen dengan variabel

10
dependen dalam menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam
pembahasan.
Strategi dalam mendidik anak dengan penanaman nilai-nilai dari
budaya asli merupakan tindakan yang masih belum banyak dilakukan dan
dikembangkan oleh masyarakat, karena bisa dikatakan bagaimana metode
ini besar dan dikenal di masyarakat bugis saja, entah ada yang lain dengan
nama dan sedikit perbedaan dalam pengembangan tersendirinya.
Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pemikiran yang digambarkan
sebgai berikut :

Kerangka pemikiran

Starategi & gaya mendidik


Masyarakat bugis tentang
penanaman dan
pembentukan karakter

Karakter asli Kemandirian


Pemeliharaan BAB III bugis
keluarga Bertanggung jawab
kebudayaanasli dan Otoriter dalam Berkarakter
pengembangannya dari penanaman etos Ulet
waktu ke waktu Pamali atau Berani
mitos Terstruktur dalam
pola pemikiran

11
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersikap deksriptif asosiatif yang bermaksud memberi
gambaran dan penjelasan mengenai pengembangan anak didasarkan oleh gaya
didik mereka di kalangan masyarakat bugis dalam pembentukan karakternya.
Dasar penelitian ini adalah wawancara bagaimana untuk memperoleh data
dan keterangan informasi secara aktual yang berhubungan dengan penelitian
ini.

B. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah masyarakat bugis pada umumnya dan
khususnya daerah bugis Pattinjo Kabupaten Pinrang. Peneliti berharap dapat
lebih mengetahui aspek-aspek lebih jauh tentang budaya mendidik masyarakat
bugis.

C. Jenis dan Sumber Data


Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Data primer adalah data yang diperoleh melalui hasil penelitian langsung
dari narasumber.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sember berupa
dokumen-dokumen, literatur dan laporan.

D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam hal ini terfokus pada bagaimana keluarga bugis
mendidik anaknya dengan segalan aspek yang ada didalam prosesnya tersebut.
Dan fokus penelitian yang digunakan dengan menggunakan penelitian
subjektif karena dengan mengumpulkan informasi dari narasumber-

12
narusember kecil yang lebih mendalam dan pengumpulan informasi lain yang
tidak langsung survei ke lapangan untuk lebih mengurangi aspek-aspek yang
tidak mendukung penelitian ini.

E. Tekhnik pengumpulan data


Tekhnik pengumpulan data yang digunkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Wawancara yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara melakukan
wawancara atau tanya jawab langsung kepada responden dan informan
yang berkaitan dengan pembahasan yang akan diteliti.
2. Dokumentasi yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara memilih
dokumen yang berkaitan dengan maslah yang akan diteliti.

F. Tekhnik analisis data


Analisa dari data kualitatif secara khas adalah satu proses yang interaktip
dan aktif. Peneliti-peneliti kualitatif sering membaca data naratif mereka
berulang-ulang dalam mencari arti dan pemahaman-pemahaman lebih dalam.
Morse dan Field (1995) mencatat bahwa analisis kualitatif adalah proses
tentang pencocokan data bersama-sama, bagaimana membuat yang samar
menjadi nyata, menghubungkan akibat dengan sebab. Yang merupakan suatu
proses verifikasi dan dugaan, koreksi dan modifikasi, usul dan pertahanan.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga
menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik keluarga,
karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur estetika
dalam artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan tingkah laku
bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruhaspek
lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini bagaimana pembeda atau
apabila dikaji mendalam bagaimana karakteristik keluarga bugis dibandingkan
dengan yang lain, bisa dikatakan keluarga bugis mempunyai banyak aturan
yang nilai ke sakralannya sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan
bertingkah laku seakan berhati-hati atau penuh dengan ikatan yang
membuatnya sangat berhati-hati.
Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang
difikirkan akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan
tradisi masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik
anak tetap terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan
tetap ada dan stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil
buah gaya mendidik seperti ini.
Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa
bugis memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam
bertindak dan bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam mendidik
pada masyarakat bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia keterikatan
tentang norma-norma yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan
masyarakat pada umumnya. Bisa dikatakan mau tidak mau mitos mendarah
daging di dalam kehidupan masyarakat bugis. Dalam segala aspek pamali
selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu mengikat ini adalah dasar dan
merupakan bukti bagaimana benar-benar menyeluruh pamali ini. Apalagi

14
seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada dasarnya diwarisi turun temurun
dari masyarakat terdahulu.

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis.
Makassar: Disertasi.

Abidin, Andi Zainal. 1999. Kapita Selecta Kebudayaan Sulawesi Selatan.


Makassar: Hasanuddin University Press.

Ahmad, Kadir. 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi


Ternggara. Makassar: Balai Litbang Agama Makassar.

Atmi. 2013. Kebudayaan dan Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press

Gaffar, Syam. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV


Aldabeta.

Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program


Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Geertz. 1992. Nilai dan Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hamid. 1999. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: PT Gunung Agung.

Mattulada. 1998. Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Makassar:


Hasanuddin University.

Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita


Antropologi No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.

16
Sauri. 2010. Pengantar Kebudayaan Lingkungan dan Budaya Lokal. Yogyakarta:
Gadja Mada University Press.

Tilaar, HAM. 1999. Pendidikan, Kebudayaan dan Madani Indonesia. PT Remaja


Rosda Karya.Tilaar

Warsi. 2004. Kearifan Lokal Masyarakat dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraff


Publishing.

17

Anda mungkin juga menyukai