Anda di halaman 1dari 4

PENDANGKALAN DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN (1981 2015) DAN UPAYA

KONSERVASI SUMBER DAYA AIR YANG DILAKSANAKAN BALAI BESAR WILAYAH


SUNGAI POMPENGAN JENEBERANG
Oleh : Bramantiyo Marjuki

I. PENDANGKALAN DANAU TEMPE DAN PERMASALAHAN SUMBER DAYA AIR

Danau Tempe merupakan salah satu danau besar yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di
Kabupaten Wajo (70% area efektif danau berada di kabupaten ini), Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten
Soppeng. Danau ini melintasi 10 Kecamatan dan 51 desa. Secara geografis, Danau Tempe terletak pada
1195000 BT - 120500 BT dan 40000 LS - 41000 LS. Dilihat dari karakteristik geologis, Danau Tempe
terletak di atas lempengan benua Australia dan Asia serta merupakan salah satu danau tektonik di Indonesia.
Sungai yang menuju ke danau terdiri dari 23 sungai, yang termasuk dalam DAS Bila dan DAS Walanae
(Hermawan et al, 2015). Danau Tempe berfungsi sebagai penyedia air bersih dan air baku, pertanian, pariwisata,
pencegah bencana alam/banjir, habitat tumbuhan dan satwa, pengatur fungsi hidrologi, penghasil sumberdaya
alam hayati, sumber perikanan (baik budidaya maupun perikanan tangkap), sumber pendapatan, dan sebagai
sarana penelitian dan pendidikan. Danau Tempe memiliki karakteristik yang dinamis berdasarkan volume air yang
mengikuti pola musim. Pada musim kemarau, volume air danau 9.087 ha, sedangkan pada musim penghujan akan
mencakup seluas 25.858 ha (Surur, 2015).

Danau Tempe saat ini telah mengalami pendangkalan intensif dan banyak dari area efektif danau telah
terkonversi menjadi daratan permanen. Hasil kajian pemetaan dan interpretasi citra satelit multiwaktu (1981, 1989,
2000, dan 2015) yang diambil pada musim penghujan di tahun yang bersangkutan serta hasil survei lapangan
tahun 2015 yang dilakukan penulis menunjukkan luas efektif Danau Tempe terus menyusut dari waktu ke waktu
(Gambar 1). Penurunan luasannya dalam kurun waktu dua puluh tahun mencapai lebih dari 15 ribu hektar (Tabel
1) dan diperkirakan akan terus menyusut di masa mendatang apabila tidak dilakukan upaya upaya konservasi
danau. Berdasarkan kajian yang dilakukan Pance et al (2014), laju penurunan luasan danau mencapai 1,48 km2
per tahun dan diperkirakan pada musim kemarau tahun 2093 Danau Tempe akan hilang.
Gambar 1. Penyusutan Luas Efektif Danau Tempe (Sumber: Analisis Citra Satelit Balai Pemetaan Tematik
Prasarana Dasar, 2015)

Tabel 1. Penyusutan Luas Efektif Danau Tempe (Sumber: Analisis Citra Satelit, 2015)

NO SATELIT TANGGAL PEREKAMAN LUAS AREA (Ha)

1. LANDSAT 2*) 21 MEI 1981 28213.44

2. LANDSAT 4 1 APRIL 1989 17611.87

3. LANDSAT 7 21 AGUSTUS 2000 15945.13

4. LANDSAT 8 8 SEPTEMBER 2015 8240.76


*) Danau Tempe dan Sidenreng masih menyatu

Penyusutan luas efektif Danau Tempe berdasarkan hasil analisis spasial, survei lapangan dan wawancara
kepada satuan kerja pengelola danau, disebabkan oleh erosi tinggi di daerah hulu yang menyebabkan aliran
sedimen menuju danau yang masif di setiap musim penghujan. Erosi yang tinggi di daerah hulu sungai ini
disebabkan oleh konversi lahan yang luas dari hutan lindung dan kawasan lindung lain menjadi kawasan budidaya
perkebunan lahan kering (seperti palawija, kemiri dan sebagainya). Selain itu, Danau Tempe sejak lama telah
dipenuhi oleh Eceng Gondok dalam jumlah dan sebaran yang luas. Keberadaan Eceng Gondok di Danau Tempe
ini berdasarkan pengamatan citra satelit multiwaktu diketahui telah ada sejak Tahun 1989. Sedimentasi intensif
dan keberadaan eceng gondok ini berperan dalam menyusutkan volume air di Danau Tempe dan berperan merusak
ekosistem dan biota air tawar di Danau Tempe.

Dampak negatif lebih lanjut dari penyusutan luasan Danau Tempe adalah lahan baru yang tercipta dari
penyusutan danau disalahgunakan untuk pertanian lahan kering atau pertanian lahan basah musiman. Kegiatan
pertanian yang dilakukan dengan menggunakan pestisida turut mempercepat penyebaran tanaman eceng gondok.
Selain itu, alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian secara perlahan memicu alih fungsi lebih lanjut menjadi lahan
permukiman dan terlegalisasi dengan adanya sertifikat-sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh pihak desa maupun
BPN. Dengan diakuinya hak atas tanah secara resmi, menjadi semakin sulit untuk menata dan mengkonservasi
kawasan Danau Tempe karena isu sosial menjadi semakin kompleks.
Gambar 2. Sedimen dan Eceng Gondok Danau Tempe (Sumber: Komang Sri Hartini, 2015)

I. LANGKAH PENANGANAN BBWS POMPENGAN JENEBERANG

Terkait dengan permasalahan yang dihadapi Danau Tempe, BBWS Pompengan Jeneberang sebagai
lembaga perwakilan pemerintah pusat dalam pengelolaan danau beserta berbagai stakeholder baik kementerian,
LSM, pemerintah daerah, dan masyarakat yang tinggal di sekitar danau telah berkomitmen bersama untuk
melakukan langkah-langkah pembenahan dan konservasi Danau Tempe secara komprehensif dan koordinatif.
BBWS Pompengan Jeneberang pada Tahun 2015 telah mengalokasikan dana pengerukan daerah hulu dari Daerah
Aliran Sungai Bila Walanae untuk meningkatkan gradien sungai yang diharapkan dapat mengurangi laju
sedimentasi ke arah danau. Selain itu, pada Tahun 2012 telah dibangun Bendung Gerak Tempe (BGT) yang
berfungsi untuk menahan laju sedimentasi dari sungai-sungai yang mensuplai air ke Danau Tempe. Selain itu
bending gerak juga berfungsi untuk intake PDAM Sengkang. Beberapa kegiatan yang telah dialokasikan terfokus
pada pengurangan sedimen yang masuk ke danau, pengurangan dampak banjir, dan pemulihan tampungan serta
luas efektif danau (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Program BBWS Pompengan Jeneberang

Nama Kegiatan Outcome Kegiatan


Pembangunan Bendung Gerak Tempe Mengurangi volume sedimen yang mengalir menuju Danau
Pengerukan Hulu Sungai Bila Meningkatkan gradien sungai Bila untuk mengurangi sedimentasi ke arah
Danau
Pemetaan Kepemilikan Lahan Mengetahui status lahan disekitar Danau untuk program Konservasi daerah
sempadan Danau (bekerja sama dengan Balitbang)

II. UPAYA KONSERVASI KOMPREHENSIF DANAU TEMPE

Berdasarkan uraian pada bahasan sebelumnya, langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang saat ini
masih berpusat pada penanganan sedimen yang masuk ke danau. Langkah penanganan yang relatif terbatas ini
merupakan langkah sebatas yang mampu dilaksanakan oleh BBWS Pompengan Jeneberang sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Sementara itu, permasalahan sedimen tidak hanya cukup diselesaikan dengan menahan dan
mengurangi laju sedimen atau melakukan pengerukan sedimen yang masuk ke danau. Langkah-langkah yang lebih
komprehensif dan sesuai dengan konsep pengelolaan wilayah aliran sungai harus dilaksanakan. Daerah tangkapan
air di hulu DAS misalnya, harus dikonservasi dan dikembalikan fungsinya seperti semula, dan tugas ini bukan
wewenang dari Kementerian PUPR dan BBWS Pompengan Jeneberang. Konservasi daerah hulu akan mampu
mengurangi laju erosi secara lebih efektif daripada menahan dan mengeruknya di hilir (yang membutuhkan biaya
besar).

Upaya lebih komprehensif ini telah dimunculkan antara lain melalui komitmen Gerakan Penyelamatan
Danau Tempe (GERMADAN TEMPE) yang diinisiasi oleh berbagai stakeholders yang bekerja di Danau Tempe
(Pance et al, 2014). GERMADAN sendiri telah memunculkan rencana program dan kegiatan lintas sektor guna
mewujudkan konservasi Danau Tempe yang lebih komprehensif. Namun sejauh dari pengamatan yang dilakukan
oleh penulis pada akhir tahun 2015, hasil kerjanya masih belum nampak. Setiap sektor masih bekerja secara
terpisah dan keterpaduan koordinasi belum muncul. Andaikata permasalahan ini masih terus berlangsung di masa
depan, maka permasalahan Danau Tempe tidak akan benar-benar terselesaikan. Permasalahan Danau Tempe (dan
juga di tempat lain yang memiliki karakteristik serupa) mengindikasikan bahwa pengelolaan ruang dan wilayah
di Indonesia yang tidak berbasis pada kewenangan administratif kedaerahan semakin penting dan strategis.
Indonesia harus mulai mempertimbangkan implementasi konsep pengelolaan wilayah melalui institusi dan
lembaga yang bekerja menggunakan konsep wilayah secara fungsional (tidak hanya berdasarkan homogenitas dan
administratif daerah). Pembentukan badan atau lembaga berbasis wilayah seperti Regional Development Agencies
(Gibbs, 2000) yang sudah diimplementasikan di berbagai negara maju mungkin dapat menjadi solusi bagi
permasalahan kewilayahan di Indonesia.

REFERENSI

Gibbs, D. (2000). Ecological Modernisation, Regional Economic Development and Regional Development
Agencies. Geoforum, 31 (1), 9-19.

Hermawan, F. K., Krisbandono, A., Hakim, M. A., Suriadi, A., Mahida, M., & Hartati, D. M. 2015. Policy Brief:
Pemetaan Sosial Ekonomi Dan Lingkungan: Mendukung Pengembangan Kawasan Dan Konservasi
Ekosistem Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jakarta Selatan: Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan
Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Pance, R., Saraffah, A., Manurung, H., Harahap, T. N., Retnowati, I., Nasution, S. R., & Rustadi, W. C. 2014.
Gerakan Penyelamatan Danau (GERMADAN) Tempe. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.

Surur, F. (2015). Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Perubahan Ekologis Danau Tempe di Desa
Pallimae Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo. Plano Madani, 4 (1), 91-102.

Anda mungkin juga menyukai