Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER

PENGANTAR PENELITIAN DASAR KUALITATIF

The Stanford Prison Experiment:


Sebuah Pelanggaran Etika Penelitian

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2017
Latar Belakang
Etika adalah pedoman untuk membuat keputusan. Dengan menerapkan kode etik, berbagai
lembaga dan organisasi profesional dapat mempertahankan integritas pekerjaan, menentukan
perilaku anggotanya, dan melindungi kesejahteraan anggota. Selain itu, kode etik memberi arahan
profesional saat menghadapi dilema etis, atau situasi yang membingungkan. Contohnya adalah
keputusan seorang peneliti sosial apakah akan sengaja membohongi subjeknya dalam penelitian
atau memberi tahu mereka tentang risiko atau tujuan sebenarnya dari eksperimen yang terkadang
kontroversial namun sangat dibutuhkan. Banyak organisasi, seperti American Sociological
Association dan American Psychological Association, menetapkan prinsip dan pedoman etikanya
sendiri, meskipun pada umumnya mereka memiliki banyak kesamaan.
Seorang peneliti harus tetap memperhatikan tanggung jawab etisnya kepada subjek. Tugas
utama peneliti adalah melindungi kesejahteraan subjek. Misalnya, seorang peneliti yang studinya
memerlukan pertanyaan berkelanjutan tentang informasi pribadi para partisipan harus menguji
apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menekan subjek. Seorang peneliti juga harus
memberi tahu subjek tentang peran mereka dalam penelitian, apa potensi risiko dari berpartisipasi,
dan kebebasan mereka untuk menarik diri kapan saja tanpa konsekuensi dalam penelitian.
Menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian setelah diberitahu akan tujuannya disebut
sebagai informed consent. Setelah penelitian selesai, peneliti harus memberi subjek atau partisipan
hasil lengkap dari penelitian tersebut. Memberikan hasil pada akhir penelitian disebut debriefing.
Ada anggapan bahwa tidak ada eksperimen yang membenarkan penipuan yang disengaja,
atau menyembunyikan tujuan dan prosedur penelitian dari subjek atau partisipan. Penipuan tidak
hanya membawa risiko kepada subjek yang dapat merugikan secara psikologis, namun juga
mengurangi dukungan masyarakat umum untuk penelitian sains pada umumnya. Ada juga
anggapan yang melihat bahwa penipuan bisa digunakan bila pengetahuan sebelumnya tentang
sebuah penelitian akan mempengaruhi respons subjek dan membuat hasilnya tidak valid. Jika
subjek belajar bahwa sebuah penelitian mencari tahu tingkat sikap diskriminatif terhadap ras,
mereka mungkin sengaja mencoba untuk tidak dianggap sebagai orang yang rasis.
Bahkan peneliti yang selalu memerhatikan etika dan kewaspadaan tidak dapat
mengantisipasi setiap risiko yang terkait dengan partisipasi pihak ketiga dalam sebuah penelitian.
Tetapi dengan memilah-milah subjek dengan hati-hati, memberi tahu subjek tentang hak mereka,
memberi mereka informasi sebanyak mungkin sebelum penelitian, menghindari berbagai bentuk
penipuan, dan adanya debriefing setelah penelitian, peneliti setidaknya dapat meminimalkan risiko
yang dapat membahayakan subjek dan penelitian.

1
Tinjauan Pustaka
Standar etika menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penelitian.
Kemajuan ilmiah telah tumbuh secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, dan telah
menciptakan perbedaan antara negara dan wilayah (yang disebut "kemajuan vertikal").
Sebaliknya, etika tidak memiliki batas lintas negara, wilayah atau budaya (apa yang disebut
"kemajuan horizontal"). Dalam ilmu kedokteran, misalnya, World Medical Association (WMA)
menyatakan: "Di kebanyakan negara, ada undang-undang yang menentukan bagaimana dokter
diminta untuk menangani masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Otoritas
perizinan dan praktisi medis dapat menghukum dokter karena pelanggaran etika. Namun, etika
dan hukum tidak identik. Cukup sering etika menetapkan standar perilaku yang lebih tinggi
daripada hukum, dan kadang-kadang etika mengharuskan dokter tidak mematuhi undang-undang
yang menuntut perilaku tidak etis. Selain itu, undang-undang berbeda secara signifikan dari satu
negara ke negara lain, sedangkan etika berlaku di setiap negara dan budaya ".1
Deklarasi Helsinki adalah seperangkat prinsip etika mengenai eksperimen terhadap
manusia yang dikembangkan untuk komunitas kesehatan oleh World Medical Association
(WMA), pertama kali diterapkan tahun 1964. Prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya
termasuk namun tidak terbatas pada: pentingnya pengawas independen yang meninjau rencana
dan jalannya penelitian, pentingnya menjaga keakuratan hasil penelitian, perlindungan terhadap
privasi subjek penelitian dan kerahasiaan informasi pribadi mereka, tata cara mendapatkarn
informed consent dari partisipan, dan semua individu berhak menerima perlindungan khusus.2
Dalam Bryman (2016) diskusi mengenai prinsip-prinsip dasar etika dalam penelitian
telah dijabarkan oleh Diener dan Crandall (1978) ke dalam empat poin utama: (1) apakah
mengandung bahaya bagi partisipan, (2) apakah terdapat kurangnya informed consent, (3)
apakah terjadi pelanggaran privasi subjek, dan (4) apakah penipuan juga terjadi dalam penelitian.
Untuk menjaga iklim kepercayaan dalam praktik dan hasil penelitian sosial, tidak dapat
dipungkiri bahwa sistem etika harus dipelihara oleh semua pihak yang terlibat dalam penelitian.
Kepercayaan masyarakat, kolega profesional, mereka yang mendanai penelitian dan mereka
yang diteliti memerlukan sistem penilaian etika yang efektif, garis tanggung jawab yang jelas
dan tingkat ikhtisar independen yang dapat dikelola (Iphofen, 2011).3

1
The World Medical Association. Medical Ethics Manual. 2nd ed. Available from:
http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_manual_en.pdf
2
The World Medical Association Declaration of Helsinki.
http://www.who.int/bulletin/archives/79%284%29373.pdf
3
Iphofen, Ron. Ethical Decision Making in Qualitative Research. Qualitative Research, vol. 11, no. 4, 2011
2
Pembahasan
Profesor Psikologi dari Stanford University Philip Zimbardo pada tahun 1973 tertarik
untuk mengetahui apakah kebrutalan yang dilaporkan para penjaga di penjara Amerika disebabkan
oleh kepribadian sadis para penjaga (disposisi) atau lebih berkaitan dengan lingkungan penjara
(situasional). Maka dari itu, ia menyelenggarakan sebuah eksperimen yang pada kemudian hari
dinamakan Stanford Prison Experiment. Tujuannya adalah untuk menyelidiki seberapa mudah
orang menyesuaikan diri dengan peran penjaga dan tahanan dalam latihan peran yang
mensimulasikan kehidupan di penjara. Misalnya, tahanan dan penjaga mungkin memiliki
kepribadian yang membuat konflik tak terhindarkan, dengan narapidana mungkin kurang
menghormati hukum serta ketertiban dan penjaga yang bersikap dominan dan agresif. Selain itu,
narapidana dan penjaga mungkin bersikap bermusuhan karena struktur kekuasaan yang kaku dan
lingkungan sosial di penjara. Jika para tahanan dan penjaga berperilaku tidak agresif, ini akan
mendukung hipotesis disposisi, dan jika mereka berperilaku sama seperti yang dikatakan orang di
penjara yang sebenarnya, ini akan mendukung penjelasan situasional.
Untuk mempelajari peran orang dalam situasi penjara, Zimbardo mengubah ruang bawah
tanah gedung psikologi Universitas Stanford menjadi penjara tiruan. Dia mengiklankan meminta
sukarelawan untuk berpartisipasi dalam studi tentang efek psikologis dari kehidupan di penjara.
Lebih dari 70 orang melihat iklan tersebut dan diberi wawancara diagnostik dan tes kepribadian
untuk menghilangkan kandidat dengan masalah psikologis atau riwayat kejahatan atau
penyalahgunaan narkoba. Studi ini terdiri dari 24 mahasiswa laki-laki (dipilih dari 75 relawan)
yang dibayar $15 per hari untuk ambil bagian dalam percobaan tersebut. Peserta secara acak diberi
tugas untuk berperan sebagai tahanan atau penjaga di lingkungan penjara tersebut.
Para tahanan diperlakukan seperti penjahat pada umumnya, yaitu ditangkap di rumah
mereka sendiri tanpa peringatan dan dibawa ke kantor polisi setempat. Mereka diberi sidik jari
dan didokumentasikan. Kemudian mereka ditutup matanya dan dibawa ke Departemen Psikologi
Universitas Stanford, tempat Zimbardo dan penjara simulasinya, dengan dinding yang kosong dan
sel berukuran kecil. Disini proses deindividualisasi dimulai.
Ketika para tahanan tiba di penjara, mereka segara ditelanjangi, diperiksa, semua barang
milik pribadi mereka dipindahkan dan dikurung, dan diberi pakaian penjara dan tempat tidur.
Mereka disuruh memakai seragam, dan disebut hanya dengan nomor ID mereka. Penggunaan
nomor ID adalah cara untuk membuat tahanan merasa anonim. Setiap tahanan dipanggil hanya
dengan nomor identitasnya dan hanya bisa menyebut dirinya dan tahanan lainnya dengan nomor
ID. Pakaian mereka terdiri dari kaus dengan nomor mereka tertulis di belakangnya, tanpa pakaian
dalam. Mereka juga memakai topi untuk menutupi rambut mereka, dan dipakaikan rantai di sekitar
pergelangan kaki.

3
Semua penjaga berpakaian seragam serta sebuah peluit di leher mereka dan sebuah senjata
tongkat dari kantor polisi setempat. Penjaga juga mengenakan kacamata hitam untuk mengaburkan
kontak mata dengan narapidana. Tiga penjaga bekerja bergiliran masing-masing delapan jam.
Penjaga diinstruksikan untuk melakukan apapun yang mereka anggap perlu untuk memelihara
hukum dan ketertiban di penjara. Tidak ada kekerasan fisik yang diizinkan. Sementara Zimbardo
mengamati perilaku para tahanan dan penjaga sebagai peneliti, dan juga bertindak sebagai sipir
penjara.
Selama eksperimen tersebut berlangsung, para partisipan bertingkah layaknya penjaga dan
tahanan sungguhan. Salah satu kasus yang mendapat banyak perhatian adalah perilaku tahanan
#819 yang mengalami gangguan psikologis selama berada di penjara dan bahkan menangis tidak
terkendali, sampai ketika dimana Zimbardo memberitahu nama aslinya (yang digantikan dengan
nomor 819) dan menjelaskan kembali bahwa itu semua adalah sebuah eksperimen, yang secara
tidak terduga ditanggapi dengan baik oleh subjek seolah-olah lupa akan apa yang terjadi pada
dirinya sebelumnya. Akibat maraknya kekerasan fisik dan psikologis di eksperimen tersebut,
Zimbardo mengakhiri studinya pada hari keenam dari yang rencananya 14 hari setelah mendapat
kecaman dari Christina Maslach, Ph.D. Penelitian tersebut membawa banyak bukti bahwa para
peserta bereaksi terhadap situasi dalam penjara seolah-olah itu nyata. Misalnya, 90% percakapan
pribadi para tahanan yang dipantau oleh para peneliti berbicara mengenai kondisi penjara, dan
hanya 10% mengenai kehidupan di luar penjara. Para penjaga juga jarang bertukar informasi
pribadi selama waktu istirahat mereka. Seringkali mereka berbicara tentang 'tahanan yang
bermasalah,' jadwal pengawasan, atau tidak berbicara sama sekali. Para penjaga selalu tepat waktu
dan bahkan bekerja lembur tanpa menerima bayaran tambahan. Ketika para tahanan diperkenalkan
kepada seorang pendeta, mereka merujuk pada diri mereka sendiri menggunakan nomor penjara
mereka (seperti #819), bukan dengan nama asli mereka. Beberapa bahkan meminta pendeta
tersebut untuk memanggil pengacara untuk membantu mereka keluar.4
Perihal etika penelitian, studi ini telah menuai banyak kritik, termasuk kurangnya informed
consent oleh partisipan karena Zimbardo sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi dalam
eksperimen, alias tidak dapat diprediksi. Para subjek tersebut juga tidak pernah menyetujui
penangkapan di rumah masing-masing. Para tahanan tidak diberitahu karena persetujuan akhir
dari polisi tidak diberikan sampai beberapa menit sebelum para peserta memutuskan untuk
berpartisipasi, dan karena para peneliti ingin agar penangkapan tersebut terasa asli. Namun, ini
adalah bentuk pelanggaran etika dari kontrak Zimbardo sendiri yang ditandatangani oleh semua
peserta. Selain itu, peserta yang memainkan peran tahanan tidak terlindungi dari bahaya

4
Ratnesar, Romesh. The Menace Within: The Stanford Prison Experiment. Stanford Magazine,
alumni.stanford.edu/get/page/magazine/article/?article_id=40741.
4
psikologis, mengalami insiden penghinaan dan merasa tertekan. Satu tahanan harus dilepaskan
setelah 36 jam karena jeritan, tangisan dan kemarahan yang tak terkendali.5
Pengabaian terhadap pelaksanaan studi yang etis terutama difokuskan pada aspek fisik
eksperimen tersebut dan dampaknya. Formulir yang ditandatangani partisipan tidak memiliki
deskripsi lengkap tentang kejadian yang dapat terjadi, dan ini menunjukkan bahwa Zimbardo tidak
mengambil waktu untuk meninjau semua kejadian yang dapat terjadi, atau dia tidak mengantisipasi
hal yang akan terjadi. Pelanggaran lainnya adalah meskipun adanya kepastian dalam formulir
bahwa mereka tidak akan dilukai secara fisik, namun kemudian dalam eksperimen tersebut, para
penjaga mulai memukul para tahanan, dan secara fisik dan psikologis menyiksa mereka. Hal ini
menunjukkan bagaimana para subjek dibohongi yang seharusnya mengakhiri percobaan.
Demikian pula, para penjaga tidak terlatih dan menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan
kepada mereka, dan tidak berhenti meskipun melanggar satu-satunya peraturan yang diberikan
kepada mereka, yaitu tidak memukul para tahanan. Para partisipan bukanlah kelompok satu-
satunya yang mendapat pengaruh dari studi ini. Bahkan pada hari keenam dari eksperimen yang
penuh kekerasan, Zimbardo merasa bahwa studinya berjalan dengan baik menunjukkan bahwa
meskipun ia hanya bertindak sebagai pengamat, dampak psikologis dari eksperimen tersebut juga
berdampak pada dirinya.
Dalam pembelaan Zimbardo, tekanan emosional yang dialami para tahanan tidak dapat
diprediksi dari awal. Para peneliti tidak mengantisipasi reaksi ekstrem para tahanan yang harus
diikuti. Sesi debriefing dan sesi tanya jawab secara ekstensif kemudian diadakan, dan semua
peserta mengembalikan kuesioner eksperimental selama beberapa minggu, lalu beberapa bulan
kemudian, kemudian pada interval tahunan. Zimbardo menyimpulkan tidak ada efek negatif yang
bertahan lama. Zimbardo juga berargumen bahwa ada manfaat yang didapat dari penelitian
tersebut tentang pemahaman tentang perilaku manusia. Perlakuan buruk terhadap partisipan dalam
studi ini mengarah pada pembuatan pedoman etika oleh American Psychological Association
(APA). Setiap penelitian psikologi sekarang harus menjalani tinjauan ekstensif oleh Institutional
Review Board (AS) atau Ethics Committee (Inggris) sebelum dijalankan. Pengajian ulang rencana
penelitian diperlukan oleh sebagian besar institusi seperti universitas, rumah sakit, dan instansi
pemerintah. Komite-komite tersebut meninjau apakah potensi manfaat penelitian dapat
dipertanggungjawabkan dibandingkan dengan kemungkinan risiko bahaya fisik atau psikologis.
Komite dapat meminta peneliti membuat perubahan pada rancangan atau prosedur studi, atau
dalam beberapa kasus menolak memberikan persetujuan penelitian sama sekali.6

5
Zimbardo, P.G. (2007). The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil.
6
McLeod, Saul. The Stanford Prison Experiment. Simply Psychology,
www.simplypsychology.org/zimbardo.html.
5
Kesimpulan
Sebagai peneliti, etika penelitian harus diikuti untuk menjaga keabsahan penelitian
tersebut. Hal yang diperlukan untuk menjaga validitas studi antara lain menjaga subjek dari bahaya
dan tidak melakukan tindakan penipuan atau mengelabui subjek. Dengan menerapkan sebuah kode
etik penelitian, beberapa lembaga dan organisasi dapat mempertanggungjawabkan studi yang
dilaksanakan dengan resiko minimal. Etika yang patut diperhatikan adalah consent dari partisipan
sebelum melakukan studi. Dalam prosesnya, consent dibagi menjadi dua: tahap pemberitahuan
partisipan tentang studi yang akan dijalankan untuk mendapatkan persetujuan (informed consent)
dan tahap mengaji ulang hasil riset pada akhir penelitian kepada partisipan (debriefing).
Dalam kasus Stanford Prison Experiment, Zimbardo dan rekan-rekan penelitinya
melanggar proses consent tersebut. Para subjek yang mendapat peran sebagai tahanan tidak
diberitahu bahwa mereka akan ditangkap di rumah masing-masing oleh polisi dan dibawa ke
penjara dengan mata tertutup. Mereka juga tidak diberi tahu akan resiko yang mungkin akan
dihadapi dalam penjara, terutama perlakuan dari para penjaga yang kasar yang diklaim oleh
Zimbardo sebagai sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Meskipun perilaku yang
diperlihatkan selama eksperimen memperlihatkan sifat depresi dan destruktif secara psikologis,
namun proses debriefing yang dilakukan Zombardi pasca eksperimen tidak menunjukkan adanya
gangguan mental dan fisik berkelanjutan dari para partisipan. Studi Stanford Prison Experiment
dilakukan sebelum adanya pedoman kode etik resmi dari American Psychological Association
(APA).
Mengesampingkan masalah etika yang menonjol, kasus ini membuahkan manfaat yang
memberi urgensi pada pentingnya keberadaan pedoman kode etik dan pengajian ulang rencana
penelitian oleh lembaga-lembaga dan komite independen. Penguatan etika penelitian sangat
penting guna mencegah perlakuan yang tidak diinginkan terhadap para partisipan, meskipun
studinya berpotensi menghasilkan manfaat yang baik bagi masyarakat.

6
Daftar Pustaka

Bryman, Alan. Ethics and Politics in Social Research. Social Research Methods, 4th ed.,
Oxford University Press, 2016.
Iphofen, Ron. Ethical Decision Making in Qualitative Research. Qualitative Research, vol. 11,
no. 4, 2011, pp. 443446., doi:10.1177/1468794111404330.
McLeod, Saul. The Stanford Prison Experiment. Simply Psychology,
www.simplypsychology.org/zimbardo.html.
Ratnesar, Romesh. The Menace Within: The Stanford Prison Experiment. Stanford Magazine,
alumni.stanford.edu/get/page/magazine/article/?article_id=40741.
Stanford Prison Experiment, www.prisonexp.org/.
The Stanford Prison Experiment. The BBC Prison Study, www.bbcprisonstudy.org/bbc-prison-
study.php?p=17.
The World Medical Association Declaration of Helsinki.
http://www.who.int/bulletin/archives/79%284%29373.pdf
The World Medical Association. Medical Ethics Manual. 2nd ed. Available from:
http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_manual_en.pdf
Zimbardo, P.G. (2007). The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil.
https://archive.org/stream/TheLuciferEffectUnderstandingHowGoodPeopleTurnEvilISB
N9781400064113/The%20Lucifer%20Effect%20-
%20Understanding%20How%20Good%20People%20Turn%20Evil%20%28ISBN-978-
1-4000-6411-3%29_djvu.txt

Anda mungkin juga menyukai