Anda di halaman 1dari 17

(Sumber 1: http://kevinrusli48.blogspot.co.id/2012/11/1_4.

html )

Tantangan dan Peluang CSR di Indonesia

1. Tantangan dan Peluang CSR di Indonesia

Tantangan 1: pemahaman tentang CSR yang masih beragam. Sebagian besar perusahaan dan

pemangku kepentingan di Indonesia belum memiliki pemahaman atas CSR yang sesuai dengan

definisi CSR arus utama atau sebagaimana yang dipahami di level global.

Tantangan 2: transisi menuju CSR yang strategik. Para manajer dan direktur CSR di Indonesia

menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa CSR bukanlah sekadar biaya, melainkan adalah

investasi yang menguntungkan pemangku kepentingan dan perusahaan.

Tantangan 3: kepentingan politisi atas dana CSR mengakibatkan banyak regulasi tentang CSR

tidak ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, melainkan untuk kepentingan diri

dan golongannya.

Tantangan 4: terlampau sedikit jumlah kelompok masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki

ideologi, pengetahuan dan keterampilan untuk membantu perusahaan. Kebanyakan LSM enggan

berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk bersikap anti, serta menerapkan cara-cara kuno

untuk berinteraksi: demonstrasi.

Tantangan 5: kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai

donasi memiliki ekspektasi yang sangat tinggi atas dana CSR perusahaan, terutama di tempat-

tempat di mana pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau mereka.

Tantangan 6: CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra. Banyak

perusahaan yang menonjolkan aktivitas social tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial

dalam manajemen dampak.


Tantangan 7: sebagian besar media massa belum memiliki pemahaman yang benar atas CSR. Di

satu sisi mau tampil kritis terhadap perusahaan, di sisi lain mengharapkan perusahaan mengiklankan

CSR mereka, tanpa peduli apakah kandungan informasinya benar dan berimbang.

(SUMBER 2: http://sustainabledevelopmentinstitute.blogspot.co.id/2010/08/implementasi-corporate-

sosial.html

IMPLEMENTASI CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITIES (CSR)

IMPLEMENTASI CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITIES (CSR)

DALAM ERA MODERNISASI DAN GLOBALISASI

Anis Ulfiyatin, S.Sos

Abstrak:

Globalisasi yang melanda dunia pada saat sekarang ini pada dasarnya merupakan suatu
pertumbuhan aktivitas manusia dari lingkup kecil menuju kearah lingkup yang lebih besar yang
dirasa dalam lingkup kecil sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidupnya dan berusaha
mencapai kemuniti lain, wilayah lain. Dunia pada masa sekarang sedang dalam proses
menyatu, mulai munculnya usaha-usaha yang secara cepat mengarah ke globalisasi dalam
berbagai bidang. Khususnya dibidang ekonomi, dan ini mendorong munculnya persaingan antar
bangsa dan Negara. Banyak korporasi raksasa dari luar selanjutnya dikenal dengan multi-
national corporations yang menguasai sistem perekonomian dunia dan sekaligus mengkerdilkan
Negara-negara lain yang lebih lemah, termasuk di Indonesia. Kegagalan pembangunan yang ada
menunjukkan kegagalan pula dari paradigma teori modernisasi yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya disalahgunakan oleh kekuasaan demi kepentingannya.
Muncul alternative paradigma pembangunan yang lain, yaitu paradigma pembangunan
berkelanjutan dengan CSR sebagaitag-line nya, yang berupaya untuk secara bersama-sama
mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tidak mengesampingkan MNC yang ada,
tetapi juga memperjhatikan kebutuhan untuk keberlanjutan baik dibidang lingkungan, ekonomi,
dan peningkatan kesejahteraan sosial manusia.

Kata kunci: Globalisasi ekonomi, CSR.


1. Pendahuluan

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR)
yang dikemukakan H. R. Bowen (1953), muncul sebagai akibat karakter perusahaan yang
mencari keuntungan tanpa memerdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat, dan lingkungan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan 20 Juli 2007
menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Di Indonesia, praktik CSR belum menjadi
perilaku umum, karena banyak perusahaan yang menganggap sebagai cost center. Namun, di era
informasi dan teknologi serta desakan globalisasi, tuntutan menjalankan CSR semakin besar.
Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance (GCG),
yakni fairness, transparan, akuntabilitas, dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap
lingkungan fisik dan sosial, yang mestinya didorong melalui pendekatan etika pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, di dalam praktik, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan
perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama tiga pilar
yakni dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat, dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh
perusahaan. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitabilitymelainkan
lebih dari itu, sustainability. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari etika
bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal
kepada shareholder tapi juga kewajiban terhadapstakeholder. Kemitraan antara korporasi
danstakeholder menjadi keharusan dalam lingkungan bisnis. Dengan demikian, bisnis akan
mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan membangun kemitraan bersama perusahaan,
pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menyatakan bahwa pasar dapat membantu masyarakat
terhadap kesinambungan hidup mereka.

Program kemitraan yang sukses dimulai dari komitmen yang kuat dari pimpinan
perusahaan untuk mengubah paradigmaa konvensional (self-interest) ke paradigmaa
baru (enlightened common interests). Reward yang diperoleh perusahaan dari pola kemitraan ini
antara lain (i) program lebih tepat sasaran dan terorganisasi, (ii) merek produk perusahaan
semakin diapresiasi oleh pelanggan terutama dalam membentuk loyalitas, (iii) dan pada
akhirnya, perusahaan akan mendapatkan reputasi yang diharapkan. Peran pemerintah sebagai
penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim.

Bisnis yang kondusif sangat menentukan keberlanjutan hidup perusahaan. Pemerintah


jugadituntut melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong
penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan
distribusi resources yang mengindahkanequity. Masyarakat juga berperan sebagai penghubung
antara pemerintah dan perusahaan.Masyarakat diharapkan aktif dan mengoreksi dampak
pembangunan, menyampaikan aspirasipublik dan dinamisator keberdayaan publik. Upaya
perusahaan menerapkan CSR memerlukan sinergi dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah
sebagai regulator diharapkan dapat menumbuhkembangkan CSR tanpa membebani perusahaan.
Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan
kelancaran dalam berusaha.

Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalahcommunity development dengan programnya


yangdidedikasikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah pekerjaan,
peningkatanpendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta
tersedianya basicinfrastruktur yang memadai. Di dalam keterbatasan sumber daya, sering kali
pemerintah mengalami kebuntuan mencari solusi terhadap masalah masyarakat, antara lain
kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, anak jalanan,
dan masalah sosial lainnya. Meskipun tanggung jawab utama berada pada pemerintah, namun hal
ini juga tanggung jawab semua pihak sebagai anggota masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan
adalah memetakan masalah dan kebutuhan masyarakat secara komprehensif berikut solusinya.

Beberapa projek strategis yang tanggung jawab utamanya berada pada pemerintah, tentu
dapat dibiayai oleh APBD, selebihnya bisa melibatkan dunia usaha dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) untuk bersama-sama mengatasi secara tuntas. Pemerintah dapat mengambil
peran penting di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan,
pengangguran, pendidikan, anak jalanan, dan masalah sosial lainnya, pemerintah harus berperan
sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR dengan menetapkan bidang penanganan
yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yangkompeten. Pemerintah dan perusahaan dituntut
membuat mekanisme komunikasi dengan banyak pihak dan memperhatikan kepentingan
mereka.Setelah itu, pemerintah dapat memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan
padakalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya ini. Pemerintah juga dapat mengawasi
proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi
yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Melalui
peran pemerintah, perusahaan diharapkan lebih bertanggung jawab memberikan kontribusi yang
bermakna bagi kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, serta dasar-dasar pendidikan
sosial dan lingkungan.
Corporate sosial responsibility atau CSR ini telah menjadi cerita menarik untuk
diperagakan oleh banyak pihak. Sebagian dari perusahaan besar di Indonesia malah telah
memperopagandakan kepatuhan mereka terhadap implementasi CSR. Dan banyak sekali seminar
dan training tentangcorporate sosial responsibility diselenggarakan oleh masyarakat korporasi
Indonesia. CSR adalah sebuah gaung dari negara-negara besar ekonomi dunia, seperti Eropa dan
Amerika Serikat. Dan seperti biasanya, gaung tersebut langsung akan membuat semua
masyarakat korporasi Indonesia menjadi terpesona dengan seribu kekagumannya. Walaupun
semua ini seperti sebuah musim saja, begitu trend CSR redup, maka semua orang akan
melupakannya. CSR adalah sebuah niat baik yang perlu segera kita berikan respon positif.
2. Globalisasi Perusahaan-perusahaan Multinasional (MNC)

Pada dasarnya semua proses pengintergrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global
(globalisasi) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan multinasional
karena pada dasarnya merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dua
dasawarsa menjelang berakhirnya abad millennium, perusahaan-perusahaan multinasional
berskala raksasa tersebut (TNCs dan MNCs) meningkat jumlahnya secara pesa. Selain
jumlahnya meningkat, MNC juga dapat menguasasi perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi
MNC yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan.

Merekalah yang paling berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem produksi,


investasi dan pasar yang mengatur mekanisme dari semua sistem produksi dan pasar tersebut
ditentukan oleh WTO. Hal ini berarti bahwa segala yang melalui proses dan mekanisme
globalisasi juga merupakan perebutan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan Negara-negara kepada
MNC.

Dari penjelasan di atas, sebenarnya telah dapat dikonstruksi suatu konsep, mekanisme,
maupun anatomi dari globalisasi. Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional
ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses
tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah MNC, yakni perusahaan multinasional yang
besar yang dengan dukungan Negara-negara yang diuntungkan oleh MNC tersebut membentuk
dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang sekaligus menjadi aktor
kedua. Ketiga, adalah lembaga keuangan global seperti IMF, dan Bank Dunia. Kewenangan lain
yang mereka miliki adalah mampu mendesak dan mempengaruhi serta memaksa Negara-negara
melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi
nasional ke dalam ekonomi global.

Sistem kerja demikian tersebut sebenarnya dilandaskan pada suatu ideology yang dikenal
dengan neo-liberalisme. Dimana para penganut neo liberalism ini percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Kompetisi yang agresif adalah
akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara yang efisien dan tepat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.

Dalam proses selanjutnya, persoalan yang muncul kemudian adalah adanya perebutan
sumber daya alam, yang merupakan faktor ekonomi yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan
menjadi ancaman global jika saja pada akhirnya habis. Semakin diperparah dengan tingkah laku
yang dilakukan oleh para perusahaan raksasa tersebut, yaitu dilakukannya proses ekonomi dan
industrialisasi dengan tidak memperhatikan pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam
yang telah dirusaknya. Para perusahaan tersebut cenderung abai atas dampak yang mereka
lakukan terhadap lingkungan, dan celakanya akibat dari kebijakan sistem produksi global
tersebut, yang menjadi korban dari dampak kelalaian atas lingkungan dari proses produksi
tersebut, tidak hanya Negara mereka sendiri. Tetapi juga Negara lain, dan inilah yang paling
banyak terjadi sebagaimana yang saat ini telah banyak terjadi di Indonesia.

Dimana banyak perusahaan multi nasional dari luar negeri yang melancarkan penetrasi
pasar dan melakukan investasi modal serta menjalankan proses produksi dan industrialisasi
mereka di Negara lain, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Tidak terhitung lagi
berapa banyak jenis perusahaan multi nasional dan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi
di Indonesia, dan sekaligus melakukan pengerukan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh
Indonesia ini. Mulai dari sumber daya bahan bakar fosil, tambang, emas, dan lain sebagainya.
Dan sudah tak terhitung pula berapa banyak kasus kerusakan dan bencana alam yang diakibatkan
oleh perusahaan-perusahaan tersebut di Negara kita ini, dan lagi-lagi tentu saja warga Negara
Indonesia sendiri yang harus menanggung semua itu, belum dengan kerusakan alam yang
diakibatkan oleh kesemua proses produksi tersebut.

Masih segar dalam ingatan kita tentang bencana lumpur di daerah Porong Sidoarjo,
berapa banyak orang yang dirugikan dari bencana tersebut. Yang diakibatkan oleh lalainya
perusahaan raksasa yang ada dalam mengambil dan menguras kekayaan alam kita. Sebelumnya,
ada juga bencana habisnya gunung-gunung dan hilangnya kelestarian alam yang tidak akan dapat
kembali selama bertahun-tahun kedepan akibat fatalnya kerusakan yang ditimbulkan oleh proses
produksi dari perusahaan multi nasional tersebut, yaitu pada lokasi penambangan yang ada di
Papua (PT. Freeport). Begitu juga dengan yang terjadi di wilayah Bojonegoro, konflik antara
Negara pasar dan perusahaan yang berkepanjangan akibat tidak adilnya perilaku yang dilakukan
oleh pihak Exxon Mobil kepada warga sekitar lokasi pengeboran minyak bumi tersebut,
terdengar cukup akrab di telinga kita memang. Tragisnya, kesemuanya ada di depan mata kita
sendiri, dan di dalam Negara kita sendiri pula. Tetapi selama ini Negara cenderung menjadi
penonton saja, tidak ada tindakan tegas dari adanya bencana dan dampak sosial dan alam yang
diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.

Proses pembangunan yang dikejar hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, dan
selama semuanya menguntungkan beberapa orang, maka tidak aka nada tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah. Tanggung jawab perusahaan hanya sampai pada dipatuhinya kesepakatan yang
dibuat sebelumnya, tanpa ada pengontrolan dan pengendalian yang dilakukan selama proses
ekspolitasi dan proses produksi tersebut berlangsung. Negara cenderung pasrah dan tidak
memiliki kewenangan sama sekali, karena logika berpikir mereka mengatakan, kesemuanya
merupakan konsekuensi nyata dari adanya sistem global ini sendiri.
3. Kedaulatan dalam Tekanan Globalisasi

Secara umum, konsep tentang kedaulatan ini dibagi menjadi dua, yaitu kedaulatan dalam
arti positif dan kedaulatan yang negative. Kedaulatan dalam arti yang negative adalah hak dasar
dari sebuah Negara untuk meminta aktor international lain untuk tidak melakukan intervensi
terhadap Negara tersebut. Baik intervensi dalam bidang ekonomi, politik, maupun militer dan
lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan positif adalah kemampuan dari sebuah
Negara untuk melakukan control efektif dalam wilayah negaranya. Dalam kedaulatan positif
sebuah Negara melakukan kewajibannya yang bersifat otoritatif ke dalam setiap aspek kehidupan
dari masyarkatnya dan wilayah yurisdiksinya. Negara dalam hal ini melakukan pemerintahan
yang stabil, melakukan perlindungan terhadap warga negaranya dan setiap jengkal
wilayahnya. Hal ini sekaligus menjasi syarat dari eksistensi sebuah Negara.

Sedangkan globalisasi di sisi yang lain sering diartikan secara berbeda-beda oleh banyak
pihak, dimana pada intinya kesemuanya memperlihatkan suatu proses pengintegrasian seluruh
belahan dunia kedalam sebuah sistem ekonomi yang berwujud global market economy, sistem
politik yang berwujud cosmopolitan democracy, sistem budaya yang seringkali dikejawantahkan
dalam perwujudannya dengan budaya pop atau pop culture, serta sistem sosial yang berwujud
adanya open civil society.

Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa terdapat empat cirri dasar dari konsep globalisasi
ini, yaitu :
a) Meluasnya hubungan sosial (stretched sosial relations): hal ini mengacu pada munculnya
saling keterhubungan antara jaringan sosial-budaya, ekonomi dan politik di masyarakat
yang melintasi batas Negara-bangsa;
b) Meningkatnya intensitas komunikasi(intensification of flaws): berkaitan dnegan makin
meningkatnya intensitas hubungan antar aktor dengan munculnya perkembangan ilmu
dan teknologi;
c) Meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration): interpenetrasi yang terjadi di
hampir segala bidang mengakibatkan budaya dan masyarakat yang berada pada wilayah
berbeda akan saling berhadapan pada level local dan international.
d) Munculnya infrastruktur global (global infrastucture): pengaturan institusional yang
bersifat formal dan informal yang diperlukan agar jaringan global bekerja.

Globalisasi memberikan dinamika yang penting bagi kedaulatan sebagai sebuah konsep
maupun dalam aplikasinya di politik global. Terbukanya akses komunikasi beserta kecepatannya,
perpindahan melalui alat transportasi, munculnya jaringan-jaringan sosial, ekonomi-politik baru
yang melintasi batas Negara mengurangi makna dan kapasitas Negara sebagai pemegang ototitas
penuh. Dan beberapa tantangan yang muncul dari era globalisasi ini antara lain sebagai berikut :
a) Kekuatan pasar global. Kekuatan pasar global sangat mudah melakukan penetrasi
terhadap suatu Negara dan memberikan efek besar bagi ekonomi nasional Negara
tersebut. Kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dunia atau MNC
misalnya, merupakan ancaman tersendiri bagi Negara-negara kecil lainnya. Pasar
global dikuasai dan dalam genggaman mereka semua. Dan kesemua isu tersebut akan
mempengaruhi Negara manapun dengan mudah dan memberikan dampak yang besar
bagi otoritas pemerintahan Negara tersebut.
b) Perkembangan norma internasional seperti hak asasi manusia dan hokum kemanusiaan.
Dasar dari hak asasi manusia bersifat universal dan menempatkan manusia sebagai
aktor yang universal dan mempunyai hak-hak yang harus dilindungi oleh semua aktor
international, termasuk Negara. Akan tetapi keterlibatan aktor internasional lainnya
dalam mengaplikasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia memberikan
tantangan besar terhadap prinsip non-intervensi yang melekat dalam konsep
kedaulatan sebagaimana yang dijelaskan di atas.
c) Kontrol terhadap ketertiban dan keamanan. Negara tidak lagi mempunyai control
mutlak terhadap keamanan Negara dan warga negaranya. Di Negara maju warga
Negara mempunyai pilihan untuk masalah keamanan pribadi mereka, selain dari pada
yang disediakan Negara. Dalam kasus yang lain, di negara-negara lemah dan sedang
berkembang, Negara sulit untuk bisa mempunyai otoritas keamanan mutlah terhadap
semua teritorinya.

Tantangan tersebut memunculkan pertanyaan yang menyangsikan efektifitas dan otoritas


Negara. Apabila Negara memiliki otoritas dan control penuh dalam wilayah negaranya, mengapa
kemudian Negara menjadi lemah ketika dihadapkan dengan tantangan di atas. Terdapat dua
ekstrem dalam melihat dampak globalisasi terhadap kedaulatan ini.

Pada ekstrem kanan, terdapat golongan yang menyatakan peran dan otoritas Negara yang
berkurang dengan berbagai istilah seperti the diminished nation-state, the decline of nation-
state,atau bahkan matinya Negara. Pada intinya mereka menyatakan Negara tidak dapat
mempunyai otoritas penuh lagi dalam wilayah otoritasnya. Lebih jauh, dinyatakan bahwa
dalam global societyNegara tidak akan punya peran signifikan lagi.

Sedangkan pada ekstrem kiri, adalah golongan tradisionalis yang melihat masalah-
masalah tersebut hanya dibesar-besarkan, bahwa Negara menghadapi permasalahan itu benar.
Akan tetapi masalah-masalah baru tersebut tetap tidak mengancam kedaulatan Negara. Negara
dengan otoritas penuhnya dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul. Negara masih
merupakan aktor terkuat dalam panggung global ini.

Hanya saja, ketika kita mencoba untuk memposisikan diri di tengah-tengah ekstrimis di
atas, dalam hubungannya dengan proses modernisasi dan globalisasi saat ini, seringkali batasan
fisik antar wilayah Negara menjadi tidak lagi berarti. Tidak adanya sekat antara Negara yang
satu dengan Negara lain menjadikan permasalahan kedaulatan ini cenderung bermuara pada
bentuknya untuk mempertahankan posisi dan eksistensi negaranya dengan cara tidak menutup
diri dari pergaulan dan percaturan dunia, tetapi juga harus membedakan serta menyeimbangkan
antara kepentingan perkembangan ekonomi dalam negeri dan kepentingan Negara lain.
4. Tuntutan Ekolog Politik agar Perusahaan Lebih Bertanggung Jawab
Pernyataan One person profits may be anothers toxic dump merupakan pernyataan
keprihatinan yang banyak digunakan oleh ekolog politik. Pernyataan itu mengacu pada
terciptanya hubungan asimetris antara masyarakat dengan negara dan swasta dalam mengelola
sumberdaya alam. Pernyataan tersebut mengacu pada keterpinggirkan (marginality) dan
kerentanan (vulnerability) atas ketidakberdayaan masyarakat akar rumput mengelola sumberdaya
alam ketimbang elit-elit masyarakat lokal yang bekerja sama dengan negara dan perusahaan.
Apabila sebuah daerah memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, tampaknya masyarakat
mempunyai kecenderungan untuk sulit mendapatkan akses pengelolaan potensi tersebut. Besar
kemungkinan apabila potensi yang ada hanya menjadi komoditas ekonomi politik elit-elit negara
dan perusahaan. Kemudian, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat akan berujung pada
konflik ekologi sebagai ekspresi kekecewaan. Begitu juga dengan ancaman bencana alam, yang
sangat mungkin terjadi akibat lemahnya manajemen pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat
akar rumput merupakan elemen sosial yang sangat riskan menjadi korban bencana alam.
Berbagai deekologi yang kini terjadi di berbagai belahan Bumi, masyarakat akar rumputlah yang
paling pertama dan paling lama merasakan bencana tersebut.

Tekanan hebat yang memaksa eksploitasi sumberdaya alam berlebih bagi penggerakan
roda kapitalisme menjadi penyebab utama terciptanya kerentanan bagi masyarakat akar rumput.
Dengan memahami dehumanisasi dan deekologi yang kerap terjadi akibat sistem industrialisasi
tidak ramah lingkungan dewasa ini, maka tidak mengherankan apabila ekolog politik sering kali
memberikan kritik atas kinerja sosial lingkungan perusahaan. Kata kunci keterpinggiran dan
kerentanan yang hinggap pada masyarakat lokal merupakan representasi fakta kekuasaan
asimetris. Birokrasi negara-negara Selatan masih menunjukan kebijakan tidak berimbang
terhadap masyarakat akar rumput ketimbang kebijakan ekonomi politik bagi entitas perusahaan,
struktur pemerintahan, dan elit-elit masyarakat sendiri. Bahkan pada beberapa kasus, negara-
negara tertentu tengah mengalami fase weak-state dan menjelang collapse-state. Menyadari
fenomenaquasi-state (menyerupai negara) yang kini menghinggapi perusahaan multinasional di
satu sisi dan weak-state di sisi lain, maka atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat luas
mulai digagas bentuk gerakan sosial yang beradaptasi dengan arus politik sedemikian rupa.
Apabila dalam gagasan awal kelompok Marxis mendambakan masyarakat tanpa kelas,
perkembangan pasca-PD II gerakan tersebut mulai menyesuaikan diri terhadap gigantisme
perusahaan.
Kiri Baru (new left) merupakan arus gerakan sosial yang mendorong entitas negara dan
perusahaan untuk berfikir ulang mengenai studi dan implementasi kebijakan dalam memainkan
peranannnya. Dalam sejarah gerakan sosial modern, Kiri Baru memaksa Negara dan perusahaan
untuk meninjau kembali aspek-aspek humanisme dan ekologisme yang terbengkalai. Isu
lingkungan hidup, isu humanisme dalam lingkup kelompok pekerja, isu feminisme dan
penghargaan terhadap anak merupakan sebagian aspek sosial lingkungan yang menjadi tenaga
pendorong untuk menilai kinerja negara dan terlebih lagi kebertanggungjawaban entitas bisnis.
Bila pemikiran neoliberal semakin mendambakan masyarakat industri tanpa kontrol Negara
daninvisible hands sebagai dampak positif keberadaan perusahaan, maka Kiri Baru
melunakkan pemikirannya. Kelompok ini menerima fakta hegemoni perusahaan namun
dengan berbagai catatan. Belakangan kelompok ini menjelma menjadi ntitas yang berfungsi
layaknya pengawas bagi jejak kinerja negara dan perusahaan. Fungsiwatchdog dengan berbagai
pernyataan seputar kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dan fungsi konsultatif dengan
berbagal rekomendasi mutakhir merupakan dua fungsi yang menjadikan masyarakat sipil sebagai
pilar sosial yang patut diperhitungkan.

Tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan inilah yang kini
menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan. Gagasan aktivis untuk menerima kenyataan bahwa
perusahaan menjelma menjadi penguasa aktivitas kehidupan masyarakat ini diiringi dengan
tuntutan atas tanggung jawab perusahaan. Dewasa ini tanggung jawab tersebut dikenal dengan
CSR. Pada akhirnya, tuntutan atas tanggung jawab perusahaan tidak hanya semata-mata pada

penanganan isu sosial secara aksidental seperti yang kini dimaknai luas oleh masyarakat.
Hakikat CSR yang kini menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan adalah tanggung jawab
perusahaan sepanjang kegiatannya. Tidak hanya saat operasional perusahaan, tapi dalam rentang
waktu semenjak persiapan, pra-konstruksi, konstruksi, operasional dan produksi hingga masa
akhir dan menutup operasional perusahaan. Tidak hanya bersifat sumbangan sosial semata dan
bersifat aksidental, tapi tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pihak yang terpengaruh
dengan kegiatan perusahaan shareholder, masyarakat, konsumen, masyarakat seputar tapak
pabrik, perangkat pemerintah, dan lingkungan hidup.

Ekologi politik telah menuntun para pemangku kepentingan untuk menuntut tanggung
jawab yang menyeluruh perusahaan atas jejak kegiatannya. Tuntutan itu hendaknya membuat
CSR dimaknai secara substansial dan komprehensif. Tidak seperti kebanyakan pemaknaan CSR
saat ini, yang dangkal dan kosmetikal.
5. Konsep Hubungan Negara, Perusahaan dan Masyarakat: Negara, Perusahaan sebagai
Bagian dari Masyarakat (Community)

Konsep tentang hubungan antara perusahaan, masyarakat, dan Negara dalam proses
globalisasi yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, menjadi isu strategis dan cenderung rentan
terhadap konflik antar ketiganya. Karena pada dasarnya, mereka semua adalah para pelaku utama
dalam sistem dan proses yang ada dan sedang berlangsung. Dalam istilah yang lain, aktor-aktor
yang dimaksud disini seringkali disebut juga dengan menggunakan konsep stakeholder.

Sering didengar bahwa stakeholder akan mengacu pada bentuk-bentuk kelompok sosial
manapun di masyarakat, sehingga kadang tidak dapat dibedakan pula mana yang individu
bergerak bebas sebagai anggota masyarakat atau sebagaistakeholder yang mempunyai hubungan
dengan perusahaan. Secara definisi sendiri, stakeholder ini mempunyai pengertian sebagai
bagian anggota komuniti, atau kelompok individu, masyarakat yang berasal dari wilayah
perusahaan atau perusahaan tersebut berdiri, wilayah Negara dan bisa juga Negara lain (global)
yang mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan. Dan kelompok tersebut juga
memiliki kepentingan antara satu dengan lainnya. Atau dengan kata lain adalah pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan.

Sehingga jika mengacu kepada pengertian aslinya, stakeholder berarti seorang atau
organisasi yang mempunyai bagian dan kepentingan pada bentuk perusahaan. dan biasanya
mereka memiliki tiga ciri atribut sebagai stakeholder, yaitu dimilikinya kekuasaan, legitimasi,
dan kepentingan. Dan dari kesemua aktor yang ada, dalam era global seperti sekarang ini yang
sebenarnya mempunyai peluang paling besar untuk mengambil semua keuntungan dari
kesempatan yang ada adalah perusahaan atau pasar. Selain sebagai pihak yang memiliki
kepentingan, legitimasi, dan kekuasaan, juga sekaligus sebagai pihak yang paling pantas
menyandang konsekuensi dari semua proses produksi yang dilakukannya. Selain itu, majunya
pendidikan warga Negara di era globalisasi ini juga secara tidak langsung memberikan kontribusi
dari adanya kekuatan dan keberanian yang dimiliki warga untuk menuntut hak mereka, tidak
hanya warga dalam Negara tersebut. Bahkan bukan sesuatu yang tidak mungkin tuntutan atas
kewajiban kepada masyarakat dan lingkungan ini juga datang dari masyarakat internasional dan
dunia sebagai konsekuensi dari proses globalisasi ini.
Tetapi bagaimanapun juga, upaya perusahaan sendiri dalam meningkatkan perannnya
tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan
tersebut membutuhkan sinergi dari multi pihak yang solid, baik dari pemerintah sendiri maupun
dari komunitas atau masyarakat yang ada. Atau dengan kata lain, harus ada pola kemitraan antara
ketiganya untuk saling bersepakat dalam bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban
melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama pula menanggung resiko maupun keuntungan dan
secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama tersebut.

Ada tiga prinsip penting dalam membentuk kemitraan tersebut, diantaranya adalah
sebagai berikut :
a) Kesetaraan dan keseimbangan (equity)
Pendekatan yang ada bukan top down ataubottom up, bukan pula berdasar pada
kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan
saling percaya.
b) Transparansi
Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja.
c) Saling menguntungkan
Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Adapun konsep kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan dunia usaha atau
perusahaan sendiri seharusnya adalah hubungan kemitraan yang sebenarnya dapat
dideskripsikan, antara lain : pertama, dunia usaha atau perusahaan merupakan mitra pemerintah
untuk mengelola sumber daya yang hampir tidak mungkin jika semuanya harus dikelola oleh
pemerintah sendiri. Kedua, dunia usaha membantu pemerintah dalam memutar roda
perekonomian dan menggerakkan pembangunan. Dengan adanya aktifitas ini, maka terciptalah
lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Ketiga, dunia usaha memberikan
penghasilan kepada pemerintah antara lain dalam bentuk pajak dan retribusi. Agar terjalin suatu
kemitraan yang saling menguntungkan, pemerintah seyogyanya memikirkan optimalisasi
perannya dalam mendukung program tersebut.

Sedangkan konsep kemitraan antara masyarakat dan dunia usaha sendiri, seharusnya
terjalin kerjasama yang sama kuatnya juga antara keduanya. Peran masyarakat terutama
komunitas local sangat menentukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan
kelancaran dalam berusaha. Jika masyarakat local yang ada merasa diajak dan dirangkul dalam
keseluruhan proses yang dilakukan oleh perusahaan yang ada, maka sebenarnya akan sangat
menguntungkan bagi perusahaan sendiri nantinya. Yaitu dengan dimilikinya jaminan sosial
(sosial security). Begitu juga dengan masyarakat, dan kesemuanya akan memberikan mutual
benefit diantara kedua belah pihak. Hubungan timbal balik inilah yang akan menumbuhkan rasa
memiliki bagi warga di sekitar perusahaan tersebut bearda. Secara tidak langsung, perusahaan
juga akan mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang ada (licence to operate). Dan
bentuk hubungan kemitraan yang mutualisme dan saling menguntungkan inilah yang selanjutnya
menjadi bidang garapan dalam program CSR.

Tidak dapat dipungkiri lagi dengan dunia yang semakin mengglobal ini, apapun yang
terjadi di belahan dunia tertentu akan mempengaruhi belahan dunia lainnya. Dengan dunia global
ini, masyarakat di dunia yang semula terpecah-pecah dalam klasifikasi Negara, agama, suku
bangsa dan lainnya, seakan-akan telah menjadi masyarakat dunia yang satu. Globalisasi tidak
hanya mempunyai dimensi ekonomi namun ia juga mempunyai dimensi politik, teknologi, dan
budaya. Sehingga dengan cara pandang ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai bagian luar
dari masyarakat, tetapi ia bagian dari masyarakat itu sendiri.

Berkaitan dengan masyarakat luas dimana perusahaan merupakan bagian dari mereka,
perusahaan atau perusahaan dapat dipandang sebagai suatu komuniti yang akan selalu
mempunyai hubungan sosial dengan komuniti yang lain, dimana akan terdapat juga stereotype
terhadap komuniti-komuniti lain. Dalam paradigmaa ini kepedulian pihak perusahaan akan selalu
dipertanyakan sebab ia telah menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas, dimana apapun
yang terjadi di dalam masyarakat akan juga mempengaruhi pihak perusahaan sendiri. Demikian
sebaliknya. Pihak perusahaan tidak dapat lagi kemudian memanfaatkan sepenuhnya akses-akses
kuasa para penguasa untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya.

Situasi di atas pada akhirnya membuat pihak perusahaan memikirkan kembali strategi
bisnisnya. Mereka dituntut untuk lebih peduli terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat
umum, lebih bertanggung jawab, lebih memperhatikan kepentingan jangka panjang daripada
kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan sepihak, dan terutama adalah kepedulian
mereka akan asas keberlanjutan dan partisipasi yang selama ini tidak menjadi perhatian mereka
sepenuhnya.
6. Lingkup Penerapan CSR yang Baik
Sebagaimana definisinya yang tidak tunggal, beragam pendapat terkait dengan lingkup
penerapannya juga telah dilontarkan.misalnya saja lingkup penerapan CSR gagasan prince of
wales international business forum yang mengusung lima pilar. Pertama, upaya perusahaan
untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal (masyarakat).
Caranya adalah dengan melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan kepada
mereka, istilahnya building human capital. Kedua, memberdayakan ekonomi komunitas,
istilahnyastrengthening economies. Ketiga, menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar
tidak terjadi konflik, istilahnya assessing sosial cohesion. Keempat, mengimplementasikan tata
kelola yang baik, istilahnya encouraging good corporate governance. Kelima, memperhatikan
kelestarian lingkungan, istilahnya protecting the environment.

Sumber yang lain lagi menyatakan, bahwa hasil penelitian atas praktek tanggung jawab
sosial perusahaan atau CSR di tujuh Negara Asia mengklasifikasikan CSR mereka ke dalam tiga
aspek, yaitu: keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa
dipertanggungjawabkan secara sosial, danemployee relations. Yang termasuk ke dalam
keterlibatan dalam komunitas itu diantaranya pengembangan masyarakat (community
development), pendidikan dan pelatihan kegiatan keagamaan dan olah raga. Sedangkan yang
masuk ke dalam kegiatan pembuatan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
adalah kesehatan dan keselamatan kerja, proses dan produk yang ramah lingkungan termasuk
kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup. Adapun yang masuk ke dalam employee
relationsadalah kesejahteraan pekerja dan keterlibatan pekerja.

Umumnya, perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menerapkan CSR menggunakan


pertahapan sebagai berikut :
a) Tahap Perencanaan
Perencanaan ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu: Pertama, awareness building,
merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting CSR dan
komitmen manajemen. Kedua, CSR assessement, merupakan upaya untuk memetakan
kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas
perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang
kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Ketiga, membangun CSR manual building,
yaitu dengan menyusun pedoman secara manual atau pedoman implementasi CSR itu
sendiri.
b) Tahap Implementasi
Pada tahapan ini, pada dasarnya ada tiga pertanyaan yang mesti dijawab. Siapa orang
yang akan menjalankan, apa yang mesti dilakukan, dan juga bagaimana cara melakukan
sekaligus alat apa yang diperlukan. Atau dalam istilah manajemen popular, kesemua
pertanyaan tersebut dapat diartikan menjadi proses organizing, staffing, directing,
controlling, danevaluating.
c) Tahap Evaluasi
Setelah program CSR diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan
evaluasi program. Yang selalu harus dilakukan secara konsisten dan berkala sewaktu-
waktu. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan. Justru tahapan ini
dilakukan untuk bahan pertimbangan pengambilan keputusan dna kebijakan kedepannya.
d) Pelaporan
Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan
proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan
relevan mengenai perusahaan. jadi selain berfungsi untuk keperluan para pemegang
saham atau shareholder, juga untuk stakeholder lainnya yang memerlukan.
7. Penutup

Dari kesemua bahasan di atas, pada akhirnya dapat diambil beberapa kesimpulan,
diantaranya sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa implementasi CSR oleh perusahaan-perusahaan di era
globalisasi ini telah menjadi kebutuhan mutlak, bukan lagi sekedar kewajiban.
b) Secara internal, pendekatan neo liberal dan kapitalisme dunia pada dasarnya mengakui
peranan CSR bagi kesuksesan MNC ini sendiri. Perbedaannnya adalah lebih pada titik
awal dimana MNC tersebut memulai perannya dalam CSR nya, atau dalam kata lain
tujuan awal yang digunakan oleh masing-masing MNC tersebut saat memutuskan untuk
menjalankan program CSR mereka.
c) Dari sisi eksternal, tekanan terhadap perusahaan-perusahaan raksasa dunia atau MNC
untuk menerapkan CSR semakin besar, karena selain di pantau dari Negara asalnya, di
Negara tujuan juga berbagai lembaga non pemerintah sekalipun, turut berkepentingan
untuk mengawasi semua kegiatan mereka.
d) Penerapan CSR sudah menjadi keharusan bagi semua perusahaan yang masih
menginginkan perusahannnya maju dna diterima oleh masyarakat local, bahkan
masyarakat dunia. Globalisasi dalam hal ini memberikan kontribusi peran yang tidak
sedikit dalam menekan para pelaku ekonomi dunia tersebut untuk terus melakukan dan
menerapkan CSR dalam perusahaan-perusahaan mereka.
e) Dengan melakukan CSR dalam perusahaan dan proses usaha mereka, sebenarnya secara
tidak langsung hal ini akan menimbulkan keuntungan tersendiri bagi semua pihak.
Menghilangkan konflik kedudukan dan dinamika hubungan yang selalu polemik antara
masyarakat, Negara, dan pasar. Dengan CSR, maka ketiganya dapat dipertemukan dan
dapat menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan satu sama lain. Bagi
perusahaan, mereka akan mendapat suatu jaminan sosial (sosial security) dan juga ijin
sosial (sosial licence )dari masyarakat, sedangkan bagi masyarakat, akan merasa
dilibatkan dan muncul perasaan memiliki dengan perusahaan yang ada disekitar mereka.
Begitu juga dengan Negara, akan mampu memposisikan dirinya sebagai pihak yang
memantau dan melakukan evaluasi atas semua proses sosial yang ada. Sehingga aka nada
sistem check and balance antara kesemua aktor yang ada tersebut.

Sumber Bacaan

Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budimanta, Arif, edt., 2004, Corporate sosial Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan
Indonesia, Jakarta: ICSD (Indonesia Centre for Sustainable Development).

Fakih, Mansoer, DR., 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Jakarta: Insist
Press.

Giddens, Anthony, 2003, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parker, S.R. edt., 1985, Sosiologi Industri, Jakarta: Bina Aksara.

Sukada, sonny, edt., 2007, Membumikan bisnis Berkelanjutan: Memahami konsep dan Praktik
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jakarta: Indonesia Business Links.

Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (corporate sosial responsibility),
Gresik: Fascho Publishing.

Anda mungkin juga menyukai