Anda di halaman 1dari 10

FORUM BAHARI NUSANTARA

DPD FORUM BAHARI NUSANTARA RIAU

FORUM BAHARI NUSANTARA : Didirikan di Jakarta pada tanggal 08 Maret 2010

VISI : Menuju Indonesia sebagai bangsa bahari yang Adidaya


MISI : Menampilkan jati diri bangsa melalui pemberdayaan potensi bahari sebagai :
1. Media untuk membangun pengaruh positif
2. Media perhubungan
3. Media perjuangan atau diplomasi
4. Media sumberdaya
5. Media proyeksi kekuatan ke darat
6. Media datangnya ancaman; dan
7. Media pemersatu bangsa

Kegiatan : Untuk mencapai tujuan tersebut, Perkumpulan Forum Bahari Nusantara


menjalankan kegiatan sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan di bidang maritim


2. Menjelenggarakan kegiatan yang mensimulasi kerjasama kemaritiman
3. Menjalin kerjasama dengan pihak lain yang bergerak di bidang industri, pariwisata, dan
perikanan
4. Menyelenggarakan pertunjukan kebudayaan dan kesenian
5. Memperkenalkan kekayaan sumber daya bahari; dan
6. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pelatihan, seminar, training dan workshop di
bidang potensi bahari

Gagasan Presiden Jokowi di Sektor Kemaritiman


Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) untuk mencapai :

- Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan,
hankam, dan budaya maritim
- Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam
berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam sampai cara menata
pembangunan kelautan (ocean governance)

KARAKTERISTIK EKOSISTEM PESISIR


1. Merupakan wilayah peralihan (ecotone) antara ekosistem darat dan laut
2. Memiliki produktivitas hayati yang tinggi
3. Sangat dinamis dan fluktuatif
4. Terdapat keterkaitan ekologis antar ekosistem
5. Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat berbagai jenis sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan, yang dapat dimanfaatkan melalui berbagai kegiatan (sektor)
pembangunan
6. Memiliki aksesibilitas yang tinggi dan kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia
7. Merupakan tempat penampungan akhir limbah baik dari lahan atas maupun laut lepas
8. Merupakan Common-property Resources atau Open-access Resources

ISU-ISU BIDANG KEMARITIMAN/WILAYAH PESISIR RIAU


1. Kondisi Fisik
- Abrasi dan erosi pantai semakin meningkat
- Rusak dan berkurangnya jalur hijau (green belt) karena penebangan liar dan alih
fungsi
- Hilangnya keanekaragaman hayati dan menimbulkan lahan-lahar terlantar dan kritis
- Banjir di kawasan rendah pesisir
- Kebakaran hutan kawasan bergambut pesisir
- Penurunan kualitas perairan pesisir akibat pencemaran yang berasal dari darat dan
laut
- Penurunan produksi sumberdaya ikan terutama berbagai jenis udang, kepiting dan
kerang yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove

2. Perikanan
- Melebihi hasil tangkapan maksimum lestari/overfishing terus berlangsung terutama
di Selat Malaka
- Pengoperasian alat tangkap bersifat destruktif yang merusak habitat sumberdaya
perikanan (bahan peledak, racun sianida, alat tangkap pukat harimau/jaring
batu/sejenis trawl) yang sering berada pada jalur penangkapan nelayan tradisional
sehingga terjadi konflik antar kelompok
- Konflik penggunaan jalur penangkapan terutama dengan jalur pelayaran
- Kurang akuratnya data dasar perikanan sehingga menyulitkan perencanaan
pemanfaatan dan pengelolaan potensi perikanan
- Pengelolaan dan pengawasan perikanan lemah
- Kurangnya upaya meningkatkan fasilitas penangkapan ikan nelayan tradisional untuk
beroperasi lebih jauh dari pantai sekaligus berperan dalam pengawasan perairan
dari tindakan pencurian ikan oleh nelayan asing
- Kurang terkontrolnya peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap yang beroperasi
- Lambatnya pembudidayaan perikanan laut bernilai ekonomi penting (misal kerapu)
karena kualitas perairan yang buruk dan ketersediaan benih
- Kurang tersedianya bibit ikan/udang untuk budidaya tambak/budidaya di laut
- Kegagalan banyak budidaya tambak karena kondisi lahannya (gambut) yang kurang
cocok
- Belum memadai sarana penampungan dan pengolahan serta pemasaran hasil
perikanan
- Konflik perikanan dengan sektor lain seperti pertambangan di- dan lepas pantai,
penebangan hutan mangrove (bahan pembuatan arang, chip, pancang, dll)

3. Pertambangan dan Industri Maritim


- Penambangan migas di pinggir/lepas pantai atau daratan sepanjang sungai konflik
dengan pengembangan sektor lain
- Kegiatan pengilangan (refining) di wilayah pesisir berpotensi mencemari perairan
laut pesisir bila tidak dikelola sebagaimana mestinya dan konflik dengan sektor
perikanan
- Penambangan pasir/timah dan terumbu karang menimbulkan kerusakan lingkungan
pesisir baik langsung atau tak langsung
- Kegiatan industri berat berpotensi menghasilkan limbah yang mencemari perairan
pesisir yang berdampak pada terdegradasinya mutu lingkungan dan bersifat toksik
terhadap organism akuatik
- Penambangan gambut (< 3m) untuk perkebunan/HTI khususnya di kawasan kubah
gambut mengganggu penyangga air dan mengakibatkan intrusi air asin pada daerah
pesisir dan menimbulkan banjir

4. Perhubungan Laut
- Tumpang tindih jalur perikanan dan jalur pelayaran interinsuler yang merugikan
terhadap hasil tangkapan nelayan tradisional
- Tumpahan minyak dan buangan air pendingin mesin kapal-kapal interinsuler sangat
berpotensi mencemari ekosistem perairan pantai dan belum pernah diteliti
- Jalur pelayaran internasional di Selat Melaka yang relatif sempit kerap menimbulkan
pencemaran akibat tumpahan minyak mentah dari kecelakaan/tabrakan tanker dan
air ballast, sehingga merusak ekosistem dan sumberdaya mangrove, padang lamun
dan terumbu karang
- Kemampuan daerah untuk menangani kasus tumpahan minyak tida memadai
- Kegiatan pelabuhan sangat berpotensi mencemari perairan laut yang berasal dari
buangan sampah dan limbah kegiatan pelabuhan khususnya minyak pelumas

5. Sosial, Ekonomi dan Budaya


- Nelayan terjebak dalam sistem kredit kepada tauke (sistem ijon) yang mengharuskan
nelayan menjual hasil tangkapannya kepada tauke dengan posisi tawar yang lemah
(harga ditentukan tauke)
- Lemahnya permodalan masyarakat pesisir dan nelayan sehingga mereka sulit untuk
membuat usaha sampingan yang diperlukan terutamapada musim paceklik (utara)
- Rendahnya tingkat pendidikan nelayan dan masyarakat pesisir termasuk anak-anak
mereka
- Kurangnya kesadaran masyarakat nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat
- Ketidak jelasan pihak yang dapat menyediakan pendanaan dalam bentuk pinjaman
lunak kepada nelayan sebagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat;
masyarakat nelayan tidak mampu meraih pinjaman bank karena aturan dan
persyaratannya yang ketat (agunan)
- Masyarakat nelayan sangat kesulitan menyatukan diri dalam bentuk organisasi
kemasyarakatan, khususnya koperasi, yang dapat dijadikan lembaga penjamin
kehidupan (lepas dari tauke) dan memperoleh bantuan dan atau pinjaman dana
lunak
- Lemahnya kemampuan masyarakat nelayan untuk menolak bantuan pemerintah
berupa perahu/kapal dan alat tangkap yang tak sesuai dengan spesifikasi perairan
tempat penangkapan ikan

6. Kelembagaan
- Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal menyebabkan tidak
terakomodasinya kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan dalam berbagai
kebijakan pemerintah, khususnya pada sektor kelautan (maritim)
- Tidak konsistennya antara perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dikarenakan pendekatan egosektoral
dan atau ketidak perdulian pada dokumen kebijakan dan perencanaan
- Belum berkembangnya lembaga koperasi sebagai wadah melepaskan diri dari
jeratan pemberi utang (tauke)
- Rendahnya penataan dan penegakan hukum terkait dengan pemanfaatan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan konservasi sumberdaya karena kurangnya
sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait

7. Penataan Ruang, Kawasan Konservasi dan Pariwisata


- Belum disahkannya RTRW Propinsi Riau (RTRW Kabupaten/Kota mengacu dan
terintegrasi kepadanya)
- Belum terlaksananya peraturan perundang-undangan yang menata pemanfaatan
dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga terjadi tumpang
tindih pemanfaatan
- Terdegradasinya kawasan konservasi di wilayah pesisir akibat tumpang tindih
pemanfaatan ruang
- Penambangan/penebangan liar dan pencurian kayu (mangrove) mengancam fungsi
dan keberaaan ekosistem pesisir
- Kawasan konservasi di wilayah pesisir sulit diawasi karena letaknya yang menyebar
dengan luasan relatif kecil dan memiliki habitat terbatas
- Tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dan dana terbatas untuk promosi
dan pengelolaan objek wisata sehingga aksesibilitas dan daya tarik wisata rendah
- Belum berkembang dan belum tersedianya jasa kepariwisataan serta fasilitas
penunjang wisata (promosi, transportasi, pemandu, penginapan, dll) di masing-
masing lokasi di wilayah pesisir Riau
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN WILAYAH PESISIR
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Pembangunan kelautan (maritime) pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan jurisdiksi
nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan keamanan
bangsa Indonesia. Laut merupakan bagian ruang hidup bangsa Indonesia yang berperan
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dasar manusia terutama pangan, sumber
energi, media penghubung, media kegiatan industri, dan media pertahanan keamanan.
Amanat rakyat pada sektor kelautan tersebut, secara khusus, hanya baru dapat
diwujudkan apabila dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah,
terkoordinasi dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional (dan
daerah) dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan
bangsa-bangsa lain yang telah maju. Pelaksanaan TERPADU (Integrated) menunjukkan
bahwa pembangunan nasional (dan daerah) dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan
pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah
berkewajiban mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana menunjang,
saling mengisi dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya
tujuan pembangunan nasional (dan daerah).
Guna mencapai tujuan pembangunan di sektor kelautan (maritim) ini diperlukan konsep
manajemen yang operasional melalui pembahasan dan pengkajian ulang berbagai
konsep yang telah dilaksanakan pada masa lalu dan terus menerus dilakukan
penyempurnaan. Keberhasilan pembangunan bukan semata-mata diukur dari
peningkatan kesejahteraan rakyat dan perolehan devisa negara serta pemerataan,
tetapi juga pada perbaikan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Sehubungan dengan itu, seyogianya peranan Pemerintah Daerah harus semakin
diperbesar dan arah manjemennya harus dimanifestasikan dalam mendukung dan
memberdayakan propinsi dalam perencanaan, implementasi dan pelaksanaan praktek-
praktek berkelanjutan dalam pembangunan (sustainable development) mencakup aspek
ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup.
Ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu tergantung pada kondisi Negara dan/atau daerah. Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu (Integrated Coastal Zone Management) yang banyak diterapkan negara
berpesisir di dunia adalah pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(envornmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan
penilaian menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan
tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola
segenap kegiatan pemanfaatannya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan. Proses pengelolaan berlangsung secara kontnyu dan dinamis dengan
mempertimbangkan aspek social-ekonomi-budaya dan aspirasi mayarakat pengguna
kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan
kawasan pesisir yang mungkin ada.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah
pesisir secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk mengoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan
pembangunan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir. Prinsip dasar
pengelolaan wilayah pesisir terpadu meliputi keterpaduan, keberlanjutan, peran serta
masyarakat dan keterbukaan serta berkeadilan; kepastian hukum, konsistensi,
desentralisai dan kemitraan.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (PBM) atau Community Based
Management, CBM, merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam,
misalnya ekosistem terumbu karang atau sumberdaya perikanan, yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.
Selain itu, masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya
tergabung dalam kepercayaan (religion). Dengan kemanpuan transfer antar generasi
yang baik , maka PBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional,
dimana akan sangat berbeda dengan pendekataan pengelolaan lain di luar daerahnya.
CBM menurut Carter (1966) adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang
berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan kebijkan mengenai pemanfaatan
sumberdaya alam secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di tangan
masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan
ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan
pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, di mana masyarakat sendiri yang
mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang
membuat keputusan demi kesejahteraannya. Jadi, masyarakat lokal terlibat langsung
dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan pemanfaatan hasilnya.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat (PSPBM) adalah sistem
pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu yang perumusan dan perencanaannya
dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up-approach) berdasarkan aspirasi
masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat sendiri.

2. Program Pemberdayaan Masyarakat


Berdasarkan latar belakang pengelolaan wilayah pesisir secara tertpadu sebagaimana
dijelaskan pada butir 1, dapat disusun berbagai alternative program sebagai berikut:
2.1 Benteng kekuatan Poleksosbud-hankam
Masyarakat lokal wilayah pesisir termasuk nelayan umumnya kurang memiliki
keterampilan dalam merencanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan kekuatan
poleksosbud-hankam. Bahkan mereka kemungkinan tidak memahami pentingnya
peran poleksosbud-hankam dalam membendung berbagai pengaruh terhadap
kehidupan mereka. Untuk itu, masyarakat perlu dibimbing, dibina dan didorong
kesadarannya bahwa bukan hanya pada pemerintah/pemerintah daerah semua
dibebankan tanggung jawab, tetapi mereka harus berperan aktif meningkatkan
pemahaman bahwa aspek poleksud-hankam juga berada pada tanggung jawab dan
peran mereka. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu disusun berbagai kegiatan
terkait, antara lain:
1. Sosialisasi penyadaran masyarakat; ditujukan pada kelompok-kelompok
masyarakat maupun individu-individu berkenaan dengan informasi tentang
sumberdaya pesisir dan rencana pengelolaan, pemanfaatan dan konservasinya
dalam bentuk:

1). Penyadaran nilai-nilai ekologi, sosiologi dan ekonomi sumberdaya pesisir dan
manfaat pengelolaannya secara lestari
2). Penyadaran masyarakat pesisir/nelayan sebagai salah satu ujung tombak
bangsa dalam penyumbang utama perkonomian berupa produksi hasil
laut/perikanan
3). Penyadaran masyarakat pesisir/nelayan sebagai garda terdepan dalam
menjaga kedaulatan bangsa (hankam) dan pelestarian sumberdaya maritim
4). Penyadaran tentang perlunya konservasi sumberdaya alam pesisir dilakukan
khususnya dengan kearifan lokal
5). Penyadaran tentang potensi sumberdaya alam pesisir dan kelautan yang luar
biasa besar sebagai mata pencaharian utama dan mata pencaharian
alternative serta sumber devisa negara (hasil tangkapan ikan, perikanan
budidaya, bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan
dari laut, industri jasa maritim, dan sumberdaya hayati akuatik dan abiotik)
6) Keberadaan dan keberlanjutan fungsi ekosistem pesisir dan sumberdayanya
merupakan kekuatan tangguh untuk menghadapi ancaman dari luar maupun
ancaman secara alami (hankam)
2. Melakukan inventarisasi jenis-jenis dan kondisi sumberdaya alam pesisir di setiap
daerah sebagai dasar untuk penyusunan rencana pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam berbasis masyarakat secara terpadu
3. Mengidentifikasi berbagai masalah yang memerlukan tindak lanjut, termasuk
identifikasi pemanfaatan dan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan pada masa
depan
4. Mengidentifikasi berbagai kendala yang dapat menghalangi implementasi yang
efektif dari rencana-rencana yang telah disusun, dan identifikasi strategi yang
diperlukan untuk mencapai tujuan program

2.2 Perkuatan kemampuan masyarakat


1. Mengidentifikasi berbagai situasi yang dihadapi masyarakat wilayah pesisir
2. Mengidentifikasi berbagai masalah yang memerlukan tindak lajut penyelesaian
di wilayah pesisir
3. Mengidentifikasi pemanfaatan dan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan pada
masa depan di wilayah pesisir
4. Mengidentikasi berbagai kendala yang dapat menghalangi implementasi dari
rencana program yang disusun di wilayah pesisir
5. Mengidentifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan program
6. Mengidentifikasi berbagai jenis usaha/kegiatan masyarakat yang dapat
dikembangkan disamping usaha pokok di sektor perikanan
7. Mengidentifikasi berbagai jenis prasarana yang perlu dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan dan ketahanan masyarakat pesisir
8. Menyusun perkiraan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan
prasarana perkuatan kemampuan masyarakat pesisir
9. Melakukan pelatihan dasar tentang pemanfaatan, pengelolaan serta pelestarian
fungsi sumberdaya pesisir
10. Melakukan pelatihan tentang dasar-dasar manajemen keuangan, tata buku dan
audit serta memotivasi untuk berkoperasi
11. Mengadakan pelatihan teknis berkaitan dengan usaha mikro dan prasarana yang
mungkin dikembangkan di wilayah pesisir
12. Melakukan pelatihan pemantauan kondisi sosial, ekonomi dan ekologi
(lingkungan) dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam pemanfaatan, dan
pelestarian fungsi sumberdaya dan lingkungan di wilayah pesisir
13. Melakukan pengkajian pengembangan ekonomi kelautan (blue economy,
ekonomi biru) untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui
sinergi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat
14. Memberikan pengetahuan dasar tentang perpolitikan, sosial-budaya dan
perekonomian, serta pertahanan dan keamanan dalam upaya peningkatan daya
tangkal masyarakat menghadapi ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri
15. Melakukan pemotivikasian masyarakat pesisir semakin memahami dan
mencintai budaya maritim agar dapat berperan serta (proaktif) untuk mengawal,
mengawasi dan mengkritisi berbagai kegiatan yang dilakukan semua pihak,
termasuk oleh pemerintah demi peningkatan kemampuan dan ketahanan dalam
mencegah dan menghadapi ancaman dari manapun dating
16. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat pesisir/nelayan dalam
menghadapi segera diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di
bidang kemaritiman

2.3 Penerapan berbagai disiplin ilmu untuk perjuangan diplomasi


Pemanfaatan dan penguatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil umumnya
dilakukan dalam bentuk Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PPST atau
Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Di dalamnya dapat dilakukan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (Community Based Resources
Management, CBRM), di mana masyarakat diberi kesempatan dan tanggung jawab
dalam melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya melalui pendekatan
dari bawah (bottom-up) berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk
kepentingan masyarakat. Keterpaduan pengelolaan meliputi :
1. Keterpaduan Ekologis
Keterpaduan antara wilayah pesisir dengan wilayah daratan dan lautan
2. Keterpaduan Sektoral (Vertikal dan Horizontal)
Keterpaduan sektor-sektor yang terdapat di kawasan pesisir dan laut; perikanan,
pariwisata, pertambangan, industri, perhubungan, dsb
3. Keterpaduan Bidang Ilmu
Keterpaduan antar berbagai disiplin ilmu : oseanografi, biologi/ekologi laut,
keteknikan, sosiologi, ekonomi, hukum, hubungan internasional, transportasi,
dsb
4. Keterpaduan Stakeholders (Top-down + Bottom-up Approach)
Keterpaduan antar berbagai stakeholders : pemerintah/pemerintah daerah,
swasta, masyarakat, perguruan tinggi, LSM

Berdasarkan keterpaduan tersebut, maka untuk mencapai tujuan menjadikan


wilayah maritim sebagai benteng kedaulatan Negara dan menciptakan masyarakat
yang berkarakter Budaya Maritim yang tegar dan berfikiran maju, maka diperlukan
berbagai disiplin ilmu yang terkait, seperti:
1. Pakar bidang biologi dan ekologi laut
2. Pakar bidang oseanologi masyarakat pesisir
3. Pakar bidang perikanan dan kelautan
4. Pakar bidang geospasial kelautan (surtanal)
5. Pakar bidang pengelolaan wilayah pesisir dan lautaan
6. Pakar bidang pertambangan wilayah pesisir dan lautan
7. Pakar bidang industri maritim
8. Pakar bidang informasi dan teknologi kelautan
9. Pakar bidang perhubungan laut
10. Pakar lingkungan dan konservasi wilayah pesisir
11. Pakar bidang hukum laut dan diplomasi kemaritiman
12. Pakar bidang kemasyarakatan (sosiolog) pesisir
13. Pakar bidang ekonomi dan investasi maritim
14. Pakar bidang pemerintahan kawasan pesisir/maritim
15. Pakar bidang pertahanan dan keamanan maritim

Keterpaduan para ahli tersebut sesuai dengan bidang keahlian dan kegiatan yang
dilakukan mutlak dilakukan, khususnya di kawasan yang dibatasi laut langsung dengan
negara tetangga. Setiap pakar harus memahami berbagai ketentuan kelautan
(kemaritiman), baik aturan internasional (Hukum Laut Internasional, United Nations
Convention on Law of The Sea, UNCLOS-1982) maupun peraturan perundang-undangan
yang berlaku nasional (Indonesia) dan regional (ASEAN). Informasi dan data yang
dihasilkan oleh para pakar bidang fisik akan menjadi landasan yang kuat untuk
melakukan Perjuangan Diplomasi dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara.

Pekanbaru, 28 April 2015

Penyusun

Adnan Kasry
ACUAN KEPUSTAKAAN
Bappeda Provinsi Riau, 2006. Petunjuk Teknis Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Terpadu (Pendekatan Berbasis Masyarakat). Pekanbaru

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor

Burbridge, P., Koesoebiono and R. Dahuri. 1998. Problems and Issues in Coastal Resources
Management and Planning in Eastern Sumatera and The Strait of Malacca, pp 8-117. In
P.Burbridge, Koesoebiono, H. Dirschl and B. Paton (eds) Coastal Zone Management in the
Strait of Malacca. School for Resource and Environmental Studies. Dalhousie University,
Halifax

Chia, T.E. 1991. Managing Coastal for Sustainable Development: Role of Policymakers, p. 21-35.
In T.E. Chua and L.F. Scura (eds) Integrative Framework and Methods for Coastal Area
Management. ICLARM Conf. Proc., Manila

Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht, 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concept and
Practices. Island Press, Washington D.C

Dahuri, R., J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan secara Terpadu. Paradnya Paramita, Jakarta

Day, T.E. 1994. The Information Requirements for Strategic Environmental Assessment of
Marine Sand dand Gravel Extraction, p. 263-270. In P.G. Wells and P.J. Rickets (eds)
Coastal Canada 94, Cooperation Zone: Conference Proceedings. Coastal Zone Canada
Association, Halifax

Kasry, A. 1996. Kebijakan Terpadu Manajemen Wilayah Pesisir. Universitas Riau, Pekanbaru

----------. 1997. Pendekatan S.E.A dalam Kerangka ICZM bagi Kawasan Timur Sumatera. Unri
Press, Pekanbaru

Rickets, P.J. and D.G. Fenton. 1994. The Role of Strategic Environmental Assessment in Coastal
and Ocean Management. p. 826-846. In P.G. Wells and P.J. Rickets (eds) Coastal Canada
94, Cooperation Zone: Conference Proceedings. Coastal Zone Canada Association, Halifax

Sugandhy, A. 1993.Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan, hal. 1-25. Dalam
Prosiding Lokakarya Pemantapan Strategi Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan
Lautan dalam Pengembangan Jangka Panjang Tahap Kedua. Kapal Kerinci, 11-13
September 1993. Kantor MENLH dan EMDI, Jakarta

Therivel, R., E. Wilson, S. Thomson, D. Heaney and D. Pritchard, 1992. Strategic Environmental
Assessment. Earschan Publ. Ltd. London

Anda mungkin juga menyukai