Anda di halaman 1dari 19

FAKTOR INTERPERSONAL DAN EMOSIONAL

Tugas Ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Psikologi Pendidikan Matematika

DOSEN PENGAMPU:
Dr. TATAG YULI EKO SISWONO, S.Pd., M.Pd.
Dr. PRADNYO WIJAYANTI, M.Pd.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1. Ditya Rifky Rahmawati (17070785038)
2. Chodarusman Aliyasin (17070785044)

S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA 2017 I

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah Illahi Robbi yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia kepada kita semua. Berkat rahmat dan karunia yang
diberikan, penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan
Matematika yang berjudul “FAKTOR INTERPERSONAL DAN EMOSIONAL”.
Dengan telah selesainya penulisan tugas ini, maka selesailah tugas ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak khusunya kepada Dr. Tatag Yuli
Eko Siswono, S.Pd., M.Pd dan Dr. Pradnyo Wijayanti, M.Pd. Dosen pengampu mata
kuliah Psikologi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya.
Tugas ini merupakan rangkuman dari Bab 7 buku Psychology of Learning
Mathematics dengan penambahan dari sumber lain yang relevan. kami berharap tugas ini
memiliki manfaat bagi kami, pembaca dan masyarakat pendidik sebagai wahana ilmu
pengetahuan. Namun demikian, kami menyadari segala kekurangan dalam penulisan
tugas ini. Atas segala kekurangan, penulis mohon kritik dan sumbang saran agar dalam
penulisan tugas yang akan datang lebih baik.

Penyusun

2
Karya Skemp ini berbicara tentang bagaimana belajar matematika dengan
pemahaman bukan pada pengajaran Matematika, walaupun banyak manfaatnya pada
tahap-tahap selanjutnya. Seringkali rasa tidak suka, kebingungan, dan keputusasaan
dalam menghadapi matematika muncul. Oleh sebab itu perlu diuji apakah yang dipelajari
itu masih relevan atau tidak.
Pada bab sebelumnya khususnya bab 2 dan 3, penekanan permasalahan
matematika adalah pada ketergantungan siswa terhadap pengajaran yang baik.
Sedangkan uraian pada bab ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kesalahan bukan
pada mereka seutuhnya, bisa jadi kesalahan tersebut terletak pada guru mereka sendiri,
misalnya guru tersebut tidak dapat membangkitkan motivasi siswa selama proses
pembelajaran matematika berlangsung.
Guru matematika mempunyai dua tugas penting dalam mengajarkan matematika,
yaitu:
1. Sebelum pembelajaran berlangsung guru harus menganalisis konsep materi yang
akan disajikan kemudian membuat perencanaan dengan cermat untuk
mengembangkan skema siswa pada tingkat akomodasi skema siswa.
2. Ketika proses belajar mengajar berlangsung, guru bertanggung jawab untuk:
a. Membimbing siswa dalam bekerja
b. Menjelaskan dan mengoreksi kesalahan
c. Memberikan variasi pengayaan
d. Membangkitkan dan mempertahankan minat dan motivasi siswa
Dalam pembahasan ini istilah guru dibatasi pada guru yang mengajar secara
langsung dan terus menerus berkomuikasi dengan siswa. Kemudian, dalam bab ini akan
dibahas interaksi antara guru dan siswa, serta cara yang digunakan agar pembelajaran
dapat berdampak pada pembelajaran matematika berdasar pada pemahaman.
A. KRITERIA KEBENARAN DALAM MATEMATIKA
Matematika memiliki banyak kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam; serta
sedikit kesamaan dengan pelajaran bahasa dan sejarah. Matematika berbeda dengan
pengetahuan lain terutama dalam hal-hal tertentu. Dalam ilmu pengetahuan alam,
kriteria utama dari kebenaran suatu pernyataan atau bagian dari suatu pekerjaan adalah
eksperimen. Tidak dapat disangkal, bahwa tidak semua eksperimen dapat dilakukan
atau dibuktikan oleh siswa. Tetapi pada prinsipnya, mereka bersedia menerima dan
percaya bahwa suatu percobaan akan berhasil jika kondisi-kondisi tertentu dipenuhi,
khususnya jika mereka mempunyai beberapa skema dasar berdasarkan eksperimen dan
3
observasi sendiri, Para siswa yang mempelajari sains mengembangkan pengetahuan
mereka dalam situasi yang akrab, dimana daya pikat pokok ilmu sains adalah fakta yang
ditemukan siswa.
Hal ini berbeda dengan pelajaran lain, misalnya bahasa latin, yang kebenaran
terjemahannya ditentukan oleh kewenangan guru; atau bahasa Inggris yang hasil akhir
tentang baik buruk nya suatu karangan terletak pada wewenang guru atau penguji.
Pendapat guru tersebut mungkin berdasarkan catatan hariannya, juga pada
wewenangnya dan bukan pada eksperimen. Akibatnya, tidak ada patokan tertentu yang
berlaku untuk semua guru. Pendapat dari guru bahasa yang lain bukan suatu verifikasi
obyektif.
Dimana posisi matematika dalam masalah ini? Lalu bagaimana sebaiknya
kriteria akhir dari suatu kebenaran penyelesaian dalam masalah matematika; apakah
kebenaran terletak pada proses penyelesaian suatu persamaan atau bukti dari teorema,
atau bahkan jawaban akhir suatu masalah di dalam perhitungan.
Tentu saja dalam matematika murni, daya pikat utama tidak terletak pada
eksperimen. Misalnya, bagaimana kita dapat membuktikan di laboratorium bahwa akar
–1 bukan bilangan real?. Hal tersebut berkaitan denghan wewenang guru, contohnya
ketika siswa menjawab tidak tepat hendaknya guru meminta siswa tersebut untuk
mengecek lagi apakah pekerjaannya sudah memuaskan atau belum. Kriteria akhir
dari semua cabang matematika adalah konsistensi dengan dirinya sendiri, konsistensi
internal, atau dengan bagian dari sistem matematika yang lebih luas. Konsistensi ini
merupakan kesepakatan antara ahli-ahli matematika, serta antara guru dengan siswanya.
Hal penting yang cukup mengejutkan, bahwa pada tingkat dasar sudah tercapai
derajat kesepakatan yang cukup tinggi. Selanjutnya, kriteria ini mengacu pada dapat
diterimanya suatu kesepekatan yang mengatur hubungan antara guru dan siswa. Jika
guru membuat kesalahan di papan tulis dan seorang siswa mengetahui hal itu, guru tidak
mempunyai pilihan lain kecuali meralatnya. Guru diharuskan untuk patuh pada aturan
yang sama seperti siswanya, dan tidak ada aturan hirarki mengenai kewenangan, tetapi
aturan dari suatu struktur konsep dipatuhi secara bersama-sama. Pelajaran matematika,
mungkin berbeda dengan pelajaran lain, proses belajar bergantung pada kesepakatan
dan kesepakatan itu meletakkan alasan yang murni.

Pembatasan terhadap Kecerdasan

4
Siswa tidak perlu menerima apapun yang tidak sesuai dengan hasil
pemikirannya. Secara ideal, ia mempunyai kewajiban untuk menolak hal yang tidak
sesuai dengan pemikirannya. Penerimaan pengetahuan baru ini merupakan hasil latihan
kecerdasan dari guru, dan bukan karena martabat, gaya bicara ataupun kesewenang-
wenangan, yang mengharuskan siswa untuk setuju dengan semua perkataan guru.
Belajar dan mengajar matematika adalah interaksi antara kecerdasan, masing-masing
harus saling menghargai. Siswa menghargai kemampuan yang dimiliki guru dan
berharap pengetahuannya bertambah dengan adanya pembelajaran.
Anggap bahwa yang ia jumpai bukan suatu kecerdasan, atau materi-materi
yang secara keseluruhan tidak dapat dipahami, tetapi hanya merupakan rangkaian
aturan tanpa arti; misalnya siswa harus menyelesaikan suatu persamaan, "kumpulkan
semua x dalam satu ruas dan semua konstanta di ruas lain dengan cara mengubah
tanda". Petunjuk seperti ini dilukiskan sebagai suatu tindakan pembatasan terhadap
kecerdasan.
Istilah "pembatasan" yang digunakan dalam konteks ini, dalam pengertian
sehari-hari dan pengertian medis, berarti merugikan suatu organisme. Usaha untuk
memahami sesuatu meliputi akomodasi skema seseorang. Untuk menjelaskan
bahwa yang dikomunikasikan tidak dapat dipahami, penerima mencoba
mengakomodasikan skemanya, akomodasi terjadi ketika konsep baru tidak "sesuai"
dengan jaringan yang ada (menyebabkan apa yang oleh Piaget disebut disequilibrium).
Usaha ini sama artinya dengan merusak skema, dimana pikiran diibaratkan sebagai
tubuh yang terluka. Dalam hal ini kita dapat melihat mengapa para siswa kurang
antusias terhadap matematika, walaupun menunjukkan suatu perubahan yang positif.
Upaya yang telah dilakukan dalam situasi seperti ini meskipun cukup tepat, namun
kurang berarti, sebab salah satu misi pendidikan adalah mengembangkan intelegensi.
Tentu saja bagi guru dipandang tidak berbahaya, karena dilakukan tanpa sadar, dan
tidak mempengaruhi situasi akhir penerimaan.

B. ATURAN-ATURAN TANPA ALASAN


Pengajaran seperti di atas diibaratkan seseorang yang belajar mengemudi,
diberitahu jika ia ingin istirahat ia harus menekan pedal kopling. "Mengapa ?" Untuk
menjawab "mengapa" diperlukan dua keterangan; pertama, mesin pembakaran tidak
akan berhenti. Kedua, kopling merupkan alat yang dipasang untuk menghubung kan dan
memutuskan mesin dari kotak gir.
5
2
Untuk membagi suatu bilangan dengan 3, Anda harus mengalikan bilangan
3
tersebut dengan 2. Ketika ditanya mengapa, pembaca diajak mencari dalam memorinya

untuk menemukan, apakah dia pernah diberi suatu alasan yang baik untuk menjawab
pertanyaan ini. Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang siswa dengan umur yang
sesuai, dia akan mencoba mengingat apakah dia telah menerima alasan-alasan dari
gurunya mengapa langkah tersebut diambil ketika membagi suatu bilangan dengan
pecahan.
Berikut ini merupakan contoh cara menyelesaikan suatu persamaan dengan
aturan tanpa alasan:
6𝑥 − 3 = 7+𝑥
6𝑥 − 𝑥 − 3 = 7 kumpulkan 𝑥 pada satu ruas dengan memindahkan 𝑥 ke ruas kiri
dan mengubah tanda
6𝑥 − 𝑥 = 7 + 3 pindahkan (-3) ke ruas kanan dan ubah tandanya
5𝑥 = 10 sederhanakan kedua ruas
10
𝑥 = pindahkan 5
5

𝑥 =2
Jika yang diharapkan siswa mampu menyelesaikan persamaan jenis ini dengan
cepat dan efisien, maka metode seperti ini cukup memadai. Akan tetapi, jika yang
diharapkan adalah siswa memahami penyelesaiannya, maka metode ini tidak cukup. Dan
pemahaman siswa ini tidak diperoleh dengan sekedar memiliki kemampuan untuk
membuat tugas lebih menyenangkan, melainkan suatu keperluan yang harus dicapai guru
agar siswanya mampu menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk
memecahkan masalah pada situasi-situasi baru.

C. Dua Jenis Wewenang


Dalam mengembangkan pengetahuan, ketika ide-ide prasyarat belum dimiliki
oleh pelajar, apapun yang dikomunikasikan oleh guru hanya akan menjadi suatu
rangkaian pernyataan dan tidak akan mengembangkan kecerdasan siswa. Penerimaan
suatu aturan atau pernyataan tergantung pada penerimaan wewenang guru dan dilakukan
berdasarkan sifat yang sesuai dengan pemahaman tersebut. Jelasnya, asimilasi dari
materi yang bermakna, tergantung pada kemampuan penerimaan oleh kecerdasan
siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menghasilkan konsolidasi dan perluasan
skema siswa.
6
Istilah wewenang dalam konteks ini berkonotasi umum, seperti wewenang
seseorang yang harus dihormati dan ditaati berdasarkan status atau fungsinya. Akan
tetapi wewenang juga bisa muncul karena pengetahuan yang tinggi; dan ini sebaiknya
jenis wewenang yang dimiliki seorang guru. Akan tetapi di sekolah (dimana kita pertama
dan terakhir kali belajar matematika), ada kebimbangan dan konflik antara dua jenis
wewenang tersebut.
Jenis yang pertama wewenang berdasarkan status atau fungsinya erat
hubungannya dengan penegakkan dan pemeliharaan disiplin, mengatur tingkah laku dan
kepatuhan pada instruksi-instruksi guru. Ini merupakan jenis disiplin yang sama,
walaupun lebih ringan, dengan yang diterapkan pada militer. Tetapi kita
membicarakan tentang disiplin pada matematika, kimia, filsafat dll. Ketika seorang guru
menarik perhatian para murid untuk belajar, mereka datang sebagai peserta didik, dan
ketika mereka rela menaati gurunya, hal tersebut dilakukan karena mereka ingin belajar.
Pada dasarnya dua peranan ini tidak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan.
Dalam keadaan tertentu, kedua peranan itu biasanya dipisahkan. Pada suatu pertemuan
masyarakat terpelajar, wewenang pertama yang perlu dilatih oleh pimpinan rapat untuk
mengatur jalannya rapat, seperti menunjuk siapa yang harus berbicara, mengontrol
agar pertemuan berjalan lancar. Tidak tepat bagi siapapun untuk bereaksi menentang
wewenang pimpinan rapat. Tetapi sebaliknya, wewenang kedua juga berperan, yakni
setiap peserta mempunyai hak yang sama untuk bertanya dan menanggapi ucapan
pembicara sesuai kenyataan yang ada.
Penggabungan kedua fungsi ini dalam diri seseorang mungkin perlu.
Pembelajaran berdasarkan pemahaman dapat dilakukan dengan mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan dan diskusi antara siswa dengan siswa dan antar siswa dengan
guru. Biasanya suatu pemenuhan yang berdasarkan modus vivendi dicapai, dimana
siswa belajar dengan pengawasan yang diberikan guru berdasarkan wewenang
pertamanya, serta membolehkan bahkan mendorong mereka untuk mengekspresikan rasa
tidak setuju padanya dalam peranannya yang kedua.
Perlu diperhatikan bahwa kurang baik jika guru tidak berhati-hati dalam
memberikan alasan yang tepat atas penjelasan yang diberikan, karena (barangkali
merupakan kesalahan yang tidak disengaja) guru tidak mengetahui hal tersebut.
Kemudian (karena kekurangan analisis konsep yang memadai) siswa tidak
mengembangkan skema-skema yang dimiliki dengan cara tertentu sehingga materi
yang mereka peroleh tidak didasarkan pada alasan yang tepat. Dalam kondisi seperti
7
ini, belajar yang didasarkan pada pemahaman akan macet, dan digantikan dengan
belajar yang didasarkan pada keteraturan dan kepatuhan.

D. MANFAAT DARI DISKUSI


Sejauh ini kita telah memusatkan perhatian pada hubungan antara guru dan siswa.
Tetapi pembicaraan tentang hubungan antar siswa juga merupakan hal yang penting
dalam proses belajar. Adanya komunikasi ide, nampaknya membantu memperjelas
kata-kata (atau simbol-simbol lain). Kejelasan suatu masalah yang diselesaikan
sebagian, proses perumusan beberapa masalah, pribadi atau akademis, untuk seorang
pendengar yang berkemauan, akhirnya sampai pada tahap suatu penyelesaian. Saya
menemukan seorang guru yang menggunakan teknik yang menarik ketika dalam
diskusi, seorang siswa membuat pernyataan yang salah. Tanggapan dari guru tadi
adalah menyuruh siswa lain untuk menerangkan dimana letak kesalahan siswa
pertama. Selanjut nya dia meminta kepada siswa tersebut untuk menjelaskan kepada
teman sekelasnya tentang alasan dari pernyataannya. Hasil yang diharapkan adalah,
apakah dia menemukan kesalahannya sendiri atau teman sekelasnya menemukan
sesuatu yang baru setelah diberi penjelasan.
Terdapat banyak hal yang perlu didiskusikan dari pada hanya dipikir melulu.
Diantaranya adalah interelasi ide kita dengan ide–ide lain, akomodasi dari skema
kita dengan skema lain, sehingga kita dapat mengasimilasi ide-ide baru dan
menjelaskan ide-ide kita kepada orang lain, untuk mendorong terasimilasinya ide
kita dengan skema mereka. Keduanya menuntut persyaratan yang berbeda. Yang
pertama memerlukan fleksibilitas dan pikiran terbuka; yang terakhir menuntut
kemampuan untuk melihat perbedaan antara skema seseorang dengan skema pelajar
itu, agar kesenjangan dapat dijembatani. Tetapi jika kita dapat menemukan
ketergantungan ini maka skema kita sendiri bertambah luas. Lebih penting lagi, sikap
akan lebih fleksibel sehingga tumbuh sikap-sikap terbuka yang dapat menyokong
pertumbuhan skema-skema selanjutnya.
Diskusi juga mendorong timbulnya ide baru. Salah satu faktor penting adalah
penyederhanaan kelompok ide-ide, sehingga ide dari masing-masing kelompok menjadi
sesuai. Bayangkanlah, suatu teka teki menyusun potongan-potongan gambar dimana
potongan potongan itu didistribusi pada beberapa orang yang saling tidak
mengetahui miliknya masing-masing. Masing-masing mungkin mampu melengkapi
bagian dari teka-teki itu, atau mungkin potongan-po tongan tidak dapat dihubungkan.
8
Tetapi sebarkanlah potongan potongan di atas meja sehingga semua orang dapat melihat
potongan potongan tersebut. Maka mereka tentu dapat bekerja sama untuk
menyesuaikan dan membentuk potongan tadi menjadi satu kesatuan yang berarti.
Pertukaran ide yang baik merupakan salah satu manfaat dalam berdiskusi.
Mendengar pembicaraan seseorang (atau membaca tulisannya) mungkin
memunculkan ide baru yang tidak akan kita ketahui tanpa berkomunikasi. Kemudian
pertukaran ide tersebut, hasilnya mungkin menjadi suatu interaksi yang kreatif yang
dapat memberikan keterkaitan baru.

Sikap dalam berdikusi


Manfaat dari diskusi sangat tergantung pada persahabatan dan hubungan antar
pribadi yang baik. Seperti kerelaan untuk bergiliran berpendapat, mendengarkan,
memperhatikan sudut pandang orang lain. Jika dijumpai anggota kelompok yang tidak
disukai, maka hal tersebut diatas tidak akan mungkin terjadi. Suatu kesalahan yang sering
muncul dalam diskusi kelompok adalah memaksakan anggota kelompok menyesuaikan
dengan cara berpikir kita atau mengisolasi diri dari teman-teman lain dalam kelompok
tersebut.
Ini tidak berarti bahwa anggota kelompok harus setuju dengan semua ide yang
muncul. Setiap anggota kelompok boleh tidak setuju dengan menempuh cara yang
wajar, sesuai aturan kelompok. Artinya mereka setuju untuk mengadakan diskusi
berdasarkan alasan yang masuk akal, dan tidak bereaksi secara berlebihan terhadap
argumen dari teman diskusinya. Pada akhirnya, setiap anggota kelompok harus setuju
dengan hasil akhir diskusi.

9
Guru Sebagai Pemimpin diskusi
Sikap yang seperti digambarkan di atas merupakan sikap yang sangat dewasa,
setiap anggota belum tentu mampu bersikap seperti itu. Banyak manfaat yang diperoleh
dalam kegiatan ini; anggota kelompok dapat memiliki sikap kreatif, walaupun secara
individual terdapat hal-hal yang kurang disetujui.
Dalam kegiatan kelompok, terdapat beberapa hal yang belum diketahui
sepenuhnya, diantaranya 2 (dua) faktor yang menurut Freud adalah faktor ukuran dan
kepemimpinan. Berdasarkan pengalaman, kelompok yang baik adalah kelompok kecil
yang terdiri atas 2 sampai 5 atau 6 orang. Walaupun umumnya 30 sampai 40 merupakan
jumlah kecil untuk suatu kelas, terdapat pula kecenderungan khususnya di sekolah
dasar untuk bekerja secara individu atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil.
Dalam pengajaran tradisional, digunakan kelas yang agak besar, yang
memungkinkan seorang guru bersikap otoriter. Jika dia tidak berteriak dan memberi
perintah, dia sulit menjalankan fungsinya sebagai komunikator pengetahuan. Akan
tetapi pada dasarnya kedua peranan ini bertentangan, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya.
Idealnya seorang guru yang baik harus berperan seperti seorang major dalam
militer dan konduktor dari sebuah orkestra, yang sangat berhati-hati dalam memainkan
peranannya. Untuk menggabungkan kedua peranan ini dengan kemampuan akademis
merupakan persoalan besar.
Untuk meperlancar kegiatan belajar mengajar, guru mengontrol kelas dan harus
berperan dengan baik. Jika dalam pengajaran seorang siswa memberikan jawaban yang
salah, guru menulis jawaban tersebut di papan tulis dan dengan mengajukan pertanyaan
khusus yang mengarahkan seluruh siswa (kelas) untuk mencari jawaban lain yang benar.
Dengan cara ini, siswa yang menjawab salah tidak merasa berkecil hati karena telah
membuat kesalahan. Dengan cara ini guru dapat menciptakan kebersamaan kelompok
ketika separuh dari kelas memahami persoalan sedangkan sisanya belum. Mereka yang
benar-benar mengerti, terlihat pada wajah mereka kepuasan memperoleh wawasan
yang baru; tetapi juga mereka akan sungguh-sungguh mencoba membantu temannya
yang mengalami kesulitan. Jika setiap siswa sudah mengerti, maka terciptalah suasana
santai dan perasaan puas. Penanganan kelas yang dilakukan guru ini sangat menarik
perhatian Skemp sehingga dalam suatu pertemuan dengan guru tersebut dia meminta
untuk dijelaskan bagaimana hal itu dapat dilakukan oleh guru tersebut.

10
Tidak hanya diantara mereka yang mengerti tentang matematika, sedikit saja
yang mengkomunikasikannya, mereka juga merupakan pemimpin-pemimpin
kelompok, namun jarang mereka dapat mengkomunikasikan kemampuan yang
terakhir ini.

E. KECEMASAN DAN AKTIVITAS MENTAL YANG TINGGI


Alasan lain mengapa hubungan antar pribadi yang baik sangat penting dalam
memahami matematika ialah karena kecemasan diri meningkat secara subyektif dan
sulit dipahami. Ketika siswa diberikan beberapa penjelasan secara terperinci, hanya
beberapa yang akan mampu memahaminya, tetapi yang lainnya tidak. Jika mereka yang
tidak memahami merasa cemas pada kegagalan, mereka tidak akan ragu untuk berusaha
lebih ulet. Tetapi perasaan terlalu cemas bisa merusak diri sendiri, akan mengurangi
keefektifan usaha.
Makin tinggi kecemasan, siswa akan lebih ulet mencoba, bila tidak mampu
mengerti dia lebih cemas lagi. Kejadian semacam ini seperti siklus yang dapat
berlangsung jangka panjang maupun jangka pendek. Dapat juga diberi beberapa
pengalaman yang berkaitan dengan belajar matematika dimana terjadi kondisi
kecemasan para siswa, kemudia dipelajari rangsangan terhadap kecemasan itu. Dalam
pengalaman belajar itu, siswa lebih dulu menyelesaikan pelajaran yang telah dikuasai.
Terdapat beberapa argumentasi yang mendukung bahwa kecemasan
mengurangi efisiensi berpikir matematika.
Suatu prinsip yang dikenal dengan hukum Yerkes Dodson, yang didasarkan pada
eksperimen, diterima oleh ahli-ahli psikologi. Hukum ini menyatakan bahwa tingkat
motivasi menurun sejalan dengan kompleksitas tugas yang diberikan. Dengan kata
lain, untuk tugas sederhana, wujud motivasi lebih baik dan lebih kuat. Tetapi untuk
tugas yang lebih kompleks ini hanya sampai satu titik tertentu. Mulai dari motivasi
nol, yang menghasilkan penampilan tidak berarti, peningkatan motivasi akan
memperbaiki penampilan. Tetapi pada tingkat motivasi tertentu, peningkatan yang lebih
lanjut tidak menghasilkan perbaikan penampilan, malahan menghasilkan kemunduran.
Jika lebih kompleks tugas itu, maka makin rendah pula tingkat motivasi.
Motivasi adalah sesuatu yang agak rumit untuk dinilai secara tepat, walaupun
biasanya berhubungan dengan penampilan. Ini disebabkan motivasi merupakan bagian
internal seseorang dan tidak dapat langsung diobservasi; sedangkan penampilan di pihak
lain, merupakan bagian eksternal seseorang dan dapat dinilai secara obyektif. Untuk
11
menilai motivasi melalui eksperimen, kita harus menciptakan kondisi yang kita anggap
akan memberi motivasi tertentu pada subyek-subyek itu. Contohnya dalam satu
eksperimen, tikus-tikus digunakan sebagai bahan eksperimen untuk memecahkan
masalah perbedaan di bawah air. Mereka dihadapkan pada dua pintu yang berbeda, yang
satu dikunci, yang lain terbuka menuju ke udara. Tingkat motivasi diubah-ubah
dengan tetapi merendam mereka selama 0, 2, 4, dan 8 detik sebelum mereka diijinkan
untuk mulai. Tiga tingkat kesulitan yang berbeda–beda digunakan dan hasilnya
disesuaikan dengan hukum Yerkes Dodsen.
Dapat dimengerti, terdapat lebih sedikit bukti dari eksperimen seperti ini yang
ada kaitannya dengan subyek manusia. Pembaca bisa menbayangkan dirinya sendiri
dalam suatu lapangan (pertanian) ketika bertemu dengan seekor sapi jantan yang
melang kah maju ke arahnya dengan sikap mengancam. Pada saat makin dekat, mungkin
pembaca makin panik, mungkin melompat, memanjat pintu gerbang. Andaikan sapi
jantan itu merusak pagar tanaman, pembaca mungkin akan menyelamatkan diri ke
mobil; maka dalam kondisi sangat panik, untuk menemukan kunci untuk membuka
mobil, pembaca mungkin membutuhkan waktu yang relatif lama. Atau andaikata,
pembaca harus memecahkan suatu masalah, agar mudah melarikan diri, seperti
percobaan pada tikus, pembaca mungkin membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
menemukan pintu keluar dibandingkan bila kondisi tersebut dihadapi dalam keadaan
santai.
Kelihatannya mungkin bahwa pengaruh progresif itu disebabkan oleh siklus
yang digambarkan sebelumnya. Jika penampilan subyek jelek, maka mereka semakin
sulit mencoba sehingga penampilan juga semakin jelek sebagai akibat dari
meningkatnya kecemasan. Jika hipotesis ini benar, maka penyisipan tugas rutin yang
sederhana akan menghambat pengaruh kumulatif, sehingga penampilan pada tugas
refleksif akan meningkat. Hipotesis ini diuji pada kelompok eksperimen dengan siswa
laki-laki yang berusia 15 tahun pada sekolah tata bahasa. Hasilnya menunjukkan terjadi
kemunduran secara bertahap dalam penampilan siswa bila fakta diubah.
Kebanyakan kita mungkin tidak pernah lupa pengalaman, ketika mengalami
sejenis halangan mental. Setelah melalui wawancara dan diskusi, barangkali kita merasa
telah dapat memperbaiki diri. Saya sering memulai pertanyaan – pertanyaan secara
langsung, ketika menginterview calon-calon mahasiswa, kemudian menyisipkan
beberapa pertanyaan sisipan pada saat – saat tertentu. Demikian pula seorang guru
yang baik dapat mengurangi kecemasan dan membentuk kepercaya an diri siswa
12
melalui penyisipan tugas rutin. Dengan mengajukan pertanyaan yang menurutnya
siswa dapat menjawab maka akan meningkatkan penampilan siswa sekaligus dapat
membatasi seorang siswa yang pandai dalam berbicara.
Dengan demikian hubungan antar pribadi, pengalaman pribadi perlu mendapat
perhatian. Sebab dalam belajar matematika sulit untuk melupakan pengalaman masa
lampau. Walaupun siswa sudah dewasa belajar hanya melalui teks saja, tetap tidak dapat
lepas dari pengaruh historis guru terdahulu yang membentuk sikapnya percaya diri
atau kurang percaya diri. Ketika mengajar statistik dasar pada siswa psikologi, penulis
menekankan bahwa tugas-tugas pertama merupakan usaha pembenahan, untuk
menyakinkan mereka, bahwa mereka mampu memahami matematika. Saya percaya
bahwa pembaca yang memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dalam belajar
matematika akan setuju bahwa hal itu disebabkan oleh berbagai faktor dan bukan
karena kurangnya kecerdasan.

Penyebab Kecemasan.
Pada bagian akhir ini akan ditunjukkan bahwa kecemasan, sekali datang, akan
menjadi lingkaran setan antara sebab dan akibat dalam belajar matematika. Pada
prinsipnya mencegah lebih baik dari pada mengobati. Karena itu perlu dicari sebab-sebab
yang menimbulkan kecemasan.
Salah satu sebabnya, seperti telah dibicarakan, adalah kewenangan guru,
seperti penegakan disiplin yang ketat dan proses pembelajaran yang kurang
memperhatikan pemahaman siswa. Harus diingat bahwa bila skema – skema yang
diperlukan untuk pemahaman bahan ajar tidak tersedia dalam pikiran siswa, maka
kegiatan belajar terjadi hanya didasarkan pada penerimaan, keinginan untuk
menerima. Jika hal ini yang dinginkan guru, itupun adalah kewenangannya. Belajar
jenis ini adalah belajar menghafal, bukan belajar skematik. Pada awalnya mungkin
belum disertai oleh kecemasan, bahkan mungkin sebaliknya. Tabel perkalian yang
diingat dengan baik bermanfaat sama bagi guru dan siswa. Masalah yang muncul ialah
anak yang pandai dan berkemauan, mampu mengingat sedemikian banyak proses
matematika dasar dengan baik sehingga sulit untuk membeda kannya dari belajar
yang didasarkan pada pemahaman. Akan tetapi cepat atau lambat, akan terjadi
kegagalan. Terdapat dua alasan dalam hal ini yaitu: pertama, pada saat belajar lebih
lanjut dan lebih kompleks, untuk memaksakan mengingat, akan menjadi beban yang
berat. Kedua, adalah kebiasaan hanya bekerja dan dapat diterapkan pada ruang lingkup
13
terbatas, dan tidak dapat diadaptasi oleh pelajar untuk masalah yang lain, yang kelihatan
berbeda, tetapi didasarkan pada idea matematika yang sama. Belajar skematik lebih
dapat menyesuaikan diri dan mengurangi bebas pada memori.
Siswa-siswa yang digambarkan di atas pada tahap tertentu prestasinya akan
menurun. Mereka sepertinya mencoba untuk lebih cepat memperoleh "semua
penjumlahan yang benar". Usaha yang mereka tempuh adalah mencoba mengingat
lebih banyak aturan dan metode. Kenyataannya mereka perlu kembali lagi ke
permulaan dan mulai lagi dari awal. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemasan
sehingga terdapat dua lingkaran setan sebab akibat. Pertama, seperti telah dijelaskan
pada bagian akhir dan yang kedua, dalam meningkatkan usahanya siswa pasti
menggunakan satu-satunya pendekatan yang ia kenal yakni mengingat. Proses ini tidak
bertahan lama, sehingga kelanjutan program berikutnya akan berakhir dengam
munculnya suatu kecemasan dan kehilangan harga diri.
Telah dibahas bahwa untuk suatu perluasan, penyederhanaan dengan
menggunakan skema selalu diperlukan. Suatu aturan dapat di anggap sebagai suatu
skema dari suatu bentuk atau aturan itu tidak dapat digunakan dalam contoh-contoh
yang bervariasi. Siswa selalu mengorganisir bahan yang mereka pelajari dengan cara-
cara tertentu. Titik kritisnya adalah, apakah pengorganisasian ini dapat mewujudkan
konsep dan struktur matematika yang mendasar yang diperlukan, untuk menunjang
keberhasilan jangka panjang dan juga jangka pendek.
Jadi perbedaan antara pelajar yang menghafal dan pelajar yang berpikir secara
skematis, tidak dapat dipandang secara dikotomi, tetapi merupakan suatu rangkaian
yang saling terkait. Belajar skematik masih memerlukan ingatan, sedangkan belajar
hanya dengan mengandalkan ingatan, tidak cukup untuk memahami materi matematika
yang cukup kompleks.
Belajar dengan pemahaman, pada saat-saat tertentu tidak mungkin dilakukan,
walaupun pada topik-topik yang mendasar. Masalah yang sebenarnya, apakah
skema yang ada akan berkembang dengan cepat agar dapat menerima materi baru yang
akan dipelajari. Dalam kasus ini, penerimaan tanpa struktur dan fleksibilitas tertentu.
Dan hal ini merupakan pengorganisasian mental, sering disebut dengan kebiasaan.
Dan kebiasaan diperlukan untuk memanipulasi masalah tertentu dan mengadaptasi
aspek-aspek baru dengan idea yang dimiliki.

Adaptasi Terhadap Kecemasan


14
Dua batasan penting yang harus dibuat untuk mengawali pembahasan ini.
Pertama, hukum Yerkes Dodson yang menunjukkan bahwa motivasi secara umum,
mungkin meningkat disebabkan kecemasan. Kedua, tingkat motivasi untuk suatu tugas
yang diberikan tergan tung pada individu dan jenis tugas yang diberikan. Hal ini
telah dinyatakan secara implisit pada awal pembahasan, bahwa tingkat keoptimalan
turun seiring dengan kerumitan tugas. Artinya, tugas yang rumit bagi seorang siswa
mungkin merupakan tugas yang mudah untuk siswa lain. Kemampuan yang tinggi
bagi seorang siswa akan memberi keuntungan pada dua hal: pertama, ia merasa kurang
cemas terhadap masalah yang dihadapi karena ia yakin dapat mengatasinya. dan kedua
ia dapat menggunakan kecemasannya secara konstruktif untuk mengatasi masalah itu.
Kecemasan tertentu dapat menjadi suatu stimulus yang berguna; dan salah satu
kegunaan dari pendidikan adalah belajar untuk menggunakannya. Hal ini disebut dengan
"adaptasi terhadap kecemasan".
Salah satu cata adaptasi terhadap kecemasan ini adalah penggunaan teknik-
teknik yang tepat untuk menghasilkan masalah (soal-soal) yang menjadi sumber
kecemasan. Faktor lain merupakan faktor pribadi yang tidak akan dibahas dalam buku
ini. Namun Perlu disadari bahwa banyak para ahli yang telah menyumbangkan ilmu
pengetahuan tanpa melibatkan masalah pribadi mereka.

F. MOTIVASI BELAJAR
Pembahasan sebelumnya telah difokuskan pada usaha untuk memahami
faktor – faktor yang merupakan efek belajar dan pemahaman matematika, dengan
asumsi bahwa siswa berminat untuk melakukan hal di atas. Sekarang, pembahasan akan
dialihkan untuk menjawab pertanyaan berikut: mengapa seseorang ingin belajar
matematika? Tidak dapat dibantah bahwa pertanyaan tersebut sebagai langkah awal dari
inkuiri, karena tanpa beberapa alasan tertentu, tidak mungkin mengharapkan seseorang
akan berusaha. Sebagai contoh, jika anda telah membeli buku ini, mungkin anda
mempunyai motivasi tertentu. Beberapa motivasi dapat digabung dalam suatu aktivitas
yang tunggal. Termotivasi adalah deskripsi dari tingkah laku yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan. Jika dikatakan bahwa suatu tingkah laku kelihatan kurang
bermotivasi, maka dapat diartikan bahwa sesuatu yang dihadapi kurang sesuai dengan
kebutuhannya. Jadi masalah motivasi erat kaitannya kebutuhan. Beberapa kebutuhan
seperti makan, tidur adalah bawaan lahir. Kebutuhan lain seperti tembakau, televisi, perlu

15
dipelajari. Matematika terlihat cukup jelas menjadi kebutuhan pelajar, sehingga setiap
orang belajar membutuhkan matematika.
Matematika sangat berharga, sebagai teknik untuk memenuhi kebutuhan lain.
Hal ini sudah diketahui umum bahwa matematika sebagai alat yang penting dalam
ilmu pengetahuan, teknologi dan komersial, termasuk dalam bidang lain. Ini
merupakan tujuan untuk memberi motivasi pada orang agar bersikap dewasa terhadap
matematika. Tetapi tujuan ini dapat dialihkan untuk dipakai pada saat pertama
mempelajari matematika.
Dalam kelas, motivasi jangka pendek lebih efektif. Dua hal yang sering muncul
adalah keinginan untuk menyenangkan guru dan ketakutan yang tak menyenangkan.
Penghargaan dan hukuman secara luas digunakan sebagai metode untuk melatih dalam
matematika maupun bidang lain.
Motivasi yang kedua adalah motivasi ekstrinsik terhadap matematika sendiri.
Guru dapat menghindari perasaan tidak senang siswa terhadap matematika dengan
mengungkapkan tingkah laku yang diinginkan (secara verbal atau tulisan). Pemahaman
siswa melalui cara ini dapat bertahan lebih lama dari pada belajar meniru. Ini
merupakan motivasi ekstrinsik yang dapat mengurangi atau mengatasi kegagalan. Dari
keduanya, motivasi dan kecemasan adalah lebih mengarah ke belajar menghafal
seperti telah dijelaskan, sehingga membawa efek yang bersifat menghambat
kegiatan refleksif kecerdasan.

Motivasi Instrinsik
Terdapat beberapa orang yang menjadikan matematika sebagai sesuatu yang
menyenangkan, suatu aktivitas dalam matematika itu sendiri, tanpa memperdulikan
tujuan lain yang dapat disertakan dari belajar matematika. Kelompok orang-orang
seperti ini saya sebut matematikawan murni; dan jika pandangan ini diterima, maka
banyak siswa yang berumur 7, 10 dan 12 tahun dapat memberikan diskripsi sebanyak
mungkin dari pada anak berusia 6 tahun dan siswa dewasa. Mengapa orang seharusnya
senang belajar matematika. Apakah karena matematika sendiri menarik atau karena
memenuhi kebutuhan tertentu.
Perhatikan seorang anak yang berjalan di atas tembok yang rendah tanpa bantuan
orang tuanya, untuk melatih keseimbangan. Atau perhatikan seorang pendaki gunung
yang penuh resiko dan bahaya. Ia melakukan pendakian meski sebenarnya ia dapat
menggunakan kereta gantung. Aktivitas ini bukan merupakan kebutuhan pokok, tetapi
16
dilakukan untuk tujuan lain dan mempunyai arti yang penting untuk mencapai tujuan
akhir.
Kebutuhan umum mendasar yang lain adalah kebutuhan untuk "bertumbuh" atau
"berkembang". Kata "berkembang" dimaksud tidak hanya meliputi pertumbuhan
fisik tetapi juga perkembangan ketrampilan, kekuatan, pengetahuan dan organisasi
fisik yang lain, organisasi sensori motor atau organisasi mental yang lain. Anak kecil
belum dapat berjalan di atas tembok, memanjat pohon, melompat melalui jendela
tetapi semuanya secara langsung menyiapkan kebutuhan pertumbuhannya untuk
melatih paru-paru, otot dan daya kontrolnya.
Pertumbuhan adalah lebih penting untuk penyelamatan dari pada
pertumbuhan fisik. Aktivitas pertumbuhan mental ini harus dapat dirasakan anak, tidak
hanya aktivitas fisik saja. Pertumbuhan mental lebih lanjut, dapat berlangsung terus
sesudah pertumbuhan fisiknya berhenti. Oleh karena itu minat dan kesenangan terhadap
latihan fisik perlu dipupuk mulai dari masa kanak-kanak.
Untuk siswa dewasa, situasi belajar yang baik, adalah memadukan motivasi
jangka pendek dan motivasi jangka panjang. Motivasi jangka pendek berupa kesenangan
belajar dan mengerjakan matematika, sebagai motivasi intrinsik. Sedangkan motivasi
jangka panjang berupa tujuan pribadi, praktis atau akademik yang dapat dicapai dengan
bantuan pengetahuan matematika. Tetapi dari kedua motivasi tersebut, motivasi
intrinsik yang terpenting. Kita mempelajari sesuatu karena kita tahu bahwa hal itu
sangat berguna. Tetapi langkah-langkah utama yang selalu dilakukan dalam
matematika, seperti dalam ilmu pengetahuan lain, adalah pencarian pengetahuan
untuknya sendiri. Faraday melakukan eksperimen tentang defleksi jarum kompas dengan
segulungan kawat melalui arus listrik yang dipasang. Dia bertanya kepada seorang
wanita, apa kegunaannya. Bahkan Faraday tidak pernah membayangkan hasil
penemuannya tersebut sangat berguna hingga saat ini.
Kita senang belajar matematika, maka hal itu dapat menjadi faktor insentif
yang sangat kuat untuk belajar. Pengetahuan itu apakah akan berguna di kemudian
hari, tidak dapat diramalkan pada waktu belajar. Ketika saya membeli obeng yang saya
tahu dengan tepat, pekerjaan apa yang akan saya lakukan. Ketika belajar Kalkulus dan
Geometri di perguruan tinggi, para matematikawan dari program penelitian angkasa
milik Amerika tidak tahu bahwa mereka akan menggunakan pengetahuan mereka untuk
menggambar orbit dari satu modul lunar.

17
Bagaimanapun efektifnya motivasi intrinsik untuk belajar matematika,tetap
merupakan sesuatu yang kurang diperhatikan dan dihargai guru. Dalam berbagai
kesempatan, guru menemukan bahwa siswanya dapat menikmati matematika ketika
matematika diajarkan dan dipelajari. Guru tersebut melaporkan hal ini kepada saya
dengan perasaan terkejut dan senang, tetapi juga agak kuatir, seolah-olah terjadi
kesalahan pendekatan terhadap matematika yang diikuti anak. Hal ini mungkin
disebabkan guru kurang mengetahui tentang adanya motivasi intrinsik yang
mendorong anak menikmati belajar matematika.

18
DAFTAR PUSTAKA

Skemp, Richard R. 1971. The Psychology of Learning Mathematics. England:


Penguin Books.

Slavin, Robert E. 2009. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: Indeks.

19

Anda mungkin juga menyukai