Anda di halaman 1dari 43

Terima Kasih Tuhan...

Ternyata Anak Saya Normal

Saya menulis artikel ini berdasar pengalaman membantu menangani kasus anak SD kelas
3, sebut saja Ani, dari salah satu sekolah swasta ternama di Surabaya. Cerita lengkapnya
sebagai berikut.

Minggu lalu saya mendapat telpon dari seorang ibu, sebut saja Lina, yang dengan nada
cemas dan agak frustasi menceritakan kondisi Ani. Ani mengalami beberapa masalah
seperti tidak percaya diri, sulit konsentrasi, dan sangat sulit menghapal materi pelajaran.
Untuk membantu Ani, Bu Lina telah meminta bantuan guru dari sekolah Ani memberikan
les atau pelajaran tambahan pada Ani setiap hari 3 jam. Namun hasilnya Ani tetap
mengalami kendala belajar. Bahkan untuk pelajaran Pensos Ani sudah remedi 3 x dan
hasilnya selalu jelek. Bu Lina pusing dan stress memikirkan anaknya.

Saat bertemu saya di ruang terapi, penilaian awal saya adalah Ani adalah anak yang
pemalu dan memang kurang percaya diri. Namun setelah berinteraksi beberapa saat
dengan saya Ani berani bicara dengan lebih leluasa. Menindaklanjuti apa yang
disampaikan oleh ibunya saya mulai melakukan serangkaian penggalian data untuk
mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Ani.

Menurut Bu Lina guru les Ani telah berulang kali meminta agar Ani menjalani tes IQ.
Alasannya adalah karena Ani sulit belajar dan konsentrasi. Namun Bu Lina tidak bersedia
melakukan tes IQ pada Ani karena ia yakin anaknya normal dan tidak bermasalah.

Setelah melewati serangkaian tes yang saya lakukan dan kemas melalui permainan saya
sampai pada kesimpulan yaitu:
1. Ani anak yang manis, baik, dan normal.
2. Kendala belajar, dalam hal ini menghapal, sebenarnya lebih disebabkan karena adanya
mental block pembelajaran.
3. Guru les mengajar Ani dengan cara konvensional, bukan dengan teknik yang sesuai.
Dan Ani telah les pada guru ini selama 2 tahun.
4. Ani tidak suka dengan guru lesnya.
5. Sistem pengujian yang dilakukan di sekolahnya mengharuskan Ani untuk bisa
menjawab pertanyaan persis sama seperti yang ada di catatan.
6. Rasa kurang percaya diri Ani juga berhubungan dengan kemampuan Matematikanya,
dalam hal ini penguasaan tabel perkalian yang masih lemah.

Saya membuktikan kepada Bu Lina mengenai temuan saya di atas. Pertama saya
meminta Ani menghapalkan 10 kata yang saling tidak berhubungan. Seperti murid
lainnya Ani menghapal dengan membaca kata demi kata secara berulang. Setelah itu saya
meminta Ani mengulangi apa saja yang telah ia hapalkan. Ani mengalami kesulitan. Dari
10 kata yang Ani ingat hanya 3 saja.

Selanjutnya saya bertanya, "Tadi waktu Pak Adi minta Ani menghapalkan kata-kata ini,
apa yang Ani rasakan?"
"Males, bosan, takut, merasa nggak bisa, nggak suka" jawab Ani dengan agak takut.

Selanjutnya saya menanyakan intensitas emosi yang ia rasakan. Ternyata sangat intens.
Dari skala 1 sampai 10 Ani merasakannya di skala 8. Pantas, tadi saat Ani menghapal,
walaupun ia telah berusaha keras, tetap saja tidak bisa maksimal.

Saya lalu mendemokan teknik Surrogate Hypno-EFT sambil disaksikan oleh Bu Lina.
Hanya dengan kalimat Set Up ambil mengurut sore spot intesitas emosi langsung turun
ke 0. Lalu saya lakukan uji hasil terapi ini. Hasilnya... confirmed...emosinya sudah clear
semua. Selanjutnya memberikan beberapa sugesti tambahan untuk memperkuat hasil
terapi ini. Baru setelah itu saya meminta Ani menghapal 10 kata yang telah saya siapkan
namun kali ini saya mengajarkan teknik memori pada Ani.

Hasilnya?

Dahsyat. Ani mampu mengingat 10 kata ini dengan sempurna. Bahkan saya beberapa kali
meminta Ani untuk mengulangi menyebutkan 10 kata yang telah ia hapalkan dan hasilnya
Ani tetap bisa mengingat semuanya dengan sangat baik.

Saya melihat mata Bu Lina berkaca-kaca. Dan saya katakan bahwa Ani sebenarnya tidak
ada masalah. Yang bermasalah justru guru lesnya yang tidak tahu cara mengajari Ani
dengan benar. Dan yang lebih menjengkelkan adalah guru les ini dengan entengnya
mengatakan bahwa Ani bermasalah, anak yang lamban, dan masalah belajar Ani
disebabkan oleh IQ yang rendah. Itu sebabnya guru les ini berulang kali meminta agar
Ani menjalani tes IQ. Keprihatinan seperti inilah yang saya tuangkan ke dalam artikel
saya sebelumnya yang berjudul "Teaching Disabled vs Learning Disabled".

Sungguh kasihan Ani. Dalam satu hari ia "sekolah" 2 kali. Bayangkan, setiap hari Ani les
3 jam @ 60 menit sama dengan 180 menit. Kalau 1 jam pelajaran di sekolah adalah 35
menit maka ini sama saja Ani "sekolah" lagi di rumahnya, dan yang mengajar adalah guru
les yang nota bene adalah guru di sekolahnya juga, selama 5 jam pelajaran.

Kendala kedua yang Ani hadapi adalah sistem sekolah yang kaku yang mengharuskan
siswa menjawab sama persis seperti yang di catatan. Lha, kalau begini kondisinya, anak
pasti akan mengalami kendala. Apalagi kalau yang ditanyakan adalah definisi. Jangankan
muridnya, gurunya saja belum tentu bisa menghapal dan menjawab dengan benar.

Selanjutnya saya melakukan terapi pada beberapa aspek yang berhasil saya gali dari Ani,
antara lain perasaan negatif yang muncul akibat ulah temannya dan juga gurunya. Dalam
hal ini tidak penting apakah teman atau gurunya memang membuat masalah pada Ani.
Yang penting adalah emosi yang tersimpan dalam diri Ani, akibat persepsinya atas
kejadian itu, dinetralisir.

Sedangkan mengenai penguasaan tabel perkalian yang masih lemah saya menyarankan
Bu Lina untuk segera fokus membantu Ani untuk menguasainya. Hal ini sangat penting
karena tabel perkalian ini mutlak dibutuhkan untuk bisa mengerjakan soal yang lebih
rumit di kelas atas. Jika tidak menguasai tabel perkalian maka anak akan mengalami
kendala belajar yang bisa mempengaruhi konsep dirinya hingga dewasa.

Saya menyarankan Bu Lina untuk membaca buku saya Cara Genius Menguasai Tabel
Perkalian dan mengajarkannya pada Ani. Saya juga mendemokan cara menghapal
perkalian 9 yang ternyata dalam waktu yang singkat berhasil Ani kuasai.

Saya mengatakan pada Bu Lina bahwa hanya ini yang saya bisa lakukan untuk membantu
Ani. Untuk sistem di sekolah Ani, saya tidak bisa apa-apa. Bu Lina bisa memahami hal
ini dan benar-benar merasa lega karena akhirnya terbukti bahwa anaknya normal.

Untuk memperkuat efek perubahan yang telah berhasil dicapai saya mengajarkan Bu
Lina apa saja yang perlu ia dan suaminya lakukan di rumah untuk mendukung Ani agar
bisa berkembang lebih baik lagi di masa depan.

Understanding Ego State

Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik intervensi klinis yang bisa digunakan untuk
membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari sekian banyak teknik, salah satunya
yang sangat efektif adalah Ego State Therapy.

Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan pada Ego State. Untuk memahaminya
kita perlu memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan


pada anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:

1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada dua bagian dari diri anda yang “ribut”.
Satu bagian ingin anda segera bangun dan yang satu lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat keputusan anda bingung karena ada beberapa
bagian dari diri anda yang saling tidak setuju dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan bersalah setelah melakukan suatu
tindakan. Padahal saat melakukannya anda merasa sangat yakin dengan tindakan anda.

Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada
telah mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State sebenarnya adalah bagian dari
diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.

Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah sebuah sistem perilaku dan pengalaman
yang terorganisir yang elemen-elemennya saling terhubung melalui beberapa prinsip
yang sama tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang dapat ditembus (permeabilitas)
hingga derajat kedalaman dan fleksibilitas tertentu.

Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?


Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan secara pasti. Ini juga bergantung pada
teori masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric
Berne mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Gestalt Therapy, yang dikembangkan
oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu
jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak
”diri”. Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa
banyak ”diri” dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh
Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian”
yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri”
mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling
terhubung antara satu dengan yang lain.

Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip dengan Ego State. Sekarang mari kita
bahas sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.

Orang pertama yang menulis tentang Ego State adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud.
Menurut teori yang dikembangkannya Federn mengatakan bahwa kepribadian seseorang
tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut sebagai Ego State. Ego State yang aktif
pada suatu saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.

Walaupun Federn (1952) menetapkan dan menyusun teori tentang Ego State, ia tidak
mengembangkan teknik terapi menggunakan dasar teori kepribadian ini. Federn
melakukan praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan orientasi terapi yang populer pada
jamannya.

Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss, seorang Italia yang sedang dalam proses
menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn.
Federn menceritakan pandangannya tentang kepribadian kepada Weiss.

Selanjutnya John Waktins mendapat pengetahuan ini pada saat belajar di bawah
bimbingan Weiss sebagai bagian dari proses pendidikannya untuk menjadi seorang
psikoanalis. Dari sinilah Ego State Therapy berkembang.

Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di Welsh Convalescent Center membantu


tentara yang kembali dari perang dunia kedua Waktins menemukan bahwa tentara yang
diterapi dengan menggunakan hipnosis mengalami pertukaran kondisi emosi tertentu.
Pada saat itu Watkins belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tentara yang ia
tangani. Barulah pada saat ia belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi mengenai Ego
State akhirnya Watkins bisa memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.

Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard menemukan bagian dari diri manusia
yang mereka sebut dengan Hidden Observer atau Pengamat Tersembunyi. Mereka
menemukan adanya Hidden Observer melalui eksperimen fenomena trance seperti
negative auditory hallucination dan anesthesia.

Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan tidak bisa mendengar atau merasakan
sakit namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang sesungguhnya tetap mendengar dan
merasakan semua ini.

John Waktins mengenali Hidden Observer sama dengan Ego State yang dikatakan oleh
Federn dan Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins dan istrinya, Helen Watkins,
mengulang eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang memvalidasi pemikiran
mereka.

Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins mulai mempublikasikan hasil riset
mereka mengenai Ego State di berbagai jurnal dan artikel. Dan pada tahun 1997 mereka
menerbitkan buku dengan judul Ego States: Theory and Therapy.

Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego State Therapy dan dipublikasikan dalam
bentuk artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare Frederick, Shirley McNeal, Moshe
Torem, Waltermade Hartman, Gordon Emmerson, Hunter, George Fraser, dan Michael
Gainer. Di tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia pertama Ego State Therapy di Bad
Orb, satu kota dekat Frankfurt.

Bagaimana Ego State Terbentuk?

Menurut Watkins Ego State terbentuk karena tiga hal. Pertama melalui normal
differentiation yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan yang lainnya, misalnya
makanan yang ia suka dan tidak suka, orang yang baik dan tidak baik terhadap dirinya.

Kedua adalah introjection of significant others yaitu anak menyerap energi positif atau
negatif dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya orangtua, guru, teman, atau siapa
saja yang dianggap penting oleh anak, dan energi ini termanifestasi dalam diri anak
dalam bentuk “Bagian Diri” yang dinamakan Introject.

Dengan kata lain introject adalah manifestasi/perwujudan suatu figur yang mempunyai
peranan penting dalam kehidupan seseorang yang diadopsi/tersimpan dan “hidup” di
dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar orang tersebut. Contoh introject antara lain
sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual,
dan lain-lain.

Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk akibat pengalaman traumatik. Saat anak
mengalami suatu pengalaman traumatik dan tidak ada Ego State dalam dirinya yang
mampu menangani trauma ini maka akan muncul atau tercipta Ego State baru yang
khusus berfungsi menangani trauma ini.

Sedangkan menurut teori perkembangan otak, Ego State terbentuk sebagai akibat dari
pengalaman atau kejadian yang dialami anak yang bersifat berkesinambungan atau
berulang. Misalnya pada masa kecil seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang
penuh kasih sayang dan mendukungnya maka akan muncul Ego State yang mempunyai
sifat kasih sayang. Ego

State ini muncul karena anak mengalami pengalaman secara berulang (baca: stimulasi)
sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur saraf yang terdiri dari koneksi axon dan
dendrite yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila anak dibesarkan dalam
lingkungan yang keras maka akan muncul atau tercipta Ego State dengan sifat yang
keras.

Klasifikasi Ego State

Surface dan Underlying Ego State

Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State muncul atau aktif maka kita mengenal ada
dua jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego State. Surface Ego State adalah
Ego State yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani hidup dan berinteraksi
dengan lingkungan. Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego State yang jarang
muncul atau digunakan.

Saat seseorang mengalami suatu pengalaman hidup dengan menggunakan Ego State
tertentu maka Ego State ini disebut sebagai Ego State yang executive atau yang
memegang kendali. Secara umum dalam keseharian Surface Ego State yang aktif berkisar
antara empat hingga lima.

Seseorang yang sedang mengendarai mobil menuju ke kantor atau tempat kerjanya
menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan saat bekerja di kantor ia menggunakan
Ego State lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa jadi ia menggunakan Ego State
yang lain lagi.

Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang paling mudah
diajak berkomunikasi adalah Surface Ego State karena mereka mudah untuk berbagi
informasi. Bisa juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak berkomunikasi dengan
Surface Ego State. Bila demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses informasi yang
ada pada Underlying Ego State ini dengan menggunakan cara biasa.

Ego State dan Alter

Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita mengenal dua jenis Ego State yaitu
normal Ego State dan Alter. Normal Ego State mampu berkomunikasi dengan baik
dengan Ego State lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang jalinan komunikasinya
sangat buruk atau (hampir) terputus dengan Ego State lainnya.

Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila Alter ini sedang executive maka apa
yang ia lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya. Kondisi ini dikenal dengan nama
DID atau Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih terkenal dengan MPD
(Multiple Personality Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami pengalaman yang
sangat traumatik (severe and chronic abuse) sehingga mekanisme pertahanan diri pikiran
bawah sadar membuat anak “lupa” pada kejadian itu dengan cara memutus jalur
komunikasi antara Alter (Ego State yang mengalami trauma) dan Ego State lainnya yang
“sehat”.

Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves, Bliss, Putnam, Lienhart, Schreiber,
Loewenstein) yang saya pelajari dan dalami ternyata ada minimal 16 (enam belas)
kelompok alter. Penanganan alter menggunakan strategi yang berbeda dengan
penanganan Ego State.

Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya

Ego State yang berfungsi normal, non-patologis, mempunyai peran yang konstruktif demi
kemajuan Ego State lain dan juga si individu. Selain Ego State yang bekerja dan
berfungsi normal, juga ada yang bersifat patologis yang dikenal dengan Ego State yang
bersifat vaded, retro-functioning, conflicting, dan malevolent.

Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi mereka yang
seharusnya karena mengalami trauma atau pengalaman yang negatif. Saat Ego State jenis
ini tampil dan aktif atau executive maka individu akan mengalami kembali emosi negatif
yang berhubungan dengan trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut dengan situational
neurosis. Vaded Ego State tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa membuatnya
berfungsi normal kembali maka Ego State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga
emosi yang berhubungan dengan trauma yang ia alami dapat diproses tuntas.

Retro-functioning Ego State adalah Ego State yang menjalankan peran lama yang
bertentangan dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung kemajuan individu. Ego
State jenis ini antara lain menampilkan simtom berupa kemarahan yang tidak terkendali,
kebiasaan berbohong yang kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk mengatasi
hal ini bisa dilakukan negosiasi sehingga Retro-functioning Ego State bersedia
menjalankan peran baru yang lebih positif dan konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded
dan retro-functioning.

Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang positif bagi individu namun mengalami
konflik kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya. Contoh seseorang mengalami
Conflicting Ego State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu tetapi mendapat
pertentangan dari dalam dirinya. Misalnya seseorang ingin berhenti merokok namun
tidak bisa karena ada bagian dari dirinya yang sangat suka merokok. Dalam hal ini
terdapat dua Ego State yang saling bertentangan. Konflik ini juga bisa muncul saat
seseorang ingin diet namun tidak bisa menahan keinginan makannya.

Malevolent Ego State adalah Ego State yang bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat
kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu, maupun orang lain. Ego State jenis ini
yang biasanya membuat seseorang memukul atau menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa
sampai mengakibat seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Dalam konteks terapi Malevolent Ego State adalah jenis Ego State yang paling sulit
untuk bisa diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama, atau ditundukkan. Ego State
ini jugalah yang selalu menghambat dan menghalangi proses terapi. Teknik terapi
konvensional yang hanya mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak akan bisa
berhasil selama Ego State ini belum berhasil ditundukkan.

Ego State Menurut Gender dan Usia

Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun dalam
diri klien juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak kecil, remaja, dewasa, atau
orang tua. Ego State juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.

Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata lain, dalam
diri seorang wanita bisa ada Ego State berjenis kelamin baik pria maupun wanita, mulai
yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri seorang pria.

Masing-masing Ego State biasanya mempunyai nama atau panggilan yang digunakan
untuk berkomunikasi baik dengan sesama Ego State, dalam bentuk komunikasi
internal,maupun dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.

Ego State dan Fisiologi

Setiap Ego State berperan sebagai “manusia” kecil di dalam diri seseorang. Ego State
mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat, perilaku, memori, emosi, kebutuhan,
dan tujuan sendiri.

Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan aktif maka individu akan mengalami
perubahan fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat percaya diri maka saat ia
tampil dan aktif individu juga akan tampil percaya diri, berdiri tegak, berbicara dengan
suara yang tegas, dan pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State mengidap suatu
penyakit tertentu maka saat ia tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik si
individu.

Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa seorang wanita yang mengidap penyakit reflex
sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala penyakit ini saat tiga Ego State lainnya
tampil dan aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya menggunakan Ego State Therapy
dan berhasil menemukan Ego State, yang mengalami trauma, yang menyebabkan sakit
pada wanita ini. Setelah trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh total dari
penyakit yang dideritanya.

Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego State Therapy terhadap para wanita yang
menderita menstrual migraine kronis dan berhasil mengurangi rata-rata jumlah hari
migraine per bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga menunjukkan
berkurangnya depresi dan kemarahan secara signifikan.

Lokasi Ego State


Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di
depan, di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan kalau di dalam tubuh bisa di satu
lokasi tertentu, misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung, perut, atau kaki, dan
bisa juga menempati seluruh tubuh secara merata.

Apa Beda Ego State dan Introject?

Ego State dan Introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri
namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State berasal dari dalam diri individu
sedangkan Introject berasal dari luar.

Introject adalah persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah
sadar. Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak Introject dalam diri seseorang.

Dalam proses terapi, khususnya saat menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk bisa
memproses trauma, maka Ego State yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi
yang tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.

Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject yang ada dalam diri klien. Dialog dengan
Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh orang awam. Apalagi bila Introject ini
adalah Part yang merupakan internalisasi persepsi terhadap orang yang telah meninggal.
Mereka yang tidak mengerti mengira yang diajak bicara adalah roh orang yang telah
meninggal.

Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil muncul Introject, atau biasa sering disebut
sebagai figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak masih hidup, mulai kecil hingga usia
tua, Introject ini akan terus “hidup” di dalam diri anak.

Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah meninggal dunia. Yang meninggal adalah
si ayah yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam diri anak tetap hidup atau ada.
Sehingga pada saat proses Ego State Therapy dilakukan terhadap Introject Ayah, dalam
diri anak, akan terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara dengan si Ayah. Tujuan dialog
ini untuk memproses emosi negatif yang masih tersisa dalam diri anak terhadap ayahnya
atau sebaliknya.

Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun, yang melakukan aborsi hingga lima kali.
Aborsi pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun. Saat membantu klien mengatasi
berbagai emosi negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia lakukan, salah satu
teknik yang saya gunakan adalah memproses emosi yang berhubungan Introject Janin
yang ia gugurkan. Saat itu muncul lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang luar
biasa lagi Introject dari janin yang pertama digugurkan, yang dipanggil dengan nama
Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam pikiran klien tentunya, hingga usia 11 tahun.
Bila anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi, masa kehamilan sekitar 9 – 10
bulan, dan saat ia bertemu saya untuk terapi maka usia Introject Michael adalah benar 11
tahun.
Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani murid saya adalah kasus wanita yang
“kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh “makhluk” halus dan tubuhnya menjadi
kaku dan lumpuh.

Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini
minta diberi nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya adalah Introject dari janin wanita
ini yang keguguran. Setelah “makhluk” ini diberi nama, wanita ini langsung sembuh, bisa
bangkit berdiri dan jalan normal.

Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis.
Yang terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita ini muncul dan minta nama. Tubuh
wanita yang menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah indikasi bahwa ia berada dalam
kondisi trance sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic, dua level di bawah
Profound Somnambulism.

Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai Introject, saya pernah bertukar peran dengan
seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut saja Agung, saya sugestikan menjadi diri
saya. Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W. Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta
untuk melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia melakukannya dengan sangat
baik. Yang terjadi adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil dan aktif dan berperan
sebagai Adi melalui diri Agung.

Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak sudah menulis berapa buku?”

Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis delapan buku.”

Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang telah ditulis pada Introject Adi belum
diupdate. Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12 buku. Dan pola pikir “Adi”
tentunya berbeda dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau Introject Adi adalah
pola pikir berdasarkan persepsi Agung terhadap diri saya.

Obat Antidepresan dan Ego State

Klien yang mengalami depresi biasanya diberi obat antidepresan agar bisa tenang.
Pemberian obat antidepresan sampai pada taraf tertentu sangat membantu klien untuk
bisa stabil dan berinteraksi dengan lingkungannya walaupun masalah yang dialami klien
belum diatasi.

Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini memblok atau menekan Ego State yang
mengalami depresi sehingga tidak bisa muncul, dari surface menjadi underlying, dan
klien merasa tidak ada masalah atau baik-baik saja, selama obatnya terus diminum. Jika
klien berhenti minum obat maka kondisinya akan kembali menjadi tidak stabil karena
Ego State yang tadinya tertekan kini muncul kembali dan aktif.

Saya pernah menangani klien yang sempat depresi karena pasangannya selingkuh. Klien
selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya baik-baik saja. Dalam kondisi sadar
normal klien mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia sudah tidak lagi marah
pada pasangannya. Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan pasangannya ia juga biasa-
biasa saja. Saya yakin kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini adalah karena
pengaruh obat yang masih ia minum.

Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata


klien masih menyimpan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam kepada
pasangannya. Selama Ego State yang menyimpan emosi ini tidak diproses maka klien
akan selalu bergantung obat untuk bisa tenang.

Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya sebelum diberi obat klien dibantu dengan
Ego State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis dapat mengakses Ego State yang
mengalami depresi dan memproses emosinya dengan cepat dan tuntas sehingga klien
tidak perlu harus minum obat.

Cara Mengakses Ego State

Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses Surface Ego State. Namun bila kita
ingin mengakses Underlying Ego State yang menyimpan trauma tertentu maka
dibutuhkan teknik yang spesifik dengan prasyarat khusus.

Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego State. Pertama, dengan menggunakan
rileksasi pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran. Umumnya buku atau literatur tentang
Ego State Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai sarana untuk mengakses
Underlying Ego State. Dengan kondisi pikiran yang rileks dan penggunaan teknik yang
tepat akan dicapai hasil terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang relatif singkat.

Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya digunakan untuk bisa mengakses
Underlying Ego State adalah profound somnambulism. Bila kurang dalam atau lebih
dalam dari profound somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan kurang efektif.

Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya menemukan bahwa kita bisa mengakses
Underlying Ego State tanpa harus merilekskan pikiran sama sekali. Hasil terapi yang
dicapai juga sama efektifnya.

Masing-masing cara mengakses Underlying Ego State mempunyai kelebihan masing-


masing dan digunakan dalam situasi yang berbeda.

Manfaat Ego State Therapy

Ego State Therapy bila dipelajari dengan mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik
akan memberikan manfaat terapeutik yang sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik
profesional sebagai hipnoterapis, dengan menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil
membantu klien mengatasi masalah, antara lain:

•phobia
•trauma/luka batin
•tidak percaya diri
•kesulitan diet
•takut sukses
•takut gagal
•insomnia
•migraine
•masalah seks
•kecemasan
•stress
•depresi
•takut berbicara di depan umum
•konflik diri (inner conflict)
•pencapaian prestasi hidup rendah
•perilaku obsessive/compulsive
•perilaku adiktif
•berbagai penyakit psikosomatis
•sabotase diri
•dan masih banyak lagi.

Memahami Penyakit Psikosomatis

Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria, sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh
sakit kepala sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan. Pak Rudi telah berobat ke
dokter, telah melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah menjalani CT Scan dan
MRI. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama sekali tidak ada
masalah.

Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke
negeri jiran dan kembali menjalani pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi
dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan sakit
kepala Pak Rudi.

Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-sama mengatakan bahwa sakit kepala
Pak Rudi ini disebabkan karena pikiran, bukan karena masalah fisik. Mereka
menyarankan Pak Rudi untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai, berolahraga, dan
kalau perlu mengambil cuti dan berlibur untuk menenangkan pikiran.

Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal sebagai penyakit psikosomatis. Psiko
artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang
timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga
disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang sering disebut
dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya
sama.
Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum Hypnosis Indonesia juga pernah menangani
klien, seorang wanita, yang alergi gula atau makanan yang manis. Jika ia makan permen
atau minum minuman yang manis maka seluruh tubuhnya akan gatal dan bengkak. Yang
aneh adalah bila ia makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang namanya gula itu
kan glukosa. Bukankah karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah menjadi
glukosa? Secara logika, harusnya kalau ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya
akan sama dengan makan permen atau minum minuman yang manis.

Banyak orang menderit penyakit psikosomatis namun tidak menyadarinya. Mereka


biasanya akan terus berusaha sembuh dari sakit yang dideritanya dengan terus berobat
namun tidak bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya intensitas penyakitnya saja
yang menurun tapi tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat biasanya akan kambuh
lagi dan bisa lebih parah dari sebelumnya.

Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya dalam satu sesi terapi setelah akar
masalah yang mengakibatkan penyakit psikosomatisnya berhasil ditemukan dan
dibereskan.
Apa saja sakit yang masuk kategori psikosomatis? Semua sakit fisik yang disebabkan
oleh kondisi mental atau emosi penderitanya; mulai sakit kepala, sesak napas, badan
lemas lunglai tak bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur, sakit maag, mata berkunang-
kunang, bahkan lumpuh, dan masih banyak lagi.

Bagaimana Terjadinya?

Untuk memahami terjadinya penyakit psikosomatis kita perlu mencermati hukum pikiran
dan pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada banyak hukum yang mengatur cara kerja
pikiran, salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan mengakibatkan perubahan pada tubuh
fisik bila simtom ini bertahan cukup lama.

Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila
seseorang berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan dirinya bahwa ia sakit jantung,
maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di daerah dada, yang ia
yakini sebagai gejala sakit jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan akhirnya ia
menjadi sangat yakin, menjadi belief, karena gejalanya memang “benar” adalah gejala
sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum yang kedua, ia akan benar-benar sakit
jantung.

Biasanya orang tidak akan secara sadar menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya
yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak nyaman, secara emosi. Sayangnya
mereka tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini sebenarnya adalah salah satu
bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar.

Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa melalui
perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Umumnya pikiran bawah
sadar menyampaikan pesan melalui perasaan atau emosi tertentu. Bila emosi ini tidak
ditanggapi atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level intensitas pesannya menjadi
suatu bentuk gangguan fisik dan terjadilah yang disebut dengan penyakit psikosomatis.

David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis dalam buku mereka, Clinical
Hypotherapy (1968), terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan penyakit psikosomatis:
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ Language : bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengungkapkan
perasaannya. Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh saya sakit
sekali.” Bila pernyataan ini sering diulang maka pikiran bawah sadar akan membuat
bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai dengan semantik yang digunakan oleh klien.
-Motivation / Secondary Gain: keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan sakit
yang dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua, suami, istri, atau lingkungannya, atau
menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past Experience : pengalaman di masa lalu yang bersifat traumatik yang mengkibatkan
munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang.
-Identification : penyakit muncul karena klien mengidentifikasi dengan seseorang atau
figur otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan mengalami sakit seperti yang
dialami oleh figur otoritas itu.
-Self Punishment : pikiran bawah sadar membuat klien sakit karena klien punya perasaan
bersalah akibat dari melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai hidup
yang klien pegang.
-Imprint : program pikiran yang masuk ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami
emosi yang intens. Salah satu contohnya adalah orangtua menanam program ke pikiran
bawah sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan
demam."

Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan


penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah
sadar untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental yang
berlebihan (overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci,
dendam, takut, dan perasaan bersalah.

Bagaimana Mengatasinya?

Karena yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah emosi maka terapis harus
mampu membantu klien memproses emosi terpendam yang menjadi sumber masalah.

Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi
penyakit psikosomatis dan menghilangkan simtomnya melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke
level pikiran sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan
dirasakan oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
4.Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah sadar,
sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan, yang mana
keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed content) di
pikiran bawah sadar.

Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah dilakukan dengan hypnoanalysis
mendalam. Ada banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan untuk melakukan
hypnoanalysis. Setelah itu, emosi yang berhubungan dengan memori dialami kembali,
dikeluarkan, diproses, dan di-release. Dan yang paling penting adalah kita mengerti pesan
yang selama ini berusaha disampaikan oleh pikiran bawah sadar dengan membuat klien
mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah itu proses kesembuhan bisa terjadi.

Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka
pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan penyakit itu atau
memunculkannya lagi di masa mendatang.

Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang disampaikan oleh Dr. Raymond Charles
Barker, “When there is a problem, there is not something to do. There is something to
know.”

Hypnosis and Memory

Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya sedang berdiskusi (post hypnotic
interview) tentang proses dan hasil terapi dengan seorang klien, usai melakukan
hipnoterapi. Klien ini bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses terapi, saat Bapak
membantu mencari dan menemukan akar masalah yang saya alami, ternyata muncul
memori dari masa kecil yang selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori ini apa
memang benar seperti itu kejadiannya ataukah hanya fantasi saya saja?”

Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas saya perlu menceritakan sekilas proses
yang terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang kepada hipnoterapis karena mengalami
suatu masalah atau simtom tertentu.

Untuk membantu klien menemukan akar dari masalah atau simtom yang dialami klien,
hipnoterapis akan menggunakan uncovering technique, ada major uncovering technique
dan minor uncovering technique, yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan
kondisi klien.

Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi, menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan


menggunakan teknik uncovering meliputi empat hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar atau emosi harus terjadi agar klien dapat
membuat keputusan di masa depan tidak terpengaruh oleh materi yang direpres atau
belum terselesaikan.

Saat mencari akar masalah, seperti yang dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami
regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke kejadian awal yang menjadi sumber
masalahnya. Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini disebut I.S.E atau Initial
Sensitizing Event.

Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah, “Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian
yang dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”

Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah, “Tidak penting dan tidak peduli. Yang
penting klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?

Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah data yang tergali saat terapi adalah
benar-benar data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang penting klien sembuh, titik.
Namun tentu saja, bila berbicara mengenai penggalian data dari memori, seperti dalam
forensic hypnosis, saya tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic hypnosis saya
tentu akan lebih hati-hati dan harus didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun
untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun data yang muncul. Yang penting klien
sembuh.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah data/memori yang tergali saat proses terapi
adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi? Kalau akurat, seberapa akuratkah data
ini?”

Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”

Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari luar diri kita jumlahnya sangat banyak
sekitar 2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena banyaknya informasi yang harus
diproses, agar kita tidak mengalami overload, maka pikiran sadar akan melakukan filter
berdasar kriteria berikut:

• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh


• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran
bawah
sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang
dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario
pemikiran. Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak
yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke
bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya
warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen
informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasi ini telah bertambah
sekitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah
menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima.
Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita
sendiri, bukan apa informasi itu adanya.

Sekarang anda pasti telah memahami mengapa saya mengatakan bahwa data yang tergali
saat sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini bukannya salah namun sudah terdistorsi
oleh persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai dengan emosi tertentu. Jadi, bisa
dikatakan data yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan + emosi.

Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa data yang tergali dalam sesi terapi adalah
data yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian hari Freud menyadari bahwa memori
yang tergali dalam proses terapi ternyata mengandung emosi yang kuat, campuran antara
perasaan takut, fakta, dan persepsi.

Panel yang dibentuk oleh AMA (American Medical Association) yang terdiri dari delapan
pakar, antara lain Martion Orne, Bernard Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel,
sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age regression pengalaman subjektif mengalami
kembali pengalaman di masa kecil walaupun seakan-akan nyata dan benar demikian
adanya – tidak berarti sama persis dengan kejadian sesungguhnya (Council on Scientific
Affairs, 1985, p. 1919)

Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori
yang menyatakan pikiran merekam secara objektif kejadian atau pengalaman ,apa adanya
seperti yang terjadi, seperti sebuah kamera video, tidaklah benar.

Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di memori, mengalami
distorsi baik saat pertama kali data diterima dan disimpan, saat telah berada di memori,
saat pemanggilan data (retrieval), saat data keluar dari memori dan diungkapkan secara
verbal maupun non verbal.

Walaupun data yang tergali adalah data yang subjektif, data yang telah mengalami
distorsi, namun bila data ini tergali dalam kondisi profound somnambulism, akurasinya
jauh lebih tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar normal.

Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya distorsi yang terjadi akibat
tercampurnya data yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan “data” yang berasal dari
pikiran sadar, saat proses penggalian di memori.

Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis atau profound somnambulism, adalah
kondisi yang sangat kondusif untuk menggali data di pikiran bawah sadar. Dalam kondisi
ini pikiran sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja sehingga data, dari pikiran
bawah sadar, bisa dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.

Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy, saya menjelaskan


mekanisme komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar , naiknya data dari pikiran bawah
sadar ke pikiran sadar secara real time.

Saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism pikirannya menjadi sangat
terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang dikatakan oleh Dave Elman, meningkat
hingga 2.000%.

Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi digunakan sepenuhnya untuk membantu
klien mengatasi masalahnya, bukan melakukan pengecekan dan validasi data seperti yang
dilakukan dalam forensic hypnosis. Jadi, hipnoterapis dalam hal ini tidak akan
mempermasalahkan akurasi data itu. Yang penting klien sembuh.

Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien akan ada dua skenario yang bisa terjadi,
bergantung pada level kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai klien. Pertama, klien
hanya akan mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut hypermnesia atau pseudo
revivification yang akan dialami klien yang berada dalam kondisi medium trance. Kedua,
pada kedalaman deep trance, klien mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu
sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini disebut dengan revivification.

Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan adalah pertanyaan yang diajukan terapis
kepada klien, apakah bersifat leading ataukah guiding. Pertanyaan yang bersifat leading
akan mengakibatkan terciptanya false memory yang akan sangat merugikan klien dan
malah bisa membuat kondisi klien menjadi semakin parah. Sedangkan pertanyaan yang
bersifat guiding bersifat netral dan objektif.

Saya pernah diminta membantu menangani satu kasus yang, katanya, akibat dari
penggunaan hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab. “Korban”, juga menurut
informasi yang saya dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi dengan terapis lain
untuk mengatasi masalahnya.

Setelah saya pertimbangkan dengan saksama akhirnya saya putuskan untuk tidak
menangani kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan forensic hypnosis pada
“korban”, untuk menggali informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan bisa
mendapatkan data yang otentik. Tidak bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan
terapis lainnya, yang juga telah membantu menangani “korban”, saya tidak tahu teknik
apa yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang membantu “korban” ternyata datang
dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda.

Berikut saya berikan contoh bahaya false memory. Misalnya seorang klien wanita
mengaku merasa mengalami pelecehan seksual oleh pamannya, saat ia masih kecil.
Terapis yang tidak profesional dan tidak mengerti bahaya pertanyaan leading akan
melakukan hal berikut, setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu terjadi:
Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?

Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang berada dalam kondisi deep hypnosis apa
yang dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan memunculkan gambaran mental yang
seakan-akan merupakan kejadian yang sesungguhnya. Pada contoh di atas yang terjadi
sebenarnya adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar. Om menjadi berada di dalam
kamar karena sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan oleh si terapis.

Negara Dengan Kualitas Pendidikan Terbaik di Dunia

Teman-teman semua, berikut ini adalah artikel yang sangat bagus yang ditulis
oleh sahabat saya Bapak Satria Dharma, salah satu tokoh pendidikan nasional. Semoga
bermanfaat.

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama
di dunia? Finlandia. Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya
perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa. Peringkat 1
dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif
pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD).

Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student
Assesment) mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga
Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga
menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.

Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya
sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia?

Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan
rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya. Finlandia
tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR
tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes.

Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan
dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih
sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah
Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
Apa gerangan kuncinya?

Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan
kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang
sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik
biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1
dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas
hukum atau kedokteran!

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian
yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan
testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat
kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang
guru di Finlandia.

Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan
tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!. Ini membantu
siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala
sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri
informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya
terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan
suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.

Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat
Finlandia sukses.

Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara


siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.
Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk
memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa
membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang
harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu;
berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk
menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka,
jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa
malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap
siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil
mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa
diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru
memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
Bisakah Hipnoterapis Menerapi Keluarganya Sendiri?

Ide menulis artikel ini muncul saat membaca respon seorang rekan di Facebook. Saat itu
saya memposting tulisan “Apakah engkau sudah memaafkan orang yang menyakitimu?
"Belum." Musuh kita bukanlah mereka yang menyakiti kita, melainkan sifat membenci
yang ada pada diri kita.”

Rekan ini menulis, “Pak kenapa kok saya belum bisa memaafkan juga ya? Padahal saya
sudah diterapi berkali-kali, mengapa masih ada sisa perasaan jengkel? Apanya yang salah
nih? Saya sangat tersiksa dengan rasa dendam ini.”

Selanjutnya ia menambahkan, “ Saya sudah menerapkan Hypno-EFT yang ada di buku


Quantum Life Transformation. Sudah pake pertanyaan kritis di buku The Secret of
Mindset, padahal saya orang yang mudah trance. Dan tiap sesi terapi saya dibantu suami.
Kebetulan suami saya praktisi hipnoteapi (CHt) dan sudah banyak membantu orang lain.
Tiap hari saya dicintai seorang hipnoterapis. Saya juga bingung Pak kenapa ya saya ini?
Saya lalu curhat sama hipnoterapis lain. Katanya sebaiknya saya menerapi diri sendiri,
jangan dibantu suami. Waktu saya menerapi diri sendiri dengan Hypno-EFT, belum satu
putaran saya mual dan muntah-muntah. Tiap kali saya menerapi diri sendiri selalu terjadi
seperti ini. Sepertinya bawah sadar saya memberi sinyal menolak diterapi.Sepertinya
bawah sadar saya sangat mencintai dendam di hati saya. Seperti ingin melindungi saya
dan ingin saya bahagia dengan memelihara luka di hati saya. Saya dari keluarga broken-
home dan ini sangat mengganggu perasaan cinta saya pada suami, walaupun suami
sangat baik dan setia.”

Saya menjawab, “Sebaiknya Ibu minta bantuan terapis lain. Ada satu hukum tak tertulis
dalam dunia terapi, khususnya hipnoterapi. Seorang hipnoterapis tidak bisa menjadi
terapis bagi pasangan atau anggota keluarganya sendiri. Pikiran bawah sadar seseorang
sangat cerdas. Ia bisa menahan informasi yang dia tidak ingin diketahui oleh terapisnya
(baca: pasangannya).”

Pembaca, saat menjawab pertanyaan rekan ini saya tentu tidak bisa menjelaskan secara
lebih detil alasan di balik jawaban singkat yang saya berikan. Melalui artikel ini saya
akan melakukan eksplorasi lebih jauh untuk menjawab pertanyaan “Bisakah Hipnoterapis
Menerapi Keluarganya Sendiri?”

Jawaban singkat untuk pertanyaan di atas: Bisa.

Efektifkah? Nah, ini jawabannya, “May…. may be yes… may be no.” Lho, kok?

Ceritanya begini ya. Teknik terapi yang digunakan untuk menerapi klien atau anggota
keluarga, termasuk pasangan, sebenarnya sama saja. Dalam hal ini saya berasumsi
hipnoterapis memiliki kecakapan dan jam terbang yang cukup. Yang membuat proses
terapi terhadap anggota keluarga, apalagi terhadap pasangan, menjadi berbeda adalah hal-
hal yang berhubungan dengan:
1. Tingkat kepercayaan
2. Keterbukaan
3. Kesiapan mental klien dan hipnoterapis
4. Keterlibatan emosi

Sekarang mari kita bahas poin di atas. Pertama, tingkat kepercayaan. Saat melakukan
terapi pertanyaan yang sangat menentukan adalah apakah klien, misalnya istri,
mempercayai sepenuhnya kecakapan terapisnya (suami)? Apakah istri merasa aman? Hal
ini sangat penting untuk dijawab dengan jujur. Bila seorang klien tidak percaya
sepenuhnya pada kemampuan terapisnya atau tidak merasa aman mengungkapkan
informasi yang ada di pikiran bawah sadarnya maka terapi telah gagal bahkan sebelum
dimulai. Umumnya bila terapisnya adalah suami dan kliennya adalah istri tidak terlalu
jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah bila terapisnya adalah istri dan yang menjadi
klien adalah si suami. Suami biasanya, walau tidak semuanya, tidak mengijinkan istri
menerapi dirinya. Ini karena ego suami yang merasa dirinya lebih hebat dari istrinya.

Poin kedua adalah keterbukaan. Ini yang cukup sulit dilakukan. Seringkali masalah yang
dialami ada hubungannya dengan pasangan, atau orangtua pasangan. Bila situasinya
seperti ini saya meragukan klien cukup berani untuk berkata jujur.

Saat seseorang berada dalam kondisi hipnosis, sedalam apapun level hipnosisnya, ia tetap
sadar sesadar-sadarnya dan mampu mengendalikan sepenuhnya baik pikiran, ucapan, dan
responnya. Dengan demikian klien bisa berkata tidak jujur atau menyembunyikan
informasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menuntaskan masalahnya. Jika klien
tidak mengungkapkan informasi tertentu dengan berbagai pertimbangan atau alasan,
mungkin sungkan, tidak berani, atau takut, dan oleh karenanya informasi ini tidak bisa
diproses maka terapi yang dilakukan pasti tidak efektif.

Ada kemungkinan akar masalah klien adalah kejadian yang sangat traumatik, yang dalam
pandangan klien merupakan aib yang sangat memalukan, yang selama ini tidak pernah ia
ceritakan kepada siapapun. Bila tidak siap maka klien tidak akan mengungkapkan hal ini
kepada terapisnya yang notabene adalah pasangannya. Ini berhubungan dengan rasa
aman secara psikis.

Poin ketiga adalah kesiapan mental baik pada diri klien maupun terapis dalam menyikapi
berbagai data yang terungkap selama sesi terapi, khususnya data yang berasal dari
memori yang ditekan selama ini (repressed memory). Bila misalnya klien
mengungkapkan informasi yang sangat sensitif dan terapisnya tidak siap mendengar hal
ini, karena yang menerapi kan pasangannya sendiri, maka ini bisa jadi masalah besar.
Bisa-bisa setelah selesai melakukan terapi, terapisnya yang butuh diterapi karena
mengalami goncangan psikis yang hebat. Contohnya?

Misalnya yang menjadi klien adalah si istri dan terapisnya adalah si suami. Bagaimana
bila, walaupun sudah disepakati di awal, sebelum menjalani sesi terapi, bahwa baik klien
maupun terapis akan sangat terbuka dan bisa memaklumi informasi apapun yang akan
tergali saat terapi, klien menyampaikan bahwa ia dulu pernah mengalami pelecehan
seksual atau sudah tidak gadis lagi saat menikah dengan pasangannya?

Bagaimana bila sekarang yang menjadi klien adalah si suami dan terapisnya adalah si
istri dan saat proses terapi terungkap bahwa si suami punya PIL eh salah…maksud saya,
WIL? Apakah terapis siap mendengar informasi ini dan melanjutkan sesi terapis secara
profesional?

Contoh kasus di atas adalah kasus yang memang ekstrim. Saya sengaja menyampaikan
hal ini sebagai bahan pemikiran. Bukan berarti ini tidak mungkin terjadi, lho. Jika,
misalnya, yang saya ceritakan di atas sungguh-sungguh terjadi, apakah baik klien
maupun terapisnya siap?

Dan ini membawa kita ke poin keempat yaitu keterlibatan emosi. Hipnoterapis yang baik,
menurut hemat saya, adalah mereka yang mampu melakukan terapi tanpa sama sekali
terlibat secara emosi atas apa yang dialami oleh klien. Saat emosi terlibat maka terapis
sudah tidak lagi bisa netral dalam bersikap dan memproses berbagai informasi yang
terungkap. Terapi sangat membutuhkan sikap dan emosi yang netral. Ini untuk
menghindari terjadinya countertransference.

Keterlibatan emosi bisa juga terjadi pada terapis saat menangani klien, yang bukan
pasangannya, bila ternyata apa yang dialami klien mirip atau sama dengan pengalaman
traumatik yang dulu dialami si terapis, namun belum berhasil ia atasi.

Saya pernah membaca ada terapis, wanita, yang ternyata punya masalah dengan
suaminya, dan saat ia menerapi kliennya yang juga seorang wanita, untuk masalah yang
berhubungan dengan suami klien, tidak bisa bersikap netral. Hasil terapi justru semakin
memperburuk hubungan klien dan suaminya karena terapis, saat klien dalam kondisi
somnambulism, mensugestikan hal-hal atau pandangan yang sebenarnya mencerminkan
kemarahan terapis pada suaminya. Ini sangat riskan.

Nah, bagaimana bila ternyata baik klien maupun terapisnya, ingat ya saya sedang
membahas hipnoterapis yang menerapi pasangannya, ternyata mampu mengatasi keempat
poin di atas?

Wah, kalau ini yang terjadi maka hasilnya akan sangat luar biasa. Selain klien sembuh
dari masalahnya, hubungan mereka akan menjadi semakin erat, hangat, dan kuat.
Pembelajaran yang dilakukan pada level pikiran bawah sadar klien, yang mendapat
dukungan penuh dari (pikiran bawah sadar) terapis akan membawa mereka ke level
kesadaran yang sangat tinggi yang meningkatkan kedewasaan sikap, mental, dan spiritual
mereka secara luar biasa. Mereka sadar bahwa apa yang dialami di masa lalu adalah
pembelajaran dan kebijaksanaan yang sangat berharga untuk kehidupan mereka.
Pembelajaran ini hanya bisa didapatkan setelah luka batin itu diproses.

“Apakah pernah ada yang mengalami hal ini?”


“Hal yang mana?”

“Itu lho, baik yang positif maupun yang negatif?”

“Pernah.”

Pernah ada seorang rekan menghubungi saya minta terapi. Saat saya tanya apa yang
terjadi ternyata ia menerapi klien yang mengalami kepahitan di masa kecilnya yang
berhubungan dengan orangtuanya. Dan kasus klien ini mirip dengan yang ia alami saat
kecil. Yang terjadi selanjutnya adalah saat klien mengalami ledakan emosi (abreaction),
eh.. rekan terapis ini juga ikut menangis dan mengalami kembali pengalaman dan emosi
negatif yang dulu ia alami. Jadi, baik klien maupun terapis sama-sama abreaction.

Sedangkan yang positif juga ada. Seorang rekan terapis saat memproses trauma istrinya
dan mengetahui berbagai kepahitan yang dialami si istri saat kecil, tidak saja berhasil
membantu istrinya sembuh, justru membuat ia semakin cinta pada istrinya dan
memutuskan untuk membuat istrinya bahagia lahir dan batin. Mereka,suami istri, sepakat
bahwa pengalaman buruk yang dulu dialami sang istri tidak boleh terjadi pada anak
mereka. Mereka juga menyadari sepenuhnya walaupun anak masih kecil, anak tetap
punya perasaan dan pemikiran yang harus dihargai dan dihormati.

Contoh di atas adalah kalau hipnoterapis menerapi pasangannya. Bagaimana kalau


hipnoterapis, misalnya ayah atau ibu, menerapi anaknya?

Sama saja. Keempat poin di atas sangat perlu diperhatikan. Pada kasus yang anak alami,
dari pengalaman saya menerapi banyak anak dan keluarga, saya mendapatkan hampir
semua, sekitar 98%, masalah anak terjadi karena pola asah, asih, dan asuh yang salah
yang anak alami di rumah. Dengan kata lain yang menjadi sumber masalah sebenarnya
adalah orangtua.

Akan sulit bagi anak untuk secara terbuka mengungkapkan isi hatinya dan mengatakan
bahwa orangtuanya adalah sumber masalahnya. Anak tentu merasa takut atau tidak aman.
Sebaliknya bila orangtua tidak siap maka sebaik apapun ia berusaha emosinya pasti akan
terlibat dan ia menjadi tidak objektif. Apapun kondisinya, terapi tidak akan bisa efektif.

Jadi, apa saran Pak Adi? Saran saya bagi anda, rekan sejawat saya, sesama hipnoterapis,
sebaiknya bila anggota keluarga kita ada masalah, mintalah bantuan rekan hipnoterapis
lain untuk mengatasi masalahnya.

Advanced Hypnotic Abreaction Techniques

Abreaction adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam
praktik membantu klien mengatasi masalahnya pasti pernah mengalami klien yang
meledak emosinya. Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan abreaction atau catharsis.
Saya pernah membahas abreaction di artikel sebelumnya dengan judul “How to Handle
Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum membacanya saya sarankan untuk
mengunjungi http://www.quantum-hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=60.

Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi update, hasil penelitian, pengujian, dan
pengembangan yang dilakukan oleh Tim Advanced Research & Development Quantum
Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100 jam sertifikasi hipnoterapis melalui
pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.

Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah hal baru. Freud juga menggunakan teknik
ini dan menemukan bahwa simtom histeria pada klien hilang seketika dan tidak bisa
muncul lagi jika klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-
memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria.

Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari
represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini
mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti
untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya.
Temuan ini mereka tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895.

Namun dalam perjalanan karirnya Freud menemukan bahwa simtom yang telah berhasil
dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya mengapa Freud merasa bahwa
kemajuan terapi yang dialami klien, bila menggunakan teknik abreaction, hanya bersifat
temporer.

Penelitian literatur menghasilkan satu temuan menarik. Freud hanya melakukan single
abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus berat akibat pengalaman yang sangat
traumatik, emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah intens. Single abreaction
umumnya tidak mampu secara tuntas menguras habis semua emosi ini. Untuk bisa benar-
benar mengeluarkan semua emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu dilakukan multiple
abreactions, dan ini yang tidak dilakukan oleh Freud.

Penelitian manfaat teknik abreaction secara sangat terkontrol dilakukan oleh William
Brown (1920) yang melakukan terapi pada ribuan mantan tentara yang mengalami
masalah mental setelah pulang dari medan perang. Brown menggunakan abreaction untuk
mengeluarkan emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil membantu klien-kliennya
pulih. Brown mengatakan bahwa agar efektif maka abreation harus intens, tuntas, dan
diulangi. Baru setelah itu dilakukan rekonstruksi psikologis agar kesembuhan bersifat
permanen.

Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel


pada masa perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya disempurnakan oleh John G.
Watkins dan berkembang hingga saat ini dengan banyak pendalaman dan penajaman
teknik.
Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal dan terjadi secara spontan dengan tujuan
untuk melepas tekanan (mental atau emosi) atau stimulasi berlebihan yang mengganggu
keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction adalah bagian dari proses pemeliharaan
diri, upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau mempertahankan keseimbangan
(equilibrium) yang diinginkan.

Untuk lebih memudahkan anda memahami abreaction, bayangkan sebuah tungku yang
terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan dalam kondisi normal ada api yang
menyala dan membakar dasar tungku.

Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku maka temperatur air di dalamnya akan naik
dan akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini adalah proses alamiah dan normal. Air
yang bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan abreaction yang terjadi secara
alamiah pada diri manusia.

Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup rapat?

Api yang terus membakar tungku akan membuat isi tungku semakin panas dan tekanan
uap semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu saat nanti tungku akan meledak dan
hancur.

Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau retakan kecil di dinding tungku untuk
melepas uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang keluar akan muncul dalam bentuk
simtom baik berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik (psikosomatis).

Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa anda baca di http://www.quantum-
hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.

Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang dalam kondisi deep trance, maka pikiran
bawah sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap air keluar dengan sangat deras dan
banyak. Bila ini terjadi maka klien akan mengalami spontaneous hypnotic abreaction
yang hebat.

Kita perlu membedakan antara hypnotic abreaction, abreaction yang terjadi baik secara
spontan atau karena disengaja melalui provokasi terencana dan terstruktur saat subjek
dalam kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi dalam kondisi kesadaran normal.
Beda dua abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat abreaction terjadi, intensitas, dan
tujuannya.

Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis.
Pertama, abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh
terapis terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan
sangat hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan
hal yang ia lakukan.
Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat
terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu
memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara
teknis penanganannya sebenarnya sama saja.

Abreaction bila ditinjau dari siapa yang mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu
abreaction yang dialami oleh (total) individu dan yang kedua, abreaction yang hanya
dialami oleh Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis sama namun berbeda pada
proses penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan main yang berbeda namun
dengan tujuan akhir yang sama.

Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan emosi, kami di Quantum Hypnosis
Indonesia, mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari total enam teknik abreaction
yang diajarkan di kelas QHI adalah fractionated abreaction dan borrowed abreaction.
Teknik borrowed abreaction adalah hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oleh
alumnus QHI Bpk. Sjahsjam Susilo.

Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya tidak bersedia, mengeluarkan emosinya
karena pertimbangan tertentu dan tidak terjadi abreaction, walaupun ia berada dalam
kondisi profound somnambulism. Terapis perlu menggunakan strategi lain untuk
membantu klien mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua teknik yang saya sebutkan
di atas sangat efektif untuk bisa mengatasi resistensi klien dan membuat klien bersedia
melepaskan emosinya.

Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada satu waktu tertentu, maka abreaction
terbagi menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction, Anger Based Abreaction, dan Hate
Based Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini dibutuhkan teknik yang sangat
spesifik agar dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Abreaction memang sangat ampuh untuk membantu klien mengeluarkan tekanan emosi
yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah sadar. Namun abreaction sendiri tidak
bersifat terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction klien akan merasakan kelegaan
yang luar biasa. Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara. Tanpa penanganan
lanjutan, setelah abreaction, maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu sebabnya ada
pakar yang mengatakan, “Revivification is not healing.”

Saat yang paling kritis untuk melakukan abreaction adalah saat terapis memutuskan
apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic abreaction atau tidak. Pilihannya hanya
satu, “Ya atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-setengah. Begitu proses abreaction
dimulai maka klien dan terapis masuk ke wilayah Point of No Return. Abreaction harus
dilakukan hingga benar-benar tuntas.

Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang bersifat spontan akibat emosi yang
terpendam dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak dituntaskan penanganannya
maka ini akan sangat riskan dan merugikan klien. Klien bisa mengalami goncangan
emosi dan bahkan bisa mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.
Menangani abreaction sebenarnya mudah. Sehebat apapun abreaction yang dialami klien,
bila terapisnya siap secara mental, tanggap, percaya diri, dan telah membekali diri dengan
teknik penanganan abreaction yang efektif maka klien tetap bisa dengan mudah dibawa
keluar dari kondisi ini.

Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya bukan pada diri klien namun lebih pada diri
terapis. Terapis yang tidak siap mental akan kaget atau bahkan ketakutan saat melihat
kliennya abreaction.

Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan mengalami abreaction maka adalah
tugas terapis untuk membantu klien melakukan navigasi pikiran dan emosi untuk
melewati pengalaman traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga tuntas, dan
melakukan pembelajaran ulang baik secara kognitif maupun afektif.

Pada umumnya untuk membawa klien keluar dari kondisi abreaction digunakan teknik
“Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place. Teknik ini dilakukan dengan cara meminta
klien, sebelum proses hypnoanalysis dilakukan, membayangkan dirinya berada di tempat
yang tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada di tempat ini beberapa saat dan
diminta untuk berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke tempat ini, kapanpun
dan apapun situasinya, maka klien langsung kembali ke tempat ini.

Ini adalah emergency exit yang paling banyak digunakan oleh hipnoterapis pada
umumnya namun dengan dua kelemahan yang sering tidak disadari.

Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang yang modalitas utamanya visual hanya
sekitar 27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik tidak akan bisa melakukan
visualisasi tempat kedamaian.

Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah banyak terkuras dalam proses terapi
maka besar kemungkinan klien tidak bisa menjalankan permintaan terapis untuk segera
kembali ke tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin melakukannya.

Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang klien yang fobia terhadap benda tajam
seperti pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan saya perintahkan keluar dari situasi
yang membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa keluar sesaat dan setelah itu
“tersedot” masuk kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya meminta klien keluar
dari pengalaman traumatik dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi berulang kali.

Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan teknik “Tempat Kedamaian”. Ada
teknik lain yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama ini saya gunakan dan selalu
berhasil membawa klien keluar dari abreaction, sehebat apapun abreaction yang ia alami,
hanya dalam waktu 2 - 3 detik.

Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif. Hingga akhirnya saya terpaksa
menggunakan teknik lain yang lebih advanced untuk membawa klien keluar dan akhirnya
berhasil.
Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi kok tidak bisa berhenti abreactionnya?”
Klien menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi
setelah itu tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti itu.”

Abreaction yang efektif dan mampu memberikan hasil terapi yang permanen adalah yang
dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE), bukan pada Subsequent Sensitizing Event
(SSE). Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE maka release tidak bersifat
menyeluruh dan cepat atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat memadamkan api, tidak
langsung ke sumbernya.

ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar masalah klien. Sedangkan SSE adalah
kejadian lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan kontribusi emosi dan
memperkuat efek ISE hingga suatu saat muncul sebagai simtom.

Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis yang harus dilakukan secara cermat.
Bila tidak, seringkali, terapis mengira telah berhasil menemukan ISE padahal masih SSE.
Seringkali untuk bisa menemukan ISE harus melewati beberapa SSE. Dari pengalaman
biasanya dibutuhkan penelusuran melalui antara satu hingga lima SSE untuk akhirnya
bisa menemukan ISE.

ISE adalah memori yang berisi data mengenai kejadian yang dialami klien, plus
pemaknaan dan emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk mencari ISE bisa dilakukan
dengan dua cara.

Cara pertama adalah dengan menggunakan cognitive bridge. Dalam hal ini terapis
berusaha menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan yang diajukan pada klien dalam
kondisi sadar normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah setiap memori saling
terhubung. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat maka penelusuran data atau
memori bisa dilakukan secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti, berhasil
mengungkapkan ISE.

Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa
mencapai C, dengan titik awal A, melalui B. Dalam hal ini B adalah cognitive bridge
yang menghubungkan A dan C.

Penggalian data menggunakan cognitive bridge bisa mengungkap ISE namun


membutuhkan upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Biasanya kegagalan
analytic therapy seperti ini terjadi karena data yang muncul lebih sering berasal dari
pikiran sadar yang tidak mengakses perasaan atau emosi.

Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu
dengan menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja berdasar prinsip bahwa semua
memori atau kelompok memori yang ada di pikiran bawah sadar saling terhubung dengan
emosi tertentu.
Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan oleh klien saat sekarang, pada suatu
kejadian atau situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa lalu klien, hingga
ditemukan memori paling awal atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect bridge yang
efektif adalah menggunakan bantuan kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman
profound somnambulism, dan intensitas emosi yang tinggi.

Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk bisa menemukan
ISE?

Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik lain yang sangat efektif untuk
menemukan ISE. Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu teknik yang sangat efektif
yang mampu langsung membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati rangkaian SSE.
Teknik lain ini akan saya bahas di kesempatan lain karena akan cukup teknis dan panjang.

Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal penting yang perlu diperhatikan bila
hendak melakukan proses abreaction:

1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan dengan klien mengalami kembali pengalaman
traumatik (revivification) yang dulunya tidak bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien mampu menghadapi situasi traumatik,
kembali mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan mengalami pembelajaran
ulang baik pada aspek kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada anak, klien bersama terapisnya
berhadapan dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan membawa anak melewati
pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction maka abreaction dilakukan hingga emosi
yang selama ini tertekan di bawah sadar keluar semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien
melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-conditioning atau systematic desensitization.

How To Handle Abreaction And Catharsis

Dalam proses terapi, baik dilakukan dalam kondisi sadar sepenuhnya, light trance,
maupun deep trance, klien, cepat atau lambat, pasti akan mengalami suatu luapan emosi.
Luapan emosi ini, bisa yang ringan hingga yang sangat intens , merupakan bentuk
pelepasan tekanan psikis yang selama ini terpendam di pikiran bawah sadar. Luapan
emosi ini dikenal dengan istilah abreaction atau catharsis.

Istilah abreaction pertama kali digunakan dalam psikoterapi saat Josef Breuer
mengembangkan “cathartic method” seperti yang dijelaskan dalam buku Studies in
Hysteria, yang ia tulis bersama Sigmund Freud di tahun 1895.
Secara teknis, abreaction atau catharsis adalah proses terapeutik berupa lepasnya emosi
yang intens yang diikuti dengan terungkapnya suatu emosi yang bersifat traumatik
dengan tujuan tercapainya suatu resolusi. Saya menjelaskan hubungan antara simtom,
pelepasan tekanan psikis, emosi negatif, dan kesembuhan di artikel saya yang berjudul
“Teori Tungku Mental” yang bisa anda baca di http://www.quantum-
hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.

Pada definisi di atas tampak bahwa tujuan utama terjadinya abreaction adalah untuk
mencapai suatu penyelesaian atau resolusi dari suatu masalah. Namun sayangnya
pemahaman ini jarang diungkapkan dengan jelas. Banyak yang mengira bahwa saat klien
menangis atau meledak emosinya maka dengan demikian masalah telah berhasil
diselesaikan. Benarkah demikian?

Yang terjadi sebenarnya adalah keluarnya emosi yang sekian lama dibendung, ditekan,
dan disimpan di reservoir pikiran bawah. Seperti air yang tumpah ruah keluar dari suatu
bendungan saat pintu bendungan dibuka. Namun bila sumber air yang mengisi
bendungan tidak dihentikan maka saat bendungan ditutup akan kembali terjadi
penumpukan air di dalam bendungan.

Inilah yang terjadi pada banyak sesi terapi yang tidak efektif termasuk yang sering terjadi
di berbagai retreat. Saat klien mengalami abreaction, ia mengeluarkan begitu banyak
tekanan psikis dan setelah itu ia akan merasa begitu lega dan nyaman. Ia merasa
masalahnya sudah selesai. Terapis pun menyatakan klien sudah sembuh. Namun beberapa
hari atau minggu kemudian simtom yang sama kembali muncul dan klien harus kembali
menemui terapis (lain).

Terapis yang mumpuni akan tahu kapan perlu melakukan teknik terapi yang membuat
klien mengalami abreaction dan kapan ia tidak perlu melakukannya. Selain itu ada
banyak hal yang harus diperhatikan agar dapat membimbing klien mengalami abreaction
secara aman, terkendali, dan diakhiri dengan tercapainya resolusi atau penyelesaian
masalah.

Terapis pemula biasanya tidak akan nyaman menghadapi abreaction. Sama dengan saya
dulunya. Pada saat klien “meledak” saya langsung blank dan kalang kabut plus panik.
Namun berkat pembelajaran dan pengalaman akhirnya saya tahu cara yang aman dan
efektif menghadapi klien yang mengalami abreaction.

Abreaction adalah sesuatu yang serius dan tidak bisa dibuat main-main. Terapis harus
benar-benar siap dan mampu mengatasi luapan emosi kliennya dan memfasilitasi
keseluruhan proses abreaction secara mulus, terstruktur, dan berhasil guna. Jika tidak
ditangani secara benar maka abreaction justru akan membuat klien semakin “kacau”.

Apa sih sebenarnya yang terjadi pada klien saat ia mengalami abreaction?

Saat klien mengalami abreaction maka ia mengakses memori yang ada di pikiran bawah
sadarnya beserta berbagai emosi negatif yang menyertai memori itu. Pada saat memori
dan emosi ini naik dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar maka klien akan mengalami
kembali semua kejadian (revivification) yang dulu ia alami dan yang mengakibatkan
trauma ini. Dengan kata lain ini seperti kita membuat luka lama. Begitu luka ini terbuka
maka kita harus cekatan membersihkannya, mensterilkan, memberi obat, dan menjahit
kembali sehingga proses penyembuhan terjadi dengan alamiah dan optimal.

Apa yang terjadi bila setelah luka dibuka lalu kita biarkan begitu saja? Pasti akan terjadi
infeksi dan membuat luka menjadi semakin parah dan bisa berakibat sangat fatal bagi
klien.

Bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama,
abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh terapis
terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan sangat
hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan hal
yang ia lakukan.

Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat
terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu
memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara
teknis penanganannya sebenarnya sama saja.

Saya pernah meminta seorang klien, di salah satu kelas pelatihan QHI, untuk mundur ke
satu masa yang sangat menyenangkan dan membahagiakan dirinya. Saat itu saya sedang
memberikan contoh melakukan regresi. Saat saya regresi bukannya mundur ke masa
bahagia klien malah mundur ke masa yang menyakitkan. Klien langsung abreaction dan
menangis hebat. Saya langsung membawa klien keluar dari abreactionnya. Saya sengaja
tidak memproses abreaction ini karena di awal sesi kita telah sepakat bahwa klien hanya
akan mundur ke masa bahagia.

Setelah klien tenang saya kembali melakukan regresi ke masa bahagia. Kembali ia
mundur ke masa yang menyakitkan. Ternyata pikiran bawah sadarnya tahu bahwa ini
adalah saat yang tepat untuk mengeluarkan repressed content karena ia berada di tempat
yang aman dan dalam penanganan orang yang mampu membantunya. Kembali saya
membawanya keluar dari abreaction. Selanjutnya kembali saya melakukan regresi dan ia
kembali lagi ke masa yang menyakitkan. Saya langsung menghentikan proses regresi dan
membawa klien keluar dari kondisi profound somnambulism. Sengaja saya tidak lakukan
terapi karena keterbatasan waktu dan mengingat kondisi fisik dan mental saya yang sudah
cukup lelah setelah mengajar sehari penuh. Pada pertemuan berikutnya barulah saya
memproses abreactionnya hingga tuntas.

Pernah juga terjadi ada seorang pasien wanita di rumah sakit, saat kembali sadar setelah
menjalani suatu operasi yang mengharuskan dilakukan pembiusan total, tiba-tiba
mengalami abreaction hebat. Ternyata saat itu secara tidak sengaja ia mengakses materi
psikis yang selama ini disembunyikan pikiran bawah sadarnya. Waktu kecil ia sering
mengalami pelecehan seksual dan dipukuli tetangganya. Akibatnya pasien ini mengalami
depresi. Untunglah dokter yang merawatnya cukup tanggap dan merujuk pasien ini ke
seorang terapis yang mampu membantu klien mengatasi pengalaman traumatik ini dan
bisa sembuh.

Anda mungkin bertanya, “Lho, kok bisa pasien ini mengingat repressed content yang
selama ini disembunyikan pikiran bawah sadarnya?”

Jawabannya, “Bisa”. Ada tiga macam hipnosis. Pertama self-hypnosis atau hipnosis yang
dilakukan seseorang kepada dirinya sendiri. Kedua, hetero-hypnosis atau hipnosis yang
dilakukan seseorang kepada orang lain. Dan yang ketiga, para-hypnosis atau kondisi
hipnosis yang disebabkan oleh obat-obatan tertentu. Nah, pasien ini saat mulai kembali
sadar ia sebenarnya keluar dari kondisi hipnosis. Saat dalam kondisi ini secara tidak
sengaja ia mengakses repressed content itu.

Salah satu situasi yang menurut saya cukup berbahaya adalah, dan ini cukup sering
terjadi, terapis yang tidak memahami cara penanganan abreaction justru secara tidak
sengaja membuat klien mengakses materi psikis (memori) yang selama ini ditekan dan
dipendam di pikiran bawah sadar. Materi ini sengaja disembunyikan oleh pikiran bawah
sadar klien, bahkan klien seringkali lupa atau tidak ingat mengenai materi ini, demi
kebaikan klien. Pengalaman yang sangat traumatik, dengan muatan emosi negatif yang
begitu intens, tentunya bisa berakibat fatal bagi kesehatan mental/emosi klien. Dan
karena salah satu sifat pikiran bawah sadar adalah melindungi diri kita dari segala hal
yang ia (pikiran bawah sadar) persepsikan berbahaya, baik secara fisik maupun
mental/emosi, maka pengalaman atau memori ini disembunyikannya sehingga tidak bisa
diakses oleh pikiran sadar.

Dengan menggunakan Mind Mirror tampak jelas bagaimana pikiran bawah sadar
menghambat akses ke memori ini. Gelombang theta klien sangat aktif dan fluktuatif
pertanda ada sesuatu. Namun terjadi alpha blocking sehingga data ini tidak bisa naik ke
pikiran sadar (beta).

Secara umum abreaction biasanya terjadi saat dilakukan regresi, baik age regression
maupun past life regression. Dengan kedalaman trance yang sesuai, profound
somnambulism, maka klien akan mengalami kembali (revivification) semua kejadian
yang dulunya membuat ia trauma. Jika kedalamannya tidak mencapai profound
somnambulism, misalnya hanya di level medium trance maka yang terjadi adalah pseudo-
revivification atau yang lebih dikenal dengan hypermnesia. Dalam kondisi ini sulit terjadi
abreaction.

Bila materi yang sangat traumatik ini sampai naik ke pikiran sadar dan tidak terjadi
resolusi maka efeknya sangat negatif terhadap klien. Ada seorang wanita yang mengalami
guncangan emosi yang luar biasa setelah menjalani past life regression (PLR) yang
dilakukan seorang terapis di satu kota besar. Dan karena penanganannya tidak optimal
kabar terakhir yang saya dengar klien ini masuk rumah sakit jiwa. Ini pelajaran yang
sangat berharga bagi kita semua agar tidak main-main dengan pikiran klien.
Hal yang perlu dilakukan adalah membantu klien mengeluarkan (semua) emosi yang
terpendam dengan intensitas sesuai yang diijinkan oleh pikiran bawah sadarnya. Terapis
tidak boleh memaksa klien untuk mengeluarkan secara tuntas semua emosi ini hanya
dalam satu sesi terapi. Jika klien siap maka boleh dalam satu sesi tuntas. Jika tidak maka
abreaction ini bisa “dicicil” atau dilakukan dalam sesi yang berbeda.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah apakah klien mengidap sakit jantung, tekanan
darah tinggi, atau epilepsi. Bila ya maka terapis harus benar-benar ekstra hati-hati bila
terpaksa membimbing klien untuk mengalami abreaction.

Saya pribadi tidak akan membiarkan klien yang mengalami masalah kesehatan seperti
yang saya sebutkan di atas mengalami abreaction. Terlalu riskan. Saya biasanya
menggunakan teknik lain yang bisa dengan sangat cepat menetralisir emosi apapun yang
klien rasakan tanpa klien harus merasakan kembali emosi itu. Dengan kata lain saya
memodifikasi proses abreaction sehingga walaupun agak berbeda tapi hasilnya sama.
Kalaupun saya terpaksa harus membimbing klien ini mengalami abreaction maka
prosesnya saya cicil, sedikit demi sedikit.

Teknik ini juga saya gunakan untuk membantu wanita yang mengalami pelecehan
seksual. Sudah tentu akan sangat menyakitkan kalau klien harus abreaction dan
mengalami kembali pengalaman traumatik itu.

Dalam kondisi normal setelah klien mengalami abreaction, setelah tekanan psikis berhasil
dilepas, maka langkah selanjutnya adalah membimbing klien menjalani proses
restrukturisasi program pikiran atau memori. Begitu tahap ini berhasil dilakukan dengan
sempurna maka proses terapi berhasil mengeliminir emosi dari memori. Selanjutnya bila
klien mengingat kembali kejadian, yang dulunya membuat ia sangat trauma, perasaannya
datar dan sama sekali tidak ada pengaruh.

Lalu, bagaimana cara menangani abreaction agar dicapai resolusi terbaik untuk klien?

Pertama, terapis harus punya postur yang bagus di depan klien. Apakah klien benar-benar
yakin dan percaya pada kemampuan dan integritas terapis ataukah ada keraguan di hati
klien? Hal ini sangat penting karena terapi sebenarnya bermula sejak seorang klien mulai
tahu tentang terapis, bukan saat klien bertemu terapis di ruang praktik.

Setelah itu dapatkan hypnotic contract antara terapi dan pikiran bawah sadar klien.
Pastikan bahwa pikiran bahwa sadar klien sepakat untuk menjalankan semua bimbingan,
arahan, dan instruksi yang disampaikan kepadanya selama sesi terapi. Hal ini penting
agar saat terjadi abreaction, sehebat apapun, pikiran bawah sadar klien tetap menjalankan
berbagai sugesti yang diberikan. Sudah tentu sugestinya antara lain klien kuat menjalani
abreaction atau klien keluar dari abreaction.

Sebelum melakukan terapi pastikan klien telah benar-benar masuk ke kondisi profound
somnamblism. Hal ini bertujuan agar secara fisik dan terutama pikiran klien telah benar-
benar rileks. Pada kondisi ini sistem saraf yang aktif atau dominan adalah sistem saraf
parasimpatetik. Intensitas abreaction pada saat sistem saraf simpatetik sedang aktif akan
lebih ringan dan terkendali daripada dalam kondisi normal.

Selanjutnya, sebelum melakukan terapi pastikan memberikan sugesti pengaman.


Misalnya dalam kondisi apapun pikiran bawah sadar klien tetap akan patuh sepenuhnya
menjalankan instruksi yang diberikan terapis. Bentuk pengaman lainnya adalah meminta
klien membuat tempat kedamaian dan melakukan eksplorasi tempat kedamaiannya untuk
beberapa saat. Eksplorasi ini selain membuat klien merasa sangat aman dan nyaman juga
merupakan salah satu teknik deepening yang sangat efektif bagi klien yang visual.
Dengan sedikit modifikasi maka akan sama efektif untuk klien yang auditori dan
kinestetik.

Gunakan tempat ini sebagai safety exit bila abreaction klien sangat intens dan sudah
mencapai level yang tidak bisa ia tolerir lagi. Bisa juga terapis mensugestikan agar klien
kembali menyadari sedang berbaring di kursi di ruang terapi. Jadi, kursi terapinya
digunakan sebagai tempat kedamaian. Satu hal yang perlu diwaspadai, jangan pernah
memaksakan tempat kedamaian anda kepada klien. Biarkan klien menentukan atau
menciptakan sendiri tempat kedamaiannya.

Cara lain yang sangat ampuh adalah dengan mensugestikan klien keluar dari pengalaman
traumatik yang sedang ia alami. Saat klien mengalami abreaction maka yang terjadi
adalah revivification. Klien benar-benar mengalaminya seperti dulu saat kejadian itu
terjadi. Ini adalah kondisi asosiasi. Lakukan sebaliknya yaitu disosiasi. Minta klien keluar
dari pengalaman itu dan hanya menyaksikan pengalaman atau kejadian itu sebagai film.
Kalau emosinya masih tetap intens, lakukan modifikasi pada submodalitas visual atau
auditori dari film yang sedang ditonton klien dengan tujuan menurunkan intensitas
emosinya.

Di awal saya mengatakan bahwa sangat penting bagi terapis untuk punya postur yang
bagus di depan klien. Terapis harus tampil dan dipandang sebagai figur otoritas.Hal ini
sangat bermanfaat saat membimbing klien dalam kondisi somnambulism, apalagi saat
abreaction.

Di salah satu sesi pelatihan QHI para peserta saling melakukan terapi. Ternyata ada satu
peserta yang mengalami abreaction dan tidak bisa reda walaupun rekannya telah
melakukan berbagai teknik yang saya ajarkan. Saat saya yang memberikan sugesti
kepada pikiran bawah sadar peserta itu untuk menghentikan dan keluar dari abreaction
serta merta peserta ini langsung rileks dan keluar dari abreaction-nya. Mengapa ini bisa
terjadi? Karena otoritas saya, menurut persepsi pikiran bawah sadar peserta ini, sangat
tinggi dan melampaui otoritas rekannya yang juga lagi sama-sama belajar. Anda jelas
sekarang?

Teknik yang saya jelaskan di atas sangat manjur untuk membawa klien keluar dari
abreaction. Saya dulu selalu menggunakan teknik-tenik ini. Dan sekarang sudah hampir
tidak pernah lagi. Bukan karena tidak efektif namun saya mengembangkan sendiri teknik
penanganan abreaction berdasar pengalaman saya. Sekarang hanya dalam waktu 2 detik
saya bisa mengeluarkan klien dari abreaction sehebat apapun yang ia alami. Dan teknik
ini selalu berhasil. Teknik ini diajarkan di kelas pelatihan Quantum Hypnosis Indonesia
dan telah sangat membantu alumnus pelatihan saya menangani dan memproses
abreaction dengan sangat mudah, aman, dan efektif. Akan sangat teknis bila saya jelaskan
di artikel ini.

Saat klien dibimbing keluar dari abreaction dan berada di tempat kedamaian beri
kesempatan klien ”istirahat” sejenak sambil memberikan beberapa sugesti untuk
menguatkan klien. Setelah klien siap bimbing ia kembali ke kejadian traumatik itu dan
mengalami kembali abreactionnya. Demikian seterusnya hingga tekanan psikis berhasil
dikeluarkan semua.

Setelah tekanan psikis habis barulah dilakukan restrukturisasi. Lakukan pemaknaan ulang
atas peristiwa itu dan netralisir emosi yang mungkin masih tersisa. Terapi ditutup dengan
melakukan posthypnotic suggestion untuk mengamankan dan memperkuat perubahan
yang telah dilakukan sehingga klien tidak lagi bisa kembali ke pola lamanya walaupun ia
secara sadar menginginkannya atau mungkin lingkungan yang memprovokasi ia kembali
ke pola lama itu. Dan sebagai sentuhan akhir yang juga sangat penting lakukan
“penyegelan” atau sealing pada program positif yang baru diinstal sehingga tidak dapat
sembarangan diotak-atik oleh klien atau mereka yang tidak berkepentingan.

Sekalipun abreaction atau catharsis merupakan fenomena yang umum terjadi dalam
proses terapi namun bila tidak ditangani dengan baik akan dapat berpotensi semakin
menyengsarakan hidup klien, seakan menoreh luka baru di atas luka lama. Melalui
kehati-hatian yang tentunya dilandasi pengetahuan mendalam, ketenangan,
kebijaksanaan, dan pengalaman dari hasil akumulasi jam terbang yang cukup maka
terapis dapat memfasilitasi dengan baik hal ini sehingga menjadi salah satu teknik
pelepasan tekanan mental yang sangat positif, konstruktif, dan efektif dalam membantu
klien mengatasi masalahnya.

Teori Tungku Mental

Bulan Oktober hingga November 2008 saya menyelenggarakan 2 (dua) kelas pelatihan
100 jam sertifikasi hipnoterapis. Satu di Jakarta dan satu lagi di Surabaya. Dari sekian
banyak teori dan teknik yang akan diajarkan, satu yang sangat penting adalah Teori
Tungku Mental.

Teori ini saya bangun berdasar informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan dari
berbagai literatur yang saya pelajari ditambah dengan pengalaman praktik saya. Teori
inilah yang sebenarnya mendasari Quantum Hypnotherapeutic Procedure yang
diajarkan di Quantum Hypnosis Indonesia.

Nah, sebelum saya menjelaskan mengenai Teori Tungku Mental, saya akan bercerita
sedikit mengenai kasus yang saya pelajari melalui berbagai literatur dan kasus yang
pernah saya tangani.
Dalam artikel ini saya hanya akan memberikan satu contoh kasus yang bersumber dari
literatur. Dalam buku Trance & Treatment : Clinical Use of Hypnosis, David Speigel
menceritakan satu kasus yang sangat menarik yang pernah ia tangani. Ada seorang
veteran perang Vietnam.

Veteran ini setelah menjalani tugas dengan track record yang sangat baik selama 15 tahun
tiba-tiba berubah dan akhirnya mengalami “gangguan” dan akhirnya harus dimasukan ke
rumah sakit jiwa. Veteran ini, sebelum ditangani oleh Davied Spiegel, seorang psikiater
yang mendalami dan mempratikkan hipnoterapi, didiagnosa menderita “gangguan
kecemasan sangat tinggi” hingga mengalami halusinasi. Ia juga pernah dimasukkan ke
Palo Alto Veterans Administration Medical Center setelah mencoba melakukan tindakan
bunuh diri. Ia depresi dan cenderung melakukan tindakan berbahaya namun ia tidak tahu
apa yang menjadi penyebabnya. Setelah Spiegel melakukan Hypnotic Induction Profile
(HIP) dan didapatkan hasil 4, intact/utuh, dengan skor induksi 10,selanjutnya dilakukan
Age Regression.

Singkat cerita Spiegel berhasil menemukan akar masalahnya. Veteran ini ternyata dulu
waktu bertugas di Vietnam punya seorang angkat yang sangat ia sayangi. Anak angkatnya
tewas saat Vietcong menyerang rumah sakit tempat ia bertugas. Veteran ini merasa begitu
bersalah, karena tidak bisa melindungi anaknya, merasa marah, dendam dan benci yang
luar biasa kepada serdadu Vietcong yang menewaskan anaknya. Rupanya, berbagai emosi
negatif ini tidak mendapat penanganan semestirnya. Setelah dibantu oleh Spiegel veteran
ini sembuh.

Namun 6 bulan kemudian veteran ini kambuh lagi saat, hanya dalam waktu 2 minggu,
salah seorang kakaknya, seorang polisi, terbunuh, dan istri veteran ini mulai “melirik”
pria lain, ditambah lagi seseorang menembak mati anjing kesayangannya. Setelah dirawat
sebentar di rumah sakit ia kembali sembuh.

Kasus ini oleh David Spiegel diulas lengkap di artikel yang berjudul Vietnam Grief
Work Using Hypnosis dan dimuat di The American Journal of Clinical Hypnosis
(24(1): 33-40, 1981)

Kasus yang pernah saya tangani antara lain kasus seorang klien, seorang pria muda
berusia 26 tahun, yang takut ayam, lebih spesifik lagi paruh ayam. Setelah saya cari akar
masalahnya ternyata klien ini takut pisau. Saya gali lagi akhirnya saya menemukan ISE
(Initial Sensitizing Event) pada saat klien berusia 4 tahun. Klien mengalami sesuatu hal
dengan ibunya dan membuatnya sangat marah dan benci ibunya. Nah, kebencian ini
berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa bila ia dipeluk oleh ibunya. Rasa sakit ini
mengambil wujud sakit seperti bila tubuh ditikam dengan puluhan pisau sekaligus.
Selanjutnya “sakit karena ditikam pisau” ini bermutasi menjadi ketakutan pada paruh
ayam. Saya menyebut kondisi ini dengan “double symptom”.

Kasus lain adalah klien wanita muda, usia 21 tahun yang, menurut orangtuanya, berubah
dan tidak semangat menjalani hidup. Klien ini telah 8 (delapan) bulan minum obat agar
bisa tenang dan kembali “normal”. Dengan teknik tertentu saya membantu klien ini untuk
menemukan akar masalahnya, membereskannya, dan setelah itu klien bisa kembali hidup
normal tanpa perlu mengkonsumsi obat.
Saya membutuhkan 2 (dua) sesi dengan klien ini. Sesi pertama walaupun terlihat “tuntas”
namun saya tahu belum tuntas. Dari mana saya tahu? Saya tahu karena saya belum
menemukan ISE. Saya berhasil menemukan beberapa SSE (Subsequent Sensitizing
Event). Namun klien belum bersedia mengungkapkan ISE kepada saya. Dan saya juga
tidak bisa memaksa klien. Saya membantu klien sesuai dengan kecepatan dan kesiapan
diri klien.

Setelah sesi pertama klien langsung berubah dan merasa sangat nyaman. Saya juga
mendapat laporan dari orangtua klien mengatakan hal yang sama. Namun tiga hari
kemudian saya mendapat kabar bahwa klien kembali ke pola lamanya. Klien kembali ke
kondisi seperti sebelum saya tangani.

Selanjutnya saya memberikan sesi kedua. Nah, pada sesi kedua ini saya berhasil
membantu klien menemukan akar masalahnya (ISE). Begitu ISE berhasil dibereskan
segera terjadi perubahan. Dan perubahan ini bersifat permanen.

Oh ya, satu hal yang perlu saya tegaskan di sini. Anda jangan salah mengerti ya. Saya
bukan dokter atau psikiater. Saya tidak pernah berani dan tidak punya kapasitas untuk
meminta klien berhenti minum obat. Yang saya lakukan hanyalah membantu klien
mengatasi masalah mereka, dengan keterampilan yang saya pelajari. Soal obat, saya
meminta klien untuk konsultasi atau kembali ke dokter yang menanganinya. Dokter yang
memberi obat maka dokter yang boleh memutuskan apakah klien perlu terus minum obat
atau berhenti, dengan melihat perkembangan terakhir pasien.

Pembaca, dari tiga kisah yang saya jelaskan di atas, bisakah anda menarik benang
merahnya?

Jika belum, ijinkan saya untuk mengulas kembali, tapi singkat saja ya, mengenai cara
kerja pikiran.

Dualisme Pikiran

Kita punya dua pikiran yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Kedua pikiran ini
mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Kedua pikiran ini bekerja sama dan saling
mempengaruhi.
Pikiran sadar mempunyai 5 fungsi/komponen yaitu analitis, rasional, kekuatan kehendak,
faktor kritis, dan memori jangka pendek.
Pikiran bawah sadar mempunyai 10 fungsi/komponen, antara lain: menyimpan memori
jangka panjang, emosi, kebiasaan, dan intuisi.

Nah, masing-masing pikiran ini, pikiran sadar dan bawah sadar, mempunyai tugas
melindungi diri kita. Pikiran sadar melindungi diri kita dari hal yang (dipandang)
membahayakan diri kita, berdasar “pandangan” fungsi pikiran yaitu rasional dan analitis.
Menurut Milton Erickson pikiran bawah sadar melindungi diri kita dari hal-hal yang ia
pandang membahayakan keselamatan fisik dan emosi kita.

Charles Tebbets dalam bukunya, yang kini telah menjadi buku klasik, Miracles on
Demand, mengatakan, “Conscious mind is the mind of choice. Subconscious mind is the
mind of preference. We choose what we prefer.”

Tebbets juga melanjutkan dengan menyatakan bahwa hipnoterapi bekerja berdasar prinsip
sebagai berikut:
-Semua perilaku mal-adaptive adalah hasil atau akibat dari respon penyesuaian yang
tidak tepat, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan di masa kecil yang sebenarnya sudah
tidak sesuai/relevan dengan kondisi saat dewasa.
-Kebanyakan penyakit bersifat psikosomatis dan dipilih secara tidak sadar untuk
melarikan diri dari suatu situasi, yang oleh klien, dipandang sebagai kondisi dengan
muatan tekanan emosi destruktif yang berlebihan, seperti kemarahan, kebencian, dendam,
dan takut, yang melebihi kemampuan klien untuk mengatasinya saat itu.

Sebenarnya ada satu lagi yaitu pikiran nir-sadar. Tapi dalam kesempatan ini saya tidak
akan membahas mengenai fungsi dan cara kerjanya.

Tungku Mental

Untuk memudahkan pemahaman mengenai mekanisme pikiran bawah sadar saya


menggunakan analogi tungku mental. Tungku mental berisi air (baca: berbagai buah
pikir/thought). Api yang memanasi tungku adalah berbagai emosi, baik itu yang positif
maupun negatif, yang dialami seseorang.

Dalam kondisi normal saat api membakar tungku maka temperatur akan naik dan sampai
pada suhu tertentu akan muncul uap air yang bergerak bebas ke atas karena tungku tidak
ditutup. Namun apa yang terjadi bila tungku ditutup rapat?

Saat temperatur semakin tinggi, karena terus dipanasi oleh api emosi, terutama yang
negatif, maka akan muncul uap yang bergerak ke atas. Namun kali ini uap tidak bisa
keluar karena terperangkap di dalam tungku yang ditutup rapat. Semakin lama suhu
tungku semakin tinggi, semakin banyak uap yang terperangkap, sehingga tekanan uap
semakin tinggi menekan seluruh dinding dalam tungku.
Apa yang terjadi bila tungku tetap ditutup rapat?

Benar sekali. Sampai pada satu titik, saat tekanan uap melebihi daya tahan dinding
tungku, maka akan terjadi ledakan hebat dan tungku akan hancur berantakan.
Nah, bagaimana dengan manusia? Jangan khawatir, kita tidak akan meledak seperti
contoh tungku di atas. Pada manusia, pikiran bawah sadar akan melindungi diri kita
dengan melakukan hal-hal yang dipandang perlu untuk menyelamatkan diri kita dari
“kehancuran”.

Apa yang akan dilakukan pikiran bawah sadar?


Pikiran bawah sadar akan membuat retak-retak kecil di tungku mental kita sehingga ada
jalan keluar bagi uap yang berada di dalam tungku mental. Dengan demikian tekanan
akan turun dan tidak membahayakan keutuhan tungku mental.
Nah, saat uap dari dalam tungku keluar dan berbunyi …sssshhh……ssssshhhh….pada
saat itulah seseorang akan mengalami perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini adalah
manifestasi dari uap yang keluar. Biasanya perubahan ini tidak mendadak. Tetapi
perlahan-lahan dan semakin lama semakin parah.

Apa yang kita lakukan terhadap orang yang telah mengalami perubahan perilaku?

Kita cenderung akan meluruskan perilakunya, benar nggak?

Apakah bisa?

Oh, sudah tentu bisa. Ada banyak cara dan teknik yang biasa digunakan. Pertanyaannya
adalah perubahan menjadi “normal” kembali ini bisa bertahan berapa lama?
Seringkali tidak bisa bertahan lama. Nanti pasti akan muncul lagi perilaku yang “aneh”.
Mengapa ini terjadi? Karena kita hanya menyumbat retak di dinding tungku. Saat uap
sudah tidak keluar maka perilaku orang itu menjadi normal.
Dan karena kita tidak mencari sumber masalahnya, yaitu api yang berada di bawah
tungku (baca: emosi yang belum terselesaikan) maka cepat atau lambat tekanan uap di
dalam tungku kembali naik dan sampai pada satu titik akan terjadi kebocoran lagi.

Pembaca, dengan membaca sejauh ini saya yakin anda pasti sampai pada kesimpulan
bahwa simtom adalah sesuatu yang positif. Simtom adalah bentuk komunikasi dari
pikiran bawah sadar ke pikiran sadar yang mengatakan, “Hei… ini ada masalah di bawah
sini. Anda perlu menyelesaikan masalah ini. Kalau anda tetap tidak mau mengerti atau
tidak bersedia menyelesaikan masalah ini maka saya akan tetap mengganggu anda.”

Masalahnya adalah bukan kita tidak mau menyelesaikan masalah tapi kita seringkali
tidak memahami pesan yang disampaikan pikiran bawah sadar. Dan seringkali saat kita
mau menyelesaikan masalah ini kita tidak tahu caranya atau teknik yang digunakan tidak
tepat.

Lalu, bagaimana cara efektif untuk mengatasi hal ini?

Pertama, kita perlu mengeluarkan uap yang terjebak di dalam tungku. Bagaimana
caranya? Gunakan uap itu sebagai petunjuk untuk menemukan retak di dinding tungku.
Ini yang dikatakan oleh Milton Erickson dengan “The Symptom is the solution”.

Setelah uapnya berhasil kita keluarkan dan tekanan sudah habis selanjutnya kita bisa
membuka tutup tungku. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi bila tutup tungku dibuka
saat tekanannya masih sangat tinggi. Ini sama dengan membuka tutup radiator mobil saat
masih panas. Sangat berbahaya.
Isi tungku adalah konten atau memori yang berhubungan atau yang membuat munculnya
simtom. Setelah ini barulah kita bisa menemukan sumber api dan sekaligus memadamkan
apinya.

Apa yang terjadi bila api berhasil dipadamkan? Sudah tidak ada lagi yang memanasi
tungku mental. Dengan demikian temperatur tidak akan naik. Dan sudah tentu tidak akan
ada uap yang menekan dinding tungku. Tidak akan terjadi retak dan kebocoran. Klien
akan kembali menjalani hidup dengan normal.

Mengapa Direct Suggestion Tidak Efektif?

Dalam menangani berbagai kasus dengan muatan emosi yang tinggi, sudah tentu yang
saya maksudkan di sini adalah emosi negatif, maka Direct Suggestion tidak efektif.
Mengapa tidak efektif? Karena Direct Suggestion hanya mengeliminir simtom, bukan
akar masalah. Salah satu sifat pikiran bawah sadar adalah malas untuk berubah. Pikiran
bawah sadar menilai sesuatu sebagai hal yang benar atau tidak benar bukan berdasarkan
kebenaran yang sungguh-sungguh benar, namun lebih berdasarkan data yang tersimpan di
database di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar beroperasi berdasar hukum
Familiarity atau yang juga dikenal dengan Knowns and Unknowns.

Dari uraian di atas kita tahu bahwa sakit atau simtom sebenarnya suatu mekanisme
perlindungan yang digunakan oleh pikiran bawah sadar untuk “menyelamatkan”
seseorang. Jadi, saat pikiran bawah sadar merasa sudah “benar” dengan membuat
seseorang menjadi “sakit” maka, jika dipaksa berubah dengan menggunakan Direct
Suggestion, sudah tentu ia akan menolak. Dan semakin kita paksa maka ia semakin
melawan dengan meningkatkan intensitas “sakit” atau “gangguan”.

Ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk bisa menghilangkan simtom dengan cepat,
efektif, efisien, dan permanen:
1.Memori yang berhubungan dengan atau yang mengakibatkan munculnya simtom harus
dibawa naik ke permukaan dan diketahui secara sadar.
2.Perasaan yang berhubungan dengan memori ini harus dialami kembali.
3.Hubungan antara simtom dan memori harus diketahui.
4.Pembelajaran bawah sadar atau yang bersifat emosi harus terjadi dan memungkinkan
klien untuk membuat keputusan di masa depan tanpa terpengaruh oleh konten yang telah
dimunculkan.

Teknik terapi yang semata-mata hanya menggunakan Direct Suggestion mampu


“menyembuhkan” klien. Namun “kesembuhan” ini tidak akan berlangsung lama.
Beberapa saat kemudian akan muncul lagi simtom, bisa simtom yang lama atau bahkan
yang baru. Kesembuhan ini sebenarnya adalah akibat dari penambalan terhadap retak di
dinding tungku mental sehingga uap untuk sementara waktu tidak bisa keluar.

Contoh Kasus

Saya akan menutup artikel ini dengan beberapa contoh kasus yang berhasil ditangani
dengan menggunakan Teori Tungku Mental.
Pertama, kasus seorang klien, wanita 39 tahun, yang mengeluh bahwa pikirannya suka
sekali menghitung angka (counting numbers), dan kalau mandi lama sekali.
Wanita ini mengatakan bahwa ia mengalami OCD (Obsessive Compulsive Disorder).
Saya tidak tahu apakah benar ia mengalami OCD atau bukan. Mengapa? Karena ini
adalah istilah yang digunakan di dunia psikologi atau psikiatri. Saya bukan psikolog atau
psikiater. Jadi saya tidak bisa menggunakan istilah ini.

Berdasar Teori Tungku Mental maka saya melihat perilakunya sebagai bentuk kebocoran
uap dari tungku mentalnya. Nah, tugas saya adalah, dengan berbagai teknik yang saya
pelajari dan kuasai, mencari dan menemukan sumber apinya, lalu membantu klien ini
mematikan apinya.

Proses uncovering membawa klien pada usia tiga belas tahun. Sesuatu terjadi di sini.
Saya membantu klien mematikan apinya. Besoknya saya diberitahu klien bahwa ia
mandinya sudah normal dan juga sudah tidak menghitung angka.
Kasus kedua adalah kasus yang ditangani salah satu alumnus QHI. Alumnus ini berhasil
mengobati seorang wanita, usia 29 tahun, yang alergi terhadap gula atau sesuatu yang
manis seperti permen atau minuman Coca Cola. Setiap kali makan atau minum yang
manis maka badan klien ini akan langsung bengkak dan gatal. Anehnya, kalau makan
nasi atau roti badannya biasa-biasa saja. Padahal nasi atau roti mengandung karbohidrat
yang setelah masuk ke badan akan menjadi gula.
Kembali lagi, dengan Teori Tungku Mental, alumnus ini berhasil membantu klien
menemukan apinya.

Apa yang terjadi?

Pada usia 3 tahun klien ini melihat kejadian yang tidak semestinya ia lihat dan setelah itu
ia diberi permen. Ini adalah ISE. Selanjutnya terjadi beberapa peristiwa lagi, yang
sebenarnya adalah SSE-SSE, pada usia yang berbeda. Akhirnya pada saat SMP baru
muncul alergi permen.

Berapa sesi yang dibutuhkan untuk membantu klien ini? Hanya 1 (satu) sesi saja.

Contoh ketiga adalah klien yang berusia 40 tahun. Keluhan klien ini adalah ia tidak bisa
minum air putih. Setiap kali minum air putih maka perutnya akan sakit dan langsung
muntah. Tapi bila airnya diberi sirup, atau gula, atau dibuat teh atau kopi, maka tidak ada
masalah. Setelah diselidiki ternyata klien tidak bisa minum air putih sejak usia 4 tahun.

Dibutuhan hanya 1 (satu) sesi saja untuk menemukan sumber api dan memadamkannya.
Setelah itu klien langsung bisa minum air putih.

Bagaimana dengan fobia? Prinsipnya sama saja.

Pembaca, anda pasti bertanya, “Bagaimana caranya untuk bisa menemukan api dengan
cepat?”
Akan sangat panjang bila saya jelaskan di sini. Inilah yang saya berikan di kelas pelatihan
100 jam hipnoterapi yang diselenggarakan oleh Quantum Hypnosis Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai