Anda di halaman 1dari 27

Ikhwan, Alfian, Sahidan

BANGKIT
Cerpen Karangan: Alfred Pandie
Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh
kesunyian malam. Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan
malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan
orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah
sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik
yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan
senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang
jatuh tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.
Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang
tergiang-ngiang merobek otak ku.
“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah
caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa
kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal
atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang
pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata,
membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya.
“ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku melemparkan tas
ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya
malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai
yang mengalir airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang
tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting
bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas.
Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat
kaki kananku dan…?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan
menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat
wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah
Dan ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun.
Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya
penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali
menatap langit dan menghapus air matanya.
“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”.
Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.
“kenapa kamu menamparku..?
Kenapa kamu menolongku?
Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan
tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.
Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan
terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam.
Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku
minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk
bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari
mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena
sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang
lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya
sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela
kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau
sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku
layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak makan,
sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku
mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan
bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan
perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas menembus angkasa, langit malam
ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah
mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir
dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta
tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi
ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak
Ikhwan, Alfian, Sahidan

dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama
pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-
kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh menurutku. Aku memberinya
sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc
umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu
memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang
dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh
sekali cuma karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga
memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia
sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-bintang
kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan
bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku
yang berdiri di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia
memulai.“maafkan aku sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah
membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary
usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis
menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya
lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara kedua orang
tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan
pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti bersyukur.Kami menapaki
jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami
turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang
tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti
kehangatan ini harus berakhir
Tamat

1. Unsur Intrinsik cerpen ‘‘Bangkit’’


1) Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan
2) Latar:
- Waktu : Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
- Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Bukti : ‘Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘


‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.
- Suasana : Sunyi sepi
Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.’
3) Alur : Maju
- Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar
dan masalah sampai ke konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian
konflik.
4) Penokohan :
- Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh
Bukti :
‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.’
‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku
mendapatkannya.’
- Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup
Bukti :
‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak
beraturan’
‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali
besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.’
5) Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.
- Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan
mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6) Nilai :
- Nilai Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama ini hanya meminta tanpa
pernah tahu bagaimana orang tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya
bersyukur dengan apa yang telah kita miliki tidak hanya menuntut sesuatu
karna diluar sana masih banyak orang yang kekurangan.
- Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang
keras. Di kehidupan nyata banyak orang yang melakukan apapun untuk
berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup di dunia yang
keras ini.
- Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan
terjun dari jembatan. Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat
menghadapi masalah kita seharusnya membantu mereka tidak
membiarkannya.
7) Amanat :
a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.
b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.
c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
d. Jangan lari dari permasalahan.
e. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
f. Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit
Ikhwan, Alfian, Sahidan

2. Unsur Ekstrinsik cerpen “Bangkit”


1. Latar Kepengarangan Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt saat
mereka gagal dan berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin menginspirasi/memotivasi
orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui ceritanya.
2. Keyakinan Penulis : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di masyarakat.
Banyak orang yang bunuh diri karena putus asa maka penulis menggambarkan situasi
tersebut dalam sebuah cerpen.
3. Masyarakat pembaca : Pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen ini karena cerpen
ini mengandung masalah-masalah yang ada di masyarakat dan masih banyak orang yang
memiliki masalah yang sama dengan cerpen ini.

MARTINI
Oleh: Kurniawan Lastanto
wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga
tahun ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah
selatan Wonosari Gunung Kidul.
Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan
berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang
ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk
dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya
yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi,
Negara dimana selama ini ia bekerja.
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai
tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang
ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba –
tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang
sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau
tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker
kelimpungan dan tampak lebih sibuk.
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga
tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan.
Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja
sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh
putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu
teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang
saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia
menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh
orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh
pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari
jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan
kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh
karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia
berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan
membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu
letihuntuk perjalanan panjangyang ditempuh dari arab Saudi.
Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan
ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun
bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa
berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong.
Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko
kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya
disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Ia ketuk perlahan – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul
membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.”
Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra
yang muncul dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal
kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar
Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan
depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut.
Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas
ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan
anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat.
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik
saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar
pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker
sejenak.
“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau
pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,”
saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia
mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan
matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia
merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah
barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita
lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar
martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu
Ikhwan, Alfian, Sahidan

berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi.


“ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana
suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya
didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu
adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra
bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok
hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok
pegangpun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan
simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku
satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk
mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah
berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan
jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn
suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai
kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat
kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya,
dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri
barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?”
wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam
keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.
,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok
mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri?
Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka?
Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar
Ikhwan, Alfian, Sahidan

ucapan pedas anaknya tersebut.


“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak
Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya
namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi
mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri
jalan dengan muka merah Padam.
Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi
mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan
tinggal di sana bersama istri barumu,
Kurang apa aku?”
Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke
luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat
selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang
berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan.
Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia
Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang
disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui
perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini.
Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva
itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya.
Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu
terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya
dipinggang koko.
,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya
kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari
pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada
disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah.
“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko,
mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih
sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko
dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam
rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun
malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia
terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari,"
terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan
pandangannya keluar jendela.
Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.

UNSUR INTRINSIK
Tema : percayalah pada niat baikmu
Latar :
Tempat : dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung
Waktu : tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab Saudi
Suasana : diawal cerita suasana yang timbul basa saja, tetapi pada pertengahan cerita
suasana yang timbul
Menegangkan karena adanya konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi
Plot/alur : alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan
secara runtut. Pada awal cerita
diawali dengan pengenalan tokoh, kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya
timbul suatu
pertentangan yang berlanjut ke konflik(klimaks) dilanjutkan dengan antiklimaks
dan pada akhir cerita
terdapat penyelesaian.
Perwatakan :
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Tokoh utama(martini) : wataknya yang sabar,lembut ,pekerja keras, bertanggung jawab


terhadap
keluarga, hal ini di tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran
fisik tokoh serta
tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama
Tokoh pembantu :
Mbok : sabar
Andra : patuh terhadap orang tua
Mas koko : tidak bertanggung jawab terhadap keluarga
Sudut pandang : orang ketiga
Mood/suasana hati : kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan
Amanat :
-Seharusnya suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi anak dan
istrinya
-Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum ada buktinya
- Keuletan dan kesabaran dalam bekerja akan membuahkan hasil yang baik
- Selalu berniat baik untuk mendapatkan ridho Allah swt
UNSUR EKSTRINSIK
Nilai moral :
Dalam cerpen tersebut terdapat kandungan nilai moral yaitu seseorang haruslah bersikap
huznudzon terhadap sesama manusia, karena husnudzon mencerminkan akhlak serta
budi pekerti yang baik.
Nilai Sosial-budaya :
cerita pada cerpen tadi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Bahwa kebanyakan orang yaitu wanita pergi merantau ke negeri orang demi
membantu perekonomian keluarga seperti menjadi TKW, sedangkan suaminya menunggu
dirumah, untuk dikirimi uang dari istrinya tanpa berpikir , susahnya mencari uang dinegeri
orang, sedangkan dia sendiri tidak bekerja. Namun, hal ini bertolakbelakang dengan
budaya serta tradisi, bahwa yang wajib mencari nafkah untuk keluarganya adalah suami.
Karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, jadi ia harus bertanggungjawab
terhadap keluarganya. Tetapi, hal ini rupanya sudah banyak terjadi di masyarakat,
sehingga tidak jarang pula orang-orang yang menjumpai hal tersebut.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“Senyum Terakhir”
Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku
melihat dia, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah
membeli segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu.
Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku
memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si
dia juga sedang berada di taman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya.
“Hai…..”, kataku
Dengan senyum aku menyapanya.
Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi
sapaanku.
“Hai.. boleh kenalan gak?”.
“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
“Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-
Ikhwan, Alfian, Sahidan

begini saja”, pintaku.


“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan
mengelilingi taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku
menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami
dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama
karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku
ada di lorong kedua sebelah kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan
rumah Tamara, kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya…”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!”, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “Baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan
seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi
dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.
Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku.
“Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
***
Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia,
kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Tamara berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari
menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.


“Ayo buruan entar pintu gerbang ditutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku.
Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu.
Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari
bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen,
mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***
“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya.
Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang
lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.
Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain
berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan
pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil
meneteskan air matanya. Kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara
terkilir.
“Sudah jangan nangis dong, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri dong!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .


“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“Sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“Hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat
kedatanganku yang menggendong Tamara.
“Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima kasih yah nak ….”
“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
Sesampai di rumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku
langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
***
Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar
rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara
bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke Pantai Bira!”, kataku.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira kepada
Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin
mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin
berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja.
Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku
banyangkan tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil
tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di
kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun
datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.
Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas
lalu dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan
sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya
bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-
ngomeliku.
“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak nama kamu siapa?”.
“Nama aku Tamara, tante”.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya, sama-sama tante”, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***
Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang
akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah
Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di
sekolah aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di
keningku.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke Pantai Bira pun datang. Aku
duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman
wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki firasat buruk
dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak.
Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada
yang lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat
teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk
Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa
membuat aku pingsan.
“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.
Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu
memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “
Kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat aku
sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir
darinya.

(SELESAI)

ANALISIS

JUDUL : SENYUM TERAKHIR


UNSUR INTRINSIK
 Tema : Persahabatan Sejati
 Setting :
1. Tempat : Taman, sekitar kompleks rumah, rumah Zacky, jalan menuju sekolah,
sekolah, bus.
2. Waktu : Pagi, siang, petang.
3. Suasana : Menyenangkan, asik, seru, manis, tragis, sedih, mengharukan.
 Alur : Maju
 Amanat :
1. Hargailah semua waktu-waktu kebersamaan bersama sahabatmu, karena kita tak
pernah tahu kapan akan berpisah selamanya dengannya.
2. Sayangilah sahabatmu dengan tulus dari hati hingga akhir waktu.
 Nilai :
1. Sosial :
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan
sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya
bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
UNSUR EKSTRINSIK
 Latar kepengarangan penulis :
Penulis cerpen ini adalah seorang remaja pria sekaligus pelajar. Baru mulai belajar
menjalin persahabatan dengan seorang wanita. Di mana ending dari kisahnya adalah sedih.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Tapi dapat membuktikan, bahwa persahabatan sejati yang dijalin hingga akhir hayat itu
masih ada.
 Keyakinan penulis :-
 Masyarakat pembaca :
Kalangan remaja mungkin lebih menggemari cerpen ini. Karena di samping menceritakan
tentang kehidupan persahabatan di kalangan remaja, kalimatnya pun dikemas ringan,
sehingga mudah dipahami.

“ Payung Hitam“
“Non, bangun non.” kata seorang perempuan paruh baya, sambil mengetuk pintu kamar.
Berkali-kali diketuknya pintu kamar tersebut. Tapi, belum ada respon dari sang pemilik
kamar. Baru ketukan ketiga, terdengar suara anak perempuan yang menyahuti ketukan
kamar tersebut.
“Males!” teriak anak perempuan itu. Hah? Males? Hei! Seharusnya kamu bersyukur
masih bisa bersekolah. Coba kamu tengok ke pinggiran kota. Masih banyak anak-anak yang
tidak bisa bersekolah.
“Tapi non… Sudah siang, nanti sekolahnya terlambat.” kata wanita paruh baya
itu yang sekarang kita ketahui bernama bi Inah.
“Kenapa bi? Gak mau bangun tuh anak?” kata seorang pemuda berambut coklat
yang entah darimana asalnya itu. Bi Inah menoleh ke pemuda yang berdiri di belakangnya
itu.
“Iya den. Itu si non katanya males, aduh gimana nih den? Nanti bibi diomelin tuan
and nyonyah.” kata bi Nha cemas.
“Yaudah biar saya aja bi yang bangunin tuh anak,” usul pemuda itu.
“Tapi den?” kata bi nha tambah cemas.
“Udah biarin saya aja” paksa pemuda itu.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Akhirnya bi Nha pun mengalah dan kembali kedapur. Dalam hitungan jari, akhirnya
pemuda itu mengetuk pintu berwarna merah maroon itu dengan sangat kerasnya. Rusak
dah tuh pintu. Tok… Tok… Tok…
“ADE BANGUN GA!!! Nanti abang bilangin mamih papih loh?” ancam pemuda itu.
Huh, beraninya main ngacem. Payah sekali pemuda ini. Benar-benar payah.
“BILANG AJA! GAK TAKUT!!!” teriak perempuan itu tak kalah kencangdari dalam
kamar.
“Masa gitu? Ayo cepetan sekolah, nanti COKLAT dan baju plus topi
dari Swiss gak bakal abang kasih loh!” ancam pemuda itu.
Akhirnya pintu kebuka, keluarlah seorang gadis imut nan manis. Bisa dilihat
rambutnya yang berwarna kuning emas itu sedikit acak-acakan.
“Iya aku sekolah, tapi kasih yah coklat dan pesenanku ya?” kata gadis itu sambil
tersenyum manja. Pemuda itu tersenyuma lebar.
“Iya beneran, cepetan mandi langsung kemeja makan. Nanti telat!” kata pemuda itu
dengan bijak lalu melangkah pergi meninggalkan anak perempuan itu.
“Oke,” jawab gadis itu dengan semangat dan langsung masuk kekamar menuju kamar
mandi.
.
Setelah kejadian beberapa menit yang lalu atau mungkin jam, akhirnya mereka pun
sampai disekolah. Sang adik pun turun dari mobil, dan segera pamit ke kakaknya.
Kakaknya pun langsung berangkat ke kampusnya.
“DOR!!!!!” ‘astagah siapa itu ? bikin jantungan saja,’ pikir Rika dalam hati. Rika pun
membalikan badan kebelakan terlihatlah seorang laki-laki berparas tinggi dan tampan,
yang hampir saja membuat Rika mati dipagi hari karena terkena serangan jantung.
“Shin!!! Kau hampir saja membuatku mati!” ucap Rika sewot. Yaiyalah gimana gak
sewot? Kalau lagi badmood tiba-tiba ada yang ngagetin? Bikin orang cepet mati aja. Dan
tersangka hanya nyengir merasa tidak bersalah. Rasanya Rika ingin membunuh orang itu
saja, tapi dia ingat kalau ini masih disekolah lagi pula dia teman baik rika.

Teng..teng..teng...
Bell masuk pun berbunyi, semua anak murid lari berhamburan masuk kedalam
kelas. Maklum saja sekolah ini sangat ketat, guru-gurunya pun selalu datang tepat waktu
dan sekolah ini sangat luas, jadi kalau tidak buru-buru mati saja riwayatmu.
Ikhwan, Alfian, Sahidan

-RIKA-
Hosh...hosh...hosh akhirnya nyampe kelas juga,aku langsung melirik ke meja guru,
AMAN!!! Syukurlah gurunya belum datang. Langsung saja aku masuk dan menaru tas
dimeja dan menjatuhkan pantat ku ditempat dudukku yang biasa. Ku lihat shin langsung
nimbrung ketemen-temennya, huft dasar shin...
Sretttt... terbukalah pintu kelas dan menampakan guru berparas kurang cantik dan
killer. “Hei kalian! Ngapain kalian arisan disitu?! Cepat kembali ketempat duduk masing-
masing!” omel guru itu dan tidak lupa dengan tatapan dendam nyipelet. Mereka pun lari
terbirit-birit ketempat duduk mereka. Akupun tertawa tertahan melihat tingkah mereka.
Lagi, siapa suruh bukannya langsung duduk rapih eh malah wara-wiri, hihihi.
“Sekarang kita kuis!tutup buku kalian!” kata –lebih tepatnya perintah- bu Aisyah.
Mati gue!! Gue kan belum belajar!! Mampus lu!!. “bu, kok mendadak sih? Kita kan belum
bekajar bu.” Tiba-tiba ada yang berbicara seperti itu, aku pun pun mencari tahu, dan
ternyata itu Cherry! OMG! Thank you Cherry! Semoga dengan kamu berbicara sepertiu itu,
ibu Aisyah akan memberi keringanan kepada kita! Amin.
Dan ternyata usahanya Cherry tidak sia-sia, dang guru pun mengizinkan anak-
anaknya untuk belajar terlebih dahulu selama lima menit, syukurlah!!! Thanks Cherry!
Kamu emang the best deh! Akupun memutuskan untuk belajar, dari pada nanti tidak bisa.

45 menit kemudian
“Cukup! Cepat kumpulkan! Yang telat tidak akan Ibu nilai!” ancam bu Aisyah,
huwaaa syukurlah aku sudah selesai. Bismillah semoga dapat nilai bagus amin! Fufufu ku
tiup lembar jawabanku, semoga dengan begitu doaku terkabulkan amin... “Shin! Reia!
Kadoi! Otsu! Cepat kumpulkan! Kalau tidak, tidak akan saya nilai!” omel ibu Aisyah. Wasuh
nih guru kerjaannya ngomel-ngomel melulu nih. Shin dan kawan-kawan cepatlah, aku pun
berdoa untuk keselamatan mereka hahaha. “Sebentar bu, sedikit lagi.” Mohon Reia,
astagah! Wajahnya itu!! Imut bangetttt!!! Reia, semoga bu Aisyah mempan yah dengan
wajahmu itu, Amin. “yasudah, cepat kumpulkan!” ucapbu Aisyah, sepertinya dia mulai lelah
karena marah-marah melulu hahaha.
Teng... teng.. teng.. bel pelajaran selanjutnya.
Huft untung saja mereka sudah ngumpulin, kalau tidak makin ribet ini, bu Aisyah
pun pergi dan kami siap-siap untuk memasuki pelajaran selanjutnya yaitu olah raga yey!
Aku senang sekali dengan pelajaran olah raga. “puk~” siapa neh yang nepok undakku, ku
Ikhwan, Alfian, Sahidan

balikan badan dan kulihat Shin tengah tersenyum kepada ku, baru saja ingin ku buka
mulutku dan mengatakan sesuatu eh dia udah duluang ngomong “Ganti baju bareng yuks?”
WHAT THE...... “KYAAAA SHIN MESUMMMMM!!!!” teriakku. Astagah Shin kau
mesummmm!!!!!! Kupul saja shin dan dia malah tertawa lalu menarik tanganku yang
sedang memukul-mukul dia “hei.. hei... aku cuman bercanda.” Jelas Shin sambil tertawa,
huft kukira beneran huft dasar SHINNNNNN!!! Kau membuatku malu.
“Ihhhhhh Shinnnnn!!! Pergi sana!!!” usirku, pasti wajahku merah banget huwaaaaaa
Shinnn!!! Awas saja kau. Shin pun pergi sambil tersenyum penuh kemenangan, sial!. “RI-
CHAN~!” astagah siapa lagi manusia yang mempunyai suara melengking dan ngagetin aku?
Kenapa banyak banget orang yang pengen aku kena serangan jantung? Ya tuhan! Apa salah
hambamu?. Aku pun berbalik arah dan ku lihat manusia ;berwajah manis berambut hitam
sedang nyengir kearahku, dan ternyata manusia itu adalah Cherry. Huft, “Apa Che-Chan?
Jangan teriak-teriak lah, suara mu tuh berisik sekali.” Ucapku datar. “hehe maap Ri-chan.”
Ucap Cherry sambil nyubit pipiku, arggghhh “Cherry sakit!!!” ucapku kesal. “Sudahlah
mendingan kita ganti baju trus caw.” Lanjutku sebelum dia mulai cerocos gak penting yang
membuat kuping sakit, “Iya deh. Yuks~”
Di lapangan
“baiklah sekarang kita akan melakukan lari marathon~!” ucap guru olah raga yang
sangat fanatik kepada warna hijau. “Baiklah guru guy!!!” balas seorang lelaki fanatik tu
guru. Lihat lah, poninya saja sama, baju olahraganya aja sama huft dasar~.
Duhh... duh... pusing banget ini.. ya tuhan... ada apa ini? Astagfirulloh sakit banget
ini...
“Ri-chan, kenapa? Tidak apa-apa kan?” tanya Shin, nadanya penuh dengan khawatir.
“Kepalaku sakit banget Shin... a-aduh Shin... S-sakitttttttttt banget ini.” Ucapku
dengan lirih menahan sakit, ya tuhan sakit banget ini kepalaku..
Tess.. tess.. tesss
‘apa ini?’ kuusap hidungku dan ternyata darah? Hah? Darah? Kudengar suara Shin
memekik kaget melihat darah ditangan dan hidungku. “Ri-chan? Kamu berdarah! astagah.”
Ucap Shin khawatir dan panik, seketika semua hitam.

-SHINTARO-
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Astagah... Ri-chan... apa yang terjadi padamu sayang?. Kugendong Ri-chan, menuju
ruang kesehatan, saat tiba disana aku pun langsung menaruh Ri-chan ditempat tidur, dan
dokter sekolah pun langsung memeriksa Ri-chan..
Ri-chan, apa yang padamu? Ri-chan bangunlah...
“Morimoto-san, sebaikanya Kamenashi-san dibawa kedokter saja.” Ucap dokter itu.
Apa? kenapa musti dibawa kerumah sakit? Ri-chan, apa yang terjadi padamu? “Memangnya
Ri-chan kenapa dok?” tanya ku panik. “sebaiknya dibawa saja. Saya takut terjadi apa-apa
terhadap Kamenashi-san.” Jawab dokter itu kalem. Ya tuhan.... “baiklah dok, saya akan
bawa dia kerumah sakit, Cher, tolong izinin gue sama Ri-chan yah.” Ucap ku kepada Cherry.
“Iya Shin, pasti! Semoga aja tidak terjadi apa-apa ya sama Ri-chan, amin. Lo hati-hati ya
Shin.”
“sip.. thanks ya.. gue berangakt dulu ya..”

Rumah Sakit
‘Ya tuhan ada apa ini? Ri-chan sebenernya kamu kenapa? Kamu sakit apa?’ ku usap
wajahku yang frustasi. Dokter kenapa lama banget?
Tap.. tap.. tap
“Shin-kun, Ri-chan kenapa? Dan dimana dia?” tanya wanita cantik penuh dengan
kepanikan, “Lagi diperiksa dokter tan.” Jawabku tenang. Aku harus tenang agar orang yang
didepanku tidak histeris.
Dokter pun keluar dari dari ruang UGD, kami pun segera menghampiri dokter itu
“Dok.. Gimana Ri-Chan dok?” tanya wanita itu panik “Tenang bu, saya menyarankan Ri-
chan di ST.Scan. ini baru prediksi saya, Ri-chan mengidap penyakit leukimia.” Ucap dokter
itu kalem. APA??? LEUKIMIA? GAK MUNGKIN.... RI-CHAN!!! INI GAK MUNGKIN!!! “APA
DOK? GAK MUNGKIN!!” teriak ku ke dokter itu dan dokter itu pun menjelaskan bahwa di
sekujur tubuh rika banyak lembam dan luka yang disebabkan bukan dari luka penyiksaan
atau sebagiannya, tetapi disebabkan oleh penyakit leukimia dan kata bunda dakota bahwa
Ri-chan sering pingsan dan mimisan astaghhh kenapa bisa?

5 bulan kemudian
Ternyata Ri-chan memang mengidap penyakit leukimia, oh astagah kenapa bisa?
Kenapa? Kata dokter umur ia tidak lama lagi. Kenapa? Bahkan aku belum menyatakan
cinta.. oh tidakkk!! Kenapa? Kenapa cepat sekali??. Wajahnya saat tidur cantik sekali tetapi
Ikhwan, Alfian, Sahidan

pucat sekali, Ri-chan ini sungguh seperti mimpi.. “ngggghh... Shin-kun?” tanya dia sambil
tersenyum. Aku pun ikt tersenyum, Ri-chan aku sayang kamu. Andai kamu tau itu.. “ng-
nggak papa. Gimana kamu? Sudah merasa baikan?” tanyaku mempertahankan senyum
diwajahku. Ia pun tersenyum “ya, tapi masih pusing dan tulang –tulang rasanya sakit
sekali.” Ucap dia lirih. Oh astagahhh...
“Shin-kun. Aku pusing sekali. Shin-kun tadi aku lihat Nii-chan, kata Nii-chan
sebentar lagi aku akan bersama dia, Shin-ku aku nitip bunda dan ayah yah.. Shin-kun aku
sayang kamu.” Ucap ia lirih, tidak! Kamu gak boleh ikut kakakmu.. kamu harus disini!
Walaupun kemungkinan kamu sembuh hanya 40% tapi tidak ada yang tidak mungkin! “Ri-
chan, kamu ngomong apa? kamu gak boleh ikut Yuya-nii! Kamu harus disini! Aku cinta
kamu.. aku sayang kamu.” Ucapku lirih dan aku pun menangis, ia pun menangis. “Shin-kun
aku juga cinta kamu, sayang kamu. Tapi waktu ku sudah sebentar lagi, aku akan bersama
Nii-chan. Shin-kun kamu jangan sedih, jangan nangis lagi. Aku sayang kamu Shin-kun.”
Ucap Ri-chan, oh astagah.. kenapa? Ri-chan.
Tiba-tiba Ri-chan pingsan.. oh astagah.. “DOKTER.. DOKTER... SUSTER..” teriakku
memanggil dokter suster dan dokter suster pun langsung memeriksa Ri-chan. Banyak
sekali alat, oh tidak!! Ri-chan!!!
Tap.. tap.. tap..
“Shin-kun, Ri-chan gimana? Kenapa? Apa yang terjadi?” aku merasa dejavu. Tapi
bedanya wanita ini bersama dengan lelaki. Wanita ini menangis dan lelaki itu
menenangkannya, tetapi lelaki itu juga menangis, melihat mereka menangis membuatku
ingin menangis kembali. Sedih rasanya melihat mereka seperti itu. Sakit rasanya melihat
Ri-chan lagi merenggang nyawa di dalam ruangan itu. Ya tuhan, tolong selamatkan Ri-chan,
kumohon. Kumohon tuhan.. tolong selamatakan Ri-chan...
“dok, dok gimana Ri-chan?!” ucap wanita itu setengah memekik. Dan dokterpun
hanya nunduk. Ya tuhan kumohon jangan!! Jangan!! Jangan sekarang!! Kumohon!!!
“maafkan kami, kami sudah berusaha sebaik mungkin.” Ucap dokter itu penuh rasa
bersalah. “TIDAKKKKK!!! DOK!! GAK MUNGKIN!! INI SEMUA GAK MUNGKIN!!! DOK,
KEMBALIKAN RI-CHAN!!!” oh ya yatuhan... kenapa? Kenapa bisa? Tuhan. Kenapa kau ambil
ia begitu cepat? Kenapa?

35 tahun kemudian
Ikhwan, Alfian, Sahidan

Sudah 35 tahun yang lalu Ri-chan meninggalkan ku tetapi, hati ini masih ada ia, ia
seperti angin, aku tidak dapat melihatnya, tetapi aku dapat merasakannya.
Hari ini adalah hari kematian Ri-chan, aku berencana akan kemakam Ri-chan. Ini
adalah acara tahunanku yang wajib diadakan. Aku pun masuk ke mobil spotku ya,
walaupun aku sadah tua tapi aku masih kuat untuk menyetir mobil sendirian karena aku
tinggal sendirian. Ya aku menjadi perjaka tua, dan seorang workerholic, karena apa?
karena hatiku telah kututup rapat untuk yang lain. Hariku hanya milik Ri-chan, tragis
memang, tapi mau diapain lagi, memang begini adanya.
Akhirnya aku sampai di pemakaman keluarga ‘Kamenashi.’ Ku parkirkan mobil
sport ini ditemapt parkir. Saat aku mau keluar, tiba-tiba hujan deras, sialan sekali hujan ini,
tapi seingetku aku menyimpan payung deh. Aku pun mulai mencari payung dan ternyata
ketemu, tiba-tiba aku inget Ri-chan, yatuhan Ri-chan, ini adalah payung saat kamu
meninggal. Aku pun tidak mau lama-lama didalam mobil. Aku pun keluar mobil dengan
payung hitam ini.
Aku pun sampai di depan makam yang bertulisan ‘Kamenashi Rika’ ku cium
nisannya, dan akupun memanjatkan doa kepada tuhan agar Ri-chan bahagia disamping
tuhan, Amin. Ri-chan apa kabar kamu disana? Apakah kamu bahagia disana? Tunggu aku
Ri-chan, aku akan menyusulmu.
“Morimoto-san?” tiba-tiba ada yang memanggilku, dan akupun menengok kearah
suara dan kutemukan Wanita cantik dan lelaki tampan, yang kuketahui mereka adalah
Kamenashi Dakota dan Kamenashi Kazuya yaitu orang tua Ri-chan.
“apa kabar? Gimana sudah nikah?” tanya wanita itu, sudah lama aku tidak melihat
mereka. Dan banyak perubahan terhadap mereka, tubuh mereka sudah ringkih dan
sepertinya sering sakit-sakitan, yatuhan kasian sekali mereka. Apakah mereka bahagia?
Kedua anak mereka telah dipanggil yang maha kuasa, mereka tinggal berdua, yatuhan aku
ingin sekali seperti mereka.
“baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian? Apakah masih sehat?”
“Seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum lirih mendengar jawaban Om kazuya.
Yatuhan, buatlah mereka bahagia, amin. Kulihat mereka berdoa untuk Ri-chan. “baiklah
kami pulang dulu, kamu sehat-sehat ya.” Nasihat tante Dakota. “iya, hati-hati dijalan.”
Aku pun kembali menatap makam Ri-chan, setelah kepergian kedua orang tua Ri-
chan. Tuhan tolong kabulkan permohonanku karena dia membuat Saya mempunyai cinta
dalam hidup saya.dan Itu membuat saya kuat. Dan Mungkin Tuhan punya rencana lebih
Ikhwan, Alfian, Sahidan

besar untuk Saya daripada rencana Saya untuk diri sendiri. Jadi saya mohon kabulkan doa
saya.
Duh..duh.. jantungku sakit sakit. Yatuhan jangan kambuh dulu kumohon. Sa-sakit,
sekali... RI-CHAN? APA AKU TIDAK SALAH LIHAT? Yatuhan, kuulurkan tanganku kiewajah
Ri-chan, dan ia pun tersenyum hangat, wajahnya makin cantik. “Shin-kun, maukah kau ikut
denganku?” tanya Ri-chan, yatuhan ini aku diajak kemana? Apakah aku diajak untuk
tinggal bersama Ri-chan dan engkau? Yatuhan aku siap kalau engkau ingin membawaku
bersama. Tiba-tiba semua gelap.
Shintaro terjatuh disebelah makam Ri-chan dan ditengah-tengahnya terdapat payung
hitam yang dipakai Shintaro dan seketika hujan pun berhenti, dan pelangi pun mulai
muncul. Dan terlihatlah Shin dan Rika sedang bergandengan tangan dan tersenyum
bahagia. Ya, payung hitam ini telah menjadi lambang cinta mereka yang abadi. Begitupun
dengan kematian mereka. Bahwa jodoh Shin adalah Rika, dan jodoh Rika adalah Shin.
-Tamat-
Unsur intrinsik
*Tema : kematian dan Cinta abadi
*Penokohan :
-Rika Kamenashi : Baik, manja, penyakitan, dan sangat sayang kepada keluarganya ( tokoh
utama wanita)
-Shintaro Morimoto : baik, sayang kepada Rika. (tokoh utama lelaki)
-Dakota Kamenashi : ibunya Rika, orangnya baik dan gampang panik. (tirtagonis)
-Kazuya Kamenashi : Ayahnya Rika, baik, sabar dan sayang kepada keluarganya.
-Yuya Kamenashi : baik, sayang adik dan orang tuanya, meninggal karena kecelakaan, pada
saat Rika sakit.
-Cherry/ Mio matsumoto : nyebelin tapi sebenernya baik, Dia adalah teman sekelas Rika
dan Shin (pemeran pembatu)
-kadoi, Reia, Otsu : baik sekali, teman seperjuangan Shin dan Rika
-Bi Nha : pembantu rumah tangga, orangnya baik dan sangat takut sama majikannya.
*Alur : maju
*Latar :
Tempat : rumah, sekolah, Rumah sakit dan pemakaman
Waktu : pagi, dan senja
Suasana : haru, dan tegang
Ikhwan, Alfian, Sahidan

*Sudut pandang : orang ketiga sebagai penulis, Orang pertama serba tahu ( Rika dan Shin)
*Amanat : janganlah engaku terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, dan terimalah apa
yang terjadi karena suatu saat nanti kau akan menerima kebahagian dari tuhan.

Unsur Ekstrinstik
*Nilai pendidikan : Ya aku menjadi perjaka tua, dan seorang workerholic, karena apa?
karena hatiku telah kututup rapat untuk yang lain.
*Nilai religi : Yatuhan, buatlah mereka bahagia, amin
yatuhan ini aku diajak kemana? Apakah aku diajak untuk tinggal bersama Ri-chan dan
engkau? Yatuhan aku siap kalau engkau ingin membawaku bersama.

Anda mungkin juga menyukai