Anda di halaman 1dari 2

Pengaruh Video Game Terhadap Perilaku Konsumtif

Video Game adalah permainan yang menggunakan interaksi dengan antarmuka


pengguna melalui gambar yang dihasilkan oleh peranti video. Permainan video umumnya
menyediakan sistem penghargaan – misalnya skor – yang dihitung berdasarkan tingkat
keberhasilan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas-tugas yang ada di dalam permainan.
(Wikipedia).
Saat ini video game merupakan salah satu hal yang murah dan dapat dijangkau
masyarakat. Walau dulunya merupakan barang yang langka karena hanya tersedia di
beberapa platform seperti Playstasion, Xbox, Nintendo, dan PC yang pada saat itu hanya
beberapa anak yang punya. Bahkan zaman dulu kita merelakan untuk berkumpul bermain
ke rumah teman yang mempunyai salah satu dari perangkat tersebut sekedar untuk
mencoba memainkan video game.
Saat ini video game sendiri merupakan salah satu hal yang tidak bisa lepas dari
masyarakat khususnya bagi kalangan anak anak dan remaja. Hampir setiap hari kita bisa
melihat anak anak berkumpul untuk bermain bersama game favorit mereka.
Semua itu tak lain tak bukan karena adanya kemajuan teknologi salah satunya
adalah Smartphone. Sejak maraknya Smartphone murah semua kalangan masyarakat bisa
memilikinya. Sedangkan kita tahu bahwa aplikasi game di perangkat mobile sekarang
sangatlah banyak, sebut saja Mobile Legend, Clash Royale, Clash Of Clan, dll.
Karena akses game yang gratis untuk diunduh banyak pengguna kita yang sampai
keasyikan berhari hari main untuk memuaskan hobi mereka bermain video game bahkan
sampai lupa waktu.
Tapi tahukah anda game game yang dasarnya gratis itu juga dapat membuat kita
menjadi orang yang konsumtif dan boros. Semua ini karena adanya Microtansaction di
dalam game. Apa itu microtransaction ? microtransaction adalah sebuah cara bagi para
pengembag game untuk mendapatkan keuntungannya yaitu dengan menawarkan item yang
langka/sulit didapat pada saat memainkan game dengan model biasa dengan menjual item
tersebut menggunakan uang sungguhan.
Singkatnya para player yang ingin menang cepat dan memiliki item lebih banyak
ketimbang player lain dapat membeli item/skill khusus dalam game tersebut dengan uang
sungguhan. Maka dari itu muncullah saat ini istilah game pay to win atau game yang
berbasis siapa yang mengeluarkan uang lebih banyak untuk developer adalah player yang
paling jago, tidak bisa dilihat dari skillnya ketika bermain.
Game yang dulunya adalah tempat untuk memanjakan diri dari rasa penat,
menyalurkan hobi dan sarana untuk berinteraksi dengan teman sepermainan, kini ternodai
dengan metode metode seperti itu.
Sebenarnya Microtransaction bukanlah sebuah hal yang buruk khususnya bagi sudut
pandang pengembang video game. Mereka juga berhak untuk mendapat keuntungan dan
apresiasi dari player salah satuunya dengan uang dari Microtransaction tersebut.
Namun, yang menjadi buruk adalah ketika developer terlalu memaksakan dan
membuat solah olah player harus membeli semuanya dan mengeluarkan banyak uang hanya
untuk ingin memenangkan sebuah game. Gamer diibaratkan layaknya sapi perah yang terus
diperah uangnya untuk kantong para developer yang licik.
Beberapa Negara luar seperti Amerika, Inggris telah melaksanakan beberapa
konfrensi untuk masalah microtransaction yang mewabah tersebut, salah satu Publisher
ternama EA(Elecctronic Arts) sempat terkena teguran dan hujatan dari para gamer karena
sikapnya yang sangat menguras player dalam microtransaction di setiap gamenya. Alhasil
gamenya terbaru mendapat respond an rating yang buruk dari para gamer dan reviewer.
Di Indonesia sendiri bisa kita lihat banyak anak kecil pun yang belum
berpenghasilan bermain game dan membeli itemnya dengan uang orangtua hanya untuk
memenangkan game kesukaannya.
Ini sangatlah membuat jati diri kita sebagai orang Indonesia yang seharusnya adalah
bangsa yang kreatis justru dibudakan dan menjadi masyarakat yang sangat konsumtif.
Kebijakan pemerintah pun soal game juga belum terlalu tegas bahkan masih berkutik
perihal rating pada game yang notabene sudah ada standar internasional seperti ESRB dan
PEGI.
Marilah kita semua sadar diri bahwa jangan sampai teknologi membuat kita menjadi
budak bagi mereka kaum kaum yang hanya mencari keuntungan. Kita harus berbenah dan
teliti bahkan dibagian sarana hiburan kita juga harus kritis disana.

Anda mungkin juga menyukai