Anda di halaman 1dari 25

BAB IV

SISTEM PEWARISAN ADAT

4.1 Sistem Keturunan

Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagaii macam dan


kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan
dengan system keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah
berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agam Hindu, Islam ,
dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini Nampak
pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem
keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu :

1. Sistem Patrilinal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis


bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
2. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor)
3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan sisi (Bapak-
ibu) dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan dalam
pewarisan (Aceh, Sumatera timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan lain-lain.)
Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain dikarenakan
hubungan pekawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti
diantara sistem patrilinal dan matrilineal alternerend. Dengan catatan
bahwa didalam perkembangannya di Indonesia sekarang Nampak
bertambah besarnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang
menyangkut kebendaan dan pewarisan.
Namun demikian disana sini terutama dikalangan masyarakat
diperdesaan masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem
keturunan dan kekerabatan adatnya yang lama, sehingga apa yang di
kemukakan hazairin masih Nampak kebenarannya. Ia menyatakan :
“ Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam fikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilinial , matrilineal, parental atau bilateral”.
Dengan catatan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk masyarakat
adat kekerabatan itu tidak berarti bahwa sistem hukum waris adat untuk
setiap bentuk kekerabatan yang sama akan berlaku sistem hukum waris
adat yang sama. Masalahnya dikarenakan didalam sistem keturunan
yang sama masih terdapat perbedaan dalam hukum yang lainnya,
menurut hukum adat Batak jika tidak mempunyai keturunan lelaki
berarti keturunan itu putus, sedangkan menurut hukum adat Lampung
keturunan yang putus dapat diganti. Begitu pula pewarisan menurut
hukum adat Batak berlaku pembagian harta warisan menjadi milik
perseorangan, sedangkan di Lampung (pepadun) berlaku sistem
pewarisan mayorat.

4.1.2 Sistem Pewarisan Individual


Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat
menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-
masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-
masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya
untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama
waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem individual ini
banyak berlaku dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatannya
parental sebagaimana dikalangan masyarakat adat Jawa atau juga
dikalangan masyarakat adat lainnya seperti masyarakat adat Batak
dimana berlaku adat manjae yang kuat dipengaruhi hukum Islam seperti
dikalangan masyarakat adat Lampung beradat peminggir, di pantai-pantai
selatan Lampung. Faktor lainnya yang menyebabkan perlu di laksanakan
pembagian warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi
yang berhasrat memimpin penguasaan atau pemilikan harta warisan
secara bersama, disebabkan para waris tidak terikat lagi pada satu rumah
kerabat (rumah gadang) atau rumah orang tua dan lapangan kehidupan
masing-masing anggota waris telah tersebar tempat kediamannya.
Kebaikan dari sistem pewarisan individual antara lain ialah bahwa
dengan kepemilikan secara pribadi maka waris dapat bebas menguasai
dan memiliki harta warisan bagiannya untuk dipergunakan sebagai
model kehidupannya lebih lanjut tanpa dipengaruhi anggota-anggota
keluarga yang lain, Ia dapat mentransaksikan bagian warisannya itu
kepada orang lain untuk dipergunakan menurut kebutuhannya sendiri
atau menurut kebutuhan keluarga tanggungannya. Bagi keluarga-
keluarga yang telah maju dimana rasa kekerabatan sudah mengecil,
dimana tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh
dan tidak begitu terikat lagi untuk bertempat kediaman di daerah asal,
apalagi jika telah melakukan perkawinan campuran, maka sistem
individual ini nampak besar pengaruhnya. Kelemahan dari sistem
individual ialah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali
kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki
kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Sistem
individual dalam pewarisan dapat menjurus kearah nafsu yang bersifat
individualisme dan materialisme. Hal mana kebanyakan menyebabkan
timbulnya perselisihan-perselisihan antara anggota keluarga pewaris.
Sistem pewarisan individual yang berlaku di lingkungan
masyarakat adat Lampung beradat peminggir di daerah kabupaten
Lampung selatan misalnya, telah banyak berakibat terpecahnya suatu
kerukunan rumah tangga, timbulnya pertentangan antara anak-anak
dengan orang tua yang masih hidup atau diantara sesama waris
bersaudara.

4.1.3 Sistem Pewarisan Kolektif

Pewarisan dengan sistem kolektif ialah dimana harta peninggalan


diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada waris
sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya,
melainkan setiap waris berhak untuk mengusahkan menggunakan atau
mendapat hasil dari harta peninggalan dan kebutuhan masing-masing
waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua
anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan
kepala kerabat. Sistem kolektif ini terdapat misalnya di daerah
Minangkabau, kadang-kadang juga di tanah Batak atau di Minahasa
dalam sifatnya yang terbatas. Di Minangkabau sistem kolektif berlaku
atas tanah pusaka yang diurus bersama dibawah pimpinan atau
pengurusan mamak kepala waris dimana para anggota keluarga hanya
mempunyai hak pakai (Minang = ganggam bauntuik ). Serupa dengan
tanah pusalea Minang ini ialah tanah dati di Ambon yang tidak dibagi-
bagikan kepada waris melainkan anggota keluarga pewaris yang telah
wafat dibawah pimpinan atau pengurusan kepala dati. Ada kemungkinan
sistem kolektif ini ini berubah kearah sistem individual, apabila tanah
pusaka yang pada mulanya tidak terbagi-bagi itu kemudian dikarenakan
harta bersama itu tidak lagi oleh dan untuk bersama dan begitu pula
dikarenakan lemahnya fungsi dan peranan pimpinan milik bersama untuk
tetap mengurus harta bersama untuk bersama.
Kebaikan dari sistem pewarisan kolektif yang masih Nampak
apabila fungsi harta kekayaan itu diperuntukkan buat kelangsungan hidup
keluarga besar itu untuk sekarang dan masa seterusnya masih tetap
berperanan , tolong menolong antara yang satu dan yang lain dibawah
pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih tetap dapat
dipelihara , dibina, dan di kembangkan.
Kelemahan sistem pewarisan kolektif ialah menumbuhkan cara
berfikir yang terlalu sempit kurang terbuka bagi orang luar. Disamping
itu oleh karena tidak selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan
yang dapat diandalkan dan akitivitas hidup yang kian meluas bagi para
anggota kerabat, maka rasa setia kawan, rasa setia kerabat bertambah
luntur. Di daerah Lampung disana sini dikarenakan para punyimbang (
Kepala Kerabat) bersangkutan tidak dapat bertahan mengurus
kepentingan bersama itu dengan baik.

4.1.4 Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan


sistem pewarisan kolektip, hanya penerusan dan pengalihan hak
penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi itu di limpahkan kepada
anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala
keluarga. Anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus tanggung
jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara
saudara-saudara nya yang lain terutama tertanggung jawab atas harta
warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka
dapat berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan
mereka yang turun temurun. Seperti halnya dengansistem kolektip setiap
anggota waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan hak
menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau memilikinya
secara perseorangan.
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem
keturunan yang dianut, yaitu mayorat lelaki seperti berlaku dilingkungan
masyarakat adat Lampung, terutama yang beradat pepadun atau juga
berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura Irian
Barat dan sistem mayorat perempuan seperti berlaku dilingkungan
masyarakat adat Semendo Sumatera Selatan.
Kelemahan dan kebaikan sistem pewarisan mayorat terletak pada
kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang
tua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan
memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang
ditinggalkan. Anak tertua yang penuh tanggung jawab akan dapat
mempertahankan keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua waris
menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri.
Tetapi anak tertua yang tidak bertanggung jawab, yang tidak dapat
mengendalikan diri terhadap kebendaan yang pemboros dan lain lain
sebagainya jangankan akan dapat mengurus harta peninggalan dan
saudara-saudaranya malahan sebaliknya ia yang diurus oleh anggota
keluarga yang lain.
Pada umumnya sistem kolektif dan sistem mayorat masih Nampak
berpengaruh atas harta pusaka kerabat, seperti bangunan rumah kerabat,
tanah-tanah kerabat, alat-alat perlengkapan upacara adat, benda-benda
magis, gelar-gelar keturunan dan sebagainya. Sedangkan terhadap harta
pencaharian atau harta perkawinan orang tua di sana sini sering
menimbulkan perselisihan sehingga di antara kerabat dimasa sekarang
sudah memandang perlu untuk melakukan pembagian baik pembagian
untuk penguasaan maupun untuk pemilikan.

4.1.5 Sistem Pewarisan Islam

Sistem hukum waris islam adalah sistem hukum waris yang


pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris wafat.
Jika ada yang wafat maka ada masalah waris, jadi apabila seseorang
meninggal dunia meninggalkan harta kekayaan maka berarti ada harta
warisan yang harus di bagi – bagikan kepada para waris pria tau wanita
yang masih hidup dan juga memberikan bagian kepada anak-anak yatim
dan fakir miskin. Di beberapa daerah dimana pengaruh ajaran islam
mendarah daging sistem pewarisan Islam ini berlaku. Sistem ini menurut
haizirin merupakan sistem individual bilateral.
Menurut sistem individual hukum waris adat banyak sedikitnya
bagian setiap waris tidak ada ketentuan yang pasti, sedangkan menurut
sistem hukum waris Islam sudah ditentukan, anatar lain sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur’an IV: 11, bahwa “ Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan…” Karena pengaruh ajaran Islam ini maka sistem individual
hukum adat dikenal istilah pembagian sepikul segendong. Ahli waris
yang berhak mendapat warisan adalah sebagai berikut :
1. Menurut garis bapak-anak (kebawah), ialah juga anak
perempuan,anak perempuan dari anak lelaki.
2. Menurut garis anak-bapak (keatas), ialah bapak, ibu, kakek dari
pihak ibu
3. Menurut garis saudara (kesamping), ialah saudara kandung, saudara
tiri dari pihak bapak, saudara tiri dan saudara tiri daripihak ibu, juga
duda dan janda.
4.16 Sistem Pewarisan Barat
Sistem pewarisan menurut barat yang dimaksud di sini adalah
sebagaimana diatur dalam KUH perdata (BW) yang menganut sistem
individual, dimana harta warisan jika wafat harus selekas mungkin
diadakan pembagian. Sistem ini kebanyakan dianut oleh warga Negara
Indonesia keturunan asing seperti Eropa, Cina, bahkan keturunan Arab
atau lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sendi pokok hukum waris barat sebagaimana dikemukakan WIRJONO
PRODJODIKORO adalah pasal 1066 KUH perdata yang menyatakan:
1. Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan
Harta-Benda, seorang itu tidak dipaksa membiarkan Harta Benda itu
tetap tidak dibagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya.
2. Pembagian Harta Benda ini selalu dapat di tuntut, meskipun ada satu
perjanjian yang bertentangan dengan itu.
3. Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian Harta Benda itu
pertangguhkan selama waktu tertentu.
4. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun
tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lalu.
Jadi menurut sistem hukum waris barat begitu pewaris wafat harta
warisan harus dibagi-bagikan kepada para waris. Setiap waris dapat
menuntut agar Harta warisan yang belum dibagi segera dibagikan,
walaupun ada perjanjian yang menangguhkan pembagian harta warisan
itu disebabkan ada satu dan lain hal dapat berlaku atas kesepakatan para
waris, tetapi penangguhan tersebut tidak boleh melampaui waktu lima
tahun. Dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang
sengan suatu perjanjian baru.
Menurut pikiran hukum adat adalah tidak adil jika terjadi seorang
pewaris yang ketika hidupnya menjadi pengusaha dan ketika wafatnya
meninggalkan banyak hutang yang tidak dapat dilunasinya, sedangkan ia
meninggalkan hanya sebuah rumah kediaman dengan anak-anaknya yang
masih kecil, maka karena hutangnya itu rumah tersebut dikuasai oleh
siber piutang dan anak istri pewaris diusir dari rumah itu dan rumahnya
dimiliki oleh siberpiutang tanpa dipertimbangkan lagi kemana para waris
almarhum itu akan berteduh dan melanjutkan kehidupannya.

4.2.1 Harta waris menurut Hukum adat Lampung Saibatin


Harta warisan yang dalam masyarakat adat Lampung Saibatin
adalah harta pusaka turun temurun dari generasi ke generasi yang
diwarisi dan dikuasai oleh anak laki-laki tertua. Bentuk harta yang tidak
berwujud yaitu hak-hak atas gelargelar adat, kedudukan adat, hak-hak
atas pakaian perlengkapan adat, hak mengatur dan mewakili anggota
kerabat. Sedangkan hak-hak yang berwujud yaitu pakaian perlengkapan
adat, tanah pekarangan, bangunan rumah, tanah pertanian dan
perkebunan. Harta warisan ini hanya boleh dikuasai oleh ahli waris
namun tidak boleh untuk di perjual belikan karena merupakan harta
keluarga.ahli waris hanya dapat mengelola dan menikmati serta tetap
bertanggung jawab terhadap anggota keluarga pewaris sampai anggota
pewaris tersebut dapat berdiri sendiri atau sudah menikah. Sistem
pembagian warisan yang menggunakan sistem mayorat laki-laki pada
masyarakat adat Lampung Saibatin dengan menuakan laki-laki,
bermaksud agar anak laki-laki tertua yang memperoleh hak-waris tunggal
dari orang tuanya khusus untuk harta tua (harta tuha) yaitu harta yang
turun temurun dari kakek dan neneknya keatas. Secara jelas, harta orang
tua atau harta yang dikuasai orang tua ada 2 macam, yaitu:
1. Harta Tua, yaitu harta dati kakek nenek keatas (harta pusaka
tinggi).
2. Harta pencaharian, yaitu harta pencaharian yang diperoleh selama
perkawinan orang tua (harta pusaka rendah)

Berdasarkan keterangan dengan Dalom Mangku Alam Hasbi73 ,


diperoleh keterangan bahwa dalam waris adat Lampung, harta
peninggalan yang diwariskan dibagi menjadi Harta Pusaka Tinggi, yaitu
harta yang telah turuntemurun dalam beberapa keturunan, atau harta dari
nenek moyang dan Harta Pusaka Rendah, yaitu harta yang dikuasai oleh
keluarga karena mata pencaharian sendiri. Dalam adat Lampung Saibatin
wanita sama sekali tidak mendapatkan bagian warisan, baik untuk Harta
Pusaka Tinggi maupun Harta Pusaka Rendah. Akan tetapi anak
perempuan sewaktu menikah diberikan san-san, yaitu harta yang
dianggap juga warisan antara lain rumah beserta isinya, atau hanya
perlengkapan rumah tangga dan perhiasan emas sesuai dengan
kemampuan orang tuanya. dalam sistem kekerabatan patrilinial yang
dianut oleh masyarakat Lampung sangat jelas menempatkan kaum laki-
laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Ada tiga unsur yang perlu
dibicarakan untuk menelaah hukum kewarisan adat dalam lingkungan
adat masyarakat muslim di Lampung, yaitu pewaris, ahli waris, dan harta
warisan.
a. Pewaris
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang
masih hidup. Karena itu yang tergolong sebagai pewaris adalah
orang tua, yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara. Selain itu, bila
terjadi hubungan perkawinan, yang kemudian salah satu di antara
keduanya meninggal dan meninggalkan harta warisan, yang
meninggal itu disebut pewaris.
b. Ahli Waris
Ahli waris adalah Anak-anak dalam hubungannya dengan orang
tua dapat dibedakan antara anak-anak kandung, anak tiri, anak
angkat, anak pungut, anak akuan dan anak piara, yang
kedudukannya masing-masing berbeda menurut hukum
kekerabatan setempat, terutama dalam hubungan dengan masalah
warisan
1. Anak Kandung
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah
anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka
anaknya adalah anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah
dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang
tidak sah. Menurut hukum adat Lampung perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama
Islam dan diakui oleh hukum adat. Anak yang dilahirkan dari
perkawinan itu adalah anak yang sah menurut hukum adat dan oleh
karenanya ia berhak sebagai ahli waris dari ayahnya baik dalam
harta warisan maupun kedudukan adat.
2. Anak tiri
Anak tiri yang dimaksud di sini adalah anak kandung yang di bawa
oleh suami atau istri kedalam perkawinan sehingga salah seorang
dari mereka menyebut anak itu sebagai “anak tiri”. Jadi anak tiri
adalah anak bawaan dalam perkawinan.Kedudukan anak tiri dalam
bentuk perkawinan jujur atau semanda tidak terlepas dari pengaruh
kekerabatan ayah atau kekerabatan ibu. Lain halnya dalam bentuk
perkawinan mentas, yang berlaku pada masyarakat adat
keibubapakan, dimana harta perkawinan orang tua dapat
dipisahpisahakan dengan nyata, antara harta bawaan, harta
penghasilan, harta pencaharian dan barang-barang hadiah
perkawinan. Dalam hal ini anak tiri pada dasarnya hanya mewaris
dari orang tua yang melahirkannya.
3. Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas
harta kekayaan rumah tangga, contonya di lingkungan masyarakat
adat keIbu-an seperti berlaku di daerah Minangkabau, Semendo
sumatera selatan dimana keluarga yang hanya mempunyai anak
laki-laki tidak mempunyai anak wanita dapat mengangkat anak
wanita orang lain untuk dijadikan penerus dan pewaris orang tua
angkatnya.
4. Anak Akuan
Anak akuan atau juga dapat disebut “anak semang”
(Minangkabau),anak pungut (Jawa), ialah anak orang lain yang
diakui anak oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan
atau juga dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga pembantu
tanpa membayar upah. Kedudukan anak akuan terhadap orangtua
yang mengakui bukan sebagai warisnya, oleh karena pada
dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah hubungan hukum
antara si anak dengan orang tuanya. Kecuali jika kedudukan si
anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat. Adakalanya
anak akuan mendapat bagian harta warisan dari orang tua yang
mengakuinya.
5. Anak Piara
Anak piara juga dapat disebut “anak titip”, ialah anak yang
diserahakan orang lain untuk dipelihara sehingga orang yang
tertitip merasa berkewajiban untuk memelihara anak itu.
Hubungan hukum antara si anak dengan orang tua yang
menitipkan tetap ada, anak tersebut adalah waris dari orang tua
kandungnya, bukan waris dari orang tua yang memeliharanya.
Orang tua kandung si anak tetap berhak untuk mengambil si anak
kembali ketangannya atau sebaliknya orang tua kandung itu
berkewajiban menerima penyerahan kembali si anak dari tangan
pemeliharanya.

c. Harta Warisan
Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal dunia, yang terdiri atas:
1) Harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki seseorang sebelum
kawin. Harta bawaan itu akan akan kembali kepada
keluarga si meninggal bila mendiang tidak memiliki anak;
2) harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dari hasil
usaha suami-isteri selama perkawinan;
3) harta pusaka, yaitu harta yang hanya diwariskan kepada
orang tertentu dan tidak dapat dibagi-bagi,melainkan dapat
dinikmati bersama oleh ahli waris dan kerabatnya;
4) harta yang menunggu, yaitu harta warisan
4.3.1 Sistem Pembagian Waris Hukum adat Lampung Saibatin
Asas di dalam masyarakat Lampung yang menganut sistem
Patrilinial, yaitu suatu masyarakat hukum, di mana para anggotanya
menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak,
terus ke atas, sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai
moyangnya. Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilinial ini adalah,
bahwa istri karena perkawinannya (biasanya perkawinan dengan sistem
pembayaran uang jujur), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk
dan menjadi keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi keluarga
bapak (Suami), harta yang ada menjadi milik Bapak (Suami) yang
nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya yang lakilaki.
Di dalam hukum adat Lampung Saibatin yang menjadi ahli waris
ialah anak lelaki tertua atau anak lelaki di dalam sebuah keluarga
tersebut, apabila dalam sebuah keluarga tersebut tidak mempunyai anak
laki-laki maka pihak keluarga tersebut dapat mengangkat anak menantu
laki-laki nya untuk menjadi anak angkatnya agar dapat menjadi ahli
waris dari pewaris karena menurut hukum adat Lampung bila sebuah
keluarga tersebut tidak mempunyai ahli waris (anak laki-laki) maka
keluarga tersebut dianggap putus keturunan. menurut hukum adat
Lampung saibatin yang termasuk warisan bukan hanya harta benda
pewaris saja tapi juga nama besar keluarga dan gelar adat yang
disandang oleh pewaris didalam hukum adat. Seorang ahli waris didalam
hukum adat akan memegang peranan penting didalam keluarganya
karena dia dianggap pengganti ayah dalam tanggung jawab keluarga
besarnya , baik dalam hal pengurusan harta waris yang ditinggalkan,
bertanggung jawab atas anggota keluarga yang ditinggalkan pewaris
,dan juga menjaga nama baik keluarga.
Subjek pewarisan menurut masyarakat Adat Lampung Saibatin
adalah sebagai berikut :
1. Pewaris Susunan kekerabatan masyarakat adat Lampung Saibatin
cenderung mempertahankan garis keturunan pria (patrilinial),
maka pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris adalah
kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak
ayah), sedangkan kaum wanita bukan sebagai pewaris. Jadi ibu
atau pihak ibu, saudara-saudara ibu baik pria dan wanita buka
pewaris dilihat dari jenis harta warisannya, maka pewaris pria itu
dapat dibedakan antar pewaris pusaka tinggi dan pusaka rendah.
Pewaris pusaka tinggi adalah pewaris-pewaris pria (ayah, paman,
dan saudara pria) yang ketika wafatnya meninggalkan hak-hak
penguasaan atas harta pusaka tinggi, yaitu harta peninggalan dari
beberapa generasi keatas, yang juga disebut harta nenek moyang.
Pewaris ini dapat dibedakan antara pewaris mayorat pria dan
pewaris kolektif pria. Sedangkan pewaris pusaka rendah adalah
pewaris pria yang ketika wafatnya meninggalkan penguasaan atas
harta bersama yang dapat dibagibagi oleh para waris.
Berdasarkan Keterangan Raja Suku Suhaimi, yang dimaksud
pewaris dalam masyarakat adat Lampung Saibatin adalah setiap
anak laki-laki tertua (jurai lurus), apabila dalam satu keluarga
hanya memiliki anak perempuan saja, maka anak perempuan
itulah yang menjadi pewaris dan tetap dinikahakan dalam bentuk
perkawinan semanda sehingga suami dari anak perempuannya
menjadi pewaris yang keturunannya kemudian nantinya
diteruskan oleh anak laki-lakinya untuk menegakkan wibawa
perempuan. Menurut Raja Suku Suhaimi bahwa : Kedudukan
pewaris dalam masyarakat adat Lampung Saibatin memiliki
kedudukan tertinggi, baik yang melakukan perkawinan jujur
maupun semanda, anak tertua tetap memiliki kedudukan tertinggi.
Hal ini dapat diketahui dari lima responden pasangan suami istri
yang telah melaksanakan sistem pembagian warisan, semua
responden menyetujui bahwa pewaris adalah Bapak selaku kepala
keluarga dan memiliki kedudukan tinggi. Karena ia memiliki
kebijakan dan kewibawaan dalam menentukan siapa yang akan
memperoleh harta warisan. Jadi bisa disimpulkan bahwa
masyarakat adat Lampung Saibatin mengakui pewaris adalah
Bapak selaku kepala keluarga dan memiliki kedudukan yang
paling tinggi. Masyarakat adat Lampung saibatin biasanya
menggunakan beberapa cara proses pewarisan, diantaranya adalah
dengan cara penerusan atau pengalihan dan dengan cara
penunjukkan.
2. Penerusan atau pengalihan Di daerah Lampung penerusan atau
pengalihan hak atas kedudukan dan harta kekayaan, biasanya
berlaku setelah pewaris berumur lanjut di mana anak tertua lelaki
sudah mantap berumah tangga, demikian pula adik-adiknya.
Dengan penerusan dan pengalihan hak dan kewajiban sebagai
kepala rumah tangga menggantikan ayahnya atau dalam istilah
lampung Ngradu Tuha, maka selama ayah masih hidup, ayah tetap
kedudukannya sebagai penasehat dan memberikan laporan dan
pertanggungan jawab kekeluargaan. Termasuk dalam arti
penerusan atau pengalihan harta kekayaan tertentu, sebagai dasar
kebendaan untuk melanjutkan hidup kepada anak-anak yang akan
kawin mendirikan rumah tangga baru, misalnya pemberian atau
diberikannya rumah dan pekarangan tertentu, bidang-bidang tanah
ladang,kebun atau sawah, untuk anak lelaki atau perempuan yang
akan berumah tangga.
3. Penunjukkan Di daerah Lampung juga dikenal cara penunjukkan
atau Pengonjuk jolma tuha oleh orang tua kepada anak-anaknya
atau pewaris kepada ahli waris atas harta tertentu, maka
berpindahnya penguasaan dan pemilikannya baru berlaku dengan
sepenuhnya kepada ahli waris setelah pewaris wafat. Apabila
orang tua masih hidup, maka ia berhak dan berwenang menguasai
harta yang ditunjukkan itu, tetapi di dalam pengurusan atau
pemanfaatannya dari harta itu sudah dapat dinikmati oleh orang
atau anak yang ditunjuk. Pada masyarakat Lampung saibatin,
biasanya apabila orang tua memberikan sebagian hartanya dengan
cara penunjukkan, maka seluruh anak-anaknya dikumpulkan.
4.4.1 Sistem Pembagian Waris Hukum Adat Lampung Saibatin
Menurut Hukum Islam
Berdasarkan hasil Keterangan dengan K.H. Hambali, bahwa dalam
waris Islam bagian anak laki-laki 2 kali bagian anak perempuan. Bahkan
dalam Kompilasi Hukum Islam juga ditegaskan bahwa apabila kata
sepakat atau musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi
secara sama rata. Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum
kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. Faraidh menurut istilah
bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan/ditentukan bagi waris), dengan demikian faraidh adalah
khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya
oleh syara. Yang diatur antara lain tentang tata cara pembagian Harta
Warisan, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa
warisan, dan lain sebagainya.
Agama Islam datang dengan aturan-aturan yang adil, tidak
membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun
besar semua mendapat bagian. Pembagian harta warisan (pusaka)
menurut syariat Islam (Al-Qur’an) tunduk kepada yang telah ditetapkan
oleh Allah Swt yakni bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
2 (dua) orang anak perempuan atau 2 (dua) berbanding 1 (satu).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menyatakan : “Hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (Tirkah
) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing”.
Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang : Besar
bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah ( ½ ) bagian; bila
2 (dua) orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga
(2/3) bagian ; dan apabila anak perempuan bersama-bersama dengan
anak laki-laki maka bagiannya adalah 2 (dua) berbanding 1 (satu) dengan
anak perempuan.
Pasal 183 KHI menyatakan : Para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-
masing menyadari bagiannya. Dari uraian tertera diatas, nampak bahwa
antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang
terdapat dalam KHI khususnya mengenai besarnya bagian antara anak
laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta warisan yang
ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama yakni 2 (dua) berbanding 1
(satu). Berhubung oleh karena Al-Qur’an dan haidst Nabi hukumnya
wajib dan merupakan pegangan / pedoman bagi seluruh umat Islam
dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan (
pusaka ) inipun secara optimis pula haruslah ditaati dan dipatuhi.
Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta
pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris Islam
dituangkan 137 kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI
(Kompilasi Hukum Islam). Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi
antara lain mengenai : Pasal 209 KHI menyatakan :
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajiblah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2. Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.

Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang sebelumnya


menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua
angkatnya kecuali pemberian-pemberian dan lain-lain, maka sekarang
dengan berlakunya KHI terhadap anak nagkatnya mempunyai hak dan
bagian yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dariharta warisan orang
tua angkatnya, apabila anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah
ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah. Lebih lanjut menurut K.H.
Hambali88 , bahwa di dalam hukum kewarisan Islam menganut prinsip
kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka
dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak
Bapak ataupun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian
tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.

Objek warisan dalam Hukum Islam adalah harta yang berwujud


benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak. Tentang yang
menyangkut dengan hakhak yang bukan berbentuk benda, oleh karena
tidak ada petunjuk yang pasti dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi,
terdapat perbedaan di kalangan ulama berkaitan dengan hukumnya.

Dalam menentukan bentuk hak yang mungkin dijadikan harta


warisan menurut perbedaan pendapat para ulama tersebut Yusuf Musa
mencoba membagi hak tersebut kepada beberapa bentuk sebagai berikut:

1. Hak kebendaan yang dari segi haknya tidak dalam rupa


benda/harta tetapi karena hubungannya yang kuat dengan harta
dinilai sebagai harta, seperti hak lewat di jalan umum atau hak
pengairan;

2. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut pribadi si meninggal


seperti hak mencabut pemberian kepada seseorang;

3. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak si mayit,


seperti khiyar;

4. Hak-hak bukan berbentuk benda dan menyangkut pribadi


seseorang seperti hak ibu untuk menyusukan anak. Tentang hak-
hak mana diantara tersebut diatas yang dapat diwariskan adalah
sebagai berikut:

a. Hak-hak yang oleh ulama disepakati dapat diwariskan yaitu hak-


hak kebendaan yang dapat dinilai dengan harta seperti hak
melewati jalan;
b. Hak-hak yang oleh ulama disepakati tidak dapat diwariskan yaitu
hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak
kewalian ayah atas anaknya;
c. Hak-hak yang diperselisihakan oleh ulama tidak dapat diwariskan
yaitu hakhak yang bersifat pribadi dan tidak pula besifat
kebendaan, seperti hak khiyar dan hak pencabutan pemberian.

Yang menyangkut dengan utang-utang dari yang meninggal,


menurut Hukum Islam dapat diwarisi, dengan arti bukan kewajiban ahli
waris untuk melunasinya dengan hartanya sendiri. Sedangkan yang
menjadi objek warisan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal
171:

1. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris


baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-
haknya.

2. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta


bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajahiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembagian harta


waris pada masyarakat adat Lampung Saibatin dikaji menurut Hukum
Islam, dapat dilihat dari sistem kewarisan mayorat laki-laki dalam hukum
waris adatnya, yang menjadi salah satu penyebab anak perempuan
bukanlah dianggap sebagai ahli waris. Sehingga jika ingin mendapat
bagian harta warisan, semua itu tergantung kepada kasih sayang ahli
waris, atau dalam hal ini anak laki-laki tertua. Hal ini bertentangan
dengan Hukum Islam yang membagi warisan kepada para ahli waris
berdasarkan Hukum Islam. Pada Hukum Islam para ahli waris adalah
mereka yang memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan,
sehingga anak perempuan memiliki kedudukan sebagai ahli waris,
sementara pada Hukum Adat Lampung Saibatin hanya anak laki-laki
tertua saja yang memiliki kedudukan untuk mewaris. Meskipun terdapat
beberapa faktor seperti faktor pendidikan, perantauan/migrasi, ekonomi,
agama serta sosial, yang seharusnya dapat mempengaruhi perkembangan
perubahan dalam masyarakat adat, khususnya pada masyarakat adat
Lampung, namun secara internal kurang terdapat faktor kesadaran dan
kebangkitan individu yang masih memegang teguh adatnya.

Anda mungkin juga menyukai