Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK NEFROURINARIUS

Asisten:
Puti Hasana Kasih G1A011034

Kelompok A3:
Dev Anand Pramakrisna G1A012021
Agustin Nurul Fahmawati G1A012022
Pradnya Paramitha D. P. G1A012023
Fu'ad Anharuddin G1A012024
Muhammad Andika E. R. G1A012025
Isnaini Nurul Fatmawati G1A012026
Agung Maulana Rahman G1A012027
Leonnora Vern S. N. G1A012028
Bela Amalia G1A012029
Supardi G1A012030

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2014

1
LEMBAR PENGESAHASAN

Oleh :
Kelompok A3

Dev Anand Pramakrisna G1A012021


Agustin Nurul Fahmawati G1A012022
Pradnya Paramitha D. P. G1A012023
Fu'ad Anharuddin G1A012024
Muhammad Andika Er G1A012025
Isnaini Nurul Fatmawati G1A012026
Agung Maulana Rahman G1A012027
Leonnora Vern S.N G1A012028
Bela Amalia G1A012029
Supardi G1A012030

Diajukan sebagai syarat mengikuti Ujian Identifikasi


Laboratorium Farmakologi dan Terapeutik Jurusan Kedokteran
Pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Purwokerto

disetujui dan disahkan


Purwokerto, September 2014

Asisten,

Puti Hasana Kasih


G1A011034

2
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................
B. Tujuan Praktikum ......................................................
C. Manfaat Praktikum ......................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diuretik Kuat .......................................................
B. Thiazid ....................................................... ......... .
C. Diuretik Hemat Kalium ... .............................................
D. Diuretik Osmotik ....................................................... ....
E. Penghambat Karbonik Anhidrase ................................
III. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan .......................................................
B. Cara Kerja ....................................................... .... ......
C. Hewan Percobaan/Probandus .......................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ..............................................................................
B. Pembahasan ..................................................................
C. Aplikasi Klinis ......................................................
D. Evaluasi ..................................................................
V. KESIMPULAN ..................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................

3
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ dengan banyak fungsi, salah satu
fungsinya adalah menjaga homeostasis cairan dan elektrolit. Apabila
terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tubuh dapat berakibat pada
berbagai gangguan klinis. Pada penyakit seperti gagal jantung,
kemampuan diuresis ginjal sangat dioptimalkan untuk membuang
kelebihan cairan yang menyebabkan edema dan mengurangi volume dan
tekanan darah. Pada kasus hipertensi, obat-obatan diuretik juga merupakan
salah satu pilihan utama terapi farmakologis.
Namun, fungsi ginajl memiliki keterbatasan dalam bekerja
terutama jika ginjal itu sendiri juga mengalami kerusakan dan penurunan
fungsi ginjal. Sehingga perlu dilakukan intervensi medis untuk membantu
pengeluaran volume air berlebih dalam tubuh dengan memberikan obat-
obatan diuretik. Obat diuretik ini memiliki efek diuresis yang berarti
meningkatkan secara signifikan volume urin. Obat-obat golongan
natriuresis yang memiliki efek ekskresi natrium juga digolongkan dalamn
obat diuretik karena natrium yang diekskresikan akan turut menarik air ke
cairan tubular sehingga menambah volume urin yang dibuang.
Obat-obat diuretik sampai saat ini sudah banyak berkembang dan
sudah diklasifikasikan berdasarkan cara kerja dan tempat kerjanya. Ada
sekitar enam golongan obat diuretik mencakup diuretik kuat (loop
diuretik), diuretik thiazid, diuretik osmotik, diuretik kalium, diuretik
penghambat karbonat anhidrase, dana antidiuretik antagonis yang
semuanya memiliki cara kerja spesifik dan bekerja pada bagian tertentu
pada nefron ginjal.

B. Tujuan Praktikum
1. Menghitung dan memasukkan obat diuretik spironolakton pada hewan
coba.

4
2. Mengetahui efek diuretik spironolakton terhadap volume urin yang
dieliminasi.

C. Manfaat Praktikum
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai mekanisme kerja dan efek
diuretik spironolakton.
2. Menambah ilmu pengetahuan tentang efek toksik/efek samping
penggunaan obat diuretik spironolakton.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Diuretik KuatDiuretik loop (Inhibitor symport Na+-K+-2Cl-)


Diuretik loop adalah diuretik terkuat karena kemampuannya untuk
mengekskresikan Na+ sebanyak 15-25%. Diuretik ini secara selektif
menghambat reabsorpsi NaCl dengan cara menghambat symport Na+-K+-
2Cl- bagian membran luminal pada ansa henle cabang asenden tebal.
Karena efek diuretiknya tidak dibatasi oleh asidosis, seperti pada kasus
inhibitor karbonik anhidrase, diuretik loop adalah salah satu agen diuretik
paling efektif yang tersedia (Rang dkk, 2011)
Khasiat diuretik loop dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1)
sekitar 25% beban Na+ yang difiltrasi secara normal direabsorpsi oleh
bagian ascenden tebal, dan (2) segmen-segmen nefron sebelum bagian
ascenden tebal tidak mempunyai kapasitas reabsorpsi yang cukup untuk
mendapatkan kembali berlimpahnya senyawa yang keluar dari bagian naik
yang tebal (hardman dkk, 2005)

1. Kimiawi
Diuretik loop atau inhibitor symport Na+-K+-2Cl- merupakan
golongan obat yang memiliki struktur kimia yang beragam. Furosemida,
bumetanida, azosemida, piretanida, dan tripamida termasuk dalam diuretik
loop golongan sulfonamida. Sedangkan asam etakrinat merupakan derivat
dari asam fenoksiasetat yang mengandung gugus keton dan metilen.
Diuretik merkurium organik juga dapat menghambat transport garam pada
ansa henle cabang asenden tebal. Akan tetapi, karena toksisitas yang tinggi
golongan ini sudah tidak digunakan lagi (katzung, 2010)

2. Farmakokinetik
Diuretik loop cepat diabsorpsi dan dieliminasi oleh ginjal melalui
filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Torsemid oral diabsorpsi dalam
waktu 1 jam dan jika diberikan intravena absorpsinya hampir sempurna.
Durasi efek torsemid sekitar 4-6 jam. Sedangkan furosemid memerlukan

6
waktu yang lebih panjang untuk diabsorpsi yaitu 2-3 jam, dan dengan
durasi efek yang lebih pendek yaitu 2-3 jam. Waktu paruh keduanya
bergantung pada fungsi ginjal. Pemberian obat-obat lain seperti NSAID
atau probenesid dapat mengurangi sekresi asam lemah yang menyebabkan
penurunan sekresi diuretik loop (Rang dkk, 2011)

3. Farmakodinamik
Mekanisme kerja dari diuretik loop adalah dengan menghambat
symport Na+-K+-2Cl- di lumen ansa henle cabang ascenden tebal. Hal ini
menyebabkan penurunan reabsorpsi terhadap NaCl serta mengurangi
potensial positif di lumen akibat difusi kembali K+ yang meningkatkan
ekskresi dari Mg2+ dan Ca2+. Hal ini dapat memicu terjadinya
hipomagnesium pada penggunaan berkepanjangan. Hipokalsemia tidak
terjadi pada pemberian diuretik loop dikarenakan absorpsi Ca2+ di usus
dapat dipicu oleh vitamin D dan Ca2+ juga aktif direabsorpsi pada tubulus
kontortus distal.
Pada pasien dengan gangguan hiperkalsemia, dapat diberikan
kombinasi antara diuretik loop dan infus saline untuk meningkatkan
ekskresi Ca2+. Agen seperti NSAID dapat mengganggu kerja diuretik loop
melalui penurunan sintesis prostaglandin (berperan dalam kerja diuretik di
ginjal) sehingga perlu berhati-hati terutama pada pasien dengan sindrom
nefrotik atau sirosis hepatik (Katzung, 2010)
Selain memiliki aktivitas diuretik, diuretik loop juga memiliki
efek yang belum diketahui secara lengkap terhadap aliran darah.
Contohnya pada penggunaan furosemid secara intravena pada pasien
dengan edema paru et causa gagal jantung akut, dapat memberikan efek
vasodilator (terapi yang berguna) sebelum muncul efek diuretik (Rang
dkk, 2011)

4. Indikasi klinis dan Dosis


Indikasi klinis penggunaan diuretik loop antara lain, yaitu:
- Edema paru akut

7
- Hiperkalsemia akut
- Hiperkalemia
- Gagal ginjal akut
- Overdosis anion
- Gagal jantung kronik
- Sindrom nefrotik
- Sirosis hepatik dengan komplikasi asites
- Hipertensi

Tabel 2-2 Dosis tipikal agen-agen diuretik loop


Obat Dosis Oral Harian Total
Bumetanid 0.5-2 mg
Asam etakrinat 50-200 mg
Furosemid 20-80 mg
Torsemid 5-20 mg
sebagai dosis tunggal atau terbagi dalam dua dosis

5. Efek samping
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu:
- Alkalosis metabolik hipokalemik
- Ototoksisitas
- Hiperurisemia
- Hipomagnesemia
- Reaksi alergik dan reaksi lainnya
(katzung, 2010)

B. Thiazid
Thiazid merupakan obat diuretik yang paling banyak digunakan.
Obat obatan ini merupakan derivat sulfonamida dan strukturnya
berhubungan dengan penghambat karbonik anhidrase. Thiazid memiliki
aktivitas diuretik lebih besar daripada asetazolamid dan obat-obatan ini
bekerja di ginjal dengan mekanisme yang berbeda-beda. Semua thiazid
mempengaruhi tubulus distal dan semua memiliki efek diuretik maksimum

8
yang sama, berbeda hanya dalam potensi, dinyatakan dalam per miligram
basa (Nafrialdi, 2009).
1. Klorthiazid
Klorthiazid merupakan prototipe diuretik golongan thiazid
yang merupakan diuretik modern pertama yang aktif per oral dan
mampu mempengaruhi edema berat yang disebabkan oleh sirosis hati
dan gagal jantung kongestif dengan efek samping yang minimum.
Sifat-sifatnya mewakili kelompok thiazid, walaupun derivat yang
lebih baru seperti hidroklorthiazid atau klortalidon sekarang lebih
sering digunakan (Nafrialdi, 2009).
a. Mekanisme Kerja
Derivat thiazid bekerja terutama pada tubulus distal untuk
menurunkan reabsorpsi Na+ dengan menghambat kotranspoter
Na+/Cl- pada membran lumen. Obat-obat ini memiliki sedikit efek
pada tubulus proksimal. Akibatnya, obat-obat ini meningkatkan
konsentrasi Na+/Cl- pada cairan tubulus. Keseimbangan asam-
basa biasanya tidak dipengaruhi.
b. Farmakokinetik
Obat-obat ini efektif diabsorpsi per oral. Kebanyakan
thiazid memerlukan waktu metabolismee 1-3 minggu untuk
mencapai penurunan darah yang stabil dan menunjukan waktu
paruh biologis yang panjang. Semua thiazid disekresi oleh sistem
sekresi asam organik ginjal.
c. Farmakodinamik
1) Meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl-.
2) Kehilangan K+
3) Menurunkan ekskresi kalsium dalam urine.
4) Menurunkan tahanan perifer vaskular
d. Indikasi
1) Hipertensi
2) Gagal jantung kongestif
3) Kerusakan ginjal

9
4) Hiperkalsiuria
5) Diabetes insipidus
e. Kontraindikasi
1) Hipokalemia
2) Gout
3) Hiperkalsemia
4) Pengguna digitalis
5) Sirosis hepatis
f. Efek Samping Obat
1) Kehilangan kalium
2) Hiperurisemia
3) Pengurangan volume
4) Hiperkalsemia
5) Hiperglikemia
6) Hipersensitivitas
2. Hidroklorthiazid
Hidroklorthiazid adalah derivat thiazid yang telah terbukti
lebih populer dibandingkan obat induk. Hal ini karena kemampuannya
untuk menghambat karbonik anhidrase kurang dibandingkan
klorothiazid. Obat ini juga lebih kuat, sehingga dosis yang diperlukan
kurang dibandingkan klorthiazid. Selain itu, efektivitas sama dengan
obat induknya (Nafrialdi, 2009).
3. Klortalidon
Klortalidon merupakan suatu derivat thiazid yang bersifat
seperti hidroklorthiazid. Memiliki masa kerja yang panjang dan
karena itu sering digunakan untuk mengobati hipertensi. Diberikan
sekali sehari untuk indikasi ini (Nafrialdi, 2009).
4. Analog Thiazid
a. Metolazon
Metolazon lebih kuat dari thiazid dan tidak seperti thiazid,
obat ini menyebabkan ekskresi Na+ pada gagal ginjal lanjut
(Nafrialdi, 2009).

10
b. Indapamid
Indapamid larut dalam lipid, merupakan diuretik bukan
golongan thiazid yang memiliki masa kerja yang panjang. Pada
dosis rendah, obat ini memperlihatkan efek antihipertensi yang
bermaka dengan efek diuretik yang minimal. Indapamid sering
digunakan pada gagal ginjal yang lanjut untuk merangsang
diuresis tambahan di atas diuresis yang telah dicapai oleh loop
diuretik. Indapamid dimetabolisme dan diekskresi oleh saluran
pencernaan dan ginjal, karena itu sedikit kemungkinanuntuk
terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal dan mungkin
berguna untuk pengobatan (Nafrialdi, 2009).

C. Diuretik Hemat Kalium


2. Antagonis Aldosteron
Pada dasarnya obat ini bekerja untuk menghambat kompetitif
terhadap aldosteron yang berperan untuk memperbesar reabsorpsi
natrium dan klorida di tubuli distal dan meningkatkan ekskresi kalium.
Dikenal ada dua macam antagonis aldosteron, yaitu spironolakton dan
epleron. Dibanding spironolakton, epleron memiliki afinitas yang
lebih rendah terhadap reseptor mineralokortikoid, androgen, dan
progesteron sehingga epleron tidak menimbulkan efek samping
ginekomastia dan virilisasi.Saat ini epleron digunakan sebagai
antihipertensi dan terapi tambahan pada pasein gagal jantung (Ilyas,
2012)
a. Farmakodinamik
Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di
tubulus renalis rektus untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi
K+ dan sekresi H+ (Ilyas, 2012).
b. Farmakokinetik
70% spironolakton oral diserap di GIT dan ikatan dengan
protein cukup tinggi. Mengalami metabolisme di hati.
Spironolakton diekskreskan melalui urin dan cairan empedu

11
Eplerenon juga sam seperti spironolakton. Saat dimetabolisme
dihati eplerenon dimediasi oleh enzim CYP3A4. Eplerenon
diekskresi melalui urin (67%) dan feses (32%) dengan waktu
paruh 4-6 jam (Nafrialdi, 2009).
c. Indikasi
Obat ini diberikan pada pasien gagal hipertensi dan edema
yang refakter dan gagal jantung, khususnya spironolakton yang
digunakan untuk mencegah pembentukan jaringan fibrosis di
miokard (Ilyas, 2012).
d. Kontraindikasi
Diuretik ini dapat menyebabkan hiperkalemia berat
bahkan fatal pada penderita yang rentan. Pemberian K+ oral harus
dihentikan bila diuretik hemat-K+ diberikan. Pasien insufisiensi
ginjal kronik sangat rentan terkena dan tidak boleh sering diterapi
menggunakan diuretic ini. Pengguna kombinasi dengan diuretic
lain yang melemahkan system rennin-angiotensin (penyekat β
atau penghambat ACE) meningkatkan kemungkinan
hiperkalemia. Pasien penyakit hati dapat memiliki metabolism
triamteren dan spironolakton yang terganggu sehingga dosis yang
diberikan harus disesuaikan dengan hati-hati. Penghambat
CYP3A4 kuat (eg, ketokonazol, itrakonazol) dapat meningkatkan
kadar eplerenon dalam darah secara nyata (Katzung, 2010).
e. Efek Samping Obat
Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah
hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-
sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek toksik
ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama
dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang
berat. Efek samping yang lebih ringan dan reversible diantranya
ginekomastia, dan gejala saluran cerna (Ilyas, 2012).
f. Bentuk Sediaan Obat

12
Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100
mg. Dosis dewasa berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif
sehari rata-rata 100mg dalam dosis tunggal atau terbagi.
eplerenon digunakan dalam dosis 50-100 mg/hari. Terdapat pula
sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25 mg dan
hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25 mg dan
tiabutazid 2,5 mg (Ilyas, 2012).
2. Triamteren dan Amilorid
a. Farmakodinamik
Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium
dan klorida, sedangkan eksresi kalium berkurang dan ekskresi
bikarbonat tidak mengalami perubahan. Triamteren menurunkan
ekskresi K+ dengan menghambat sekresi kalium di sel tubuli distal
(Ilyas, 2012).
b. Farmakokinetik
Kedua obat ini diabsorpsi melalui saluran cerna dengan
onset sekitar 2 jam. Amilorid didistribusikan ke hati dan ginjal,
sedangkan triamteren 50% ditemukan di urin. Triamteren
mengalami metabolisme menjadi konjugasi sulfat-
hydroxytriamteren, sedangkan amilorid tidak dimetabolisme.
Kedua obat ini diekskresikan melalui urin, tetapi amilorid juga
diekskresikan di urin sebesar 40% (Nafrialdi, 2009).
c. Indikasi
Obat-obat ini diindikasikan untuk hipertensi dan
hipokalemia. Obat golongan ini lebih bermanfaat jika
dikombinasikan dengan golongan diuretik lain seperti tiazid.
Namun obat ini diperingatkan untuk tidak digunakan bersama
dengan spironolakton karena dapat terjadi hiperkalemia
(Nafrialdi, 2009).
d. Kontraindikasi
Diuretik ini dapat menyebabkan hiperkalemia berat
bahkan fatal pada penderita yang rentan. Pemberian K+ oral harus

13
dihentikan bila diuretik hemat-K+ diberikan. Pasien insufisiensi
ginjal kronik sangat rentan terkena dan tidak boleh sering diterapi
menggunakan diuretic ini. Pengguna kombinasi dengan diuretic
lain yang melemahkan system rennin-angiotensin (penyekat β
atau penghambat ACE) meningkatkan kemungkinan
hiperkalemia. Pasien penyakit hati dapat memiliki metabolism
triamteren dan spironolakton yang terganggu sehingga dosis yang
diberikan harus disesuaikan dengan hati-hati. Penghambat
CYP3A4 kuat (eg, ketokonazol, itrakonazol) dapat meningkatkan
kadar eplerenon dalam darah secara nyata (Katzung, 2010).
e. Efek Samping Obat
Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini
adalah hiperkalemia. Triamteren juga dapat menimbulkan efek
samping yang berupa mual, muntah, kejang kaki, dan pusing.
Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia
yaitu mual, muntah, diare dan sakit kepala (Ilyas, 2012).
f. Bentuk Sediaan Obat
Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100mg. Dosisnya
100-300mg sehari. Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis
penunjang tersendiri. Amilorid terdapat dalam bentuk tablet 5 mg.
Dosis sehari sebesar 5-10mg. Sediaan kombinasi tetap antara
amilorid 5 mg dan hidroklortiazid 50 mg terdapat dalam bentuk
tablet dengan dosis sehari antara 1-2 tablet (Ilyas, 2012).

D. Diuretik Osmosis
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit
yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak
sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi syarat :
1. Difiltasi secara bebas oleh glomerulus
2. Tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal
3. Secara farmakologis merupakan zat yang inert
4. Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.

14
5. Mempunyai berat molekul yang rendah
6. Termasuk natriuretik

3. Tempat Kerja
Diuresis osmotik merupakan zat yang secara farmakologis
lembam, seperti manitol (satu gula). Diuresis osmotik diberikan secara
intravena untuk menurunkan edema serebri atau peningkatan tekanan
intraoukular pada glaukoma serta menimbulkan diuresis setelah
overdosis obat. Diuresis terjadi melalui “tarikan” osmotik akibat gula
yang lembam (yang difiltrasi oleh ginjal, tetapi tidak direabsorpsi) saat
ekskresi gula tersebut terjadi. Diuretik osmotik mempunyai tempat
kerja (Hudak & Gallo, 2005):
a. Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya
osmotiknya.
b. Ansa henle
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas
daerah medula menurun.
c. Duktus Koligentes
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes
dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat
adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi,
atau adanya faktor lain.
Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat
diberikan dalam jumah cukup besar sehingga turut menentukan
derajat osmolaritas plasma filtrat glomerulus dan cairan tubuli.
Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbid
(Hudak & Gallo, 2005).
4. Farmakokinetik

15
Manitol tidak dimetabolisme terutama oleh Glomerulus
Filtrasi, sedikit atau tampa mengalami reabsobsi dan sekresi di
tubulus atau bahkan praktis dianggap tidak direabsrbsi. (Sunaryo,
2005).
Manitol meningkatkan tekanan Osmotik pada Glomerulus
Filtrasi dan mencegah tubulus mereabsorbsi air dan sodium.
Sehingga Manitol paling sering digunakan diantara obat ini.
Sesuai dengan definisi, diuretic osmotic absobsinya jelek bila
diberikan peroral, yang berarti bahwa obat ini harus diberikan
secara parenteral (Sunaryo, 2005).
Manitol diekresikan melalui Filtrasi Glomerulus dalam
waktu 30 – 60 menit setelah pemberian. Efek yang segera
dirasakan klien adalah peningkatan jumlah urine. Bila diberikan
peroral manitol menyebabkan diare Osmotik. Karena Efek ini
maka Manitol dapat juga digunakan untuk meningkatkan efek
pengikatan K+ dan resin atau menghilangkan bahan-bahan toksin
dari saluran cerna yang berhubungan dengan zat arang aktif
(Sunaryo, 2005).

5. Farmakodinamik
Diuretik Osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama
yaitu pada tubulus proksimal, ansa henle dan duktus kolingens
(Sunaryo,2005).
Diuresis osmotic digunakan untuk mengatasi kelebihan
cairan di jaringan (intra sel) otak . diuretic osmotic yang tetap
berada dalam kompartemen intravaskuler efektif dalam
mengurangi pembengkakan otak (Sunaryo, 2005).
Manitol adalah larutan Hiperosmolar yang digunakan
untuk terapi meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan
fisiologis ini, cara kerja diuretic osmotik (manitol) ialah

16
meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dari
dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang
olmolar tinggi, untuk menurunkan oedema otak. Pada sistem
ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada segmen
dimana nefron sangat permeable terhadap air, yaitu tubulus
proksimal dan ansa henle desenden. Adanya bahan yang tidak
dapat direbasobsi air normal dengan masukkan tekanan osmotic
yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine
meningkat bersamaan dengan ekskresi manitiol (Chulay, 2006).
Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu
kontak antara cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan
reabsobsi Na+. namun demikian, natriureis yang terjadi kurang
berarti dibandingkan dengan diureisi air, yang mungkin
menyebabkan Hipernatremia. Karena diuretic Osmotik untuk
meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi natrium, maka obat
ini tidak digunakan untuk mengobati Retensi Na+. Manitol
mempuyai efek meningkatkan ekskresi sodium, air, potassium
dan chloride, dan juga elekterolit lainnya (Chulay, 2006).
Pemberian Manitol untuk menurunkan Tekanan Intra
cranial masih terus dipelajari dan merupakan objek penelitian,
untuk mengetahui efek, mekanisme kerja dan efektifitas secara
klinis manitol untuk menurunkan PTIK. Telah diketahui
pemberian manitol banyak mekanisme aksi yang terjadi pada
sistim sirkulasi dan darah dalam mengatur haemostasis dan
haemodinamik tubuh, sehingga menjadi obat pilihan dalam
menurunkan Peningkatan tekanan intra cranial. Berdasarkan
Farmakokinetik dan farmakodimik diketahui beberapa
Mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah sebagai
berikut (Chulay, 2006):
a. Menurunkan viskositas darah dengan mengurangi
haematokrit, yang penting untuk mengurangi tahanan pada
pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darahj keotak,

17
yang diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh darah
arteriola dan menurunkan volume darah otak. Efek ini terjadi
dengan cepat (menit).
b. Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air
dalam jaringan otak yang mengalami injuri, manitol
menurunkan kandungan air pada bagian otak yang yang tidak
mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih
untuk bagian otak yang injuri untuk pembengkakan
(membesar).
c. Cepatnya pemberian dengan Bolus intravena lebih efektif
dari pada infuse lambat dalam menurunkan Peningkatan
Tekanan intra cranial.
d. Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa
menimbulkan gagal ginjal. ini dikarenakan efek osmolalitas
yang segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi
urine dan dapat menurunkan sirkulasi ginjal.
Pemberian Manitol bersama Lasik (Furosemid)
mengalami efek yang sinergis dalam menurunkan PTIK.
Respon paling baik akan terjadi jika Manitol diberikan 15
menit sebelum Lasik diberikan. Hal ini harus diikuti dengan
perawatan managemen status volume cairan dan elektrolit
selama terapi Diuretik (Chulay, 2006).
6. Indikasi
Indikasi pemberian diuretik osmotik yaitu (Brunner &
Suddarth, 2004):
a. Oliguria akut akibat syok hipovolemik
b. Reaksi transfuse
c. Profilaksis gagal ginjal akut
d. Menurunkan tekanan/volume intraokuler/ cairan cerebrospinal.
7. Kontraindikasi
Manitol dikokntraindikasikan pada penyakit ginjal dengan
anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat dan

18
perdarahan intrakranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. Infus
manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan
fungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau kongesti paru
(Brunner & Suddarth, 2004).
8. Efek Samping Obat
Efek samping diuretik osmotik antara lain (Hudak & Gallo,
2005):
a. Gangguan keseimbangan elektrolit
b. Dehidrasi
c. Mata kabur
d. Nyeri kepala
e. Takikardi
9. Bentuk Sediaan Obat
Manitol untuk suntikan intravena digunakan larutan 5-25%
dengan volume antara 50-1000 ml. Dosis untuk menimbulkan diuresis
adalah 50-200 g yang diberikan dalam cairan infus selama 24 jam
dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis
sebanyak 30-50 ml per jam. Untuk penderita dengan oliguria hebat
diberikan dosis percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui
infus selama 3-5 menit. Bila dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresis
masih kurang dari 30 ml per jam dalam 2-3 jam, maka status pasien
harus di evaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan (Brunner &
Suddarth, 2004).

E. Penghambat Karbonik Anhidrase


1. Acetazolamide
a. Farmakokinetik
Penghambat karbonik anhidrase diabsorpsi secara baik
setelah pemberian oral. Peningkatan pH urin akibat diuresis
HCO3- tampak dalam waktu 30 menit, maksimal setelah 2 jam,
dan bertahan selama 12 jam setelah pemberian dosis tunggal.
Obat dieksresi melalui sekresi di segmen S2 tubulus proksimal

19
sehingga dosis obat harus diturunkan pada insufisiensi ginjal
(Katzung, 2010).
b. Farmakodinamik
Inhibisi aktivitas karbonik anhidrase sangat menekan
reabsorpsi HCO3- di tubulus kontortus proksimal. Pada dosisnya
yang paling aman, penghambat karbonik anhidrase menghambat
85% kapasitas reabsorpsi HCO3- oleh tubulus kontortus proksimal
superfisial. Beberapa HCO3- dapat direabsorpsi di tempat lain di
nefron melalui mekanisme yang tidak bergantung pada karbonik
anhidrase sehingga efek keseluruhan penghambatan oleh dosis
maksimal acetazolamide hanyalah sebesar 45% dari seluruh
reabsorpsi HCO3- di ginjal.
Walaupun demikian, inhibisi karbonik anhidrase
menyebabkan pelepasan HCO3- dan asidosis metabolik
hiperklomerik yang signifikan (Tabel 1). Karena penurunan kadar
HCO3- dalam filtrat glomerulus dan fakta bahwa deplesi HCO3-
menyebabkan peningkatan reabsorpsi NaCl di segmen nefron
lain, efektivitas diuretik acetazolamide menurun secara signifikan
digunakan selama beberapa hari (Katzung, 2010).
Tabel 1. Perubahan dalam pola elektrolit urine dan pH tubuh
sebagai respons terhadap diuretik (Katzung, 2010).
Kelompok Elektrolit Urine pH
NaCl NaHCO3 K+ tubuh
Penghambat + +++ + -
karbonik ++++ 0 + +
anhidrase ++ + + +
Agen loop +++++ + ++ +
Tiazid + (+) - -
Agen loop dan
tiazid
Agen hemat K+

20
c. Indikasi
Saat ini, aplikasi klinis acetazolamide yang utama
menyangkut transport cairan dan HCO3- yang bergantung pada
karbonik anhidrase di tempat lain selain ginjal. Badan siliaris
mata menyekresi HCO3- dari darah ke dalam aqueous humor.
Pembentukan cairan serebrospinal oleh plexus choroideus juga
menyangkut sekresi HCO3-. Walaupun berbagai proses ini
memindahkan HCO3- dari darah (arah yang berlawanan dengan
arah tubulus proksimal), proses-proses ini juga dihambat karbonik
anhidrase (Katzung, 2010).
Berikut beberapa indikasi penggunaan penghambat
karbonik anhidrase, antara lain (Katzung, 2010):
1) Glaukoma
Penurunan pembentukan aqueous humor oleh
penghambat karbonik anhidrase akan menurunkan tekanan
intraokular. Efek ini penting dalam tatalaksana glaukoma dan
merupakan indikasi penggunakaan penghambat karbonik
anhidrase yang paling banyak.

2) Alkalinisasi urin
Asam urat, sistin, dan asam lemah lainnya paling
mudah direabsorpsi dari urine yang bersifat asam. Oleh
karena itu, ekresi sistin (pada sistinuria) dan asam lemah
lainnya oleh ginjal dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
pH urine menggunakan penghambat karbonik anhidrase.
3) Alkalosis metabolic
Alkalosis metabolik umumnya ditangani dengan
mengoreksi abnormalitas kadar K+ dalam tubuh, volume
intravaskular, atau kadar mineralokortikoid. Namun, jika
alkalosis diakibatkan oleh penggunakan diuretik berlebihan

21
pada pasien gagal jantung yang berat, penggantian volume
intravaskular dikontraindikasikan.
4) Acute mountain sickness
Rasa lemah, pusing, insomnia, nyeri kepala, dan mual
dapat dialami oleh pendaki gunung yang mendaki gunung
dengan cepat di atas ketinggian 3000 meter. Gejala biasanya
ringan dan bertahan selama beberapa hari. Pada kasus yang
lebih berat, edema otak atau paru yang cepat memburuk
dapat membahayakan jiwa.
d. Kontraindikasi
Alkalinisasi urin yang dipicu oleh penghambat karbonik
anhidrase akan menurunkan ekresi NH4+ dalam urine dan dapat
berperan menimbulkan hiperamonemia dan ensefalopati hepatik
pada pasien sirosis (Katzung, 2010).
e. Efek Samping Obat
Berikut beberapa efek samping terhadap penggunaan
penghambat karbonik anhidrase, antara lain (Katzung, 2010):
1) Asisdosis metabolik hiperkloremik
Asidosis mungkin terjadi akibat reduksi kronik
cadangan HCO3- dalam tubuh oleh penghambat karbonik
anhidrase dan membatasi efektivitas diuretik menjadi hanya
selama 2-3 hari. Tidak seperti efek diuretik, asidosis tetap
akan timbul selama obat dilanjutkan.
2) Batu ginjal
Fosfaturia dan hiperkalsiuria terjadi sebagai respons
bikarbonaturik terhadap penghambat karbonik anhidrase.
Eksresi ginjal faktor pelarut dapat juga menurun pada
penggunaan kronik. Garam kalsium relatif tidak larut pada
pH alkali sehingga potensinya untuk membentuk batu ginjal
meningkat.
3) Penimbunan kalium ginjal

22
Pembuangan kalium dapat terjadi karena natrium
yang mencapai tubulus renalis colligens hanya diserap
sebagian, meningkatkan potensi listrik negatif di lumen pada
segmen ini dan meningkatkan sekresi kalium. Efek ini dapat
dilawan dengan pemberian kalium klorida.

23
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Pasung kelinci
b. Kateter
c. Spuit 3 cc
d. Papan lilin
e. Beacker glass
2. Bahan
a. Parafin
b. Aquadest
c. Spironolakton 25 mg
d. Furosemid 40 mg
e. Penicillin prokain G (0,3 g)
f. Kapas

B. Cara Kerja
1. Ambil kelinci dan ditimbang.
2. Kelinci diletakkan di pemasung kelinci supaya tidak bergerak bebas
saat diberi perlakuan.
3. Kateter kecil yang sudah dilumasi dengan parafin dimasukkan ke
ostium urethra eksterna (OUE) kelinci.
4. Kosongkan vesika urinari dengan menekan abdomen bawah.
5. Hitung dosis obat.
6. Masukkan obat dengan cara sonde. Praktikan kelompok 1
menggunakan aquadest (sebagai kontrol), kelompok 2 menggunakan
furosemid, kelompok 3 dengan pemberian spironolakton, dan
kelompok 4 menggunakan ekstrak daun teh.
7. Amati hasil urin kelinci setiap 10 menit selama 30 menit.
8. Catat hasilnya

24
Timbang kelinci

Letakkan kelinci di
pemasung kelinci

Kateter kecil yang sudah dilumasi dengan


parafin dimasukkan ke (OUE) kelinci

Kosongkan VU dg
menekan abdomen kelinci

Klp. 1 Klp. 2 Klp. 3 Klp. 4

Aquadest Furosemid Spironolakton Ekstrak


daun teh

Amati dan hitung


urin yang keluar
setiap 10 menit
selama 30 menit

Bagan 1. Cara kerja praktikum

C. Hewan coba
Kelinci

25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Berat Badan kelinci : 1,375 kg
2. Dosis Spironolakton : 25 mg x 0,07 x 1,375 gr / 1,5 = 1,60417 ml
3. Dosis Pengenceran : 10/25 x 1,60417 ml = 0,64 ml
4. Pengamatan :
2. 10 menit pertama = 1cc
3. 10 menit kedua = tidak diketahui
4. 10 menit ketiga = 2 cc

B. Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan hasil tersebut
diatas menunjukan bahwa pemberian obat spironolakton dengan dosis
0,64 ml setelah diencerkan pada kelinci dengan BB 1,375 kg membuat
volume urin yang keluar meningkat 1 cc pada 10 menit ketiga, adapun
hasil mengenai 10 menit yang kedua volume urin tidak diketahui karena
ada kesalahan teknis yaitu lepasnya kateter sehingga urin yang keluar tidak
dapat diukur volumenya serta sebelumnya kelinci sudah mengeluarkan
urin terlebih dahulu sebelum diberikan spironolakton dan setelah
pemberian spironolakton tidak ada asupan cairan lagi yang diberikan pada
kelinci tersebut, sehingga volume urin hanya meningkat dua kali lipat dari
awalnya 1 cc.
Hasil ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kerja
spironolakton menghambat kerja dari transporter Na+/ K+ sehingga ion-ion
tersebut tidak di reabsorpsi oleh tubulus-tubulus ginjal, tetap di lumen hal
ini mengakibatkan tertariknya H2O ke arah lumen sehingga dengan adanya
cairan di lumen volume urin menjadi meningkat.

26
C. Aplikasi Klinis
1. Edema
Edema adalah penimbunan cairan berlebihan di antara sel-sel
tubuh atau di antara berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering terjadi
akibat ketidakseimbangan factor-faktor yang mengontrol perpindahan
cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yag
menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal, serta
berpindahnya air dari intravascular ke interstitial. Faktor yang terlibat
adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskuler dengan
ekstravaskuler, perbedaan tekanan osmotic, dan permeabilitas kapiler
(Effendi, 2006).
Ginjal mempunyai peran sentral dalam mempertahankan
homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraseluler
melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretic
diekskresikan sebagai respon terhadap perubahan dalam volume
darah, tonisitas, dan tekanan darah untuk mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh (Effendi, 2006).
a. Mekanisme Terjadinya Edema
Penyebab umum edema (Effendi, 2006):
1) Penurunan tekanan osmotic
a) Sindrom nefrotik
b) Sirosis hepatis
c) Malnutrisi
2) Peningkatan permeabilitas vaskuler terhadap protein
a) Angioneuretik edema
3) Peningkatan tekanan hidrostatis
a) Gagal jantung kongestif
b) Sirosis hepatis
4) Obstruksi aliran limfe
a) Gagal jantung kongestif
5) Retensi air dan natrium
a) Gagal ginjal

27
b) Sindrom nefrotik
6) Penurunan Aliran Darah Ginjal
Penurunan volume darah arteri efektif akan
mengaktivasi reseptor volume pada pembuluh darah besar,
termasuk low-pressure beroreceptors dan intrarenal
receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang
akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah
ke ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan
menahan natrium dan air melalui mekanisme berikut
(Effendi, 2006):
a) Peningkatan Reabsorbsi Garam dan Air di Tubulus
Proksimal
Penurunan aliran darah ke ginjal dipresepsikan
oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga
terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh
apparatus juxtaglomerular. Renin akan meningkatkan
pembentukan angiotensin II. Angiotensin II ini akan
menyebabkan konstriksi arteriole eferen sehingga terjadi
peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus
terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan
osmotic kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan
osmotic ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi
air pada tubulus proksimal.
b) Peningkatan Reabsorbsi Air dan Natrium di Tubulus
Distal
Angiotensin II akan merangsang kelenjar adrenal
melepaskan aldosterone, aldosterone ini akan
menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus
distal.

28
b. Sekresi Hormon Antidiuretik (ADH)
Penurunan volume darah arteri efektif juga akan
merangsang pelepasan ADH yang kemudian mengakibatkan
ginjal menahan air. Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi
cairan tubuh pada beberapa kompartemen tubuh akan terganggu
dan mengakibatkan edema (Effendi, 2006).
c. Terapi Edema
Terapi edema harus mencakup penyebab yang
mendasarinya yang reversible (jika memungkinkan), serta
pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk
meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema
memerlukan terapi farmakologis. Pada beberapa pasien, terapi
non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan
natrium dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada
kondisi tertentu, diuretic harus diberikan bersamaan dengan terapi
non farmakologis, tujuannya adalah meningkatkan ekskresi
natrium dan air dengan menurunkan kadar reabsorbsinya
(Effendi, 2006).
Klasifikasi diuretic berdasarkan tempat kerja (Effendi,
2006):
1) Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimal
a) Carbonic anhydrase inhibitor: asetazolamid
b) Phospodiesterase inhibitor: teofilin
2) Diuretik yang bekerja pada loop of henle
a) Sodium-potassium chloride inhibitor: bumetanide
3) Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal
a) Sodium chloride inhibitor: kortalidon, hidroklorotiazid,
metolazon
4) Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubulus
a) Antagonis aldosterone: spironolakton
b) Sodium channel blocker: amilorid, triamterene

29
2. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (Saat istirahat atau saat
aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung .
Diagnosis dari gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogradi atau foto toraks, ekokardiografi
Doppler dan kateterisasi. Kriteria Framingham dapat pula dipakai
untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal jantung
ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
(Panggabean, 2009).
Kriteria Major (Panggabean, 2009):
a. Paroksismal nokturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor (Panggabean, 2009):


a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Gagal ginjal
h. Takikardia (>120/menit)

Dulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari


berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan
inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk

30
mengurangi beban (un-load). Penatalaksanaan gagal jantung antara
lain dengan menggunakan obat diuretik oral, digitalis, aldosteron
antagonis. Diuretik oral atau parenteral tetap merupakan ujung tombak
pengobatan gagal jantung sampai edem atau asites hilang (tercapai
euvolemik). Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek
diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi
yang menunjukan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat
ini (Panggabean, 2009).

3. Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut adalah suatu sindrom yang ditandai oleh
penurunan yang cepat pada laju filtrasi glomelurus (Glomelular
filtration rate {GFR}) dalam beberapa waktu dan minggu, disertai
adanya akumulasi dari zat sisa metabolism nitrogen. Sindroma ini
sering ditemukan lewat peningkatan kadar kreatinin, ureum serum
disertai dengan penurunan aotput urine. Gejala dari gagal ginjal adalah
mual malaise dan kelebihan cairan (Davey, 2005).
Penyebab dari gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 yaitu
(Markum, 2009):
a. pra-renal
Penyebab dari gagal ginjal akut pra-renal dalah
hipoperfusi ginjal yang disebabkan oleh hipovolemia atau
menurunnya sirkulasi ke ginjal.
b. Renal
Gagal ginjal akut renal disebabkan oleh kelainan vaskuler
seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulonefritis akut,
nefritis intertitialis.
c. post-renal
Gagal ginjal akut post renal disebabkan oleh obstruksi
intrarenal dan ekstrarenal, obstruksi dapat berupa tumor atau
endapan batu.
Kelebihan cairan merupakan salah satu gejala yang harus
ditangani secara serius karena kelebihan cairan dapat menyebabkan

31
edem tergantung, ronki kering pernapasan, dyspnea, dan batuk
(Corwin, 2009).
Oleh karena itu, diuretic kuat merupakan salah satu terapi yang
digunakan untuk menanggulangi kelebihan cairan yang diakibatkan
oleh gagal ginjal. Furosemid merupkan salah satu diuretic kuat yang
efektif digunakan, Karena mekanisme kerjanya yaitu menghambat
reabsorpsi Na+, K+, dan Cl-, sehingga urin yang dibuang kaya akan ion
ion tersebut dan hasilnya kelebihan cairan akibat gagal ginjal dapat
diatasi (Schmitz, 2008).

D. Evaluasi
1. Bagaimana mekanisme kerja HCT dan furosemide dalam
menimbulkan diuresis?
a. Hidroclorothiazid
Mekanisme kerja HCT sama seperti obat golongan
diuretik thiazid yang lain, HCT bekerja dengan menghambat
reabsorbsi Na+ Cl- pada area luminal epitel tubulus kontortus
distal dengan memnblokir reseptor Na+/Cl- di tempat tersebut
sehingga reabsorbsi air dari urin pun ikut terhambat (Schmitz,
2009).
b. Furosemide
Furosemide bekerja pada ansa henle seperti obat diuretik
kuat yang lain dengan menghambat transporter Na+K/2Cl-
sehingga reabsorbsi garam natrium dan reabsorsi air juga
terhambat (Sulistia, 2005).
2. Sebutkan gejala-gejala toksik loop diuretic!
Gejala-gejala toksisk loop diuretic yaitu (Sunaryo, 2007):
a. Gangguan pendengaran (ototoksitas)
b. Alergi
c. Alkalosis metabolik Hipokalemia
d. Deplesi Cairan dan Hipomagnesemia; ditandai oleh lemas, haus,
hipotensi).

32
Pada dosis tinggi, loop diuretik dapat menginduksi perubahan
komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian yang
sifatnya tidak dapat pulih kembali. Ketulian adalah manifestasi klinis
yang digunakan sebagai salah satu indikator tanda toxic effect dari
loop diuretik (Neal, 2009).
3. Sebutkan kegunaan diuretik thiazide dan golongan acarbose!
Kegunaannya yaitu (Sunaryo 2007):
a. Diuretic Thiazide: Terapi Hiepertensi, Gagal Jantung,
Hiperkalsiuria.
b. Acarbose: Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2.
4. Sebutkan klasifikasi diuretic dan cara kerjanya serta berilah contohnya
masing-masing dua!
a. Diuretik kuat
Bekerja di lengkung henle ascendens epitel tebal melalui
penghambatan reabsorpsi Na+, K+, dan Cl-.Contoh obatnya antara
lain furosemide dan bumetamid (Schmitz, 2009)
b. Diuretik hemat kalium
Bekerja di tubulus colligentes (untuk obat antagonis
aldosterone) dan di akhir tubulus distal (untuk obat triamterene
dan amilorid). Antagonis aldosterone seperti spironolactone dan
eplerenon bekerja dengan cara antagonis kompetitif pada reseptor
aldosterone sehingga menghambat reabsorpsi Na+dan Cl-, namun
mampu menghemat K+. Sedangkan triamterene dan amilorid
bekerja langsung tanpa melalui penghambatan reseptor
aldosterone (Schmitz, 2009)
c. Thiazid
Bekerja di hulu tubulus distal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan klorida, contoh obatnya adalah
hidrochlorothiazid dan chlorothiazid (Sunaryo 2007).
d. Diuretik osmotic
Bekerja di tiga tempat yaitu proximal tubule, ansa henle,
dan tubulus collectivus. Prinsip kerja pada proximal tubule adalah

33
meningkatkan tekanan osmotic intralumen sehingga menarik air
ke lumen dan menghambat reabsorpsi natrium serta klorida.
Sedangkan pada ansa henle, diuretic osmotic bekerja melalui
prinsip hipertonisitas. Pada tubulus collectivus diuretic osmotic
bekerja dengan menghambat ADH.Contoh obat diuretic osmotic
antara lain mannitol, gliserin, isosorbid, dan urea (Sunaryo 2007)
e. Inhibitor carbonic anhydrase
Bekerja di proximal tubule dengan cara menghambat
enzim carbonic anhydrase secara non kompetitif. Hal tersebut
menyebabkan penghambatan reabsorpsi HCO3- di ginjal. Contoh
obatnya adalah asetazolamid dan metazolamid (Sunaryo 2007).
f. Antagonis ADH
Bekerja di ductus collectives melalui penurunan produksi
cAMP sebagai respon ADH, hal ini menyebabkan peningkatan
diuresis. Contoh obatnya adalah lithium dan demeclocycline
(Sulistia, 2005).
5. Jelaskan efek pemberian ekstrak daun teh dengan perasan kulit
semangka!
Kulit semangka memiliki kandungan citrulin dan arginine yang
mampu meningkatkan pembentukan urea di hati dari ammonia dan
CO2 sehingga terjadi peningkatan produksi urin.Daun tehmemiliki
kandungan kafein yang memiliki efek diuretic (Ratnasooriya et al.,
2009).

34
V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Diuretik hemat kalium bekerja dengan mengurangi ekskresi kalium
dan menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida.
2. Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium golongan antagonis
aldosteron.
3. Spironolakton pada percobaan terbukti meningkatkan volume veses
walaupun tidak terlalu signifikan hasilnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2004. Teks Book Of Medical-Surgical Nursing, 10th


edition. Lippincott-Raven Publisher.
Chulay, Mariannne, dan Suzanne M. Burns,. 2006. AACN Essentials of Critical
Care Nursing. International Edition: Mc Graw Hill.
Davey, Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Effendi, Ian, dan Restu Pasaribu. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV
Jilid II. Jakarta: Interna Publishing FK UI.
Hudak & Gallo. 2005. Critical Care Nursing; A Holistic Aproach. 8/E J-B
Lippincott Company.
Ilyas, Sadeli. 2012. Diuretik. <http://akfarsam.ac.id/downlot.php?file=
DIURETIK.pdf>. (Diakses tanggal 6 September 2014).
Katzung, Bertram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC.
Markum. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing FK UI.
Nafrialdi. 2009. Diuretik dan Antidiuretik. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi
V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Neal, M J. 2009. At a Glance Farmakologi Medis. Fourth Edition. Oxford:
Blackwell Publishing Company.
Panggabean, Marulam. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing FK UI.
Ratnasooriya WD, Fernando TSP, Ranatunga RAAR. 2009. “Diuretic activity of
Sri Lankan black tea (Camellia sinensis L.) in rats”, Pharmacognosy
Research; Vol. 1, No. 1: 4-10.
Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ, Henderson G. Rang and Dale’s. 2011.
Pharmacology: Drugs Affecting Major Organ Systems. 7th Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; p. 353-56.
Schmitz, Gery, Hans Lepper, dan Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta: EGC.
Sulistia, dkk. 2005. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Gaya
Baru.

36
Sunaryo. 2007. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basic of Therapeutics: Drugs Affecting Renal and
Cardiovascular Function. 11th Edition. California: McGraw-Hill; 2005. p.
735-62.

37

Anda mungkin juga menyukai