Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN

Praktikum kali ini merupakan pengujian obat-obat yang berkhasiat sebagai diuretik.
Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran urin melalui kerja langsung
terhadap ginjal . (Tjay, T.H., K. Rahardja, 2013)
Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal
(Elisabeth, 2007). Sedangkan tujuan dari percobaan ini yaitu untuk menentukan efek dari obat
diuretic, yaitu furosemide, spironolakton dan hidroklorotiazid pada hewan coba tikus
berdasarkan parameter pengukuran volume urin.
Adapun alat yang kami gunakan pada praktikum ini yakni sonde, mortir dan stemfer,
spuit 3cc, labu ukur 50ml, pipet tetes, beker glass, gelas ukur, timbangan dan kandang tikus
(terbuat dari botol aqua 5L agar mudah diamati). Obat-obatan yang digunakan pada praktikum
kali ini ialah furosemide 40mg, hidroklortiasid 25mg, spironolacton 100mg dan kontrolnya
menggunakan aquadest.
Sebagaimana halnya yang diketahui bahwa furosemid merupakan golongan diuretic
kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reasorbsi elektrolit Na ⁺/K ⁺/2CL di ansa henle
asendens bagian epitel tebal, tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal. Menurut
(Tjay, T.H., K. Rahardja, 2013). Dosis manusia pada udema oral 40-80mg pagi p.c, pada
infusiensi ginjal sampai 250-2000mg sehari dalam 2-3 dosis. Injeksi i.v 20-40mg pada keadaan
kemlut hipertensi sampai 500mg serta untuk penggunaan i.m tidak dianjurkan . Furosemid
banyak digunakan pada keadaan akut misalnya pada udema otak dan paru-paru. Dalam
pemberian peroral, furosemide juga efektif untuk mengatasi asites akibat penyakit sirosis hati
dan edema akibat gagal ginjal. Efek onset furosemide menurut (Gunawan., dkk. 2007) yakni 10-
20 menit maksimal 1,5 jam, serta lama kerja diuretic 4-6 jam. Yang kedua yakni Hidroklortiasid
(HCT) merupakan golongan diuretic Tiazid dengan mekanisme kerjanya adalah menghambat
ginjal untuk menahan cairan. Hidrochlorotiazid (HCT) banyak digunakan sebagai pilihan
pertama untuk hipertensi serta pengobatan edema akibat gagal jantung ringan samapi sedang
( Linda L.herman dan Khalid Bashir . 2023) Efeknya lebih lemah dan lambat, yakni dimulai 2
jam setelah pemberian dosis oral, mencapai puncaknya dalam 4 jam, tetapi bertahan lebih lama
(6-12 jam). Dosis pada manusia 12,5-25mg/hari untuk hipertensi, 25-100mg/hari untuk gagal
jantung kongestif. Obat ini memiliki kurva dosis-efek datar, artinya bila dosis optimal dinaikan
efeknya tidak bertambah. Yang ketiga, Spironolacton merupakan golongan diuretic hemat
kalium dengan mekanisme kerjanya berkompetisi dengan aldosteron pada reseptor di tubulus
ginjal distal, meningkatkan natrium klorida dan ekskresi air selama konversi ion kalium dan
hidrogen, juga dapat memblok efek aldosteron pada otot polos arteriolar. Efek diuretiknya tidak
sekuat diuretic kuat, hanya khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna
menghemat ekresi kalium. Spironolacton digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan
edema yang refrakter. Biasanya dipakai bersama diuretic lain dengan maksud mengurangi
eksresi kalium, disamping memperbesar diuresis. Dosis oral pada manusia 1-2 add 25-100mg
pada waktu makan . (Tjay, T.H., K. Rahardja, 2013 dan Gunawan ., Dkk . 2007 ). Memiliki efek
onset permulaan kerja yang lambat dengan respon maksimal terdeteksi 48 jam (2 hari) setelah
dosis diberikan dan bekerja selama beberapa hari. (Bradley A.Maron dan Jane A ,.2010).
Adapula hewan uji yang kami gunakan adalah 3 tikus putih jantan yang dipuasakan
tetapi tetap diberi minum selama satu hari untuk masing-masing kelompok yang terdiri dari
empat kelompok. Tujuan dipuasakan ini agar tidak mempengaruhi efek dari furosemid yang
diberikan, tetapi tetap diberikan minum dengan tujuan agar kondisi elektrolit hewan uji tetap
stabil. Pada kelompok kami mendapat obat diuretic Hidroclorotiazid 100mg (HCT). Hal pertama
yang dilakukan adalah menimbang masing-masing tikus, kemudian menghitung dosis konversi.
Dihasilkan dosis konversi untuk furosemide 160mg, spironolactone 200mg, dan HCT 100mg
berturut-turut yakni 2,88mg; 3,6mg ; dan 1,8mg. Selanjutnya dibuat larutan stok dengan
mengencerkan obat-obat yang perlu diencerkan terlebih dahulu dan menghitung volume larutan
untuk tikus, kemudian disuntikan secara peroral pada masing-masing tikus lalu meletakannya
pada kandang pengamatan yang dibawahnya diberi tissue sebagai menampung urin untuk
diamati waktu onset dan durasi berkemihnya selama 4 jam. Namun pada percobaan ini tidak
diketahui pasti onset masing-masing tikus karena botol bekas yang digunakan banyak goresan-
goresan, dan tempat pengamatan yang jarak tempat penampung volume urin dengan tikus terlalu
dekat sehingga sulit dalam mengamati.
Menurut Pritchett dan Corning (2004), volume urin tikus putih dalam 24 jam kira-kira
10- 12 mL/200 g BB/hari dengan konsumsi air 16-20 mL/200 g BB/hari. Jumlah ini bervariasi
tergantung pada jumlah air yang masuk, suhu udara luar dan keadaan fisik dari tikus. Volume
urin pada suhu panas akan sedikit dan pada keadaan dingin akan lebih banyak karena tidak
terjadi banyak penguapan cairan tubuh.
Hasil dalam pengamatan ini yakni tikus yang diberi Aquadest sebagai control dengan
jumlah volume urin selama 4 jam sebanyak 1,36 cc dan % diuretiknya 0%. Hidroklorthiazid
diberikan secara p.o pada tikus putih dan menghasilkan jumlah urin 8,756 ml dan % daya
diuretiknya 0,0154%. Spironolacton diberikan secara p.o pada tikus putih menghasilkan jumlah
volume urin 1,23 cc dan % diuretiknya -9,62%. Sementara pada Furosemid diberikan secara p.o
pada tikus putih dan menghasilkan jumlah volume urin 1,22 cc dan % diuretiknya -10,37% .

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa HCT apabila dibandingkan dengan
kontolnya sudah sesuai dengan literatur dimana Hidroklorthiazid berkerja dengan cara
menghambat simporter Na+, Cl-, ditubuls distal. Mekanisme kerja hidroklorthiazid yaitu inhibisi
reabsorbsi pada tubulus ginjal, akibatnya ekskresi Na dan air meningkat. (Gunawan, Dkk . 2007
).
Sebenarnya diantara keempat sediaan yang paling baik digunakan yaitu furosemid
karena furosemid berkerja dengan cara menghambat reabsorbsi ion Na pada jerat henle.
Mekanisme kerja furosemid adalah inhibisi reansorbsi natrium dan klorida pada jerat henle
menaik dan tubulus ginjal distal, mempengaruhi system kontranspor ikatan klorida, selanjutnya
meningkatkan ekskresi Na, Cl-, Mg, Kalsium dan air sedangkan spironolakton berkerja pada
segemen yang berespon terhadap aldosteron pada nefron distal, dimana homeostatis
K+ dikendalikan. Dengan mekanisme kerja yaitu berkompetensi dengan aldosteron pada reseptor
di tubulus ginjal distal, meningkatkan NaCl dan ekskresi air selama konversi ion kalium dan
hydrogen, juga dapat memblok efek aldosteron pada otot polos arterioles. Aquadest disini hanya
digunakan sebagai control sehingga tidak memberikan efek.
Hal ini tidak sesuai literatur dimana seharusnya tikus yang diberikan furosemid secara
peroral memberikan efek diuretik yang lebih besar daripada tikus yang diberikan hidroklortiazid
dan spironlacton (Mycek, 1997). Penyimpangan ini dikarenakan salah dalam menghitung dosis
konversi pada tikus yakni dosis konversi furosemid yang seharusnya adalah 1,8ml sehingga
untuk volume larutan yang diberi pada tikus juga salah.
Kesalahan lain yang terjadi dapat juga disebabkan pertama tidak larutnya dengan
sempurna obat pada saat melakukan pengenceran sehingga pada saat penyaringan banyak zat
aktif yang tertinggal di kertas penyaring, kedua tidak masuknya seluruh obat dikarenakan tikus
yang sangat aktif, dan juga dapat disebabkan oleh perbedaan dalam hal faktor fisiologi dari
hewan percobaan yang digunakan. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor
farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respons penderita.
Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan
individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi
(Mycek, 1997).

Anda mungkin juga menyukai