PT Freeport Indonesia
PT Freeport Indonesia
Ada pernyataan kuat bahwa telah terjadi distori etika dan pelanggaran kemanusiaan
yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban dan
kebudayaan sampai mata rantai penghidupan jelas dilanggar. Itu adalah fakta keteledoran
pemerintah yang sangat berat karena selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua.
Gagasan yang menyatakan mendapatkan kesejahteraan dengan intensifikasi nyatanya gagal.
Ironisnya, dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk
menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot.
Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi
lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai
protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM.
Analisis Permasalahan
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa
karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar
lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat
Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa dditanggung generasi
Papua sampai tujuh turunan.
Umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan.
Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi
hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan
loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen
dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti
tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat
mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege
berlebihan, ternyata hanya sia-sia.
Sebagai upaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pada perusahaan, perusahaan
sudah membentuk Crisis Management Committee. Yaitu guna menciptakan lingkungan kerja
yang damai dan harmonis, PTFI dan pimpinan SPSI PTFI pun telah membentuk Crisis
Management Committee.
- Pasal 139: “Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan
yang melayani kepentingan umum dan atau perusahaan yang jenis kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu kepentingan umum dan atau membahayakan keselamatan orang lain”.
- Pasal 140: (1) “Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat”. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) sekurang-
kurangnya memuat: (i) Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja. (ii)
Tempat mogok kerja. (iii) Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja.
(iv) Tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3) Dalam hal mogok kerja
akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,
maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara: (i) Melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada
dilokasi kegiatan proses produksi, atau (ii) Bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang
mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
- Pasal 22: “Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan,
berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat doperlukan
untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun
kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan sumber daya setiap negara”.
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan
politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi
raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa
terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Kesimpulan :
Saran