Anda di halaman 1dari 157

PENDAHULUAN

Blok 9 Gangguan Kardiovaskuler mempelajari patogenesis, diagnosis dan


penatalaksanaan komprehensif pada gangguan sistem kardiovaskuler. Blok ini juga akan
membahas secara mendasar hal-hal yang berkaitan dengan gangguan sistem tersebut,
termasuk epidemiologi dan prognosis penyakit kardiovaskuler.

SASARAN PEMBELAJARAN BLOK IV BIOMEDIK 3.


A. SASARAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)
Pada akhir blok 9 Gangguan Kardiovaskuler mahasiswa semester III FK UNAYA
diharapkan mampu menjelaskan patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan
komprehensif pada gangguan sistem kardiovaskuler.

B. SASARAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)


- Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit jantung bawaan (T & K & P)
- Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit jantung iskemik (T & K & P)
- Mahasiswa mampu menjelaskan hipertensi dan kelainan vaskular lainnya (T &
K & P)
- Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan irama jantung (T & K & P)
- Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit infeksi pada jantung dan penyakit
katup jantung (T & K & P)
- Mahasiswa mampu menjelaskan gagal jantung (T & K & P)
- Mahasiswa mampu melakukan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan denyut
nadi dan pemeriksaan fisik jantung (SL)
- Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan elektrokardiografi/ EKG (SL)
- Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan elektrokardiografi/
EKG (SL)

AREA KOMPETENSI YANG AKAN DICAPAI OLEH MAHASISWA :


Area 1 : Komunikasi Efektif
1. Mampu menyimpulkan kembali masalah pasien, kekhawatiran maupun
harapanya.

1
2. Mampu mengunakan open-ended maupun closed question dalam mengali
informasi (move from opening to closed question properly)
3. Meminta penjelasan pada pasien terhadap pernyataan (statement) yang kurang
dimengerti
Area 2 : Keterampilan Klinis
1. Menemukan tanda-tanda fisik dan membuat rekam medis dengan jelas dan benar
2. Menetukan pemeriksaan penunjang untuk penanpisan penyakit.
3. Memilih prosedur kedaruratan klinis sesuai kebutuhan pasien atau menetapkan
rujukan.
Area 3 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
1. Menjelaskan tujuan pengobatan secara fisiologis dan molekuler
2. Menjelaskan perubahan proses patofisiologis setelah pengobatan
3. Menjelaskan bahwa kelainan dipengaruhi oleh tindakan
4. Menjelaskan parameter dan indikator keberhasilan pengobatan.
5. Menjelaskan perlunya evaluasi lanjutan pada penanganan penyakit.
Area 5 : Pengelolaan Informasi
Menerapkan keterampilan dasar pengelolaan informasi untuk menghimpun data
relavan menjadi arsip pribadi.
Area 6 : Mawas Diri dan Pengembangan Diri
Mempertimbangkan aspek etis dan moral dalam hubungan dengan petugas
kesehatan lain, serta bertindak secara profesional.

FORMAT KEGIATAN BELAJAR


Aktifitas belajar dirancang dalam bentuk PBL (Problem Based Learning) dengan
beberapa aktivitas belajar dipersiapkan untuk mencapai kompetensi pada blok ini
berupa :
1. Kuliah pakar
2. Diskusi Tutorial
3. Skill Lab
4. Praktikum Anatomi dan Patologi Anatomi
5. Belajar Mandiri
6. Konsultasi Pakar

2
Ad. 1. Kuliah Pakar
Kuliah pakar diberikan oleh seseorang yang dianggap memiliki kompetensi
akademik dalam bidang yang menjadi topic masalah yang dibahas dalam diskusi dan
tutorial. Kuliah pakar seminggu dapat berlangsung 2-3 kali, diruang kuliah dengan total
kuliah sebanyak 15 kali. Kuliah pakar ini dikemas dalam bentuk komunikasi dua arah.
Kuliah pakar akan sangat membantu mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan yang
didapatkanya melalui proses belajar mandiri, praktikum maupun diskusi.
Kuliah – kuliah dalam Blok 4 ini adalah :

No Judul Kuliah Hari/Tanggal Waktu Pemberi Kuliah/Bagian


1. Introduksi Blok IX Senin/ 31 12.00 – 14.00 dr. Mirsal Picasso
Gangguan Kardiovaskuler Desember 2012 MEU
2. Perubahan Anatomi- Rabu/ 2 Januari 08.00 – 10.00 Dr. Rusdi Andid Sp.A
fisiologi sirkulasi fetus, 2013
bayi dan dewasa
3. Pemeriksaan fisik jantung Kamis/ 3 Januari 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
pada dewasa 2013 Sp.PD, FINASIM
4. Penyakit Jantung Bawaan Senin/ 7 Januari 12.00 – 14.00 Dr. Rusdi Andid Sp.A
2013
5. Penyakit Jantung Iskemik Rabu/ 9 Januari 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
2013 Sp.PD, FINASIM
6. Hipertensi, Penyakit Kamis/ 10 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
Jantung Hipertensi dan Januari 2013 Sp.PD, FINASIM
Kelainan Vaskular lainnya
7. Gangguan Irama Jantung/ Senin/ 14 12.00 – 14.00 Dr. Arif Fadillah
Aritmia Januari 2013 Sp.PD, FINASIM
8. Interpretasi pemeriksaan Rabu/ 16 Januari 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
EKG pada gangguan irama 2013 Sp.PD, FINASIM
jantung
9. Infeksi Jantung Kamis/ 17 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
(Endokarditis dan Januari 2013 Sp.PD, FINASIM
Miokarditis)

3
10. Penyakit Katup Jantung Senin/ 21 12.00 – 14.00 Dr. Arif Fadillah
dan Penyakit Jantung Januari 2013 Sp.PD, FINASIM
Rheumatik
11 Penyakit jantung kongestif Rabu/ 23 Januari 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
pada dewasa 2013 Sp.PD, FINASIM
12 Penyakit jantung kongestif Kamis/ 24 08.00 – 10.00 Dr. Arif Fadillah
pada anak Januari 2013 Sp.PD, FINASIM
13 Kardiomiopati, Cor- Senin/ 2013 12.00 -14.00 Dr. Arif Fadillah
pulmonale, Syok Sp.PD, FINASIM
Kardiogenik, dan Terapi
cairan pada penyakit
jantung kongestif
14 Farmakologi Obat- obat Senin/ 28 08.00 – 10.00 dr. Mustafa D
Kardiovaskular Januari 2013
15 Pleno Rabu/ 30 Januari 14.00 – 18.00 MEU
2013

Ad. 2 Diskusi Tutorial


Pra tutorial
1. Mempelajari dengan seksama modul ini termasuk TIU dan TIK
2. Jika ada materi yang tidak jelas mohon ditanyakan pada dosen pengampu (nama,
no telfon setiap dosen pengampu terlampir)
3. Membuat rencana pembelajaran
4. Membuat tabulasi penyakit penyakit yang menyebabkan produksi kurang dan
menghubungkannya dengan kata kunci
5. Mengecek kelengkapan ruang tutorial
Tutorial tahap 1
1. Membantu mahasiswa menunjuk ketua dan sekertaris kelompok
2. Memfasilitasi diskusi agar berjalan sesuai urutannya yaitu :
 Menyusun kata kunci
 Membahas TIU dan TIK

4
 Membuat daftar pertanyaan sebanyak banyaknya yang diarahkan ke TIK
 Menjawab pertanyaan-pertanyaan
 Membuat tabulasi penyakit penyakit yang menyebabkan kencing
kurang dan menghubungkannya dengan kata kunci
 Membuat tujuan pembelajaran selanjutnya
 Membagi tugas pencarian informasi berdasarkan jenis penyakit yang
menimbulkan kencing kurang
3. Melakukan penilaian untuk mahasiswa dan menandatanganinya
4. Mengecek kehadiran mahasiswa dan menandatangani daftar hadirnya
5. Mengingatkan mahasiswa agar pertemuan selanjutnya masing masing sudah
mengisi lembaran kerja
Tutorial tahap 2
6. Mengecek apakah mahasiswa datang dengan membawa lembaran kerjanya
7. Memfasilitasi diskusi agar berjalan sesuai urutannya yaitu :
 Melaporkan informasi tambahan yang baru diperolehnya
 Mahasiswa mendiskusikan satu persatu penyakit yang bergejala utama
produksi kencing kurang, etiologinya, patomekanismenya, cara
mendiagnosis (anamnesis, inspeksi, palpasi perkusi dan auskultasi,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaannya.
 Mahasiswa menganalisa kembali tabulasi yang dibuat berdasarkan setiap
penyakit dan kata kunci.
 Mengurutkan penyakit mulai dengan diagnosis terdekat sampai
diagnosis yang terjauh
 Tutor menanyakan beberapa pertannyaan mendasar yang perlu diketahui
mahasiswa dan mendiskusikannya
 Mahasiswa membuat tujuan pembelajaran selanjutnya dengan mencatat
pertanyaan yang belum terjawab untuk dicari pada perpustakaan,
ditanyakan langsung kepada dosen pengampu atau ditanyakan dalam
diskusi panel.
8. Membuat penilaian terutama saat mahasiswa melaporkan informasi yang
diperoleh.
9. Mengecek kehadiran mahasiswa dan menandatangani daftar hadirnya

5
Saat Panel Diskusi
1. Wajib mengikuti diskus panel
2. Membuat penilaian pada penampilan, cara menjawab, isi jawaban dan lain-lain
pada mahasiswa yang melapor atau menjawab pertanyaan.
Setelah satu Seri Tutorial Selesai
1. Mengumpulkan semua absensi kelompok di Koordinator PBL
2. Membuat penilaian ahir: dari semua nilai
3. Memeriksa laporan mahasiswa bersama nara sumber
Tugas dan Kewajiban Mahasiswa
Tugas Untuk Mahasiswa
1. Setelah membaca dengan teliti skenario di atas, mahasiswa mendiskusikannya
dalam satu kelompok diskusi yang terdiri dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang
ketua dan sekretaris yang dipilih oleh mahasiswa sendiri. Ketua dan sekretaris ini
sebaiknya berganti-ganti pada setiap kali diskusi. Diskusi kelompok ini bisa
dipimpin oleh tutor atau secara mandiri
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan
buku ajar, majalah, slide, tape atau video, dan internet, untuk mencari informasi
tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor), melakukan curah pendapat
bebas antar anggota kelompok untuk menganalisa dan atau mensintese informasi
dalam menyelesaikan masalah.
4. Melakukan penilaian atas pelaksanaan tutorial pada umunya dan kinerja tutor
5. Melakukan penilaian atas kinerja mahasiswa lain dalam kelompoknya.
6. Berkonsultasi pada nara sumber yang ahli pada permasalahan dimaksud untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam (tanya pakar).
7. Mengikuti kuliah khusus (kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum jelas
atau tidak ditemukan jawabannya..
8. Melakukan praktikum di laboratorium Anatomi dan Histologi.
9. Melakukan latihan di Laboratorium Keterampilan Klinik
Dalam semua aktivitas mahasiswa diharuskan memakai Name tag dan mematuhi
semua tata tertib yang ada.

6
PROSES PEMECAHAN MASALAH
Dalam diskusi kelompok, mahasiswa memecahkan problem yang terdapat dalam
skenario ini, dengan melakukan 7 langkah di bawah ini :
1. Klarifikasi isitilah yang tidak jelas dalam skenario di atas dan tentukan minimal 5
kata kunci.
2. Identifikasi problem penting dalam skenario di atas, dengan membuat pertanyaan
mendasar.
3. Analisa problem-problem tersebut dengan brain storming menjawab pertanyaan-
pertanyaan di atas.
4. Urutkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
5. Tentukan tujuan pembelajaran selanjutnya yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas
kasus di atas.
Langkah 1 sd 5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor.
6. Cari informasi tambahan tentang kasus di atas di luar kelompok tatap muka.
Langkah 6 dilakukan dengan belajar sendiri-sendiri atau diskusi berkelompok tidak
dengan tutor.
7. Laporkan hasil diskusi dan sintesis informasi-informasi yang baru ditemukan.
Langkah 7 dilakukan dalam kelompok diskusi dengan tutor.
Bila pada pelaporan masih ada pertanyaan-pertanyaan yang masih membutuhkan
informasi baru maka proses 6 diulangi lagi dan seterusnya.
Penjelasan : Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi
yang diperlukan untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6 bisa diulangi,
dan selanjutnya dilakukan lagi langkah 7.
Kedua langkah diatas bisa diulang-ulang di luar tutorial, dan setelah informasi dirasa
cukup maka pelaporan dilakukan dalam diskusi akhir, yang biasanya dilakukan
dalam bentuk diskusi panel dimana semua pakar duduk bersama untuk memberikan
penjelasan atas hal-hal yang belum jelas.
Jadwal Kegiatan
Sebelum dilakukan pertemuan antara kelompok mahasiswa dan tutor,
mahasiswa dibagi menjadi kelompok-kelompok diskusi yang terdiri dari 15-17 orang
tiap kelompok.

7
1. Pertemuan pertama dalam kelas besar dengan tatap muka satu arah untuk
penjelasan dan tanya jawab. Tujuan : menjelaskan tentang modul dan cara
menyelesaikan modul, dan membagi kelompok diskusi. Pada pertemuan pertama
buku modul dibagikan.
2. Pertemuan kedua : diskusi tutorial 1 dipimpin oleh mahasiswa yang terpilih
menjadi ketua dan penulis kelompok, serta difasilitasi oleh tutor Tujuan :
* Memilih ketua dan sekretaris kelompok.
* Brain-storming untuk proses 1 – 5.
* Pembagian tugas
3. Pertemuan ketiga: diskusi tutorial 2 seperti pada tutorial 1. Tujuan: untuk
melaporkan informasi baru yang diperoleh dari pembelajaran mandiri dan
melakukan klassifikasi, analisa dan sintese dari semua informasi.
4. Anda belajar mandiri baik sendiri-sendiri. Tujuan: untuk mencari informasi baru
yang diperlukan,
5. Diskusi mandiri; dengan proses sama dengan diskusi tutorial. Bila informasi telah
cukup, diskusi mandiri digunakan untuk membuat laporan penyajian dan laporan
tertulis. Diskusi mandiri bisa dilakukan berulang-ulang diluar jadwal.
6. Pertemuan keempat: diskusi panel dan tanya pakar. Tujuan: untuk melaporkan
hasil analisa dan sintese informasi yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah
pada skenario. Bila ada masalah yang belum jelas atau kesalahan persepsi, bisa
diselesaikan oleh para pakar yang hadir pada pertemuan ini. Laporan penyajian
dibuat oleh kelompok dalam bentuk sesuai urutan yang tercantum pada buku kerja.
7. Masing-masing mahasiwa kemudian diberi tugas untuk menuliskan laporan tentang
salah satu penyakit yang memberikan gambaran seperti pada skenario yang
didiskusikan pada kelompoknya. Laporan ditulis dalam bentuk laporan penyajian
dan laporan lengkap.
8. Pertemuan terakhir: laporan kasus dilakukan dalam kelas besar oleh masing-masing
mahasiswa.

Ad. 3. Skill Lab


Skill Lab dilakukan di ruangan skill lab yang terkait dengan modul I, dimana
setiap kelompok akan di bimbing oleh 1 orang instruktur yang telah ditunjuk. Skill lab

8
dalam modul I terdiri sebanyak 5 kali dimana sklil lab dimulai pada minggu pertama
modul I dan berakhir padan minggu ke lima modul I.

Minggu Materi Skill Lab Jenis Kelompok


Pemeriksaan Tekanan Darah  Skill
II 1-15
dan Frekuensi Nadi
III Pemeriksaan Fisik Jantung  Skill 1-15
IV Pemeriksaan EKG  Skill 1-15
V Interpretasi EKG  Skill 1-15

Ad. 4. Praktikum
Praktikum dilakukan di laboratorium yang terkait dengan Blok IX dan bertujuan
untuk membantu mahasiswa memahami topik-topik dalam modul ini. Praktikum-
praktikum dalam modul ini adalah :

No Materi Praktikum Waktu Laboratorium Kelompok


1. Anatomi Sistem  Selasa Anatomi 15 kelompok
Kardiovaskuler (A&B&C)
2. Fisiologi Sistem  Selasa Fisiologi 15 kelompok
Kardiovaskuler (A&B&C)

Ad. 5. Belajar Mandiri


Pada format belajar mandari ini diharapkan mahasiswa mampu untuk mencari,
memahami, mensitesa serta merekontruksi pengetahuan yang baru diperoleh dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Belajar mandiri terdiri dari 50 dari total
waktu belajar, yaitu 20-25 jam dalam seminggu (waktu belajar seminggu 45 jam).
Belajar mandiri merupakan format utama dalam PBL.
Topic-topik yang perlu dipelajari secara mandiri dapat dilihat pada topic tree.

9
Ad. 6. Konsultasi Pakar
Konsultasi pakar bertujuan untuk membantu mahasiswa yang menghadapi
kesulitan dalam memahami materi yang ada maupun tidak terdapat dalam materi kuliah.
Konsultasi pakar dapat dilakukan dengan membuat janji dengan pakar untuk waktu
konsultasi yang diketahui oleh pihak Medical Education Unit (MEU).
Tim Pakar dalam modul ini adalah :
No Nama Bagian HP
1. Dr. Arif Fadillah, Sp.PD Ilmu Penyakit Dalam 08126914937
2. Dr. Chairul Zulfi, M.Si MEU 0811688889
3. Dr. Mirsal Picasso MEU 081360755799

PENILAIAN
Modul ini mempunyai kompentensi sedang dengan penilaian :
1. Nilai proses 40% teridir atas
a. Tutorial 15 %
b. Logbook 5 %
c. Skill Lab 15 %
d. Praktikum 5 %
2. Nilai Ujian Akhir Modul 60%
Bagian utama yang terlibat:
1. Ilmu Kesehatan Jantung
2. Ilmu Penyakit Dalam
3. Ilmu Kesehatan Anak
4. Radiologi
5. Bedah Kardiovaskuler

10
SUMBER BELAJAR

Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A national clinical


guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network: 2007
Branch, William T., R. Wayna Alexande, Robert C. Schlant, and J. Wilis Hurst. 2000.
Cardiology in Primary Care. Singapore : McGraw Hill.
Chan, Paul D. Cardiovascular Disorders. In: Chan, Paul D. Treatment Guidelines for
Medicine and Primary Care. California: Current Clinical Strategies Publishing:
2004.
Dorland. 2000. Kamus Kedokteran. EGC: Jakarta.
Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, herapy,
and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of Texas
Health Science: 2006
Ganong, William F. 2001. Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
Guyton & Hall.1997. Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta..
Price, Sylvia A, dkk. 2003. Patofisiologi. EGC: Jakarta.
Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia dari Sistem ke Sistem. EGC: Jakarta.
Sloane, Ethel. 1994. Anotomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC: Jakarta.
Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006.

11
SKENARIO 1
Jantung Bayiku

Bu Septi akhirya datang untuk berkonsultasi ke dokter karena khawatir terhadap


bayinya yang sering sekali mengalami infeksi saluran nafas dan berat badannya tidak
kunjung bertambah. Sejak usia bayinya 1 bulan hingga kini berusia 4 bulan sudah
sekitar 6 kali bayinya menderita infeksi saluran nafas. Berat badan bayinya pun
bermasalah, padahal Bu Septi masih memberikan ASI eksklusif sampai saat ini. Namun
terlihat sedikit keanehan pada si bayi, saat di berikan ASI, bayi tersebut pun sering
tampak kelelahan, sehingga hanya sebentar saja ia menyusu.
Dari pemeriksaan fisik, tidak ditemukan sianosis pada bayi tersebut. Berat badan
si bayi saat ini sebesar 3000 gram (berat badan lahir ± 2800 gram), dan hanya terdapat
bising holosistolik yang keras di ICS 3-4 parasternal sinistra. Karena khawatir dengan
hasil pemeriksaan tersebut, dokter langsung menyarankan untuk melakukan
pemeriksaan foto thoraks, dan hasilnya menunjukan gambaran “pruned tree” yang
disertai penonjolan arteri pulmonalis. Akhirnya dari hasil pemeriksaan tersebut dokter
merujuk bayi Bu septi ke rumah sakit, dan hanya mengatakan kepada bu Septi bahwa
terdapat kelainan bawaan pada jantung yang berhubungan dengan kondisi jantung
bayinya saat masih berada didalam kandungan
Bagaimanakah saudara menjelaskan kondisi yang diderita bayi bu Septi???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan perbedaan sirkulasi jantung fetus dengan sirkulasi jantung bayi
(sesudah lahir)
2. Menjelaskan epidemiologi dan jenis-jenis penyakit jantung bawaan (PJB)
3. Menjelaskan peran kelainan genetik pada kelainan jantung bawaan
4. Menjelaskan faktor risiko, etiologi dari kelainan anatomisnya
5. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi PJB
6. Menjelaskan prinsip diagnosis dan diagnosis banding PJB
7. Menjelaskan komplikasi dan prognosis PJB

12
8. Menjelaskan pemeriksaan penunjang PJB
9. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif PJB, termasuk rujukan dan persiapan
rujukan

13
Dasar Teori
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Pengertian
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan susunan jantung, yang telah terdapat
sejak lahir (tidak selalu ditemukan selama beberapa minggu/bulan sejak lahir).
Etiologi
PJB merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan perkembangan sistem
kardiovaskular pada masa embrio. Beberapa faktor yang berperan dalam PJB:
- Lingkungan; diferensiasi bentuk jantung lengkap pada akhir bulan kedua kehamilan,
terutama terdapat selama dua bulan pertama kehamilan seperti rubela pada ibu dan
penyakit virus lain, talimoid dan mungkin obat-obatan lain, atau radiasi serta
hipoksia (dapat menyebabkan Persistent Ductus Arteriosus/PDA).
- Hereditas; mungkin berperan kecil saja dan kelainan kromosom biasanya tidak
ditemukan, namun insidens PJB dan jenisnya biasanya terdapat pada anggota
keluarga.
- Jenis kelamin; pada anak lelaki biasanya terdapat Aorta Stenosis (AS), Coartation of
Aortic, Tetaralogi of Fallot (TF), Transposition of Great Vessels (TGV), sedangkan
pada anak perempuan banyak terdapat Persistent Ductus Arteriosus (PDA), Atrial
Septal Defect (ASD), dan Pulmonal Stenosis (PS) yang seluruhnya disebabkan
kelainan genetik.
Pencegahan
- Jika terjadi infeksi rubela, sebaiknya diberikan globulin gama dalam 10 hari setelah
infeksi tersebut.
- Pada kehamilan muda sedapat mungkin untuk tidak mengkonsumsi obat.
- Pemeriksaan radiologi rutin semasa hamil dilarang.
Klasifikasi
- Berdasarkan akibat yang tampak dari kelainan, yaitu:
a. Golongan PJB tanpa sianosis; yang dapat digolongkan lagi menjadi:
(i) Yang mengakibatkan kenaikan volume, antara lain: Atrial Septal Defect
(ASD), Ventricular septal defect (VSD), Atrioventricular Septal Defect
(AVSD), dan Patent Ductus Arteriosus (PDA).

14
(ii) Yang mengakibatkan kenaikan beban tekanan, antara lain: Stenosis katup
pulmonal, stenosis katup aorta, dan koarktasio aorta.
b. Golongan PJB dengan sianosis; yang dapat digolongkan lagi menjadi:
(i) Jika aliran darah paru menurun, antara lain: Tetralogy of Fallot (TF), Atresia
pulmonal dengan sekat utuh, atresia trikuspidalis, anomali total muara vena
pulmonalis dengan obstruksi.
(ii) Jika aliran darah paru meningkat, antara lain: Transposition of the Great
Arteries (TGA), Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage (TAPVD)
tanpa obstruksi, trunkus arteriosus.
Jika kelainan jantung yang baru menunjukan sianosis setelah proses kelainan
tersebut berjalan beberapa waktu, maka digolongkan dalam potensial
sianosis/Cyanotic tardive.
- Berdasarkan anatomi, yaitu:
a. Kelainan aorta (kaorktasio aorta, kelaian arkus aorta, cincin aorta, PDA, aortic
pulmonary window, kelainan basis aorta dan pembuluh koroner)
b. Kelainan arteria pulmonalis (dari distal ke proksimal): kelainan pada vaskular
bendungan stenosis arteria pulmonalis, aplasia salah satu cabang arteri
pulmonalis, PS valvular, ketiadaan bawaan katup pulmonal.
c. Kelainan katup atrioventrikular (Septum, atrium, ventrikel, sistem vena).
- Berdasarkan fisologi, yaitu:
a. Beban tekanan saja, contoh: stenosis aorta (SA).
b. Beban volume saja, contoh: ASD.
c. Kombinasi beban tekanan dan beban volume.

Penyakit Jantung Bawaan Non Sianotik


1) Defek septum Atrium (Atrial Septal Defect/ASD)
Definisi
Defek septum atrium merupakan kelainan jantung bawaaan akibat adanya lubang
pada septum interatrial. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

15
(Gambar Yang Menunjukan Perbedaan Antara Jantung Normal Dengan Defek Septum
Atrium)

Klasifikasi
Secara anatomis ASD dapat dibedakan atas:
a. Defek sinus venosus atau defek vena kava superior, bila letak defek di atas fosa
ovalis, tidak mempunyai tepi atas yang jelas dan biasanya disertai dengan vena
pulmonalis yang bermuara rendah di vena kava superior.
b. Defek septum atrium sekundum atau defek fosa ovelis, bila letak defek di fosa
ovalis.
c. Defek septum atrium primum atau defek atrioventrikular (Endocardial Curshion
defect, ACD), bila letak defek pada bagian bawah sekat atrium dan menumpangi
katup mitral dan trikuspidal. Pada ASD primum ini jika gangguan ringan maka
letak ASD rendah katup mitral terbelah (ECD derajat I), sedangkan bila
gangguan berat maka letak ASD rendah dan katup mitral terbelah, katup
trikuspid terbelah (ECD derajat II), serta bila gangguan menyeluruh maka letak
ASD rendah, katup-katup mitral dan atau trikuspid terbelah dan letak defek
septum ventrikel (Ventricular Septal Defect/VSD) tinggi (ECD derajat III.)
Selanjutnya dapat dilihat masing-masing jenis defek septum atrium di bawah ini.

16
Gambar I Gambar II

(Pada Gambar I Menunjukan Jenis ASD Secara Dilihat Secara Sagital Dan Gambar II
Menunjukan Jenis ASD Dilihat Secara Frontal)

Patofisiologi
Pada defek septum atrium sekundum (defek ostium sekundum), bila terjadi
defek besar maka pirau (shunt) besar mengalirkan darah teroksigenasi dari atirum kiri
ke atrium kanan. Darah ini ditambahkan pada aliran balik venosa biasa ke atrium kanan
dan dipompakan oleh ventrikel kanan ke paru-paru (aliran darah pulmonal biasanya 2-4
kali aliran darah sistemik). Sedikitnya gejala pada bayi dengan ASD adalah akibat
dinding ototnya tebal dan kurang lentur, sehingga membatasi shunt dari kiri ke kanan.
Namun, dengan bertambahnya usia, dinding ventrikel kanan menjadi lebih tipis sebagai
akibat rendahnya kebutuhan penyebab tekanan, dan shunt dari kiri dan ke kanan yang
melewati ASD bertambah. Aliran darah yang besar melalui sisi kanan jantung
menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis.
Walaupun aliran darah pulmonal besar, tekanan arteri pulmonalis tetap normal karena
tidak adanya komunikasi tekanan tinggi antara sirkulasi pulmonal dan sistemik.
Tahanan vaskuler pulmonal tetap rendah selama masa anak, walaupun ia mungkin mulai
bertambah pada masa dewasa, dan ventrikel kiri dan aorta ukurannya normal.
Selanjutnya penjelasannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

17
(Pada Gambar No. 1 Merupakan Atrium Kanan, No. 2 Merupakan Atrium Kiri, No. 3
Merupakan Ventrikel Kanan Dan No. 4 Merupakan Ventrikel Kiri)

Sedangkan pada defek septum atrium primum atau defek atrioventrikular (AV),
shunt dari kiri ke kanan adalah transatrial maupun transventrikel. shunt tambahan dapat
terjadi secara langsung dari ventrikel kiri ke atrium kanan karena tidak adanya sekat
AV. Hipertensi pulmonal dan kecenderungan awal untuk menaikkan tahanan vaskuler
pulmonal sering terjadi. Insufisiensi katup AV menambah beban volume karena
regurgitasi darah dari ventrikel ke kedua atrium. Beberapa shunt dari kanan ke kiri dapat
terjadi pada setinggi atrium maupun ventrikel, dan menyebabkan desaturasi arteri ringan
tetapi berarti. Dengan bertambahnya waktu, penyakit vaskuler pulmonal progresif akan
menambah shunt dari kanan ke kiri sehingga terjadi sianosis klinis.

Gejala klinis
Anak dengan ASD tidak terlihat menderita kelainan jantung, pertumbuhan dan
perkembangnya tidak kalah dari teman sebaya, namun sering bentuk tubuh tinggi dan
kurus dengan jaru-jari tangan dan kaki yang panjang. Hanya pada pirau kiri dan kanan
yang sangat besar maka pada stres cepat mengeluh dispnea dan sering menderita infeksi
saluran pernapasan, kecuali pada ASD dengan anomali drainase vena pulmonalis.
Secara palpasi sktivitas ventrikel kanan jelas (hiperdinamik) di parasternal
kanan, teraba penambahan isi arteri pulmonalis yang melebar dan penutupan katup
pulmonal di sela iga III kiri, serta getaran bising di sela iga II dan III kiri atau pada fosa
suprasternal.

18
Pada auskultasi terdengar split bunyi jantung II tanpa bising (fixed splitting),
bising sistolik, bising obstruksi arteri pulmonalis pada seluruh fase sistol, bising mid-
sistolik berfrekuensi rendah pada sela iga IV kiri dan kanan (jika pirau kiri dan kanan
yang besar), late crescendo systolic murmur pada apeks kordis (jika mitral yang
terbelah pada defek atrioventrikular).
Pada EKG umumnya terlihat deviasi sumbu QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel
kanan dan Right Bundle Branch Block (RBBB), pemanjang interval PR dan deviasi
QRS ke kiri (pada defek septum primum), dan gelombang P negatif (pada defek sinus
venosus).
Pada foto toraks akan ditemukan kardiomegali akibat pembesaran atrium dan
ventrikel kanan, segmen pulmonal menonjol dan vaskularisasi paru meningkat (pletora),
dan gambaran vaskularisasi paru yang mengurang di daerah tepi (pada kasus lanjutan
dengan hipertensi pulmonal). Foto toraks dengan kardiomegali dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar I Gambar II
(Pada Gambar I Menunjukan Foto Toraks Dilihat Secara PA Dengan Kardiomegali
Sedangkan Gambar I Menunjukan Foto Toraks Dilihat Secara Lateral Dengan Kardiomegali)

Pada penggunaan ekokardiografi M-mode akan memperlihatkan dilatasi


ventrikel kanan dan septum interventikular yang bergerak paradoks, sedangkan dengan
ekokardiografi dua dimensi akan dapat memperlihatkan lokasi dan besarnya defek
interatrial. Prolaps katup mitral dan regurgitasi sering tampak pada defek septum atrium
yang besar. Pada defek septum atrium primum posisi katup mitral dan trikuspid sama
tinggi dan bila ada celah pada katup mitral akan terlihat. Dan bila menggunakan
ekokardiografi Doppler dapat memperlihatkan aliran interatrial yang sampai dinding
atrium kanan, dan rasio aliran pulmonal terhadap aliran sistemik juga dapat dihitung.

19
Pada kateterisasi jantung terdapat peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan
dengan peningkatan ringan tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Bila terjadi
penyakit vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis sangat meningkat sehingga diperlukan
tes dengan pemberian oksigen 100% untuk menilai reversibilitas vaskuler paru.
Angiogram ventrikel kiri pada defek atrium sekundum tampak normal, tapi mungkin
terlihat prolaps katup mitral yang disertai regurgitasi. Pada defek septum atrium primum
dapat terlihat gambaran leher angsa dan regurgitasi melalui celah katup mitral. Dan
angiografi pada vena pulmonalis kanan atas, dapat memperlihatkan kanan atas, dapat
memperlihatkan besarnya defek septum atrium.

Penatalaksanaan
Tindakan bedah dilakukan pada defek fosa sebaiknya dilakukan di bawah umur
10 tahun, dan pada keadaan yang tak terlalu lama menderita beban volume walaupun
setelah operasi kemungkinan ventrikel kanan masih menunjukan dilatasi. Penutupan
spontan ASD sangat kecil kemungkinan sehingga operasi sangat berarti.

2) Defek septum ventrikel(Ventricular Septal Defect/VSD)


Definisi
Defek septum ventrikel adalah kelainan jantung bawaan berupa lubang pada
septum interventrikular. Selanjutnya dapat dilihat gambar di bawah ini.

(Gambar Yang Menunjukan Perbedaan Antara Jantung Normal Dengan Defek Septum
Ventrikel)
Klasifikasi
Berdasarkan lokasi lubang, VSD diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu:

20
a. Perimembranus, bila lubang terletak di daerah septum membranus dan
sekitarnya.
b. Subarterial doubly commited, bila lubang terletak di daerah septum infundibuler.
c. Muskular, bila lubang terletak di daerah septum muskuler inlet, outlet maupun
trabekuler.
Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Pada Gambar Di Atas Menunjukan Beberapa Jenis ASD Berdasarkan Lokasi Lubang)
Patofisologi
Dinding pemisah antara kedua ventrikel tidak tertutup sempurna pada VSD,
akibatnya darah dari ventrikel kiri langsung mengalir ke ventrikel kanan dan sebaliknya,
kelainan ini umumnya kongenital atau akibat trauma. Besarnya defek ditentukan oleh
variasi dari diameter baik beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, dan juga oleh
tingkatan tahanan vaskuler pulmonal dibanding dengan tahanan vaskuler sistemik. Bila
komunikasi kecil (biasanya < 0,5 cm2) disebut defek restriktif (membatasi) dan tekanan
ventrikel kanan normal, hal ini membuat aliran darah dari ventrikel kiri dari kiri ke
kanan dibatasi oleh besarnya pirau (shunt). Pada defek besar nonrestriktif (biasanya >
1,0 cm2), tekanan ventrikel kanan dan kiri seimbang. Sesudah lahir, bila ada VSD
dengan defek besar atau pada pulmonary vascular resistance (PVR) yang meninggi,
maka tekanan pada ventrikel kanan akan sama dengan tekanan ventrikel kiri, sehingga
tidak terjadi pirau dari kiri ke kanan. Hal ini disebabkan oleh tunika media arteriol paru
yang berotot kecil berkembang hebat yang menyebabkan penyempitan lumen, dan ini
menerangkan mengapa setelah lahir pada penderita VSD tidak terdengar murmur dan
juga tanpa keluhan. Dalam beberapa minggu pertama kelahiran maka tebal tunika media
berkurang, sehingga diameter lumen bertambah, yang mengakibatkan PVR mengurang

21
dan berakibat tekanan di ventrikel kanan menurun. Ini menyebabkan shunt dari kiri ke
kanan bertambah, dan gejala klinis akan tampak. Dan pada beberapa kasus dengan VSD
yang besar penyakit obstruktif vaskuler pulmonal mulai terjadi.
Besar shunt intrakardial biasanya digambarkan dengan rasio aliran darah
pulmonal terhadap sistemik, dan jika shunt dari kiri ke kanan kecil (rasio aliran
pulmonal terhadap sistemik <1,75 : 1), ruangan-ruangan jantung tidak akan menjadi
cukup besar dan bantalan vaskuler pulmonal agaknya akan normal. Sedangkan bila
shunt besar (rasio aliran >2,5 : 1), terjadi kelebihan beban volume atrium dan ventrikel
kiri, juga ventrikel kanan dan hipertensi pulmonalis arteri. Batang arteri pulmonalis,
atrium kiri, dan ventrikel kiri membesar karena volume aliran darah pulmonal
membesar. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Pada Gambar RA Berarti Atrium Kanan; LA Berarti Atrium Kiri; RV Berarti Ventrikel Kanan
Dan LV Berarti Ventrikel Kiri)

Gambaran klinis
Gambaran klinis tergantung pada besarnya pirau kiri ke kanan, makin besar
pirau makin kurang darah yang melalui aorta dan makin banyak volume darah jaringan
intratorakal. Berkurangnya darah pada sistem sirkulasi menyebabkan pertumbuhan
badan terlambat, dan bila volume darah intratorakal yang selalu bertambah
menyebabkan infeksi saluran nafas yang berulang. Pada VSD kecil, anak dapat tumbuh
sempurna tanpa keluhan, sedangkan pada VSD besar dapat terjadi gagal jantung yang
dini yang memerlukan pengobatan intensif.

22
VSD kecil; diameter defek sekitar 1-5 mm, sedang berkisar 5-10 mm. Biasanya
anak dengan VSD kecil pertumbuhan badannya normal walaupun cenderung timbul
infeksi saluran napas. Toleransi latihan norma, hanya pada latihan yang lama dan
intensif lebih cepat lelah dibandingkan dengan teman sebayanya.
Pada palpasi, impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis dan biasanya teraba
getaran bising pada sela iga III dan IV kiri, sedangkan pada VSD tanpa komplikasi tidak
mengakibatkan getaran (thrill) di fosa suprasternalis.
Pada auskultasi, bunyi jantung biasanya norma sedangkan pada defek sedang
bunyi jantung II agak keras, ”Splitt” sempit pada sela iga II kiri dekat sternum. Bunyi
jantung I biasanya sulit dipisahkan dari bising holosistolik yang kemudian segera
terdengar, bising bersifat kasar (bising kebocoran). Pungtum maksimum (tempat
terdengarnya bising yang paling keras) pada sela iga III, IV dan V kiri langsung dekat
sternum, menjalar terutama ke sela iga IV dan II kanan di samping sternum dan ke arah
apeks kordis dan sering ke punggung, dan intersitas derajat II sampai IV. Di mana
kriteria bising sesuai derajat dapat dilihat di bawah ini:
Derajat 1 : bising sangat lemah, hanya terdengar oleh pemeriksa yang
berpengalaman di tempat tenang.
Derajat 2 : bising yang lemah tapi mudah didengar, penjalaran terbatas.
Derajat 3 : bising cukup keras, tidak disertai getaran bising, penjalaran
sedang sampai luas.
Derajat 4 : bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas.
Derajat 5 : bising yang keras, yang terdengar bila stetoskop tidak seluruhnya
menempel pada dinding dada, penjalarannya sangat luas.
Derajat 6 : bising yang keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari
dinding dada, penjalarannya sangat luas.
Pada ekokardiografi dapat terlihat defek kecil dan dapat menentukan ukuran
shunt dengan memeriksa tingkat beban volume berlebih atrium kiri dan ventrikel kiri
dan luas penambahan dimensi menggambarkan ukuran shunt dari kiri ke kanan.
Pada kateterisasi jantung dengan oksimetri, pada shunt kecil tidak dapat
menghasilkan kenaikan saturasi O2 yang dapat dideteksi dalam ventrikel kanan tetapi
mungkin tampak dengan indikator uji pengenceran, dan defek restriktif kecil disertai
dengan tekanan jantung sisi kanan dan tahanan vaskuler pulmonal normal.

23
VSD besar dan sangat besar; diameter defek lebih dari setengah ostium aorta,
dan tekanan di ventrikel kanan meninggi di luar kebiasaan. Curah sekuncup melalui
ostium pulmonalis paling sedikit dua kali curah sekuncup yang melalui ostium aorta.
Dan gejala klinis akan menunjukan gejala nafas pendek, lekas lelah pada umur sangat
muda dan muncul masalah makan. Pertambahan berat badan minimal akibat sering
infeksi saluran napas dan sering timbul dispnea paroksimal.
Pada inspeksi, akan terlihat pertumbuhan terhambat, pucat dan banyak keringat
bercucuran, ujung-ujung jari hiperemik, diameter dada bertambah, sering terlihat
voussure cardiaque ke kiri. Dan menonjol gejala napas pendek dan retraksi pada
jugulum, sela interkostal dan regio epigatrium, sedangkan pada anak kurus terlihat
impuls jantung yang hiperdinamik. Dan bila terjadi penyakit vaskuler paru dan sindrom
Eisenmenger, penderita tampak sianosis dengan jari-jari tabuh, bahkan disertai tanda-
tanda gagal jantung.
Pada palpasi, didapatkan impuls jantung hiperdinamik kuat, terutama dari
ventrikel kiri. Penutupan katup teraba pada sela iga III kiri dekat sternum, teraba getaran
bising pada dinding dada, dan terabanya tepi hati tumpul di bawah lengkungan iga
kanan.
Pada auskultasi, terdengar bunyi jantung I mengeras pada apeks dan sering
diikuti click, bunyi jantung II mengeras pada sela iga II kiri umunya closed split,
terdengar juga bising holosistolik kasar derajat III-IV sepanjang tepi sternum kiri
dengan pungtum maksimum di sela iga IV menjalar ke seluruh prekordium sampai ke
punggung. Intensitas bising berkurang jika tekanan sistol ventrikel kanan meninggi,
pada fase sistol ini tidak lagi ditutupi oleh bising dan bising bersifat dekresendo. Jika
shunt kiri ke kanan pada VSD > 50% Quotient Pressure(QP) maka sering terdengar
bising mid-diastolik pada apeks kordis.
Pada foto toraks ditemukan kardiomegali akibat pembesaran ventrikel kiri.
Gambaran vaskularisasi paru meningkat (pletora), kecuali bila telah terdapat penyakit
vaskuler paru di mana gambaran pruned tree yang disertai penonjolan arteri pulmonalis.
Selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

24
(Gambar Yang Menunjukkan Adanya Kardiomegali Pada Anak Penderita VSD)
Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan mungkin hipertrofi
atrium kiri dan bila kedua ventrikel dan deviasi sumbu QRS ke kanan maka perlu
dipikirkan adanya hipertensi pulmonal atau hipertensi infundibulum ventrikel kanan.
Selanjutnya dapat dilihat dari gambar di bawah ini.

(Gambar Di Atas Menunjukan Hasil EKG Pada Penderita VSD)

Penatalaksanaan
a. Pada VSD kecil tidak perlu dilakukan tindakan bedah, hal ini karena 15% penderita
mengalami penutupan secara spontan. Sedangkan jika pirau kiri ke kanan > 25%
Quotient Pressure (QP) memerlukan koreksi bedah, terutama untuk menghindari
terjadinya hipertensi pulmonal di kemudian hari.
Pengobatan medis untuk pencegahan endokarditis bakterial, dapat dilihat di tabel di
bawah ini.

25
= Dosis Di mana:
† = Dosis maksimum untuk anak tidak boleh melebihi dosis dewasa.
‡ = Termasuk resiko tinggi adalah katup prostesis, endokarditis rematik, profilaksis penisilin terus-
menerus untuk demam rematik, shunt atau saluran sistemik pulmonal yang dibuat secara bedah.
§ = Parentral tambahan (Ampisilin dan gentamisin) atau lebih sering dosis oral (amoksisilin), harus
diberikan 6-8 jam sesudah dosis inicial pada penderita resiko tinggi. Dosis gentamisin tidak boleh
melebihi 80 mg.

¶ tambahan dapat diulang 8 jam sesudah dosis minimal.


(Tabel Di Atas Merupakan Rekomendasi Untuk Pencegahan Endokarditis Bakterial)

26
b. Pada VSD besar dan sangat besar jika tanpa tindakan bedah harap hidup buruk dan
tindakan bedah sangat diharapkan. Bila ditemukan bayi usia kurang dari 1 tahun,
maka perlu dikontrol secara periodik setiap bulan sampai umur 1 tahun. Bila terdapat
gagal jantung (biasanya KER: MB-B) maka diperlukan obat-obat digitalis, diuretik
atau vasodilator dan setelah usia 1 tahun penderita harus dikontrol setiap 3 bulan
sekali.
Petunjuk K.E.R (Klinis, Elektrokardiografi dan Radiologi) dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Petunjuk K.E.R
K (Klinik) E (EKG) R (Rontgen)
- Dada menonjol = 2 - RVH = 8 - CTR < 60% = 4 dan
- Biru; menangis = 10 - LVH = 6 CTR > 60% = 6
dan menetap = 12 - RAD = 4 - Vaskuler < = 2 dan
- Berat Badan; p 10% = 8 - RAH = 2 vaskuler > = 4
dan p 25% = 4 - LAH = 2 - Segmen pulmonal < = 2
- Payah jantung = 8 - Gangguan dan segmen pulmonal >

27
(sesak napas/lekas konduksi/irama = 2 =4
capek = 4) - Atelektase = 2
(Pada Tabel RVH = Hipertrofi Ventrikel Kanan; LVH = Hipertrofi Ventrikel Kiri; RAD = Dilatasi
Atrium Kanan; RAH = Hipertrofi Atrium Kanan; LAH = Hipertrofi Atrium Kiri; CTR = Rasio
Jantung Toraks)

Penggolongan menurut petunjuk K.E.R


Golongan Nilai K.E.R Penamaan Golongan
Ia < 10 K = kecil
Ib 10-12 MK = moderat kecil
IIa > 20-35 MB = moderat besar
IIb > 35 B = besar

Sedangkan bila gagal jantung tidak dapat diatasi dan pertumbuhan terlihat
terhambat maka sebaiknya dilakukan tindakan paliatif bedah pulmonary artery banding
untuk mengurangi aliran darah yang berlebih ke paru atau langsung menutup VSD bila
berat badan mengijinkan. Penutupan defek dilakukan dengan bantuan mesin jantung-
paru. Operasi dilakukan pada umur yang lebih muda (di Amerika Serikat pada bayi
umur 4 bulan). Sesudah penutupan shunt dari kiri ke kanan jantung yang hiperdinamik
menjadi tenanng, ukuran jantung yang hipertrofi akan kembali normal, getaran dan
bising hilang dan hipertensi arteri pulmonal menurun. Selanjutnya dapat dililhat pada
gambar di bawah ini.

28
(Gambar A Menunjukan Foto Toraks Sebelum Melakukan Tindakan Pembedahan Dan Gambar B
Menunjukan Foto Toraks Setelah Sesudah Tiga Tahun Melakukan Tindakan Pembedahan )

Bila gagal jantung dapat teratasi dan anak tumbuh baik maka kateterisasi jantung
dan bedah penutupan VSD dilakukan setelah anak berumur 3-4 tahun (kemungkinan
nilai KER menetap atau menurun). Untuk nilai KER-MK hanya perlu observasi sebulan
sekali bila usia < 1 tahun dan tiap 6 bulan bila usia > 1 tahun. Mungkin KER bertambah,
terutama pada usia < 1 tahun setelah tahan paru menurun, sehingga perlu ditatalaksana
seperti KER MB-B di atas. Bila KER menetap maka kateterisasi jantung dapat ditunda
sampai usia 3-4 tahun dan bila KER menurun dapat ditunda sampai 7-8 tahun dan
pembedahan penutupan VSD hanya dilakukan bila QP/QS lebih dari 2.

3) Duktus arteriosus persisten (Patent Ductus Arteriosus/PDA )


Definisi
Duktus arteriosus persisten adalah suatu kondisi di mana tidak menutup duktus
arteriosus setelah bayi dilahirkan. Normalnya duktus arteriosus menutup secara
fungsional 10-15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum
pada usia 2-3 minggu. PDA merupakan salah satu anomali kardiovaskuler kongenital
yang paling sering akibat infeksi rubela ibu selama awal kehamilan. Selanjutnya gambar
PDA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Gambar Yang Menunjukan Perbedaan Antara Jantung Normal Dengan Duktus Arteriosus
Persisten)

29
Patofisiologi
Sebagai akibat tekanan aorta yang lebih tinggi, aliran darah melalui duktus
berjalan dari aorta ke arteria pulmonalis. Luasnya shunt tergantung pada ukuran duktus
dan pada rasio tahanan vaskuler pulmonal dan sistemik. Pada kasus yang ekstrem, 70%
dari curah ventrikel kiri dapat dialirkan melalui duktus ke sirkulasi pulmonal. Jika PDA
kecil, tekanan dalam arteria pulmonalis, ventrikel kanan, dan atrium kanan normal.
Namun, jiak PDA besar, tekanan arteria pulmonalis dapat naik ke tingkat sistemik
selama sistol dan diastol. Penderita ini sangat beresiko terjadi penyakit vaskuler
pulmonal jika dibiarkan tidak dioperasi. Ada tekanan nadi yang lebar karena kebocoran
darah ke dalam arteria pulmonalis selama sistol. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.

(Pada Gambar RA Berarti Atrium Kanan; LA Berarti Atrium Kiri; RV Berarti Ventrikel Kanan
Dan LV Berarti Ventrikel Kiri)

Gambaran klinis
Biasanya tanpa adanya gejala, selain itu adanya infeksi saluran residif serta cepat
lelah, gagal jantung pada masa bayi dan kemunduran pertumbuhan fisik serta ujung-
ujung jari hiperemik hanya terjadi bila shunt kiri ke kanan yang besar.
Pada palpasi, aktivitas ventrikel bertambah kiri bertambah pada apeks kordis,
teraba getaran bising di sela iga II kiri, fosa suprastrenalis, denyut nadi berupa pulsus
seler dan disebut water hammer pulse sehingga didapat tekanan nadi yang besar.
Pada auskultasi, bunyi jantung I sering normal dan diikuti systolic click, bunyi
jantung II selalu keras dan terkeras di sela iga II kiri, machinary murmur terkeras di sela
iga II kiri, bising pada fase sistol bersifat kresendo dengan puncak pada bunyi jantung II

30
sedangkan bising pada fase diastol bersifat dekresendo dan terdengar baik pada posisi
berbaring, dan dapat terdengar bising fungsional akibat besarnya curah sekuncup
jantung kiri. Pada penderita dengan shunt dari kiri ke kanan yang besar, bising mid-
diastolik mitral, nada rendah mungkin dapat terdengar, karena penambahan volume
aliran darah yang melewati katup mitral.
Pada foto toraks, tampak kardiomegali akibat pembesaran atrium dan ventrikel
kiri, aorta membesar dan arteri pulmonalis menonjol, corakan vaskularisasi paru
meningkat (pletora), dan bila telah terjadi hipertensi pulmonal yang disertai perubahan
vaskuler paru, maka corak tersebut di daerah tepi akan kurang (pruned tree). Dan
selanjutnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Kedua Gambar Di Atas Merupakan Foto Torak Pada Penderita PDA)

Pada EKG akan menunjukan adanya hipertrofi atrium dan ventrikel kiri dan bila
terjadi hipertensi pulmonal maka terlihat juga hipertrofi ventrikel kanan.
Pada ekokardiografi M-Mode terlihat adanya dilatasi atrium dan ventrikel kiri
serta gambaran ventrikel kiri yang hiperdinamik dan pada ekokardiogram dua dimensi
penampang sumbu panjang parasternal letak tinggi atau suprasternal dapat terlihat PDA
dab dapat ditentukan besar diameternya.

Penatalaksanaan
Penderita dengan PDA memerlukan penutupan dengan pembedahan, yang dapat
dilakuan dengan operasi pemotongan (lebih diutamakan) atau pengikatan (dapat terjadi
rekanalisasi). Pada duktus yang sangat pendek, pemotongan biasanya tidak mungkin

31
dilakukan karena beresiko. Operasi juga dilakukan pada penderita tanpa keluhan yang
mengarah ke hipertensi pulmonal yang irreversible (jika sudah terjadi hipertensi
pulmonal tidak dianjurkan operasi) atau endokarditis infekstif. Pada neonatus kurang
dari 10 hari, usaha penutupan dilakukan dengan pemberian Indometasin peroral dengan
dosis 0,2 mg/kg/BB/8 jam. Dan bila terdapat gagal jantung diberikan digitalis, diuretika
atau vasodilator bila diperlukan. Pada neonatus prematur diharapkan penutupan spontan
terjadi sehingga tidak diberikan obat, namun bila tetap terbuka dan gagal jantung tidak
teratasi maka harus segera dilakukan operasi. Bila gagal jantung teratasi dapat ditunda
sampai umur 14-16 minggu menunggu kesempatan penutupan spontan.

Penyakit Jantung Bawaan Sianotik


1) Tetralogi Fallot (Teralogy of Fallot/FT)
Definisi
Tetralogi fallot adalah penyakit jantung bawaan sianotik yang terdiri dari empat
kelainan, yaitu: defek septum ventrikel perimembranus, stenosis pulmonal infundibuler
(penyumbatan/obstruksi aliran keluar ventrikel kanan), overriding aorta (dekstroposisi
aorta dengan menumpangi septum), dan hipertrofi ventrikel kanan. Selanjutnya dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

(Gambar Di Atas Menunjukan Kelainan-Kelainan Pada Tetralogi Fallot)

Patofisiologi
Anulus katup pulmonalis mungkin berukuran hampir normal atau mungkin
sangat sempit. Katup sendiri seringkali bikuspid dan kadang-kadang merupakan satu-

32
satunya tempat stenosis. Lebih sering, ada hipertrofi muskulus subpulmonal, krista
supraventrikular, yang turut menyebabkan stenosis infundibuler. Bila saluran keluar
aliran ventrikel kanan tersumbat sempurna (atresia pulmonal), anatomi cabang arteria
pulmonalis sangat bervariasi, mungkin ada segmen batang arteria pulmonalis yang
berlanjut dengan aliran keluar ventrikel kanan, dipisahkan oleh katup pulmonal fibrosa
tetapi tidak berlubang, atau seluruh batang segmen arteria pulmonalis mungkin tidak
ada. Kadang-kadang, cabang arteria pulmonalis dapat terputus dan pada kasus yang
lebih berat, aliran darah pulmonal dapat dipasok oleh duktus arteriosus paten (PDA) dan
oleh arteria kolateral aortapulmonal besar (Major Aortapulmonary Collateral Arteries;
MAPCA) yang keluar dari aorta.
VSD biasanya nonrestriktif dan besar, terletak tepat di bawah katup aorta, dan
terkait pada kuspid aorta posterior dan kanan. VSD mungkin jarang berada pada bagian
dalam sekat ventrikel (varietas defek sekat atrioventrikuler). Keberlanjutan fibrosa
katup mitral dan aorta normal biasanya dipertahankan. Arkus aorta ada di sisi kanan
pada sekitar 20% kasus, akar aorta hampir selalu besar dan menumpang VSD sampai
beberapa tingkat. Bila aorta menumpang lebih dari 50% dan jika pemisah muskuler
yang berarti antara katup aorta dan anulus mitralis (konus subaorta), defek ini biasanya
digolongkan sebagai bentuk ventrikel kanan saluran keluar ganda, namun
patosifiologinya sama dengan tertralogi fallot.
Aliran balik vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan normal. Bila
ventrikel kanan berkontraksi pada adanya stenosis pulmonal yang mencolok, darah
melalui shunt VSD ke dalam aorta. Akibatnya, desaturasi arteria dan sianosis menetap.
Aliran darah pulmonal, bila sangat dibatasi oleh penyumbatan aliran keluar ventrikel
kanan, dapat ditambah dengan sirkulasi kolateral bronkial (MAPCA) dan terutama pada
masa dekat neonatus oleh PDA.
Tekanan sistolik dan diastolik puncak pada setiap ventrikel sama, dan pada
jajaran sistemik terjadi perbedaan tekanan besar di sebelah saluran aliran keluar
ventrikel kanan yang tersumbat, dan tekanan arteria pulmonalis biasanya lebih rendah
dari normal. Tingkat penyumbatan aliran keluar ventrikel kanan menentukan waktu
mulainya gejala, keparahan sianosis, dan tingkat hipertrofi ventrikel kanan. Bila
penyumbatan pada aliran keluar ventrikel kanan ringan sampai sedang dan ada
keseimbangan shunt di sebelah VSD, penderita mungkin tidak tampak sianosis

33
(tetralogi fallot asianoti atau ”merah”). Dan selanjutnya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

(Gambar Di Atas Menunjukan Perbedaan Antara Tetralogi Fallot Dengan Asinotik Dengan
Tertralogi Sianotik)

Gambaran klinis
Beratnya stenosis dan besarnya VSD menentukan gambaran klinis. Pada aliran
keluar ventrikel kanan ringan pada mulanya dapat datang gagal jantung kongestif yang
disebabkan shunt dari kiri ke kanan setinggi ventrikel. Keseringan sianosis tidak ada
saat lahir, tetapi dengan makin bertambahnya hipertrofi infudibulum ventrikel kanan
dan pertumbuhan bayi, sianosis terjadi kemudian pada umur 1 tahun pertama. Paling
mencolok adalah pada membrana mukosa bibir dan mulur, dan kuku jari dan tangan.
Gambaran tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

34
(Gambar Di Atas Menunjukan Anak Dengan Tetralogi Fallot Dengan Obstruksi Yang Ringan)

Sedangkan pada stenosis pulmonal sedang/berat (obstruksi ventrikel kanan


sedang/berat), maka dalam keadaan istirahat maupun stres terjadi pirau kanan ke kiri
dan sianosis terjadi setelah menangis, minum dan stres. Serangan anoksia merupakan
merupakan tanda bahaya pertama, dan setelah menangis keras maka terjadi sianosis
yang jelas, setelah itu pucat dan pingsan, hal ini mungkin disebabkan oleh karena saat
menangis maka mekanisme valsava ini menimbulkan pengurangan aliran darah ke paru
sehingga mengakibatkan serangan tersebut. Serangan hipersanotik paroksimal (serangan
hipoksik ”biru” dan ”tet”) terutama pada anak umur 2 tahun dapat menyebabkan
hiperpnea dan gelisah, sianosis bertambah, terjadi pernapasan terengah-engah (gasping)
dan dapat dilanjutkan dengan sinkop (sering terjadi pada pagi hari sewaktu anak saat
bangun pertama). Dan bila serangan menjadi berat akan membuat tidak sadar dan
kadang-kadang kejang atau hemiparesis. Anak dengan sianosis terus-menerus sekitar
umur 6 bulan, pertama-tama menunjukan jari-jari tabuh (dapat dilihat pada gambar di
bwah ini) dan anak dengan TF yang berat sering jongkok (squatting) hal ini untuk
melegakan dispnea.

(Gambar Di Atas Menunjukan Jari-Jari Tangan Yang Tabuh)

Pada anak dengan sianosis berat akan terjadi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, gigi-geligi sering dalam kondisi buruk karena perkembangan email gigi

35
yang buruk. Gingiva hipertrofik, lidah sering memperlihatkan gambaran peta darat, dan
kelainan ortopedi berupa skoliosis sangat menyolok.
Pada palpasi, impuls ventrikel kanan jelas dan sering teraba getaran bising
disepanjang tepi sternum kiri.
Pada auskultasi, bunyi jantung I keras, bunyi jantung II melemah pada sela iga II
kiri, keras dan split pada sela iga IV kiri. Terdengar bising sistolik ejeksi dengan
pungtum maksimum di sela iga III dan IV kiri dengan puncak segera setelah bunyi
jantung I (berbeda dengan PS valvular). Pada serangan anoksia bising menghilang,
sedangkan pada sirkulasi kolateral arteri bronkialis yang luas akan terdengar bising di
sebelah kiri sternum di samping kedua sisi kolumna vertebralis di punggung (bising
sistolik melemah berfrekuensi tinggi).
Pada pemeriksaan foto toraks, didapatkan gambaran pembuluh darah paru yang
berkurang (oligemia) dan konfigurasi jantung yang berupa sepatu boot atau sepatu kayu
(coeur en sabot). Yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(Pada Gambar Di Atas Ukuran Jantung Normal, Beberapa Elevasi Apeks Jantung, Terlihat
Pula Bentuk Jantung Seperti Sepatu Boot Dam Vaskularisasi Paru Berkurang)

Pada EKG, terlihat deviasi sumbu ke kanan dan bukti adanya hipertrofi ventrikel
kanan, kompleks QRSnya adalah Rs, R, qR, qRs, atau rsR‟ dan gelombang Y dapat
positif, gelombang P tinggi dan runcing atau kadang-kadang bifida.
Pada ekokardiografi, akan tampak defek septum ventrikel jenis perimembranus
dengan overriding aorta kurang lebih 50% dan penebalan infundibulum ventrikel kanan.

36
Pada kateterisasi jantung untuk menentukan derajat dan sifat PS, besarnya pirau
kanan ke kiri yang ditentukan dengan kadar saturasi oksigen vena dan arteri pada kurva
zat warna. Dengan angiografi untuk mengetahui kesan perbandingan anatomis dari
ukuran overriding aorta, sifat stenosis pulmonal, besarnya ventrikel kiri, maupun
kedudukan septum ventrikel.

Penatalaksanaan
Tindakan bedah merupakan keharusan, pada bayi dengan sianosis yang jelas
dilakukan operasi pintas atau langsung dilakukan pelebaran stenosis transventrikel.
Koreksi total dengan menutup VSD seluruhnya dan melebarkan PS (infundibulum
ventrikel kanan)pada waktu ini sudah mungkin dilakukan (optimalnya berumur 7-10
tahun). Syarat keberhasilan koreksi ini adalah ukuran arteri pulmonalis dan cabang-
cabangnya yang cukup besar (minimal 1/3 dari aorta desenden) dan tidak adanya arteri
koroner yang menyilang alur keluar ventrikel kanan dan ukuran ventrikel kiri harus
cukup besar agar mampu menampung darah sistemik. Dan sebaiknya koreksi ini
dilakukan pada usia kurang lebih 1 tahun dengan perkiraan berat badan sudah mencapai
sekurangnya 8 kg. Bila syarat-syarat untuk mencapai keberhasilan koreksi primer belum
terpenuhi, maka dilakukan tindakan paliatif yaitu membuat pirau antara arteri sistemik
dengan arteri pulmonalis, misalnya Blalock-Taussig (BT) Shunt, di mana membuat pirau
antara arteri subklavia dengan cabang arteri pulmonalis atau dibuat langsung dari aorta
desenden ke batang arteri pulmonalis yang dikenal dengan shunt sentral. Bila usia
belum mencapai 1 tahun atau berat < 8 kg, namun anak sering mengalami spel sianotik
atau terdapat desaturasi oksigen yang hebat (<70%) maka perlu dilakukan tindakan
paliatif dahulu. Dan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Sedangkan pada pengobatan anak anoksia ditolong dengan knee-chest position
(posisi lutut-dada), pemberian dosis kecil morfin (1/8 – 1/4 mg) disertai pemberian
oksigen. Dan diberikan pula obat beta blocker (propanolol) untuk mengurangi
kontraktilitas miokard. Dan pencegahan anoksia dilaksanakan dengan
mencegah/mengobati anemia defisiensi besi relatif dan asidosis metabolik harus diatasi
secara adekuat.

37
A B C
(Gambar A Menunjukan Tetralogi Fallot Yang Belum Dikoreksi; Gambar B Merupakan Tindakan
Paliatif Dengan Melakukan Blalock-Taussig Shunt; Dan Gambar C Merupakan Hasil Setelah
Dilakukan Tindakan Koreksi)

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita TF adalah trombosis otak pada
penderita bi bawah umur 2 tahun dan dapat menderita anemia defisiensi besi; abses otak
pada umur 2-3 tahun yang ditandai dengan demam, nyeri kepala, nauresa dan muntah;
endokarditis bakterial maupun gagal jantung kongestif yang sering pada umur 6-12
tahun.

38
SKENARIO 2
Ada Apa Dengan Dadaku...

Pak Pecto, 45 tahun, dibawa oleh teman sekantornya ke Instalasi Gawat Darurat
RSU Harapan kita karena dadanya terasa nyeri seperti tertekan. Sebelumnya Pak Pecto
memang telah beberapa kali merasakan nyeri dada, namun kali ini nyeri dada yang
dirasakanya terasa lebih berat, tidak berkurang dengan istirahat serta membuatnya terasa
susah bernafas dan berkeringat dingin.
Di IGD, dokter langsung melakukan penanganan gawat darurat dan disertai
dengan anamnesis. Dari hasil anamnesis, didapatkan bahwa nyeri dada yang
dirasakannya substernal, menjalar ke lengan kiri, telah berlangsung lebih dari 20 menit,
serta diketahui bahwa Pak Pecto adalah perokok aktif (menghabiskan rokok 2 bungkus
dalam sehari). Selanjutnya, dari pemeriksaan EKG dan pemeriksaan enzim jantung
didapatkan gambaran segmen ST elevasi di lead II,III, aFV disertai dengan peningkatan
enzim CKMB dan troponin T. Dokter langsung melakukan informed consent ke Pak
Pecto, untuk pemberian terapi reperfusi fibrinolisis atau tindakan operatif untuk
mengatasi penyakit yang diderita pak Pecto. Pak Pecto bingung dan hanya berkata “ada
apa dengan dadaku, dokter”???
Sebagai calon dokter, bagaimanakah anda menjelaskan kondisi yang diderita
Pak Pecto???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan epidemiologi Penyakit Jantung Iskemik (IHD)
2. Menjelaskan etiologi dan faktor risiko (termasuk faktor genetik), kelainan vaskular
(aterosklerosis) yang mendasari IHD
3. Menjelaskan klasifikasi IHD
4. Menjelaskan patogenesis/patofisiologi IHD
5. Menjelaskan manifestasi klinis IHD
6. Memilih dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang IHD
7. Menjelaskan penatalaksanaan IHD

39
8. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif IHD, termasuk rujukan dan persiapan
rujukan pasien dengan IHD
9. Menjelaskan komplikasi dan prognosis IHD

40
Dasar Teori

Penyakit Jantung Iskemik

Pendahuluan
Iskemik (hipoksemia) adalah defisiensi darah pada suatu bagian, akibat
konstriksi fungsional atau obstruksi aktual pembuluh darah. Sedangkan iskemia
miokardium adalah suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan jantung. Pada iskemia, manifestasi hemodimika yang sering
terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul
nyeri. Ini merupakan respons kompensasi simpatis terhadap miokardium. Dengan
timbulnya nyeri, sering terjadi peransangan lebih lanjut oleh ketokolamin. Penurunan
tekanan darah merupakan tanda bahwa mikardium yang terserang iskemia cukup luas
atau merupakan respons vagus.
Konsekuensi pada iskemia (hipoksemia) adalah gangguan pemindahan natrium
dan kalium melalui pompa natrium dan kalium yang dapat mengakibatkan penimbunan
natrium, sehingga terjadi penurunan potensial listrik yang melintasi membran dan
penimbunan air akibat tekanan osmotik dan akhirnya dapat menyebabkan sel
membengkak sehingga terjadi dilatasi endoplasma, penurunan fungsi mitokondria, dan
peningkatan permeabilitas membrane intrasel. Ataupun dapat mengakibatkan
pembentukan asam laktat yang terjadi selama glikolisis anaerob, kemudian terjadi
penurunan pH dan sel dan darah menurun. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
struktur-struktur inti, membran sel dan mikrofilamen. Efek iskemik bersifat reversible
apabila oksigen dipulihkan dalam periode waktu tertentu, yang jumlahnya bervariasi
dan bergantung pada jenis jaringan.
Penyebab umum iskemik jantung ialah aterosklerosis pembuluh darah
epikardial, sehingga terbatasnya aliran darah pada pembuluh koroner yang dapat
dikarenakan spasme, trombo arteri, dan emboli koroner (jarang terjadi). Durasi jika
suplai oksigen kurang pada miokardium yang reversible sekitar 0-20 menit untuk total
oklusi arteri dan dapat menjadi permanent jika > 20 menit yang dapat menyebabkan
nekrosis miokardium. Iskemia juga dapat dideteksi pada EKG seperti abnormalitas
repolarisasi, contoh inversi gelombang T, dan lebih buruk jika berpindahnya segmen ST
depresi sementara segmen ST menunjukan iskemik subendokardium.

41
Sindrom Koroner Akut

Penyakit jantung koroner/ sindrom koroner akut (SKA) terutama disebabkan


oleh kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner karena aterosklerosis
yang merupakan proses degeneratif, di samping banyak faktor lain. Aterosklerosis
adalah suatu keadaan arteri besar dan kecil yang ditandai oleh endapan lemak,
trombosit, makrofag dan leukosit di seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke
tunika media. Perubahan gejala klinik yang tiba-tiba dan tak terduga agaknya berkaitan
dengan ruptur plak, meskipun ruptur tidak selalu diikuti gejala klinik. Seringkali ruptur
segera pulih; agaknya dengan cara inilah proses plak berlangsung.
Manifetasi PJK/SKA disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokardium dengan masukannya. Hal ini dapat dikarenakan hipokse ia (iskemia) yang
ditimbulkan oleh kelainan vaskular maupun hipoksia (anoksia) yang disebabkan
kekurang oksigen dalam darah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aliran koroner
yaitu: adanya katup aorta yang menyebabkan aliran yang keluar bersifat turbulen
sehingga menghambat aliran koroner; karena tidak semua aretri koroner berada di
permukaan dan sebagian di miokard, maka sewaktu tekanan sistol intermiokard
meningkat akan menghambat aliran darah koroner; besar kecilnya liang pada arteri
koroner; sistem otoregulasi baik itu pengaruh saraf, hormon, atau reseptor; tekenan
perfusi yang dipengaruhi oleh tekanan cairan rongga jantung, khususnya tekanan
ventrikel kiri (normal 70-130 mmHg) yang bila di bawah 60 mmHg akan menghambat
arteri koroner.
Sistem kolateral pada arteri koroner yang merupakan upaya kompensasi, yang
biasanya diransang sewaktu stenosis krisis maupun latihan fisik yang teratur yang
menyebabkan peningkatan kebutuhan miokard. Kolateral adalah lintasan vaskularisasi
antara pembuluh arteri besar dengan cabang-cabangnya. Pembuluh prekolateral terdapat
pada jantung terutama septum, apeks, crux kordis, dinding atrium, dan paling banyak
pada subendokard. Ada dua jenis kolateral, yaitu kolateral intrakoroner (anastomosis
antara proksimal dan cabang distal pembuluh yang sama) dan kolateral interkoroner
(anastomosis pembuluh koroner yang lain ke pembuluh koroner yang stenosis).
Penyakit jantung akibat insufisiensi aliran darah koroner dapat dibagi menjadi 3
jenis yang hampir serupa:

42
1) Penyakit jantung arteriosklerotik
2) Angina pektoris
3) Infark miokardium

Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah sistemik pada hipertensi menimbulkan peningkatan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban kerja jantung
bertambah, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi. Kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertrofi kompensasi dapat terlampaui; kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas
suplai pembuluh koroner menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang
bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan
jaringan, dan menekan fungsi miokardium. Berkurangnya kadar oksigen memaksa
miokardium mengubah metabolisme yang bersifat aerobik menjadi metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik lewat lintasan glikolitik jauh lebih tidak efisien
apabila dibandingkan dengan metabolisme aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan
siklus Krebs.
Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir
metabolisme anaerob, yaitu asam laktat, akan tertimbun sehingga menurunkan pH sel.
Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia, serta asidosis dengan cepat
mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah miokardium yang
terserang berkurang; serabut-serabutnya memendek, dan daya serta kecepatannya
berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia menjadi
abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali ventrikel berkontraksi.
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung mengubah hemodinamika.
Perubahan hemodinamika bervariasi sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia,
dan derajat respon refleks kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi
ventrikel kiri dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya curah sekuncup
(jumlah darah yang dikeluarkan setiap kali jantung berdenyut). Berkurangnya
pengosongan ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya,
tekanan jantung kiri akan meningkat; tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
baji dalam kapiler paru-paru akan meningkat. Peningkatan tekanan diperbesar oleh

43
perubahan daya kembang dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur
semakin memperberat peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu. Pada
iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan
tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Jelas bahwa, pola ini
merupakan respon kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium.
Dengan timbulnya nyeri sering terjadi perangsangan lebih lanjut oleh katekolamin.
Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia
cukup luas atau merupakan suatu respon vagus. Iskemia miokardium secara khas
disertai oleh dua perubahan elektrokardiogram akibat perubahan elektrofisiologi selular,
yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Elevasi segmen ST dikaitkan
dengan sejenis angina yang dikenal dengan nama angina Prinzmetal. Serangan iskemik
biasanya mereda dalam beberapa menit apabila ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik
dan elektrokardiografik yang terjadi semuanya bersifat reversibel. Penyebab infark
miokardium adalah terlepasnya plak arteriosklerosis dari salah satu arteri koroner dan
kemudian tersangkut di bagian hilir sehingga menyumbat aliran darah ke seluruh
miokardium yang diperdarahi oleh pembuluh tersebut. Infark miokardium juga dapat
terjadi jika lesi trombotik yang melekat di arteri menjadi cukup besar untuk menyumbat
total aliran ke bagian hilir, atau jika suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat
sehingga kebutuhan oksigen tidak dapat terpenuhi.
Aterosklerosis
Aterosklerosis atau pengerasan arteri meliputi setiap keadaan pada pembuluh
ateri yang mengakibatkan penebalan atau pengerasan dindingnya. Arteriosclerosis
menyatakan penebalan arteriole dan sering digunakan istilah aterosklerosis. Istilah
aterosklerosis (Yunani) berarti penebalan tunika intima arteri (sclerosis, penebalan) dan
penimbunan lipid (athere, pasta) yang mencirikan lesi yang khas. Aterosklerosis
menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga
secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah yang selanjutnya akan
menyebabkan resistensi aliran darah yang meningkat dan membahayakan aliran darah
miokardium. Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen
menjadi tidak stabil sehingga membahayakan mikardium yang terletak di sebelah distal
dari daerah lesi.

44
Lesi dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Endapan lemak; yang merupakan tanda awal aterosklerosis yang dicirikan dengan
penimbunan makrofag dan sel-sel otot terisi lemak pada fokal tunika intima
(lapiasan dalam arteri). Dan biasanya dijumpai pada aorta pada usia 10 tahun dan
dalam arteri koronaria pada usia 15 tahun.
2. Plak fibrosa (plak ateromatosa); merupakan daerah penebalan tunika intima yang
meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling khas aterosklerosis lanjut
dan biasanya timbul hingga usia dekade ketiga. Plak fibrosa terdiri dari inti pusat
lipid dan debris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan finromuskular mengandung
banyak sel-sel otot dan kolagen.
3. Lesi lanjutan (kompita); terjadi bila suatu plak fibrosa rentan mengalami gangguan
akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis, atau ulserasi dan dapat
menyebabkan infark mikard.
Penyempitan lumen berlangsung progeresif dan kemampuan bersepons juga
berkurang, manifestasi klinis penyakit belum tampak sampai proses aterogenik
mencapai tingkat lanjut. Fase praklinis dapat berlangsung 20-40 tahun. Dan lesi
bermakna secara klinis yang mengakibatkan iskemia dan disfungsi miokard biasanya
menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah. Dan langkah terakhir yang
menimbulkan gangguan klinis adalah:
- Penyempitan lumen progresif akibat pembesaran plak.
- Perdarahan pada plak ateroma.
- Pembentukan thrombus yang diawali agregasi trombosit.
- Embolisasi thrombus atau fragmen palk.
- Spasme arteri koronaria.

45
Ada beberapa hipotesis mengenai apa yang pertama kali menyebabkan
kerusakan sel endotel dan mencetuskan rangkaian proses arteriosklerotik/atrosklerosis,
yaitu :
- Kolesterol Serum yang Tinggi
Hipotesis pertama mengisyaratkan bahwa kadar kolesterol serum dan trigliserida yang
tinggi dapat menyebabkan pembentukan arteriosklerosis. Pada pengidap
arteriosklerosis, pengedapan lemak ditemukan di seluruh kedalaman tunika intima,
meluas ke tunika media. Kolesterol dan trigliserid di dalam darah terbungkus di dalam
protein pengangkut lemak yang disebut lipoprotein. Lipoprotein berdensitas tinggi
(high-density lipoprotein, HDL ) membawa lemak ke luar sel untuk diuraikan, dan
diketahui bersifat protektif melawan arteriosklerosis. Namun, lipoprotein berdensitas
rendah (low density lipoprotein,LDL) dan lipoprotein berdensitas sangat rendah (very-
low-density lipo-protein,VLDL) membawa lemak ke sel tubuh, termasuk sel endotel
arteri, oksidasi kolesterol dan trigliserid menyebabkan pembentukan radikal bebas yang
diketahui merusak sel-sel endotel.
- Tekanan Darah Tinggi
Hipotesis kedua mengenai terbentuknya arteriosklerosis di dasarkan pada kenyataan
bahwa tekanan darah yang tinggi secara kronis menimbulkan gaya regang atau potong
yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang terutama timbul di
tempat-tempat arteri bercabang atau membelok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan
arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan berulang
sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta
pembentukan bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga
menjadi embolus di bagian hilir.
- Infeksi Virus
Hipotesis ketiga mengisyaratkan bahwa sebagian sel endotel mungkin terinfeksi suatu
virus. Infeksi mencetuskan siklus peradangan; leukosit dan trombosit datang ke daerah
tersebut dan terbentuklah bekuan dan jaringan parut. Virus spesifik yang diduga
berperan dalam teori ini adalah sitomegalovirus, anggota dari famili virus herpes.
- Kadar Besi Darah yang Tinggi
Hipotesis keempat mengenai arterosklerosis arteri koroner adalah bahwa kadar besi
serum yang tinggi dapat merusak arteri koroner atau memperparah kerusakan yang di

46
sebabkan oleh hal lain. Teori ini diajukan oleh sebagian orang untuk menjelaskan
perbedaan yang mencolok dalam insidens penyakit arteri koroner antara pria dan wanita
pramenopause. Pria biasanya mempunyai kadar besi yang jauh lebih tinggi daripada
wanita haid.

Patogenesis aterosklerosis
Terjadi cedera dan difungsi sel-sel endotel yang melapisi lumen arteri, yang
mengakibatkan integritas sel endotel terganggu dan permeabilitas sel endotel terhadap
berbagai bahan di dalam plasma meningkat sehingga bahan-bahan tersebut memiliki
akses kedalam arteri. Cedera mencetuskan reaksi peradangan dan imun, sehingga terjadi
pelepasan peptida-peptida vasoaktif dan penimbunan makrofag dan trombosit di laur
dan di dalam arteri. Banyak produk peradangan yang meransang proliferasi sel otot
polos sehingga sel-sel otot polos tumbuh ke dalam tunika intima. Kolestrol dan lemak
plasma mendapat akses ke tunika intima karena permealbilitas lapisan endotel
meningkat. Dan apabila berlanjut, maka agresi trombosit meningkat dan mulai terbentuk
bekuan darah (trombus). Sebagian dinding diganti oleh jaringan parut sehingga struktur
dinding berubah. Hasil akhirnya adalah penimbunan koletrol dan lemak, pembentukan
jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot
polos, yang keseluruhan menyebabkan berkurangnya garis tengah arteri dan
peningkatan kekakuan bahkan tertutup keseluruhan.

47
Komplikasi Atrosklerosis
- Karena resistensi aliran darah meningkat maka ventrikel akan memompa secara
lebih kuat sehingga dapat timbul hipertensi.

48
- Trombus dapat terlepas dari plak atroskelerosis yang dapat menimbulkan
obstruksi aliran darah di sebelah hilir, menimbulkan stroke apabila tersumbat di
pembuluh darah otak yang tersumbat atau infark miokard apabila pembuluh
darah jantung yang terkena.
- Pembentukan suatu aneurisma, pelemahan arteri dapat terjadi dan
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah jika terletak pada pembuluh serebrum
akan terjadi stroke.
- Dapat timbul vasospasme, dapat terjadi spasme arteri koroner atau spasme arteri
serebrum yang dikenal sebagai serangan iskemik transien (transent ischemic
attacks). Ini dapat menyebabkan impotensi pada pria, yang mengandalkan
vasodilatasi arteri-arteri penis dan diikuti oleh vasokontriksi.

Gejala klinis
- Sesak napas mulai dengan napas yang terasa pendek sewaktu melakukan aktivitas
yang cukup berat, yang biasanya tak menimbulkan keluhan. Makin lama sesak
makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan.
- Klaudikasio intermiten, suatu perasaan nyeri dan keram di ekstremitas bawah,
terjadi selama atau setelah olah raga, yang disebabkan buruknya aliran darah yang
memperfarahi tungkai akibat aterosklerosis.
- Peka terhadap rasa dingin karena aliran darah ke ekterimitas tidak adekuat.
- Perubahan warna kulit karena berkurangnya aliran darah ke suatu daerah.
- Terjadi penurunan denyut arteri di sebelah hilir dan apabila berkelanjutan aliran
darah yang tidak adekuat akan mengakibatkan nekrosis sel dan gangrene.

Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium: Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang berusia 30 tahun
atau kurang, atau di atas 200 mg/dl untuk mereka yang berusia lebih dari 30 tahun,
dianggap beresiko khusus mengidap penyakit arteri koroner.
2) Radiografik arteri: untuk menvisualisasi ateroskelerosis dengan mengikuti aliran zat
warna yang dimasukan lewat infuse.

49
Penatalaksanaan
Dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Umum
- Penjelasan mengenai penyakitnya; pasien biasanya tertekan, khawatir terutama
untuk melakukan aktivitas.
- Pasien harus menyesuaikan aktivitas fisik dan psikis dengan keadaan sekarang.
- Pengendalian faktor risiko (modifikasi diet, menghentikan kebiasaan merokok,
melakukan donor darah).
- Pencegahan sekunder, karena umumnya sudah terjadi arteriosklerosis di
pembuluh darah lain, yang akan berlangsung terus, obat pencegahan diberikan
untuk menghambat proses yang ada. Yang sering dipakai adalah aspirin
dengan dosis 375 mg, 160 mg, 80mg maupun pemberian obat penurun
kolestrol.
- Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia akut, agar tak
terjadi iskemia yang lebih berat sampai infark miokardium. Misalnya diberi
Oksigen.
- Pemberian antivirus yang mungkin memberikan perlindungan terhadap cidera
endotel.
2. Mengatasi iskemia yang terdiri dari:
a. Medikamentosa
- Nitrat, dapat diberikan parenteral, sublingual, buccal, oral, transdermal.
- Berbagai jenis penyekat beta untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Ada
yang bekerja cepat seperti pindolol dan propanolol. Ada yang bekerja lambat
seperti sotalol dan nadolol. Ada beta 1 selektif seperti asebutolol, metoprolol
dan atenolol.
- Antagonis kalsium
b. Revaskularisasi
- Pemakaian trombolitik
- Prosedur invasif non operatif, yaitu melebarkan arteri coronaria dengan
balon.
- Operasi.

50
Angina Pectoris

Angina pectoris adalah suatu sindrom klinis berupa serangan sakit dada yang
khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat pada di dada karena iskemia miokardium
yang sering kali menjalar ke lengan kiri. Hal ini bisa timbul disaat pasien melakukan
aktivitas dan segera hilang saat aktivitas dihentikan. Nyeri dada ada yang mempunyai
ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak meragukan lagi untuk
diagnosis, disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal; sedangkan yang meragukan tidak
mempunyai ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati disebut
angina atipik. Nyeri dada lainya yang sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri
non-kardiak.
Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka sebaiknya
anamnesis dilengkapi dengan mencoba menemukan adanya faktor risiko baik pada
pasien atau keluarganya seperti kebiasaan makanan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok,
penyakit vaskular lain seperti strok dan penyakit vaskular perifer, obesitas, kurangnya
latihan dan lain-lain. Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus
menerus sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik. Walaupun
sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan
yang disebut silent iskhemia, sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi
asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes.
Terdapat tiga jenis angina, yaitu:
- Angina stabil
Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koroner yang arterosklerotik tidak
dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen
meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai aktivitas misalnya berolah
raga atau naik tangga.
- Angina prinzmetal
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada kenyataannya sering
timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina prinzmetal terjadi spasme
arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang
tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.
- Angina tak stabil

51
Adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal; dijumpai pada individu
dengan perburukan penyakit arteri koroner. Angina ini biasanya menyertai
peningkatan beban kerja jantung; hal ini tampaknya terjadi akibat arterosklerosis
koroner, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme.

Patofisiologi
Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel
miokardium dibandingkan kebutuhan. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka
kebutuhan oksigen juga meningkat; pada jantung yang sehat, arteria koroner berdilatasi
dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung; namun jika arteria
koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak dapat
berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik
miokardium; sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk
memenuhi kebutuhan energi mereka. Cara ini tidak efisien dan menyebabkan
terbentuknya asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menimbulkan
nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung
berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses
fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam
laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina pektoris mereda.
Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.

Manifestasi Klinis
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas
sebagai berikut:
- Letak/Lokasi: Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di bawah
sternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke lengan
kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan dan jari-jari
bagian ulnar. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah
epigastrium, leher, rahang, gigi, bahu kiri.
- Kualitas: Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, rasa
desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah diafragma atau seperti diremas dan
biasanya disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasaan takut mati, atau

52
terasa panas, rasa ditusuk-tusuk/diiris sembilu dan bukan pula mulas, kadang-
kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena pasien tidak dapat
menjelaskan dengan baik, lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang. Nyeri juga
diprestipasi oleh stes fisik ataupun emosional.
- Kuantitas: Nyeri pertama sekali timbul biasanya agak nyata, beberapa menit (1-5
menit) sampai kurang dari 20 menit. Dan bila lebih berat 20 menit dan berat maka
harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (Unstable Angina Pectoris=UAP)
sehingga dimasukan ke dalam sindrom koroner akut.
- Hubungan dengan aktivitas: Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada
saat melakukan aktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang
berjalan mendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti
mandi atau menggosok gigi, makan terlalu kenyang, emosi, sudah dapat
menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada tersebut segera hilang bila pasien
menghentikan aktivitasnya. Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau
pada waktu tidur malam. Dan tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau
gerakan dada kiri dan ke kanan.

Diagnosis
- Pemerikasaan Fisis
Umumnya normal pada kebanyakan pasien dan sewaktu nyeri dada dapat
menemukan aritmia, gallop bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah di
bagian basal paru, yang menghilang sewaktu nyeri berhenti. Pada aterosklerosis
ditemukan sclerosis a. carotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum paedis/tibialis
posterior tidak teraba, adanya hipertensi, LVH, zatoma, kelaian fundus mata.
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pektoris.
Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering
dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan
meningkat kadarnya pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya
masih normal. Enzim lain seperti CK/CKMB, CRP/hs CRP, Troponin. Pemeriksaan
lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah

53
perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes
melitus.
- Pemeriksaan penunjang
Pedoman yang disusun oleh AHA (America Heart Association) telah cukup lengkap
untuk melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang efektif dan efisien pasien
PJK. Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai penyebab
nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan antara lain :
a) EKG Waktu istirahat
Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non kardiac.
Bila angina tidak tipikal, maka EKG ini hanya positif pada 50% pasien.
Kelainan EKG 12 leads yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan
iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan lain ke arah faktor risiko
seperti LVH dan adanya Q patologis sangat berarti untuk diagnostik. Gambaran
EKG lainnya tidak khas seperti aritmia, BBB atau trifaskular blok, dan
sebagainya. EKG isirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah
kemungkinan ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskemia 50% lagi,
walaupun EKG istirahat masih normal. Depresi ST-T 1 mm atau lebih
merupakan pertanda iskemia yang spesifik, sedangkan perubahan-perubahan
lainnya seperti takikardia, BBB, blok fasikular dan lain-lain, apalagi yang
kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia.
b) Foto Toraks
Pemeriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsfikasi koroner ataupun katup
jantung, tanda-tanda lain, misalnya pasien juga menderita heart failure (gagal
jantung), penyakit jantung katup, perikardritis, dan anurisma dissekan, serta
pasien-pasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paru-paru.
c) EKG Waktu aktivitas
Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang sangat dicurgai, termasuk
kelainan EKG seperti BBB dan depresi ST ringan. Begitu pula pada pasien-
paien dengan angina vasospastik : sedangkan pasien-pasien kemungkinan
iskemia nya rendah, LVH, minum obat digoksin, dengan depresi ST kurang dari
1 mm boleh saja dikerjakan, meskipun tak teralu perlu. Kontra indikasinya
misalnya IMA kurang dari 2 hari, aritmia berat dengan hemodinamik terganggu,

54
gagal jantung manifes, emboli paru dan infark paru, perikardritis dan miokarditis
akut, diseksi aorta. Kontraindikasi relatif misalnya stenosis LM, stenosis aorta
sedang atau obstruksi outflowf lainnya, elektrolit abnormal, hipertensi dan lain-
lain.
d) Ekokardiograf; Stress Imaging, dengan Ekokardiogarfi atau Radionuklir atau
Angiografi Koroner.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan
jantung (infark). Sedangkan yang lainya adalah mengontrol serangan angina sehingga
memperbaiki kualitas hidup.
Pengobatan terdiri dari farmakologis dan nonfarmakologis seperti penurunan
berat badan, reperfusi dengan cara intervensi arau bedah pintas (CABG).
- Farmakologis
a. Antiplatelet/platelet inhibitor (contohnya aspirin)
Aspirin terikat pada platelet dan mencegahnya membentuk gumpalan dalam
dinding pembuluh darah, jadi aspirin mengurangi resiko kematian karena
penyakit arteri koroner. Penderita yang alergi terhadap aspirin (1 dd 75-100 mg)
dan dapat berefek samping merusak mukosa lambung, bisa menggunakan
triklopidin (oral 2 dd 250 mg) dan dapat berefek samping gangguan saluran
pencernaan, ruam kulit, pusing dan hepatitis dan jarang mengakibatkan
agranulocytose ataupun anemia aplastis.
b. Nitrat (contohnya nitroglycerin).
Nitrat menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh darah, terdapat dalam
bentuk short-acting dan long-acting. Sebuah tablet nitroglycerin yang diletakkan
di bawah lidah (sublingual) biasanya akan menghilangkan gejala angina dalam
waktu 1-3 menit, dan efeknya berlangsung selama 30 menit. Dosis nitrat sebesar
0,4-1 mg dalam sedian tablet, spary, atau kapsul dan bila efek tercapai harus
dikeluarkan dari mulut. Adapun dalam bentuk plester „controled releasa‟
(Nitroderm TTS): 1 dd 5-10 mg. Efek samping berupa nyeri kepala, refleks
takikardi, hipotensi ortostatis, pusing, nausea, flushing disusul dengan muka
pucat, iritasi dengan rasa terbakar dan gatal-gatal (plester).

55
c. Beta-blocker
Obat ini mempengaruhi efek hormon epinephrine dan norepinephrine pada
jantung dan organ lainnya. Beta blocker mengurangi denyut jantung pada saat
istirahat. Selama melakukan aktivitas, beta-blocker membatasi peningkatan
denyut jantung sehingga mengurangi kebutuhan akan oksigen. Dapat diberikan
bisoprolol 1 dd 5 mg, pindolol 3 dd 15-45 mg, atenolol 1 dd 50-100 mg,
metoprolol 3-4dd 150-400 mg, alprenolol 3-4 dd 150-400 mg, oksprenolol 3-4
dd 120-480 mg. Biasanya berefek samping bradikardi, blok AV, gagal jantung,
bronkospasme, mual, muntah, diare, mimpi buruk, insomia, halusinasi, pusing,
depresi, dll.

d. A
n

56
tagonis kalsium
Obat ini mencegah pengkerutan pembuluh darah dan bisa mengatasi kejang
arteri koroner. Beberapa antagonis kalsium (misalnya verapamil dan diltiazem)
bisa memperlambat denyut jantung dengan menurunkan tekanan darah akibat
vasodilatasi perifer. Obat ini juga bisa digabungkan bersama beta-blocker untuk
mencegah terjadinya episode takikardi (denyut jantung yang sangat cepat).
Dosis nifedipin (adalat,oros): 30 mg tablet retard berangsur dinaikkan 1 dd 120
mg, verapamil (isoptin): oral 3-4 dd 80 mg untuk pemeliharaan 4 dd 80-120 mg,
diltiazem (diltikor, tildiem): oral 3-4 dd 60 mg dan maksimum 3 dd 120 mg.
Efek sampingnya nyeri kepala, hipotensi, refleks takikardi dan palpitasi, mual,
muntah, konstipasi, maupun disfungsi jantung.
e. Biasanya juga diberikan ACEI, maupun pemberian obat penurun lipid.

57
- Nonfarmakologis
Melakukan perubahan life style seperti: berhenti merokok, penurunan BB,
penyesuain diet, olahraga teratur, dll.
- Repurfusi mikardium
Repurfusi miokardium dapat dilakukan dengan cara intervensi koroner dengan
balon (Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty/PTCA) atau pemakaian
stent sampai operasi CABG (Coronary Artery Bypass Grafting)

Angina pektoris tak stabil (unstable angina)

Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu :


 Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat
dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
 Pasien dengan angina yang semakin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor
presipitasi makin ringan.
 Pasien dengan serangan angina pada saat istirahat.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan klasifikasi agar terdapat
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan pada beratnya serangan angina dan keadaan
klinis.
Beratnya angina :
 Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau bertambah berat nyeri dada.
 Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak
ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhr.
 Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan Klinis :
 Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.
 Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak.
 Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark akut.

58
Patogenesis
- Ruptur plak
Ruptur (robek) plak arterosklerotik diangap sebagai penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari
pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau
kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan
kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak
lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri
dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal
atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding
plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag
dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur
menyebabkan aktivasi, adhesi dan agresi platelet dan menyebabkan aktivasi
terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%,
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina pektoris tak stabil.
- Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina pektoris tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan
karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell)
yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak
stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berintraksi dengan faktor
VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilka reaksi trombin dan
fibrin. Sebagai rekasi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memacu agregasi yang lebih luas,
vasokontriksi dan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam
perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
tombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
- Vasospasme

59
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme (kejang). Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga
dapat menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan
trombus.
- Erosi pada Plak Tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk lesi karena bertambahnya sel otot dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

Gambaran klinis angina tak stabil


Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih lama dan
lebih berat, mungkin timbul pada saat istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual sampai muntah kadang-
kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang
khas.

Pemeriksaan penunjang
- ElektrokArdiografi (EKG)
Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemunginan adanya iskemia
akut. Gelombang T negatif juga salah satu anda iskemia atau NSTEMI (Non ST
Elevation myocard infarction). Perubahan gelombang ST dan T yang non-spesifik
seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari
2 mm, tidak spesifik untuk iskmia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angka
tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1 - 6% EKG juga
normal.
- Exercise Test
Pasien yang telah stabil perlu dilakukan pemeriksaan esercise test denga alat
treadmill, jika hasilnya negatif maka prognosis baik. Namun, bila positif dengan

60
depresi segment ST yang dalam perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan ataupun
dilakukan revaskularisasi.
- Ekokardiografi
Bila ada gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral insufisiensi dan abnormalitas
gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis yang kurang baik.
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I (bila positif dalam 24 jam menandakan adanya
mionekrosis) dan pemeriksaan CK-MB, CRP (amaloid A, IL-6) bila ada
peningkatan.

Penatalaksanaan
- Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan dirumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest) diberi penenang dan oksigen, pemberian morfin dan
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin.
- Terapi Medikamentosa
a. Obat Antiiskemia; Nitrat (nitrogliserin, isosorbid dinitrat yang diberikan secara
intravena dengan dosis 1-4 mg/jam dan bila lekuhan terkensali diberikan yang
oral); Penyekat beta (propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol, dan pindolol);
antagonis kalsium (golongan dihirdopiridin seperti nifedipin dan golongan non
dihirdopiridin seperti diltiazem dan verapamil).
b. Obat Antiagresi Tombosit; Aspirin (dosis awal 160 mg/hari dan selanjutnya 80-
325 mg/hari); tiklopidin; klopodogrel (dosis 300 mg/hari dan selanjutnya 75
mg/hari); glikoprotein IIb/IIIa Inhibitor.
c. Obat Antitrombin; Heparin; Low Molecular Weight Heparin (LMWH); hirudin
dan bivarudin.
- Tindakan Revaskularisasi Pembuluh Koroner
Tindakan revaskularisasi pembuluh perlu dipertimbangkan pada pasien denga
iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan
penyempita di-left main atau penyempitan pada tiga pembuluh darah, bila disertai
faal ventikel kiri yang kurang tindakan opersi bypass (CABG) dapat memperbaiki

61
harapan hidup, kualitas hidup dan mengurani masuknya kembali ke rumah sakit.
Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk dari pada bedah
elektif. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada
satu pembuluh darah atau 2 pembuluh darah atau bila ada kontraindiksi tindakan
pembedahan PCI merupakan pilihan utama. Pada angina tak stabil perlu tidaknya
tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi resiko pasien : pada
resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segment ST, kadar
troponin yang meningkat, faal ventrikel kiri yang buruk, adanya gangguan irama
jantung yang maligna seperti takikardia ventrikel, perlu tindakan invasif dini.

Infark Miokardium Akut (IMA)

Infark Miokardium Akut (IMA) adalah nekrosis mokardium akibat aliran darah
ke otot jantung terganggu. Umumnya IMA didasari oleh adanya aterosklerosis
pembuluh darah koroner. Nekrosis miokard akut hampir selalu terjadi akibat
penyumbatan total arteri koronaria oleh trombus yang berbentuk pada plak
aterosklerosis yang tidak stabil, juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri koroner
dengan stenosis ringan (50-60%). Sel-sel miokard mulai mati setelah sekitar 20 menit
mengalami kekurangan oksigen.

Etiologi
Terlepasnya suatu plak ateroslerosis dari salah satu arteri koroner, dan kemudian
tersangkut di bagian hilir yang menyumbat aliran darah; Akibat lesi trombotik yang
melekat ke suatu arteri yang rusak dan menjadi cukup besar untuk menyumbat total
aliran ke bagian hilir; Karena suatu ruang jantung mengalami hipertrofi berat sehingga
kebutuhan oksigen tidak terpenuhi; Ataupun akibat spasme arteri koroner.

Patofisiologi
IMA terjadi setelah sel-sel miokard mati setelah mengalami kekurangan oksigen.
Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerob lenyap, dan
sel tidak dapat memenuhi kebutuhan energinya. Tanpa ATP, pompa natrium-kalium

62
terhenti dan sel terisi ion natrium dan air yang akhirnya lisis. Dengan lisis, sel
melepaskan simpanan kalium intrasel dan enzim-enzim intrasel, yang menciderai sel-sel
sekitar. Protein-protein intrasel mulai mendapat akses ke sirkulasi dan ikut
menyebabkan kematian sel, tercetus reaksi peradangan. Di tempat peradangan, terjadi
penimbunan trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan. Terjadi degranulasi sel
mas yang menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai prostaglandin. Sebagian
bersifat vasokontriksif dan sebagaian meransang pembekuan.
Dua jenis komplikasi penyakit IMA terpenting adalah komplilkasi hemodinamik
dan aritmia. Setelah terjadi IMA, daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sistolik dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup dan
peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan
tekanan atrium kiri atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke
jaringan interstisium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini disebabkan
oleh daerah infark dan daerah iskemik sekitar. Miokard yang baik akan melakukan
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat peningkatan
kebutuhan oksigen miokard, kompensasi ini jelas tidak memadai bila daerah yang
bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan
miokard yang harus dikompensasi masih normal, perburukan hemodinamika akan
minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus dikompensasi sudah buruk
akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri akan naik dan
gagal jantung terjadi. Sebagai akibat AMI sering terjadi perubahan bentuk serta ukuran
ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena infark maupun non infark.
Perubahan tersebut menyebabkan remodelling ventrikel yang nantinya akan
mempengaruhi fungsi ventrikel, timbulnya aritmia dan prognosis.
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-
menit atau jam-jam pertama serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan
mas refrakter, daya hantar ransangan dan kepekaan terhadap ransangan. Sistem saraf
autonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pasien IMA inferior umumnya
mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia
meningkat, sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan
mempertinggi kecenderungan fibralasi ventrikel dan perluasan infark.

63
Gejala klinis
Keluhan biasanya nyeri dada retrostenal, seperti diremas-remas, ditekan,
ditusuk, panas atau ditindih barang berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya
kiri), bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih
lama dari angina pektoris biasa dan tak responsif terhadap nitrogliserin. Nyeri dapat
disertai mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar-debar atau sinkope.
Dapat ditemukan bunyi kedua yang pecah paradoksal, irama gallop. Adanya kreptasi
basal merupakan tanda bendungan paru-paru. Takikardia, kulit yang pucat, dingin,
hipotensi, dan kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau teraba di
dinding dada pada IMA interior.

Pemeriksaan
- Pada EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inverse
(terbalik) gelombang T; kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di 2
sadapan.
- Pada laboratorium terjadi peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan
indikator spesifik infark miokard akut yaitu kreatinin fosfoskinase (CPK/CK),
SGOT, LDH, alfa hidroksi butirat dehidrogenase, dan isoenzim CK-MB. Yang
paling awal meningkat adalah CPK tetapi paling cepat turun.
- Pada radiologi adanya bendungan paru (gagal jantung) dan kadang-kadang
kardiomegali.

64
- Pada Ekokardiografi tampak kontaksi asinergi di daerah yang rusak dan penebalan
sistolik dinding jantung yang menurun.
- Pada pemeriksaan radioisotop dengan menggunakan Technetium 99m
pyrophosphate imaging akan terlihat hot spot pada IMA transmural, tampak berupa
bercak-bercak bila IMA kecil.
-

Komplikasi
- Dapat terjadi tromboembolus akibat kontraktilitas mikardium berkurang, embolus
tersebut dapat menghambat aliran daraah ke bagian jantung lain ataupun organ
lainnya.

65
- Dapat terjadi gagal jantung kongestif apabila jantung tidak dapat mengeluarkan
semua darah semua yang diterima, ini diakibatkan sel-sel otot yang mengalami
peregangan cukup hebat yang menyebabkan kontraktilitas jantung berkurang.
- Disaritmia dapat timbul akibat perubahan keseimbangan elektrolit dan penurunan
pH, hal ini karena daerah yang terkena mulai melepaskan potensial aksi sehingga
terjadi disritmia.
- Dapat terjadi syok kardiogenik apabila curah jantung sangat berkurang dalam waktu
yang lama.
- Terjadi ruptur miokardium atau anerurisma akibat adanya jaringan parut.
- Dapat terjadi perikarditis, karena reaksi peradangan setelah cidera dan kematian sel.

Pengobatan
- Istirahat total.
- Diet makanan lunak serta rendah garam.
- Pasang infus dekstrosa 5 % emergency.
- Pemberian analgesik: morfin 5 mg atau petidin 25-50 mg karena mempunyai efek
samping mual dan muntah maka harus juga diberikan antiemetik profilaksis
(proklorperazin 10 mg, metoklopramid 10 mg, atau siklizin 50 mg).

66
- Terapi antiplatelet: aspirin 300 mg pada IMA non gelombang Q dan minimum
efektif adalah 75 mg per hari harus diteruskan selamanya.
- Terapi antikoagulan: Heparin biasanya diberikan intravena tiap 4-6 jam atau melalui
infuse dengan dosis 20.000-40.000 U/24jam, dan diteruskan dengan asetokumarol
atau warfarin.
- Terapi trombolik: alteplase dosis 100 mg IV selama 90 menit atau 3 jam (gejala 6-
12 jam), anistreplase (30 unit IV selama 4-5 menit), reteplase (2 x 10 unit IV selama
<2 menit), streptokinase (1,5 juta unit IV selama 1 jam), rt-PA diberikan 100 mg
dalam 90 menit, APSAC 30 unit dalam 2-5 menit.
- Pemberian Beta blocker: atenolol 25-50 mg per hari.
- Diberikan sedatif; untuk mengurangi ketakutan diazepam 2-5 mg per oral 3x sehari,
pada insomia dapat ditambah fluzepam 15-30 mg.
- Pemberian nitrat, ACEI, penyakat kalsium, ataupun diuretik.

67
SKENARIO 3
Terasa Berat di Kepala Bu Nensi

Bu Nensi, 50 Thn, seorang pengacara, akhirnya berkonsultasi ke dokter karena


sering merasakan keluhan terasa berat di belakang kepala dan tengkuk. Awalnya
keluhan ini dirasakan bu Nensi sejak ± 3 bulan yang lalu, dan karena hal tersebut bu
Nensi rutin mengkonsumsi analgetik. Namun sejak 2 minggu terakhir, keluhan tersebut
semakin sering timbul dan tidak berkurang dengan obat-obatan yang sering
dikonsumsinya.
Dari anamnesis diketahui bahwa sejak 1 tahun terakhir bu Nensi sudah tidak
mengalami menstruasi, tingkat stress yang berlebihan dan pola makan yang salah (bu
Nensi sering mengkonsumsi makanan berlemak). Dengan anamnesis juga diketahui
bahwa tidak terdapat riwayat penyakit hipertiroid, kelainan ginjal dan gangguan
kelenjar adrenal. Namun diketahui bahwa ayah bu Nensi meninggal dunia karena
serangan jantung ± 10 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan TD: 160/100 mmHg, HR: 106 x per
menit, RR: 16 x permenit, suhu: 37,1ºC. Pemeriksaan fisik jantung di dapatkan batas
jantung kiri berada di 3 jari lateral LMCS dan tidak terdapat bising jantung.
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal, dan belum dilakukan pemeriksaan
penunjang apapun.
Sebagai calon dokter, bagaimanakah anda menjelaskan kondisi Bu Nensi
tersebut???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan epidemiologi hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
2. Menjelaskan etiologi dan faktor resiko hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
3. Menjelaskan klasifikasi hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
4. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi hipertensi dan penyakit jantung
hipertensi

68
5. Menjelaskan manifestasi klinis dan komplikasi hipertensi dan penyakit jantung
hipertensi
6. Menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding hipertensi dan penyakit jantung
hipertensi
7. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif hipertensi dan penyakit jantung
hipertensi
8. Menjelaskan etiologi, jenis-jenis, patogenesis, diagnosis, komplikasi dan
penatalaksanaan kelainan vaskular lainnya (trombophlebitis, DVT, Buerger disease,
Raynaud disease, dll)

69
Dasar teori

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling
tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Secara umum, seseorang dianggap
mengalamin hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari pada 140 mmHg
systolik dan 90 mmHg diastolik.
Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi sering dibagi menjadi hipertensi primer dan
sekunder. Sebagian besar kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya dan sekitar
90%- 95% dari kasus hipertensi yang disebut dengan hipertensi primer atau esensial.
Apabila penyebabnya jelas dapat diketahui dan sekitar 5% - 10% dari kasus hipertensi
disebut hipertensi sekunder.
Hipertensi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah
(TD), yaitu:
WHO/ISH Definitions and Classification of Blood Pressure Levels

CATEGORY SYSTOLIC DIASTOLIC


(mmHg) (mmHG)

Optimal <120 <80


Normal <130 <85
High – Normal 130-139 85-89
Grade 1 Hypertension ("mild") 140-159 90-99
Subgroup: Borderline 140-149 90-94
Grade 2 Hypertension 160-179 100-109
("moderate")
Grade 3 Hypertension ("severe") <90
Isolated Systolic Hypertension 140-149 <90
Subgroup: Borderline

70
Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII (The Seventh Report of The Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure)

Klasifikasi TD TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prahipertensi 120 - 139 Atau 80 - 89

Hipertensi derajat 1 140 - 159 Atau 90 - 99

Hipertensi derajat 2 > 160 Atau > 100

Etiologi Hipertensi
Karena tekanan darah bergantung pada denyut jantung, volume sekuncup, dan
TPR, maka peningkatan salah satu dari ketiga variable yang tidak dikompensasi dapat
menyebabkan hipertensi.
1) Peningkatan Kecepatan Denyut Jantung, dapat terjadi akibat rangsangan abnormal
saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang
berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan
kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup
atau TPR, sehingga tidak menimbullkan hipertensi.
2) Peningkatan Volume Sekuncup Yang Berlangsung Lama dapat terjadi apabila
terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan.
Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal
dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma
akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir (EDV) yang disebut sebagai
peningkatan preload jantung yang biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
sistolik, sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah.
3) Peningkatan TPR Yang Berlangsung Lama, dapat terjadi pada peningkatan
rangsangan saraf atau hormon pada arteriole, atau responsivitas yang berlebihan dari
arteriol terhadap rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan

71
penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa
lebih kuat, dan dengan demikian akan menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk
mendorong darah melintasi pembuluh-pembuluh yang menyempit. Hal ini disebut
sebagai peningkatan dalam afterload jantung yang berkaitan dengan peningkatan
tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel
kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan
ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus memompa
darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi,
serat-serat otot jantung juga mulai meregang melebihi panjang normal nya yang
pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volime sekuncup.
Sedangkan terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal (Hipertensi Sekunder)
adalah karena :
1. Hipervolemia
Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek ekses mineralokortikoid
terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubuli distal, pemberian infus
larutan garam fisiologik, koloid, atau transfusi darah yang berlebihan pada anak
dengan laju filtrasi glomerulus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan curah
jantung meningkat dan mengakibatkan hipertensi. Keadaan ini sering terjadi pada
glomerulonefritis dan gagal ginjal.
2. Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron
Renin adalah enzim yang diekskresi oleh sel aparatus juksta glomerulus. Bila terjadi
penurunan aliran darah intrarenal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, aparatus
jukstaglomerulus terangsang untuk mensekresi renin yang akan merubah
angiotensinogen yang berasal dari hati, angiotensin I. Kemudian angiotensin I oleh
“angiotensin converting enzym” diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah tepi, dan menyebabkan tekanan darah
meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan air di tubuli
ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat.
3. Berkurangnya zat vasodilator
Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu prostaglandin A 2, kilidin,
dan bradikinin, berkurang pada penyakit ginjal kronik yang berperan penting dalam

72
patofisiologi hipertensi renal. Koarktasio aorta, feokromositoma, neuroblastoma,
sindrom adrenogenital, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, dapat pula
menimbulkan hipertensi dengan patofisiologi yang berbeda. Faktor-faktor lain yang
dapat menimbulkan hipertensi sekunder pada anak antara lain, luka bakar, obat
kontrasepsi, kortikosteroid, dan obat-obat yang mengandung fenilepinefrin dan
pseudoefedrin.
Setiap kemungkinan penyebab hipertensi yang disebutkan diatas dapat terjadi
akibat peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis, atau mungkin responsivitas
berlebihan dari tubuh terhadap rangsangan simpatis normal, dapat ikut berperan
menyebabkan hipertensi. Bagi sebagian, hal ini dapat terjadi pada stres jangka panjang,
yang diketahui melibatkan pengaktfan sistem simpatis, atau mungkin akibat kelebihan
genetik reseptor norepinefrin di jantung atau otot polos vaskular.
Faktor Resiko Hipertensi Dan Faktor Yang Berperan Dalam Pengendalian TD
Pada Hipertensi
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetika, umur,
jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stress,
obesitas dan nutrisi.
a. Faktor genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabakan keluarga itu
mempunyai resiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium. Seseorang dengan orang tua yang hipertensi mempunyai resiko
dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Soesanto, 2001).
b. Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kelompok yang
berumur di atas 60 tahun, 50 – 60 % mempunyai tekanan darah lebih besar atau
sama dengan 140/90 mmHg. Hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi
pada orang yang bertambah usianya.
c. Jenis kelamin
Laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal.
Laki-laki juga mempunyai resiko lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas

73
kardiovaskuler. Sedangkan di atas umur 50 tahun hipertensi lebih banyak terjadi
pada wanita.
d. Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada yang berkulit
putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam
ditemukan kadar renin yag lebih rendah dan sensitifitas terhadap vasopresin lebih
besar.
e. Stress
Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung
sehingga akan menstimulasi aktivitas syaraf simpatetik. Adapun stress ini dapat
berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal.
f. Obesitas
Penelitian epidemiologi menyebutkan adanya hubungan antara berat badan dengan
tekanan darah baik pada pasien hipertensi maupun normotensi. Pada populasi yang
tidak ada peningkatan berat badan seiring peningkatan umur, tidak dijumpai
peningkatan tekanan darah sesuai peningkatan umur. Obesitas terutama pada tubuh
bagian atas dengan peningkatan jumlah lemak pada bagian perut.
g. Nutrisi
Sodium adalah penyebab dari hipertensi esensial, asupan garam yang tinggi akan
menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak
langsung akan meningkatkan tekanan darah. Sodium secara eksperimental
menunjukkan kemampuan untuk menstimulasi mekanisme vasopressor pada
susunan syaraf pusat. Defisiensi potasium akan berimplikasi terhadap terjadinya
hipertensi.
h. Olah raga
Olah raga ternyata juga dihubungkan dengan pengobatan terhadap hipertensi.
Melalui olah raga yang isotonik dan teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45
menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah. Selain itu dengan kurangnya olah raga maka risiko timbulnya obesitas akan
bertambah, dan apabila asupan garam bertambah maka risiko timbulnya hipertensi
juga akan bertambah.
i. Gaya hidup

74
Saat ini terdapat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak
menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain
dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan
risiko penyakit hipertensi seperti stress, obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga,
merokok, alkohol, dan makan makanan yang tinggi kadar lemaknya.
Sedangkan faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang
digambarkan Kaplan:

Asupan Jumlah Perubahan Obesitas Bahan-bahan


garam nefron Strees genetis yang berasal
berlebihan berkurang dari endotel

Retensi Penurunan Aktivitas Renin Asupan Hiperinsulinemia


natrium permukaan berlebihan angiotensin garam
ginjal filtrasi saraf simpatis berlebihan berlebihan

↑ Volume Cairan Kontraksi Vena

Hipertrofi
↑ Preload ↑ Kontraktilitas Konstriksi struktural
Fungsionil

TEKANAN DARAH = CURAH JANTUNG X TAHANAN PERIFER

Hipertensi = Peningkatan CJ dan/atau Peningkatan TP

Otoregulasi

75
Gambaran Klinis Hipertensi
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun, dan berupa :
 Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah.
 Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
 Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
 Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
 Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Komplikasi Pada Hipertensi
Hipertensi lama atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan
organ (target organ demage) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan
dapat pada jantung, otak, pembuluh darah perifer/arteri perifer, ginjal, dan mata.
Beberapa penelitian menunjukan beberapa penyebab kerusakan organ, yaitu
autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensi II, stres oksidatif, down regulation dari
ekspresi nitric oxide synthase, ekspresi transforming growth factor-β (TGF- β) yang
diakibatkan diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam, dll.
Pada jantung dapat terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang
aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah. Karena
hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan

76
infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan
waktu hantaran listrik ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan
peningkatan resiko pembentukan bekuan.
Pada otak dan arteri perifer dapat terjadi stroke, ensefalopati maupun dapat
menimbulkan aneurisma aorta dan robeknya lapisan intima aorta (dissecting aneurisme).
Stroke terjadi akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembulu non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan
menebal, sehingga aliran darah ke otak ke daerah-daerah yang diperdarahnya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuk aneurisme. Sedangkan ensefalopati dapat terjadi
terutama pada hipertensi maligna. Tekanan yang sangat tinggi pada kelaian ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang
interstisium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan
terjadi koma serta kematian. Sedangkan pada wanita dengan Pregnancy Induced
Hypertension (PIH) dapat mengalami kejang. Bayi yang lahir mungkin memilik berat
lahir rendah akibat perfusi plasenta yang tidak adekuat, dapat mengalami hipoksia dan
asidosis apabila ibu mengalami kejang selama atau sebelum proses persalinan.
Pada ginjal dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus,
darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerulus,
protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,
menyebabkan edema yang sering di jumpai pada hipertensi kronik.
Pada mata dapat terjadi retinopati hipertensif berupa bercak-bercak perdarahan
pada retina dan edema papil nervus optikus.
Factors Influencing Prognosis
Risk Factors For Target Organ Damage Associated Clinical
Cardiovascular Diseases Conditions
I. Used for risk stratification • Left ventricular hypertrophy Cerebrovascular disease
• Levels of systolic and (electrocardiogram, • ischaemic stroke
diastolic blood pressure echocardiogram or • cerebral haemorrhage

77
(Grades 1-3) radiogram) • transient ischaemic
• Men >55 years • Proteinuria and/or slight attack
• Women >65 years elevation of plasma Heart disease
• Smoking creatinineconcentration (1.2 - • myocardial infarction
• Total cholesterol >6.5 mmo/l 2.0 mg/dl) • angina
(250 mg/dl) • Ultrasound or radiological • coronary
• Diabetes evidence of atherosclerotic revascularisation
• Family history of premature plaque(carotid, iliac and • congestive heart failure
cardiovascular disease femoral arteries, aorta) Renal disease
II. Other factors adversely • Generalised or focal • diabetic nephropathy
influencing prognosis narrowing of the retinal • renal failure (plasma
• Reduced HDL cholesterol arteries creatinine concentration
• Raised LDL cholesterol >2.0 mg/dl)
• Microalbuminuria in Vascular disease
diabetes • dissecting aneurysm
• Impaired glucose tolerance • symptomatic arterial
• Obesity disease
• Sedentary lifestyle • Advanced hypertensive
• Raised fibrinogen retinopathy
• High risk socioeconomic • haemorrhages or
group exudates
• High risk ethnic group • papilloedema
• High risk geographic region

Stratification of Risk to Quantify Prognosis

BLOOD PRESSURE (mmHg)

78
Other Risk Grade 1 Grade 2 Grade 3
Factors & (mild hypertension ) (moderate hypertension ) (severe hypertension )

Disease History SBP 140-159 or SBP 160-179 or SBP 180 or


DBP 90-99 DBP 100-109 DBP 110

I.. no other risk LOW RISK MED RISK HIGH RISK


factors

II. 1-2 risk MED RISK MED RISK V HIGH RISK


factors

III. 3 or more HIGH RISK HIGH RISK V HIGH RISK


risk factors or
TOD or
diabetes

IV. ACC V HIGH RISK V HIGH RISK V HIGH RISK

Pemeriksaan Pada Hipertensi


Untuk pemeriksaan hipertensi mula-mula dilakukan dengan anamnesis yang
meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah.
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat2an
analgesic dan obat/bahan lain
c. Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien dan keluarga pasien
b. Riwayat hiperlipidemi pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus (DM) pada pasien atau keluarganya

79
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olah raga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic
attack, defisit sensoris atau motoris
b. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri
d. Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikatio intermitten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

Pemeriksaan fisis dilakukan dengan menilai keadaan umum, menilai keadaan


khusus (perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibandingkan bawah yang
sering ditemukan pada kaorktasio aorta), pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan
kanan saat tidur dan berdiri, funduskopi, palpasi dan auskultasi arterikarotis untuk
menilai stenosis atau oklusi, pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung
ditujukan untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung, impuls apkes yang

80
prominen, pemeriksaan bunyi jantung dan murmur, pemeriksaan suara napas tambahan
paru (ada tidaknya ronki kering/mengi), pemeriksaan abdomen (ada tidaknya
aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal, asites), auskultasi bising kiri kanan
umbilikis, pemeriksaan a. radialis, a. femuralis, a. dorsalis, dll.
Pemeriksaan penunjang, seperti urinalisis, Hb/hematokrit, elektrolit darah,
ureum/kreatinin, gula darah puasa, total kolestrol, elektrokardiografi, TSH, leukosit
darah, trigliserida, HDL dan LDL kolestrol, kalsium dan fosfor, foto toraks,
ekokardiografi, dll.

Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksaan hipertensi dapat didasarkan atas tipe kelompok yang ditentukan
oleh derajat hipertensi, yaitu:

81
Sedangkan penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologis
dan farmakoligis. Pada non farmakologis biasanya dilakukan:
 Pada sebagian orang, penurunan berat tampaknya mengurangi tekanan darah,
mungkin dengan mengurangi bebab kerja jantung sehingga kecepatan denyut
jantung dan volume sekuncup juga berkurang.
 Olah raga, terutama bila disertai penurunan berat, menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan mungkin TPR. Olah
raga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi timbulnya hipertensi yang
terkait aterosklerosis.
 Teknik relaksasi (cukup istirahat dan tidur) dapat mengurangi denyut jantung dan
TPR dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis.
 Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka-panjang hipertensi karena
asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat
meningkatkan kerja jantung.
 Mengurangi garam dalam diet agar menururkan tekanan darah, biasanya garam
harus dibatasi sampai lebih kurangi 3 gr sehari.

82
 Membatasi kolestrol diet berguna membatasi resiko ateroskelerosis dan konsumsi
serat-serat nabati guna menurunkan tekanan darah.
 Membatasi kopi sampai maksimum tiga cangkir sehari, sehingga dapat mengurangi
LDL dan dapat menurunkan TPR pada pembuluh darah.
 Membatasi minum alkohol sampai 2 - 3 konsumsi sehari (kurang dari 40 g sehari)
untuk menurunkan tekanan diastolik.

Dan farmakologis bisanya diberikan:


 Diuretik bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi curah jantung
dengan menyebabkan ginjal meningkatkan ekskresi garam dan airnya. Sebagian
diuretik (tiazid) tampaknya juga menurunkan TPR. Efek samping adalah
hipokalemia, hiperurikemia, hiperglikemia, hiperlipidemia, hiponatriemia, mual,
muntah, diare, letih, nyeri kepala, pusing, alergi (jarang), dan ototoksisitas (dosis
tinggi).
 Antagonis reseptor alfa (alpha blocker) menghambat reseptor alfa di otot polos
vaskular yang secara normal berespons terhadap rangsangan simpatis dengan
vasokontriksi. Hal ini akan menurunkan TPR. Efeks samping adalah hipotensi
orthostatis, pusing, nyeri kepala, hidung mampat, pilek, gangguan tidur, edema,
debar jantung, perasaan lemah, dan gangguan potensi.
 Antagonis reseptor-beta (beta blocker), terutama penyakit β1 selektif, bekerja
sebagai pada reseptor beta di jantung untuk menurunkan kecepatan denyut dan

83
curah jantung (peniadaan atau penurunan kuat aktivita adrenalin dan noradrenalin),
serta memperlambat impuls di jantung. Efek samping yaitu dekompensasi jantung,
bronchokonstriksi, rasa dingin di jari-jari kaki tangan, toleransi glukosa, gangguan
tidur, lesu, depresi dan halusinasi (kadang-kadang), mual, muntah, diare,
penurunanan kadar HDL.
 Agonis aplha-2 adrenerg (obat-obat SPP) yang menstimulasi reseptor alpha-2
adrenerg SPP melalui mekanisme feedback negatif seperti aktivitas saraf adrenerg
perifer dikurangi. Efek samping sedasi, mulut kering, sukar tidur, hidung mampat,
pusing, penglihatan guram, bradicardi, impotensi, depresi, dan gelisah.
 Penghambat saluran kalsium (antagonis kalsium) menurunkan kontraksi otot polos
jantung dan/atau arteri dengan mengintervensi influks kalsium yang dibutuhkan
untuk kontraksi. Sebagian penghambat saluran kalsium bersifat spesifik untuk
saluran lambat kalsium otot jantung dan otot polos dinding arteriole dan sebagian
yang lain lebih spesifik untuk saluran kalsium di dalam sel. Dengan demikian,
berbagai penghambat kalsium memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menurunkan kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan TPR. Efek
sampingnya pada derivat piridin pusing, nyeri kepala, rasa panas di muka, takikardi,
edema pergelangan kaki, sedangkan non piridin terjadi bradicardi, AV block,
hipotensi, obstipasi, menghambat agregasi trombosit dan kelainan darah, gangguan
penglihatan, alergi pada kulit, nervositas, rasa tak bertenaga.
 Penghambat enzim pengubah angiostensi II (Inhibitor ACE) berfungsi untuk
menurunan angiostensin II dengan menghambat enzim yang diperlukan untuk
mengubah angiostensin I menjadi angiostensin II. Hal ini menurunkan tekanan
darah baik dengan secara langsung menurunkan TPR, dan karena angiostensin II
diperlukan untuk sintesis aldosteron, maupun dengan meningkatkan pengeluaran
natrium melalui urine sehingga volume plasma dan curah jantung menurun. Karena
enzim pengubah tersebut juga menguraikan vasodilator bradikinin, maka inhibitor
enzim pengubah akan menurunkan tekanan darah dengan memperpanjang efek
bradikinin. Dan AT II blocker yang menduduki reseptor AT II yang terdapat di
miokardium, ginjal, dinding pembuluh, dll serta menghambat enzim chymase (lebih
efektif daripada inhibitor ACE). Efek sampingnya adalah gangguan fungsi ginjal,

84
hiperkaliemia, hipotensi orthosatatis, sesak napas, batuk kering, kehilangan rasa,
alergi pada kulit, dan keluhan usus-lambung, pusing dan nyeri kepala.
 Vasodilasator dapat digunakan vasodilator arteriol langsung untuk menurunkan
TPR. Efek samping pusing, nyeri kepala, muka merah, hidung mampat, debar
jantung dan gangguan lambung usus.
Penggunaan obat antihipertensi ini dapat dikombinasikan dan telah terbukti
efektif dan dapat ditoleransi oleh pasien, yaitu:
- Diuretika dan ACEI atau ARB
- CCB dan BB
- CCB dan ACEI atau ARB
- CCB dan diuretika
- AB dan BB
- Kadang dikombinasikan tiga atau empat
kombinasi obat.

85
86
Hipertensi Esensial/Primer
Hipertensi esensial/primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
secara pasti atau idopatik.
Patogenesis
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul karena adanya interaksi
antara faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Faktor risiko seperti: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis.
2. Sistem saraf simpatis:

87
 Tonus simpatis
 Variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endothel pembuluh
darah yang berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan
interstitium juga memberikan konstribusi akhir.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan
aldosteron.
Penyakit jantung dan pembuluh darah
Hipertensi adalah penyebab paling umum dari hipertrofi ventrikel kiri, hal ini
dikarenakan waktu yang lama dan hebatnya tekanan darah. Akan tetapi, hal tersebut
tidak mutlak sebagaai persyaratan hipertrofi ventrikel kiri, karena ada faktor-faktor
selain peninggian tekanan darah yang penting untuk perkembangan hipertrofi ini.
Sewaktu-waktu dapat timbul suatu bentuk kardiomiopati hipertensif. Diagnosa dapat
dilakukan pemeriksaan fisik, rontgen dada, EKG, dan ekokardiografi.
 Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan palpasi adanya ventrikel kiri yang melebar
dan terus-menerus pada apeks. Suatu impuls apeks yang melebar sering diartikan
sebagai impuls dengan garis tengah >2,4 cm atau suatu impuls dengan apeks yang
terus-menerus mempunyai dorongan keluar yang 1/2-2/3 atau lebih lama sistol.
Penilaian maksimal dengan memeriksa penderita pada posisi berbaring lateral kiri,
di mana diameter suatu impuls apeks lebih dari 3 cm. Penemuan ini lebih peka dan
khas untuk pembesaran ventrikel kiri daripada lokasi impuls apeks sama atau lebih
besar dari 10 cm dari garis tengah sternum atau lateral tengah clavicula.
 Pada rontgen dada tidak mudah terutama untuk menetapkan bagian mana dari
bayangan jantung, khususnya ventrikel kiri. Pada umumnya rasio kardiotorak tidak
melebihi 0,5 pada orang dewasa dan biasanya dibawah 0,45.
 Bukti-bukti EKG kelainan atrium kiri sering mendahului kelainan ventrikel kiri pada
penderita hipertensi.
 Ekokardiografi hipertrofi ventrikel kiri lebih sensitif. Hipertrofi ventrikel kiri secara
ekokardiografi adalah penting karena hubungannya dengan resiko gangguan irama
ventrikel yang kompleks dan kematian mendadak. Ekokardigrafi juga berguna untuk
menunjukkan perubahan-perubahan anatomi dan fungsi ventrikel kiri sesudah
pengobatan hipertensi.

88
Penyakit hipertensi serebrovaskuler
Hipertensi adalah faktor resiko paling penting dalam timbulnya stroke karena
perdarahan atau ateroemboli. Kekerapan dari stroke bertambah dengan setiap kenaikan
tingkat tekanan darah.
Pada perdarahan kecil (microhemarrhage) atau penyumbatan dari pembuluh-
pembuluh kecil dapat menyebabkan infark pada daerah-daerah kecil, paling sering di
putamen, thalamus, nukleus kaudatus, pons atau cabang posterior dari kapsula internal.
Infark lakunar biasanya berhubungan dengan defisit neurologik yang bisa menyembuh
sesudah beberapa hari atau minggu.
Ada empat sindrom hipertensi serebrovaskuler:
1) Hemiparesis motor yang murni dengan tanda-tanda massa muka rasa lemah, juga
lengan dan kaki.
2) Stroke sensoris yang murni, dengan gejala saraf perasa hilang pada muka, lengan,
badan dan kaki.
3) Ataksia homolateral dan paresis crural, yakni ataksia lengan dan kaki disertai kaki
lemah.
4) Disarthi (gangguan bicara) dan tangan yang kaku, dengan tanda-tanda gangguan
bicara, lemah pertengahan muka (central facial), lidah yang miring dan kelemahan
serta ataksia dari lengan.
Lakuna yang banyak bisa menyebabkan multi infark demensia seperti keadaan
lakunar atau pseudo bulbar palsy, yang ditandai oleh afek yang labil, demensia, cara
jalan yang abnormal, gangguan bicara, inkontinensia dan tanda-tanda long tract yang
bilateral.
Diagnosa serebrovaskular dari tipe hemorhagik dan infark dilakukan CT scan,
yang memperlihatkan lesi yang terbatas tegas, homogen, lesi dengan densitas yang
rendah di suatu daerah pembuluh yang tertentu. Sedangkan perdarahan intraserebral, CT
scan biasanya menunjukan suatu massa yang berbentuk tidak terratur, terkonsolidasi
dan sangat jelas (high density).
Enselopati hipertensi
Enselopati hipertensi yaitu sindroma yang ditandai dengan perubahan-perubahan
neurologis mendadak atau sub akut yang timbul sebagai akibat tekanan arteri yang
meningkat, dan kembali normal apabila tekanan darah diturunkan, yang bisanya terjadi

89
pada hipertensi maligna. Sindroma ini jarang pada aldosteronisme primer dan
koarktasio aorta.
Enselopati hipertensi ditandai dengan sakit kepala hebat, bingung, lamban, dan
sering disertai muntah-muntah, mual dan gangguan penglihatan. Dan akan lebih berat
sewaktu 12-48 jam dan dapat timbul kejang-kejang, mioklonus, kesadaran menurun
serta pada beberapa kasus terjadi kebutaan. Pada enselopati uremik terdapat
kebingungan dan kejang-kejang mioklonik. Sakit kepala berat, perdarahan dan eksudat
retina serta edema papil pada enselopati hipertensi, dan kembali normal dalam tempo
12-72 jam dengan pengobatan antihipertensi yang efektif. Penyebab-penyebab lain
enselopati hipertensi adalah hiponatremia, meningitis, ensefalitis, keracunan obat dan
penyakit-penyakit kolagen pembuluh.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan CT scan dengan atau tanpa kontras intra
vena adalah prosedur paling mungkin dapat menentukan daerah-daerah dengan
perdarahan otak atau infark.
Nefrosklerosis karena hipertensi
Analisa urin, klirens kreatinin, ukuran ginjal, pielogram, angiogram, scan
ginjal,dan renogram biasanya normal pada penderita hipertensi primer. Tes diagnostik
yang lebih khusus sering menunjukan gangguan fungsi ginjal termasuk aliran darah
ginjal, karena sebagian pengeluaran natrium dan mikroalbuminuria. Bila analisa urin,
BUN dan kreatinin normal dapat dianggap bahwa hipertensi tersebut tidak sekunder
terhadap penyakit parenkim ginjal primer.

Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah keadaan terjadinya tekanan darah tinggi akibat
penyakit-penyakit tertentu. Pada hipertensi ini penyebab patologisnya diketahui,
sehingga dapat dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan.
Penyebab hipertensi sekunder adalah:
1) Ginjal: Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nefritis tubulointerstisial, Nekrosis tubular
akut ,Kista, Nefrokalsinosis, Tumor, Radiasi, Diabetes, SLE, Penyumbatan.
2) Renovaskular: Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli
kolestrol, Vaskulitis, Rejeksi akut sesudah traspalasi.
3) Adrenal: Fenokromositoma, Aldosteronisme primer, Sindrom Cushing.

90
4) Aorta: Koarktasio aorta, Arteritis takayasu.
5) Neoplasma: Tumor wilm, Tumor yang mensekresi renin.
6) Kelainan endokrin lain: Obesitas, Resistensi insulin, Hipertiroidisme,
Hipotiroidisme, Hiperparatiroidisme, Hiperkalsemia, Akromegali, Sindrom
karsinoid.
7) Saraf: Stres berat, Psikosis, Tekanan intrakranial meninggi, Stroke, Ensefalitis,
Sindrom guillain baree
8) Toksemia pada kehamilan.
9) Obat-obatan: Kontrasepsi, Kortikosteroid.
Beberapa jenis hipertensi sekunder, yaitu:
Hipertensi ginjal
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping
faktor-faktor lain seperti protenuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia,
dan beratnya fungsi ginjal sejak awal. Penyakit parenkim ginjal adalah penyebab
tersering hipertensi sekunder sekitar 2,5-5%.
Patogenesis
Hipertensi pada penyakit ginjal terjadi pada penyakit ginjal akut maupun kronik
baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular, yang dikeompokan:
- Pada penyakit glomerulus akut: GN pasca streptokokkus, Nefropati, Membranosa.
Hipertensi terjadi akibat adanya retensi natrium yang penyebabkan hipervolemi, hal
ini akibat retensi relatif terhadap hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan
aktivitas pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes.
- Pada penyakir vaskular: Vaskulitis, Skeleroderma.
Terjadi karena iskemik yang meransang sistem renin-angiotensin-aldosteron.
- Pada gagal ginjal kronik: CDK stage 3-4.
Hipertensi karena: Retensi Natrium, peningkatan sistem RAA akibat iskemik relatif
karena kerusakan regional, akivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan
ginjal, hiperparatiroid sekunder, pemberian eritropoetin.
- Penyakit glomerulus kronik: Tekanan darah normal tinggi.
Tekanan darah dipengaruhi oleh sistem RAA, dan sekresi renin oleh ginjal
dipengaruhi oleh mekanisme intrarenal (reseptor vaskular, makula densa),
mekanisme simpatoadrenergik, mekanisme humoral.

91
Selain itu ada juga sistem Kalikrein-Kinin (KK), di mana Kalikrein akan berubah
Bradikininogen menjadi bradikidin kemudian ACE akan mengubah bradikidin
menjadi fragmen inaktif yang meningkatkan tekanan darah.
Pengobatan
Pada penyakit glomerulus akut dan kelainan vaskular diberikan diuretik,
pemberian ACEI atau angiotensin receptor blocker (ARB). Pada gagal ginjal kronik
diberikan diuretik, pemberian ACEI atau angiotensin receptor blocker (ARB) atau
calcium channel blocker (CCB) atau beta bloker secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan. Pada penyakit glomerulus kronik diberikan sama dengan glomerulus
akut, pada glomerulonefritis dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun
tekanan darah normal, sehingga pemberian ACEI atau ARB dipakai.

Hipetensi renovaskular
Hipetensi renovaskular adalah peningkatan tekanan darah sekunder akibat
penurunan perfusi ginjal, baik bilateral, unilateral maupun segmental atau stenosis arteri
renalis (keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis).
Etiologi
- Lesi aterosklerotik arteri renalis, sekitar 90% kasus dan umumnya pada ostium, baik
fokal atau merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada 1/3 bagian proksimal arteri
renalis.
- Displasia fibromuskular, terjadi di bilateral pada 2/3 kasus dan biasanya pada 2/3
bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenalis.
- Arteri takayasu, neurofibromatosis, aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena
renalis, arterisitis radialis, posttransplant stenosis, dan emboli.
Patofisiologi
Fase akut; kontriksi arteri renalis segera akan menyebabkan peningkatan tekanan darah
dan juga renin serta aldosteron.
Fase kronik; setelah beberapa hari, tekanan darah tetap meningkat tetapi renin dan
aldosteron muali menurun ke nilai normal. Pada fase ini berlangsung dari hipertensi
berbeda tergantung dari apakah ginjal kontralateral intak atau tidak, serta dari spesies
yang teliti.

92
One clip, one kidney goldblatt hypertension; seiring dengan menurunnya renin, terjadi
peningkatan volume plasma akibat dari retensi natrium.
Two clip, two kidney goldblatt hypertension; pada model ini ginjal kontralateral mampu
mengeksresikan natrium walaupun tidak sepenuhnya normal oleh karena aktivasi sistem
rennin angiotensin juga menyebabkan vasokontriksi pada ginjal kontralateral.
Pada stenosis arteri ginjal, ginjal yang stenotik akan mengalami atrofi tubular dan
fibrosis interstisial akibat hipoperfusi, sedangkan pada ginjal kontralateral terjadi
hipertensi intraglomerulus akibat transmisi tekanan sistemik yang meningkat yang akan
menyebabkan protenuria dan glomeruloskelerosis yang pada akhirnya menyebabkan
kerusakan nefron.
Diagnosis
Dilakukan pemeriksaan fisis, arteriografi (pemeriksaan baku emas), pemeriksaan
aktivitas renin plasma perifer basal maupun setelah pemberian kaptopril dan
pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti renogram dengan
atau tanpa pemeberian kaptropil, ultrananografi, atau magnetic resonance angiography.
Penatalaksaan
Dapat dilakukan pemberian obat antihipertensi (medikamentosa dengan tiga atau lebih
jenis obat antihipertensi), revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi.

Sindrom Cushing
Sindrom ini sebagai akibat produksi berlebihan steroid zona fasikula adrenal
dalam bentuk kortisol (hidrokortison). Glukokortikoid memacu pembentukan glikogen
dan glukosa dari protein (glukoneogenesis), meningkatkan pembentukan lemak,
menghambat sistem imun dan memacu saraf simpatis.
Penyebab adalah adenoma kelenjar pituari, adenoma adrenal atau karsinoma,
adrenokortikotropin hormon (ACTH) ektopik, pengobatan glukokortikoid dan ACTH
jangka panjang.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium kortisol urin dan
kortisol plasma, CT scan, MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Pengobatan dilakukan pembedahan (jika tumor) dan pemberian kortikosteroid
sebagai subsitusi.

93
Hiperaldesteronisme primer
Hiperaldesteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi
aldosteron yang tidak terkendali umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal.
Gejala dan tanda yaitu hipokalsemia (lemas dan tekanan darah biasanya tinggi
dan sumar dikendalikan).
Patofisiologi yaitu: sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau
adenoma menghasilkan hormon aldesteron secara berlebihan. Peningkatan ini akan
meransang penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal
membran lumial dari duktus kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat penambahan
jumlah ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan. Absorbsi natrium membawa air
sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia yang selanjutnya menyebabkan
tekanan darah meningkat.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan serum aldosteron dan plasma
renin activity (PRA) secara bersama, pemeriksaan analisis gas darah, pemeriksaan CT
scan/MRI abdomen, tes kalium serum, kalium urin, tes supresi kaptropil.
Pengobatan dengan antagonis aldosteron atau pembedahan dan dapat dilakukan terapi
non farmakologi seperti kurangi asupan garam, berolahraga teratur, menormalkan berat
badan dan menghindari konsumsi alkohol.

Feokromositoma
Feokromositoma mempunyai arti warna coklat dan sebagian besar tumor
tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% di luar kelenjar adrenal. Feokromositoma
dapat sproradis atau familial, bisa unisentris atau unilateral. Tipe familial sering
multisentris dan bilateral. Feokromositoma sering bilateral atau bagian dari neoplasma
endokrin multipel. Feokromositoma adrenal dikenal the rule of ten percent:
- Bilateral : 10%
- Ekstra adrenal : 10%
- Familial : 10%
- Pediatri : 10%
Gambaran klinis seperti sakit kepala, berkeringat, berdebar-debar, pucat,
hipotensi ortostatik, pandangan kabur, edema papila mata, berat badan turun, poliuria,
polidepsi, peningkatan LED, hiperglikemia, gangguan psikiatri, kardiomiopati dilatasi,

94
eritropoesis pada overproduksi katekolamin, hipertensi dan diabetes (manifestasi awal),
teraba masa tumor di perut atau pembesaran paraganglioma di leher, telinga, dada atau
paru tumor metastasis.
Diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium pengukuran katekolamin,
tes klonidin, pengukuran kadar normetanefrin dan metanifrin plasma, tes stimulasi
glukagon, CT scan, maupun MRI.
Terapi dapat dilakukan pembedahan jika ada tumor, dan sebelumnya dilakukan
pemberian alpha dan beta bloker.

Hipertensi Pulmonal Primer (HPP)


HPP adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresiv dan idopatik
oleh karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang menyebabkan menurunnya
fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. Pada HPP
tekanan arteri pulmonal akan lebih dari 25 mmHg saat istirahat, dan 30 mmHg saat
aktivitas HPP akan meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri yang lebih
kecil di paru, sehingga meningkatkan tahanan vaskular dari aliran darah di paru.
Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada ventrikel kanan
sehingga harus bekerja lebih kuat untuk memompakan darah ke paru.
Etiogenesis HPP, yaitu:
- Tak diketahui, kemungkinan akibat hiperreaksi dan vasokontriksi dari arteri
pulmonal, tromboembolisme atau rekasi autoimun.
- Dikaitkan dengan obat anorektik (aminoreks, fumarat, fenfluramin, dan
deksfenfluramin).
- Amfetamin.
Penyakit ini kadang-kadang terjadi familial, menunjukan kecenderungan faktor
hiperreaktif yang diturunkan. Perubahan yang terjadi adalah penebalan pada dinding
arteri pulmonal, kemudian terjadi balutan jaringan ikat pada dinding bagian dalam dari
cabang-cabang arteri pulmonal yang menyempitkan lumen pembuluh darah tersebut.
Hal ini akan terjadi hipertensi pulmonal ini, dan sebagai respons maka ventrikel kanan
bekerja lebih kuat sehingga terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan. Akibat
terus-menerus maka ventrikel kanan akan lemah, sehingga terjadi kegagalan ventrikel
kanan untuk memompakan darah ke paru.

95
Gejala HPP adalah sesak napas sewaktu beraktivitas, hiperventilasi (napas cepat dan
dalam), keletihan yang semakin bertambah, pusing-pusing, batuk berdarah, sianosis
(pada bibir, jari-jari tangan dan kaki) dan sinkop. Kelainan fisik seperti pelebaran dan
peningkatan tekanan vena di leher, edema pada tungkai dan lengan, hepatomegali.
Diagnosis dapat dilakukan elektrokardiogram memperliharkan pembesaran
ventrikel kanan (RVH), rontgen toraks di mana RVH san segmen pulmonal menonjol,
ekokardiogram yang terlihat pembesaran ventrikel kanan, kateterisasi jantung yang
merupakan baku emas diagnosis HPP.
Pengobatan HPP dapat dilakukan dengan cara pemberian calcium channel
blocker, pemberian vasodilator (epoprostenol, prostasklin), pemberian antikoagulasi
(warfarin), maupun transplantasi paru.

96
SKENARIO 4
Paniknya Ari....

Ari, laki-laki, 26 tahun, dokter IGD RSU. Abulyatama tiba- tiba panik oleh
kedatangan dua pasien yang bersamaan. Pasien pertama, laki-laki, 40 tahun datang
dengan keluhan tiba-tiba pingsan saat melakukan apel pagi di salah satu kantor
pemerintahan. Saat sampai di IGD pasien tersebut telah sadar, dan dari pemeriksaan
vital sign di dapatkan TD: 90/60 mmHg, HR: 56 x permenit- reguler, RR: 22 x
permenit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil dalam batas normal, dan pemeriksaan
EKG hanya di dapatkan interval PR yang memanjang ( PR interval: 0,24 detik).
Pasien kedua, perempuan, 53 tahun, yang mengeluh jantungnya berdebar-debar,
yang disertai dengan mual dan berkeringat dingin. Dari anamnesis diketahui bahwa
pasien ini sebelumnya pernah mengalami serangan jantung (± 6 bulan yang lalu). Pada
pemeriksaan vital sign didapatkan TD: 130/90 mmHg, HR: 126 x permenit- reguler,
RR: 18 x permenit, dan dari hasil pemeriksaan fisik hanya ditemukan akral yang dingin.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan gambaran Supraventrikuler takikardi (SVT) disertai
dengan gambaran Q patologis di lead II, III dan aVF.
Dokter Ari langsung bertindak sigap untuk melakukan penatalaksaan
kegawatdaruratan terhadap kedua pasien tersebut yang di mulai dengan pemberian
oksigen nasal kanul 4 liter/ menit.
Bagaimanakah kamu menjelaskan kondisi kedua pasien tersebut dan apakah
penatalaksaan selanjutnya yang harus dilakukan dokter Ari???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan klasifikasi gangguan irama jantung
2. Menjelaskan etiologi dan faktor risiko gangguan irama jantung
3. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi gangguan irama jantung
4. Menjelaskan manifestasi klinis gangguan irama jantung
5. Menjelaskan pemeriksaan fisik gangguan irama jantung
6. Menjelaskan temuan pemeriksaan penunjang pada gangguan irama jantung

97
7. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif farmakologi dan non farmakologi pada
gangguan irama jantung
8. Menjelaskan komplikasi gangguan irama jantung
9. Menjelaskan prognosis gangguan irama jantung

98
Dasar Teori
ARITMIA / DISRITMIA

Definisi
Beberapa tipe malfungsi jantung yang paling mengganggu tidak terjadi sebagai
akibat dari otot jantung yang abnormal tetapi karena irama jantung yang abnormal.
Sebagai contoh, kadang-kadang denyut atrium tidak terkoordinasi dengan denyut dari
ventrikel, sehingga atrium tidak lagi berfungsi sebagai pendahulu bagi ventrikel.
Aritmia adalah kelainan elektrofisiologi jantung dan terutama kelainan system
konduksi jantung. Aritmia adalah gangguan pembentukan dan/atau penghantaran
impuls. Terminology dan pemakaian istilah untuk aritmia sangat bervariasi dan jauh
dari keseragaman di antara para ahli.
Beberapa sifat system konduksi jantung dan istilah-istilah yang penting untuk
pemahaman aritmia :
 Periode refrakter
Dari awal depolarisasi hingga awal repolarisasi sel-sel miokard tidak dapat menjawab
stimulus baru yang kuat sekalipun. Periode ini disebut periode refrakter mutlak.
Fase selanjutnya hingga hamper akhir repolarisasi, sel-sel miokard dapat menjawab
stimulus yang lebih kuat. Fase ini disebut fase refrakter relative.
 Blok
Yang dimaksud dengan blok ialah perlambatan atau penghentian penghantaran impuls.
Pemacu ektopik atau focus ektopik Ialah suatu pemacu atau focus di luar sinus.
Kompleks QRS yang dipacu dari sinus disebut kompleks sinus. Kompleks QRS yang
dipacu dari focus ektopik disebut kompleks ektopik, yang bias kompleks atrial,
kompleks penghubung –AV atau kompleks ventricular.
 Konduksi tersembunyi
Hal ini terutama berhubungan dengan simpul AV yaitu suatu impuls yang melaluinya
tak berhasil menembusnya hingga ujung yang lain, tetapi perubahan-[erubahan akibat
konduksi ini tetap terjadi, yaitu terutama mengenai periode refrakter.
 Konduksi aberan.
Konduksi aberan ialah konduksi yang menyimpang dari jalur normal. Hal ini
disebabkan terutama karena perbedaan periode refrakter berbagai bagian jalur konduksi.

99
Konduksi aberan bias terjadi di atria maupun ventrikel, tetapi yang terpenting ialah
konduksi ventricular aberan, yang ditandai dengan kompleks QRS yang melebar dan
konfigurasi yang berbeda. Konduksi atrial aberan diandai dengan P yang melebar dan
konfigurasi yang berbeda.
 Re-entri.
Re-entri ialah suatu keadaan dimana suatu impulas yang sudah keluar dari suatu jalur
konduksi, melalui suatu jalan lingkar masuk kembali ke jalur semula. Dengan demikian
bagian miokard yang bersangkutan mengalami depolarisasi berulang.
 Mekanisme lolos.
Suatu kompleks lolos ialah kompleks ektopik yang timbul karena terlambatnya impuls
yang datang dari arah atas. Kompleks lolos paling sering timbul di daerah penghubung
AV dan ventrikel, jarang di atria. Jelas bahwa mekanisme lolos ialah suatu mekanisme
penyelamatan system konduksi jantung agar jantung tetap berdenyut meskipun ada
gangguan datangnya impuls dari atas.

Klasifikasi
Pada umumnya aritmia dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1) Gangguan pembentukan impuls.
a. Gangguan pembentukan impuls di sinus
 · Takikardia sinus
 · Bradikardia sinus
 · Aritmia sinus
 · Henti sinus
b. Gangguan pembentukan impuls di atria (aritmia atrial).
 · Ekstrasistol atrial
 · Takiakardia atrial
 · Gelepar atrial
 · Fibrilasi atrial
 · Pemacu kelana atrial
c. Pembentukan impuls di penghubung AV (aritmia penghubung).
 · Ekstrasistole penghubung AV
 · Takikardia penghubung AV

100
 · Irama lolos penghubung AV
d. Pembentukan impuls di ventricular (Aritmia ventricular).
 · Ekstrasistole ventricular.
 · Takikardia ventricular.
 · Gelepar ventricular.
 · Fibrilasi ventricular.
 · Henti ventricular.
 · Irama lolos ventricular.
2) Gangguan penghantaran impuls.
 a. Blok sino atrial
 b. Blok atrio-ventrikular
 c. Blok intraventrikular

Etiologi
Penyebab dari aritmia jantung biasanya satu atau gabungan dari kelainan berikut
ini dalam sistem irama-konduksi jantung :
 Irama abnormal dari pacu jantung.
 Pergeseran pacu jantung dari nodus sinus ke bagian lain dari jantung.
 Blok pada tempat-tempat yang berbeda sewktu menghantarkan impuls melalui
jantung.
 Jalur hantaran impuls yang abnormal melalui jantung.
 Pembentukan yang spontan dari impuls abnormal pada hamper semua bagian
jantung.
Beberapa kondisi atau penyakit yang dapata menyebabkan aritmia adalah :
 Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard
(miokarditis karena infeksi).
 Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri koroner),
misalnya iskemia miokard, infark miokard.
 Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin, dan obat-obat anti
aritmia lainnya.
 Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia).

101
 Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja
dan irama jantung.
 Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
 Gangguan metabolic (asidosis, alkalosis).
 Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme).
 Gangguan irama jantung akibat gagal jantung.
 Gangguan irama jantung karena karmiopati atau tumor jantung.
 Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis system konduksi
jantung).

Manifestasi Klinis
DISRITMIA NODUS SINUS
 Bradikardia sinus
Bradikardi sinus bisa terjadi karena stimulasi vagal, intoksikasi digitalis,
peningkatan tekanan intrakanial, atau infark miokard (MI). Bradikardi sinus juga
dijumpai pada olahragawan berat, orang yang sangat kesakitan, atau orang yang
mendapat pengobatan (propanolol, reserpin, metildopa), pada keadaan hipoendokrin
(miksedema, penyakit adison, panhipopituitarisme), pada anoreksia nervosa, pada
hipotermia, dan setelah kerusakan bedah nodus SA.
Berikut adalah karakteristik disritmia
 · Frekuensi: 40 sampai 60 denyut per menit
 · Gelombang P: mendahului setiap kompleks QRS; interval PR normal
 · Kompleks QRS: biasanya normal
 · Hantaran: biasanya normal
 · Irama: reguler
Semua karakteristik bradikardi sinus sama dengan irama sinus normal, kecuali
frekuensinya. Bila frekuensi jantung yang lambat mengakibatkan perubahan
hemodinamika yang bermakna, sehingga menimbulkan sinkop (pingsan), angina, atau
disritmia ektopik, maka penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan frekuensi
jantung. Bila penurunan frekuensi jantung diakibatkan oleh stimulasi vagal (stimulasi
saraf vagul) seperti jongkok saat buang air besar atau buang air kecil, penatalaksanaan
harus diusahakan untuk mencegah stimulasi vagal lebih lanjut. Bila pasien mengalami

102
intoksikasi digitalis, maka digitalis harus dihentikan. Obat pilihan untuk menangani
bradikardia adalah atropine. Atropine akan menghambat stimulasi vagal, sehingga
memungkinkan untuk terjadinya frekuensi normal.
 Takikardia sinus
Takiakrdia sinus (denyut jantung cepat) dapat disebabkan oleh demam,
kehilangan darah akut, anemia, syok, latihan, gagal jantung kongestif, nyeri, keadaan
hipermetabolisme, kecemasan, simpatomimetika atau pengobatan parasimpatolitik.
Pola EKG takikardia sinus adalah sebagai berikut :
 Frekuensi : 100 sampai 180 denyut permenit.
 Gelombang P : Mendahului setiap kompleks QRS, dapat tenggelam dalam
gelombang T yang mendahuluinya; interval PR normal.
 Kompleks QRS : Biasanya mempunyai durasi normal.
 Hantaran : Biasanya normal.
 Irama : Reguler.
Semua aspek takikardia sinus sama dengan irama sinus normal kecuali
frekeunsinya. Tekanan sinus karotis, yang dilakukan pada salah satu sisi leher, mungkin
efektif memperlambat frekuensi untuk sementara, sehingga dapat membantu
menyingkirkan disritmia lainnya. Begitu frekuensi jantung meningkat, maka waktu
pengisian diastolic menurun, mengakibatkan penurunan curah jantung dan kemudian
timbul gejala sinkop dan tekanan darah rendah. Bila frekwensi tetap tinggi dan jantung
tidak mampu mengkompensasi dengan menurunkan pengisian ventrikel, pasien dapat
mengalami edema paru akut.
Penanganan takikardia sinus biasanya diarahkan untuk menghilangkan
penyebabknya. Propranolol dapat dipakai untuk menurunkan frekwensi jantung secara
cepat. Propranolol menyekat efek serat adrenergic, sehingga memperlambat frekwensi.

DISRITMIA ATRIUM
 Kontraksi premature atrium
Penyebab :
 Iritabilitas otot atrium karena kafein, alcohol, nikotin.
 Miokardium teregang seperti pada gagal jantung kongestif
 Stress atau kecemasan

103
 Hipokalemia
 Cedera
 Infark
 Keadaaan hipermetabolik.
Karakteristik :
 Frekwensi : 60 sampai 100 denyut per menit.
 Gelombang P : Biasanya mempunyai konfigurasi yang berbeda dengan
gelombang P yang berasal dari nodus SA.
 Kompleks QRS : Bisa normal, menyimpang atai tidak ada.
 Hantaran : Biasanya normal.
 Irama : Reguler, kecuali bila terjadi PAC. Gelombang P akan terjadi lebih awal
dalam siklus dan baisanya tidak akan mempunyai jeda kompensasi yang
lengkap.
Kontraksi atrium premature sering terlihat pada jantung normal. Pasien biasanya
mengatakan berdebar-debar. Berkurangnya denyut nadi (perbedaan antara frekwensi
denyut nadi dan denyut apeksi) bisa terjadi. Bila PAC jarang terjadi, tidak diperlukan
penatalaksanaan. Bila terjadi PAC sering (lebih dari 6 per menit) atau terjadi selama
repolarisasi atrium, dapat mengakibatkan disritmia serius seperti fibrilasi atrium. Sekali
lagi, pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
 Takikardia Atrium Paroksimal
Adalah takikardia atrium yang ditandai dengan awitan mendadak dan
penghentian mendadak. Dapat dicetuskan oleh emosi, tembakau, kafein, kelelahan,
pengobatan simpatomimetik atau alcohol. Takikardia atrium paroksimal biasanya tidak
berhubungan dengan penyakit jantung organic. Frekwensi yang sangat tinggi dapat
menyebabkan angina akibat penurunan pengisian arteri koroner. Curah jantung akan
menurun dan dapat terjadi gagal jantung.
Karakteristik :
 Frekwensi : 150 sampai 250 denyut per menit.
 Gelombang P : Ektopik dan mengalami distorsi dibanding gelombang P normal;
dapat ditemukan pada awal gelombang T; interval PR memendek (Kurang dari
0, 12 detik).

104
 Kompleks QR : Biasanya normal, tetapi dapat mengalami distorsi apabila terjadi
penyimpangan hantaran.
 Hantaran : Biasanya normal.
 Irama : Reguler.
Pasien biasanya tidak merasakan adanya PAT. Penanganan diarahkan untuk
menghilangkan penyebab dan menurunkan frekwensi jantung. Morfin dapat
memperlambat frekwensi tanpa penatalaksanaan lebih lanjut. Tekanan sinus karotis
yang dilakukan pada satu sisi, akan memperlambat atau menghentikan serangan dan
biasanya lebih efektif setelah pemberian digitalis atau vasopresor, yang dapat menekan
frekwensi jantung. Penggunaan vasopresor mempunyai efek refleks pada sinus karotis
dengan meningkatkan tekanan darah dan sehingga memperlambat frekwensi jantung.
Sediaan digitalis aktivitas singkat dapat digunakan. Propranolol dapat dicoba bila
digitalis tidak berhasil. Quinidin mungkin efektif, atau penyekat kalsium verapamil
dapat digunakan. Kardioversion mungkin diperlukan bila pasien tak dapat mentoleransi
meningkatnya frekwensi jantung.
 Fluter atrium
Terjadi bila ada titik focus di atrium yang menangkap irama jantung dan
membuat impuls antara 250 sampai 400 kali permenit. Karakter penting pada disritmia
ini adalah terjadinya penyekat tetapi terhadap nodus AV, yang mencegah penghantaran
beberapa impuls. Penghantaran impuls melalui jantung sebenarnya masih normal,
sehingga kompleks QRS tak terpengaruh. Inilah tanda penting dari disritmia tipe ini,
karena hantaran 1:1 impuls atrium yang dilepaskan 250 – 400 kali permenit akan
mengakibatkan fibrilasi ventrikel, suatu disritmia yang mengancam nyawa.
Karakteristik :
 Frekwensi : frekwensi atrium antara 250 sampai 400 kali denyut per menit.
 Irama : Reguler atau ireguler, tergantung jenis penyekatnya (misalnya 2:1, 3:1
atua kombinasinya).
 Gelombang P : Tidak ada, melainkan diganti oleh pola gigi gergaji yang
dihasilkan oleh focus di atrium yang melepaskan impuls dengan cepat.
Gelombang ini disebut sebagai gelombang F.
 Kompleks QRS : Konfigurasinya normal dan waktu hantarannya juga normal.
 Gelombang T : Ada namun bisa tertutup oleh gelombang flutter.

105
Penanganan yang sesuai sampai saat ini untuk flutter atriuma dalah sediaan
digitalis. Obat ini akan menguatkan penyekat nodus AV, sehingga memperlambat
frekwensinya. Quinidin juga dapat diberikan untuk menekan tempat atrium
ektopik.penggunaan digitalis bersama dengan quinidin biasanya bisa merubah disritmia
ini menjadi irama sinus. Terapi medis lain yang berguna adalah penyekat kanal kalsium
dan penyekat beta adrenergic. Bila terapi medis tidak berhasil, fluter atrium sering
berespons terhadap kardioversi listrik.
 Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrium (kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak
terkoordinasi) biasanya berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit
katup jantung, gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit
jantung congenital.
Karakteristik :
 Frekwensi : frekwensi atrium antara 350 sampai 600 denyut permenit; respons
ventrikuler biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
 Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak indulasi yang
iereguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang F, interval PR tidak
dapat diukur.
 Kompleks QRS : Biasanya normal .
 Hantaran : Biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respons ventrikuler
ireguler, karena nodus AV tidak berespon terhadap frekwensi atrium yang cepat,
maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespon ireguler.
 Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Ireguleritas irama
diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
Penanganan diarahkan untuk mengurangi iritabilitas atrium dan mengurangi
frekwensi respons ventrikel. Pasien dengan fibrilasi atrium kronik, perlu diberikan
terapi antikoagulan untuk mencegah tromboemboli yang dapat terbentuk di atrium.
Obat pilihan untuk menangani fibrilasi atrium sama dengan yang digunakan pada
penatalaksanaan PAT, preparat digitalis digunakan untuk memperlambat frekwensi
jantung dan antidisritmia seperti quinidin digunakan untuk menekan disritmia tersebut.

106
DISRITMIA VENTRIKEL
 Kontraksi Prematur Ventrikel
Kontraksi ventrikel premature (PVC) terjadi akibat peningkatan otomatisasi sel
otot ventrikel. PVC bisa disebabkan oleh toksisitas digitalis, hipoksia, hipokalemia,
demam, asidosis, latihan, atau peningkatan sirkulasi katekolamin. PVC jarang terjadi
dan tidak serius. Biasanya pasien merasa berdebar-debar teapi tidak ada keluhan lain.
Namun, demikian perhatian terletak pada kenyataan bahwa kontraksi premature ini
dapat menyebabkan disritmia ventrikel yang lebih serius. Pada pasien dengan miokard
infark akut, PVC bisa menjadi precursor serius terjadinya takikardia ventrikel dan
fibrilasi ventrikel bila :
 Jumlahnya meningkat lebih dari 6 per menit
 Multi focus atau berasal dari berbagai area di jantung.
 Terjadi berpasangan atau triplet
 Terjadi pada fase hantaran yang peka.
Gelombang T memeprlihatkan periode di mana jantung lebih berespons terhadap
setiap denyut adan tereksitasi secara disritmik. Fase hantaran gelombang T ini dikatakan
sebagai fase yang peka.
Karakteristik :
 Frekwensi : 60 sampai 100 denyut per menit.
 Gelombang P : Tidak akan muncul karena impuls berasal dari ventrikel.
 Kompleks QRS : Biasanya lebar dan aneh, berdurasi lebih dari 0, 10 detik.
Mungkin berasal dari satu focus yang sama dalam ventrikel; atau mungkin
memiliki berbagai bentuk konfigurasi bila terjadi dari multi focus di ventrikel.
 Hantaran : Terkadang retrograde melalui jaringan penyambung dan atrium.
 Irama : Ireguler bila terjadi denyut premature.
Untuk mengurangi iritabilitas ventrikel, harus ditentukan penyebabnya dan bila
mungkin, dikoreksi. Obat anti disritmia dapat dipergunakan untuk pengoabtan segera
atau jangka panjang. Obat yang biasanya dipakai pada penatalaksanaan akut adalah
lidokain, prokainamid, atau quinidin mungkin efektif untuk terapi jangka panjang.

107
 Bigemini Ventrikel
Bigemini ventrikel biasanya diakibatkan oleh intoksikasi digitalis, penyakit artei
koroner, MI akut, dan CHF. Istilah bigemini mengacu pada kondisi dimana setiap
denyut adalah prematur.
Karakteristik :
 Frekwensi : Dapat terjadi pada frekwensi jantung berapapun, tetapi biasanya
kurang dari 90 denyut per menit.
 Gelombang P : Seperti yang diterangkan pada PVC; dapat tersembunyi dalam
kompleks QRS.
 Kompleks QRS : Setiap denyut adalah PVC dengan kompleks QRS yang lebar
dan aneh dan terdapat jeda kompensasi lengkap.
 Hantaran : Denyut sinus dihantarkan dari nodus sinus secara normal, namun
PVC yang mulai berselang seling pada ventrikel akan mengakibatkan hantaran
retrograde ke jaringan penyambung dan atrium.
 Irama : Ireguler.
Bila terjadi denyut ektopik pada setiap denyut ketiga maka disebut trigemini,
tiap denyut keempat, quadrigemini.
Penanganan bigemini ventrikel adalah sama dengan PVC karena penyebab yang
sering mendasari adalah intoksikasi digitalis, sehingga penyebab ini harus disingkirkan
atau diobati bila ada. Bigemini ventrikel akibat intoksikasi digitalis diobati dengan
fenitoin (dilantin).
 Takikardia Ventrikel
Disritmia ini disebabkan oleh peningkatan iritabilitas miokard, seperti PVC.
Penyakit ini biasanya berhubungan dengan penyakit arteri koroner dan terjadi sebelum
fibrilasi ventrikel. Takikardia ventrikel sangat berbahaya dan harus dianggap sebagai
keadaan gawat darurat. Pasien biasanya sadar akan adanya irama cepat ini dan sangat
cemas. Irama ventrikuler yang dipercepat dan takikardia ventrikel mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
 Frekwensi : 150 sampai 200 denyut per menit.
 Gelombang P : Biasanya tenggelam dalam kompleks QRS; bila terlihat, tidak
slealu mempunyai pola yang sesuai dengan QRS. Kontraksi ventrikel tidak
berhubungan dengan kontraksi atrium.

108
 Kompleks QRS : Mempunyai konfigurasi yang sama dengan PVC- lebar dan
anerh, dengan gelombang T terbalik. Denyut ventrikel dapat bergabung dengan
QRS normal, menghasilkan denyut gabungan.
 Hantaran : Berasal dari ventrikel, dengan kemungkinan hantaran retrograde ke
jaringan penyambung dan atrium.
 Irama : Biasanya regular, tetapi dapat juga terjadi takiakrdia ventrikel ireguler.
Terapi yang akan diberikan dtentukan oleh dapat atau tidaknya pasien
bertoleransi terhadap irama yang cepat ini. Penyebab iritabilitas miokard harus dicari
dan dikoreksi segera. Obat antidisritmia dapat digunakan. Kardioversi perlu dilakukan
bila terdapat tanda-tanda penurunan curah jantung.
 Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah denyutan ventrikel yang cepat dan tak efektif. Pada
disritmia ini denyut jatung tidak terdengar dan tidak teraba, dan tidak ada respirasi.
Polanya sangat ireguler dan dapat dibedakan dengan disritmia tipe lainnya. Karena tidak
ada koordinasi antivitas jantung, maka dapat terjadi henti jantung dan kematian bila
fibrilasi ventrikel tidak segera dikoreksi.
Karateristik :
 Frekwensi : Cepat, tak terkoordinasi dan tak efektif.
 Gelombang P : Tidak terlihat.
 Kompleks QRS : CEpat, undulasi iregulertanpa pola yang khas (multifokal).
Ventrikel hanya memiliki gerakan yang bergetar.
 Hantaran : Banyak focus di ventrikel yang melepaskan impuls pada saat yang
sama mengakibatkan hantaran tidak terjadi; tidak terjadi kontraksi ventrikel.
 Irama : Sangat ireguler dan tidak terkordinasi, tanpa pola yang khusus.
 Penanganan segera adalah melalui defibrilasi.

Abnormalitas Hantaran
 Penyekat AV Derajat Satu
Penyekat AV derajat satu biasanya berhubungan dengan penyakit jantung
organic atau mungkin disebabkan oleh efek digitalis. Hal ini biasanya terlihat pad
apasien dengan infark miokard dinding inferior jantung.
Karakteristik :

109
 Frekwensi : Bervariasi, biasanya 60 sampai 100 denyut per menit.
 Gelombang P : Mendahului setiap kompleks QRS. Interval PR berdurasi lebih
besar dari 0, 20 detik.
 Kompleks QRS : Mengikuti setiap gelombang P, biasanya normal.
 Hantaran : Hantaran menjadi lambat, biasanya di setiap tempat antara jaringan
penyambung dan jaringan purkinje, menghasilkan interval PR yang panjang.
Hantaran ventrikel biasanya normal.
 Irama : Biasanya regular.
Disritmia ini penting karena dapat mengakibatkan hambatan jantung yang lebih
serius. Merupakan tanda bahaya. Maka pasien harus dipantau ketat untuk setiap tahap
lanjut penyekat jantung.
 Penyekat AV Derajat Dua
Penyekat AV derajat dua juga disebabkan oleh penyakit jantung organic, infark
miokard atau intoksikasi digitalis. Bentuk penyekat ini menghasilkan penurunan
frekwensi jantung dan biasanya penurunan curah jantung.
Karakteristik :
 Frekwensi : 30 sampai 55 denyut per menit. Frekwensi atrium dapat lebih cepat
dua , tiga atau empat kali disbanding frekwensi ventrikel.
 Gelombang P : Terdapat dua, tiga atau empat gelombang untuk setiap kompleks
QRS. Interval PR yang dihantarkan biasanya berdurasi normal.
 Kompleks QRS : Biasanya normal.
 Hantaran : Satu atau dua impuls tidak dihantarkan ke ventrikel.
 Irama : Biasanya lambat dan regular.
Bila terjadi irama ireguler, hal ini dapat diebabkan oleh kenyataan adanya
penyekat yang bervariasi antara 2:1 sampai 3:1 atau kombinasi lainnya.
Penanganan diarahkan untuk meningkatkan frekwensi jantung guna mempertahankan
curah jantung normal. Intoksikasi digitalis harus ditangani dan seitap pengoabtan
dengan fungsi depresi aktivitas miokard harus ditunda.
 Penyekat AV Derajat Tiga
Penyekat AV derajat tiga (penyekat jantung lengkap) juga berhubungan dengan
penyakit jantung organic, intoksikasi digitalis dan MI. frekwensi jantung berkurang

110
drastic, mengakibatkan penurunan perfusi ke organ vital, seprti otak, jantung, ginjal,
paru dan kulit.
Karakteristik :
 Asal : Impuls berasal dari nodus SA, tetapi tidak dihantarkan ke serat purkinje.
Mereka disekat secara lengkap. Maka setiap irama yang lolos dari daerah
penyambung atau ventrikel akan mengambil alih pacemaker.
 Frekwensi : frekwensi atrium 60 sampai 100 denyut per menit, frekwensi
ventrikel 40 sampai 60 denyut per menit bila irama yang lolos berasal dari
daerah penyambung, 20 sampai 40 denyut permenit bila irama yang lolos berasal
dari ventrikel.
 Gelombang P : Gelombang P yang berasal dari nodus SA terlihat regular
sepanjang irama, namun tidak ada hubungan dengan kompleks QRS.
 Kompleks QRS : Bila lolosnya irama berasal dari daerah penyambung , maka
kompleks QRS mempunyai konfigurasi supraventrikuler yang normal, tetapi
tidak berhubungan dengan gelombang P. kompleks QRS terjadi secara regular.
Bila irama yang lolos berasal dari ventrikel, kompleks QRS berdurasi 0, 10 detik
lebih lama dan baisanya lebar dan landai. Kompleks QRS tersebut mempunyai
konfigurasi seperti kompleks QRS pada PVC.
 Hantaran : Nodus SA melepaskan impuls dan gelombang P dapat dilihat. Namun
mereka disekat dan tidak dihantarkan ke ventrikel. Irama yang lolos dari daerah
penyambung biasnaya dihantarkan secara normal ke ventrikel. Irama yang lolos
dari ventrikel bersifat ektopik dengan konfigurasi yang menyimpang.
 Irama : Biasanya lambat tetapi regular.
 Penanganan diarahkan untuk meningkatkan perfusi ke organ vital. Penggunaan
pace maker temporer sangat dianjurkan. Mungkin perlu dipasang pace maker
permanent bila penyekat bersifat menetap.
 Asistole Ventrikel
Pada asistole ventrikel tidak akan terjadi kompleks QRS. Tidak ada denyut
jantung, denyut nadi dan pernapasan. Tanpa penatalaksanaan segera, asistole ventrikel
sangat fatal.
Karakteristik :
 Frekwensi : tidak ada.

111
 Gelombang P : Mungkin ada, tetapi tidak dapat dihantarkan ke nodus AV dan
ventrikel.
 Kompleks QRS : Tidak ada.
 Hantaran : Kemungkinan, hanya melalui atrium.
 Irama : Tidak ada.
Resusitasi jantung paru (CPR) perlu dilakukan agar pasien tetap hidup. Untuk
menurunkan stimulasi vagal, berikan atropine secara intravena. Efinefrin (intrakardiak)
harus diberikan secara berulang dengan interval setiap lima menit. Natrium bikarbonat
diberikan secara intravena. Diperlukan pemasangan pacemaker secara intratoraks,
transvena atau eksternal.

Prosedur Diagnostik
 EKG : Menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan oabt jantung.
 Monitor Holter : gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di
rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu
jantung/efek obat antidisritmia.
 Foto dada : Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan
dengan disfungsi ventrikel atau katup.
 Scan pencitraan miokardia : Dapat menunjukkan area iskemik/kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan
dinding dan kemampuan pompa.
 Tes stress latihan : Dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
 Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
menyebabkan disritmia.
 Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas jantung, adanya obat jalanan
atau dugaan interaksi obat, contoh digitalis, quinidin dan lain-lain.
 Pemeriksaan Tiroid : Peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan /meningkatnya disritmia.

112
 Laju Sedimentasi : Peninggian dapat menunjukkan proses inflamasi akut/aktif,
contoh endokarditis sebagai faktor pencetus untuk disritmia.
 GDA/Nadi Oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia.

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya tujuan terapi aritmia adalah (1) mengembalikan irama jantung
yang normal (rhythm control), (2) menurunkan frekuensi denyut jantung (rate control),
dan (3) mencegah terbentuknya bekuan darah.
Terapi sangat tergantung pada jenis aritmia. Sebagian gangguan ini tidak perlu
diterapi. Sebagian lagi dapat diterapi dengan obat-obatan. Jika kausa aritmia berhasil
dideteksi, maka tak ada yang lebih baik daripada menyembuhkan atau memperbaiki
penyebabnya secara spesifik. Aritmia sendiri, dapat diterapi dengan beberapa hal di
bawah ini.
Disritmia umumnya ditangani dengan terapi medis. Pada situasi dimana obat
saja tidak memcukupi, disediakan berbagai terapi mekanis tambahan. Terapi yang
paling sering adalah kardioversi elektif, defibrilasi dan pacemaker. Penatalaksanaan
bedah, meskipun jarang, juga dapat dilakukan.
Farmakologi
Ada beberapa jenis obat yang tersedia untuk mengendalikan aritmia. Pemilihan
obat harus dilakukan dengan hati-hati karena mereka pun memiliki efek samping.
Beberapa di antaranya justru menyebabkan aritimia bertambah parah. Evaluasi terhadap
efektivitas obat dapat dikerjkan melalui pemeriksaan EKG (pemeriksaan listrik
jantung).
Kardioversi
Kardioversi mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia
yang memiliki kompleks QRS, biasanya merupakan prosedur elektif. Pasien dalam
keadaan sadar dan diminta persetujuannya.
Defibrilasi
Defibrilasi adalah kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat
darurat. Biasanya terbatas penatalaksanaan fibrilasi ventrikel apabila tidak ada irama
jantung yang terorganisasi. Defibrilasi akan mendepolarisasi secara lengkap semua sel

113
miokard sekaligus, sehingga memungkinkan nodus sinus memperoleh kembali
fungsinya sebagai pacemaker.
Defibrilator Kardioverter Implantabel
Adalah suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takiakrdia ventrikel
yang mengancam jiwa atau pada pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami
fibrilasi ventrikel.
Terapi Pacemaker
Pacemaker adalah alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik
berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekwensi jantung. Alat ini memulai dan
memeprtahankan frekwensi jantung kerika pacemaker alamiah jantung tak mampu lagi
memenuhi fungsinya. Pacemaker biasanya digunakan bila pasien mengalami gangguan
hantaran atau loncatan gangguan hantaran yang mengakibatkan kegagalan curah
jantung.

PEMBEDAHAN HANTARAN JANTUNG


Takikardian atrium dan ventrikel yang tidak berespons terhadap pengobatan dan
tidak sesuai untuk cetusan anti takikardia dapat ditangani dengan metode selain obat dan
pacemaker. Metode tersebut mencakup isolasi endokardial, reseksi endokardial,
krioablasi, ablasi listrik dan ablasi frekwensi radio.
Isolasi endokardial dilakukan dengan membuat irisan ke dalam endokardium,
memisahkannya dari area endokardium tempat dimana terjadi disritmia. Batas irisan
kemudian dijahit kembali. Irisan dan jaringan parut yang ditimbulkan akan mencegah
disritmia mempengaruhi seluruh jantung.
Pada reseksi endokardial, sumber disritmia diidentifikasi dan daerah
endokardium tersebut dikelupas. Tidak perlu dilakukan rekonstruksi atau perbaikan.
Krioablasi dilakukan dengan meletakkkan alat khusus, yang didinginkan sampai suhu -
60ºC (-76ºF), pada endokardium di tempat asal disritmia selama 2 menit. Daerah yang
membeku akan menjadi jaringan parut kecil dan sumber disritmia dapat dihilangkan.
Pada ablasi listrik sebuah kateter dimasukkan pada atau dekat sumber disritmia
dan satu sampai lima syok sebesar 100 sampai 300 joule diberikan melalui kateter
langsung ke endokardium dan jaringan sekitarnya. Jaringan jantung menjadi terbakar
dan menjadi parut, sehingga menghilangkan sumber disritmia.

114
Ablasi frekwensi radio dilakukan dengan memasang kateter khusus pada atau
dekat asal disritmia. Gelombang suara frekwensi tinggi kemudian disalurkan melalui
kateter tersebut, untuk menghancurkan jaringan disritmik. Kerusakan jaringan yang
ditimbulkan lebih spesifik yaitu hanya pada jaringan disritmik saja disertai trauma kecil
pada jaringan sekitarnya dan bukan trauma luas seperti pada krioablasi atau ablasi
listrik.

115
SKENARIO 5
Ada Apa Dengan Endi???

Endi, Laki-laki, 26 tahun, datang ke klinik dokter umum karena sejak 1 bulan
yang lalu mengalami demam yang hilang timbul, disertai dengan sakit kepala, lemas,
tidak nafsu makan dan berat badan yang terus menurun. Selain keluhan tersebut, dalam
3 hari ini Endi juga mengeluh cepat lelah dan sesak napas yang muncul saat beraktivitas
(Endi memang memiliki riwayat penyakit katup jantung) dan sebelumnya tidak pernah
mengalami hal yang seperti ini. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan TD:
120/90 mmHg, Nadi: 86 x permenit, ireguler, RR: 26 x permenit dan suhu 40,5ºC. Pada
pemeriksaan fisik kepala dan leher, hanya terdapat peningkatan TVJ sebesar R+4
cmH2O. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan ronchi basah halus di basal paru. Dan
pada pemeriksaan jantung ditemukan murmur holosistolik dan bunyi jantung II (BJ II)
yang terdengar lebih dominan di apeks jantung. Pada extrimitas dijumpai gambaran
splinter pada jari-jari kedua tangan.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, dokter segera melakukan
pemeriksaan laboraturium darah rutin, dan diperoleh hasil Hb 10,5 gr/dl, leukosit
23.000/ul, trombosit 153.000/ul dan Ht 33%. Seterusnya dokter langsung merujuk Endi
ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap untuk mengetahui
apakah yang telah terjadi terhadap Endi.
Sebagai calon dokter, bagaimanakah anda menjelaskan kondisi endi tersebut???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan klasifikasi penyakit infeksi jantung dan penyakit katup jantung
2. Menjelaskan etiologi dan faktor risiko penyakit infeksi jantung dan penyakit katup
jantung
3. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit infeksi jantung dan penyakit
katup jantung
4. Menjelaskan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya pada penyakit
infeksi jantung dan penyakit katup jantung

116
5. Menjelaskan pemeriksaan fisik pada penyakit infeksi jantung dan penyakit katup
jantung
6. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif penyakit infeksi jantung dan penyakit
katup jantung
7. Menjelaskan komplikasi penyakit infeksi jantung penyakit infeksi jantung dan
penyakit katup jantung
8. Menjelaskan prognosis penyakit infeksi jantung dan penyakit katup jantung

117
ENDOKARDITIS INFEKTIF

Endokarditis infektif (EI) adalah infeksi mikroba pada permukaan endotel


jantung atau pada pembuluh darah besar. Infeksi biasanya paling banyak mengenai
katup jantung, namun dapat juga terjadi pada lokasi defek septal, atau chordae
tendineae atau endokardium mural. Lesi yang khas berupa vegetasi, yaitu massa yang
terdiri platelet, fibrin, mikroorganisme dan sel-sel inflamasi, dengan ukuran yang
bervariasi. Banyak jenis bakteri dan jamur, mycobacteria, rickettsiae, chlamydiae dan
mikoplasma menjadi penyebab EI, namun streptococci, staphylococci, enterococci dan
cocobacilli gram negatif yang berkembang lambat (fastidious) merupakan penyebab
tersering.
Terminologi akut dan subakut sering dipakai untuk menggambarkan EI, sbb:
 EI akut menunjukkan toksisitas yang nyata dan berkembang dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu, mengakibatkan destruksi katup jantung dan infeksi
metastatik, dan penyebabnya khas yaitu Staphylococcus aureus.
 EI subakut berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan
penyebabnya biasanya Streptococcus viridans, enterococci, staphylococci koagulase
negatif atau coccobacilli gram negatif.
Sedangkan endokarditis non infektif adalah penyakit yang disebabkan oleh
faktor trombosis yang disertai dengan vegetasi, yang sering dijumpai pada penderita
stadium akhir proses keganasan.
Epidemiologi
Insiden EI relative stabil dari tahun 1950 sampai 1987 kira-kira 4,2 per 100.000
pasien per tahun. Pada awal tahun 1980-anatomi insiden EI setipa tahun per 100.000
populasi adalah 2,0 di United Kingdom dan Wales, dan 1,9 di Netherland.
Insidenyang tinggi ter jadi dari tahun 1984 sampai 1999. 5,9 dan 11,6 episode per
100.000 populasi dilaporkan dari Sweden dan Philadelphia. Injeksi obat-obat terlarang
menjadi penyebab seperdua darai seluruh kasus di Philadelphia. Endokarditis infektif
biasanya terjadi lebih sering pada laki-laki; Rasio jenis kelaminnya adalah 1,6:2,5.
Insiden berdasarkan umur meningkat secara progressif pada usia lebih dari 30 tahun
dan melebihi dari 14,5 samp-ai 30 kasus per 100,000 orang pertahun pada orang yang
berusia usia 60 tahun sampai usia 80 tahun. Dari 36 sampai 75 persen pasien

118
endokarditis katup mempunyai kondisi predisposisi: penyakit jantung rematik, penyakit
jantung bawaan, prolaps katup mitral, penyakit jantung degenerative, hipertrofi septal
asimetrik, atau suntikan obat terlarang intravena. Dari 7 sampai 25 persen kasus
mengenai katup prostetik. Kondisi predisposisi tidak dapat diidentifikasi pada 25
sampai 47 persen pasien.
Klasifikasi dan Terminologi
Berbeda dengan klasifikasi lama yang membedakan akut, subakut dan kronik,
klasifikasi baru merujuk kepada:
- Aktivitas penyakit dan rekurensi: membedakan aktif dan sembuh terutama penting
untuk pasien yang menjalani operasi. EI aktif jika kultur darah positif dan demam
ada pada saat operasi, atau kultur positif saat operasi atau morfologi inflamasi aktif
ditemukan intraoperatif, atau operasi dikerjakan sebelum terapi antibiotik lengkap
selesai. Akhir-akhir ini direkomendasikan menyebut EI aktif jika diagnosis
ditetapkan <2 bulan sebelum operasi.
- Status diagnosis: definite, suspected dan possible.
Kriteria ini berdasarkan kriteria klinis Duke, yaitu:
EI defenite
 Kriteria Patologis; Mikroorganisme: ditemukan dengan kultur atau histologi
dalam vegetasi, dalam vegetasi yang mengalami emboli, atau dalam suatu abses
intrakardiak. Dan Lesi patologis: vegetasi atau terdapat abses intrakardiak, yang
dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis infektif.
 Kriteria Klinis; menggunakan definisi spesifik, yaitu dua kriteria mayor, atau
satu mayor dan tiga kriteria minor, atau lima kriteria minor, dimana:
Kriteria Mayor
1. Kultur darah positif untuk EI
a. Mikroorganisme klias konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah
seperti tertulis di bawah ini:
(i) Streptococci viridavis, Streptococcus bovis atau grup HACEK, atau
(ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci,
tanpa ada fokus primer, atau
b. Mikroorganisme konsisten dengan ET dari kultur darah positif persisten
di definisikan sebagai:

119
(i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah 12 jam, atau
(ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari > 4 kultur darah terpisah (dengan
sampel awal dan akhir diambil terpisah > 1 jam)
2. Bukti keterlibatan endokardial
a. Ekokardiogram positif untuk EI didefmisikan sebagai
(i) Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur yang
menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang
diimplantasikan tanpa ada altematif anatomi yang dapat
menerangkan, atau
(ii) Abses, atau
(iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau
b. Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari
murmur yang ada sebelumnya tidak cukup.
Kriteria Minor
1. Predisposisi: predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena.
2. Demam: suhu > 38oC.
3. Fenomena vaskular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma
mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva dan lesi Janeway.
4. Fenomena Imunologis: glomerulonefritis, Osier's nodes. Roth Spots, dan
faktor rheumatoid.
5. Bukti mikrobiologi: kultur darah positif tetapi tidak memenuhi kriteria
mayor seperti tertulis di atas atau bukti serologis infeksi aktif oleh
mikroorganisme konsisten dengan EI.
6. Temuan ekokardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria
seperti tertulis di atas.
EI Posible
Temuan konsisten dengan EI, turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi
kriteria rejected.
EI Rejected
Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau resolusi
manifestasi endok arditis dengan terapi antibiotika selama < 4 hari, atau tidak

120
ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi, estela terapi antibiotika
selama < 4 hari.
- Patogenesis: endokarditis pada katup asli (native valve endocarditis), endokarditis
katup prostetik (prostethetic valve endocarditis) dan endokarditis pada penyalah
guna narkoba intravena (intravenous drug abuse).
- Lokasi anatomis: EI pada sisi kanan jantung (right sided endocarditis dan EI pada
sisi kiri jantung (left sided endocarditis.
- Mikrobiologi: jika organisme penyebab dapat diidentifikasi. Jika tidak ditemukan
secara mikrobiologi disebut EI mikrobiologi negatif.
Faktor predisposisi
Kelainan-kelainan yang dapat menjadi predisposisi, yaitu:
- Kelainan katup jantung, terutama penyakit jantung rematik, katup aorta bikuspid,
prolaps katup mitral dengan regurgitasi.
- Katup buatan.
- Katup yang floppy pada sindrom Marfan.
- Tindakan bedah gigi atau orofaring yang baru.
- Tindakan atau pembedahan pada saluran pernapasan.
- Pecandu narkotika intravena.
- Kelainan jantung bawaan: PDA, VSD, TOF, kaorktasio, dsb.
- Luka bakar.
- Hemodialisis.
- Penggunaan kateter vena sentral dan pemberian nutrisi parenteral yang lama.
- Usia lanjut.
Patogenesis
Mekanisme terjadinya EI pada pasien dengan katup normal belum diketahui
dengan pasti. Mikrotrombi steril yang menempel pada endokardium yang rusak diduga
merupakan nidus primer untuk adhesi bakteri. Faktor hemodinamik (stres mekanik) dan
proses imunologis mempunyai peran penting pada kerusakan endokard. Adanya
kerusakan endotel, selanjutnya akan mengakibatkan deposisi fibrin dan agregasi
trombosit, sehingga akan terbentuk lesi nonbacterial thrombotic endocardial (NBTE).
Jika terjadi infeksi mikroorganisme, yang masuk dalam sirkulasi melalui infeksi fokal
atau trauma, maka endokarditis non bakterial akan menjadi endokarditis infektif.

121
Faktor-faktor yang terdapat pada bakteri seperti dekstran, ikatan fibronektin dan asam
teichoic berpengaruh terhadap perlekatan bakteri dengan matriks fibrin-trombosit pada
katup yang rusak.
Tahapan patogenesis endokarditis dapat dilihat, sbb:
 Kerusakan endotel katup
 Pembentukan trombus fibrin-trombosit
 Perlekatan bakteri pada plak trombus-trombosit
 Proliferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen

Patogenesis EI pada PNIV (Penyalahguna Narkoba Intravena)


Beberapa teori mengemukakan adanya kerusakan endotel (endothelial injury),
karena bombardir secara terus menerus oleh partikel yang terdapat pada materi yang
diinjeksikan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya granulasi talk subendotel pada
katup trikuspid pasien EI yang diautopsi. Karena materi yang diinjeksikan secara
intravena, katup jantung yang pertama menyaring partikel adalah sisi kanan jantung. Di
samping kerusakan mekanis secara langsung, faktor lain yang juga berperan adalah
diluent (pelarut) yang dipakai dapat menyebabkan vasospasme, kerusakan intima, dan

122
pembentukan trombus. Selain itu obat adiktif sendiri dapat menyebabkan kerusakan
endotel. Pada PNIV kuman dapat berasal dari kulit yang tak steril maupun jarum yang
tak steril/spuit yang terkontaminasi kuman dan berfungsi sebagai reservoir pada
penggunaan berikutnya. Oleh karena Staphylococcus aureus merupakan kuman flora
kulit normal, maka kuman ini merupakan kuman penyebab tersering, berkisar antara 50-
60%.
Patofisiologi
Manifestasi klinis EI merupakan akibat dari beberapa mekanisme antara lain:
 Efek destruksi lokal akibat infeksi intrakardiak. Koloni kuman pada katup jantung
dan jaringan sekitarnya dapat mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katup,
terbentuk abses atau perluasan vegetasi ke perivalvular.
 Adanya vegetasi fragmen septik yang terlepas, dapat mengakibatkan terjadinya
tromboemboli, mulai dari emboli paru (vegetasi katup trikuspid) atau sampai ke otak
(vegetasi sisi kiri), yang merupakan emboli septik.
 Vegetasi akan melepas bakteri secara terus menerus ke dalam sirkulasi (bakteremia
kontinus), yang mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, malaise, tak
nafsu makan, penurunan berat badan dan lain-lain.
 Respons antibodi humeral dan selular terhadap infeksi mikroorganisme dengan
kerusakan jaringan akibat kompleks imun atau interaksi komplemen-antibodi
dengan antigen yang menetap dalam jaringan. Manifestasi klinis El dapat berupa;
petekie, Osier's node, artritis, glomerulonefritis dan faktor reumatoid positif.

Manifestasi Klinis
Demam merupakan gejala dan tanda yang paling sering ditemukan pada EI.
Demam mungkin tak ditemukan atau minimal pada pasien usia lanjut atau pada gagal

123
jantung kongestif, debilitas berat, gagal ginjal kronik dan jarang pada EI katup asli yang
disebabkan stafilokokus koagulase negatif.
Murmur jantung ditemukan pada 80-85% pasien EI katup asli, dan sering tidak
terdengar pada EI katup asli. Pembesaran limpa ditemukan pada 15-50% pasien dan
lebih sering pada EI subakut.
Petekie, merupakan manifestasi perifer tersering, dapat ditemukan pada
konjungtiva palpebra, mukosa palatal dan bukal, ekstremitas dan tidak spesifik pada EI.
Splinter atau subungual hemorrhages merupakan gambaran merah gelap, linier atau
jarang berupa flame-shaped streak pada dasar kuku atau jari, biasanya pada bagian
proksimal. Osier nodes biasanya berupa nodul subkutan kecil yang nyeri yang terdapat
pada jari atau jarang pada jari lebih proksimal dan menetap dalam beberapa jam atau
hari, dan tak patognomonis untuk EI. Lesi Janeway berupa eritema kecil atau makula
hemoragis yang tak nyeri pada tapak tangan atau kaki dan merupakan akibat emboli
septik. Roth spots, perdarahan retina oval dengan pusat yang pucat jarang ditemukan
pada EI.
Gejala muskuloskletal sering ditemukan berupa artralgia dan mialgia, jarang
artritis dan nyeri bagian belakang yang prominen.
Emboli sistemik merupakan sequellae klinis tersering EI, dapat terjadi sampai
40% pasien dan kejadiannya cenderung menurun selama terapi antibiotik yang efektif.
Gejala dan tanda neurologis terjadi pada 30-40% pasien EI dan dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas. Strok emboli merupakan manifestasi klinis tersering.
Manifestasi klinis lain yaitu perdarahan intrakranial yang berasal dari ruptur aneurisma
mikotik, ruptur arteri karena arteritis septik, kejang, ensefalopati, maupun jari-jari tabuh
pada tangan dan kaki.

124
Diagnosis
EI ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti,
pemeriksaan laboratorium antara lain: kultur darah dan pemeriksaan penunjang
ekokardiografi. Investigasi diagnosis harus dilakukan jika pasien demam disertai satu
atau lebih gejala kardinal; ada predisposisi lesi jantung atau pola lingkungan,
bakteremia, fenomena emboli dan bukti proses endokard aktif, serta pasien dengan
katup prostetik.
Pada anamnesis, keluhan yang paling sering ditemukan adalah demam (80-
85%). Keluhan lain dapat berupa menggigil, sesak napas, batuk, nyeri dada, mual,
muntah, penurunan berat badan dan nyeri otot atau sendi. Pemeriksaan fisis yang cukup
penting adalah ditemukannya murmur yang merupakan petunjuk lokasi keterlibatan
katup (80-85 %). Pada EI dengan keterlibatan katup trikuspid murmur ditemukan pada
30-50% kasus pada presentasi awal. Murmur yang khas adalah blowing holosistolik
pada garis stemal kiri bawah dan terdengar lebih jelas pada saat inspirasi (Rivello-
Carvallo maneuver). Sedangkan EI pada katup jantung kiri, murmur ditemukan pada
lebih dari 90%. Tanda EI pada pemeriksaan fisis yang lain adalah kelainan kulit antara
lain fenomena emboli, splenomegali, clubbing, petekie, Osier" s node dan lesi Janeway,
lesi retina/Roth spots. Diagnosis EI perlu diwaspadai pada PNIV yang disertai gejala

125
demam. Marantz el al, mendapatkan diagnosis EI pada 13% pasien PNIV yang
menderita demam yang datang ke Instalasi Gawat Darurat. Kecermatan dalam
menentukan diagnosis secara cepat, sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien
secara optimal, sehingga terapi terhadap EI dan komplikasinya dapat dilakukan sedini
mungkin.
Kultur darah yang positif merupakan kriteria diagnostik utama dan memberikan
petunjuk sensitivitas antimikroba. Beberapa peneliti merekomendasikan kultur darah
diambil pada saat suhu tubuh tinggi. Dianjurkan pengambilan darah kultur 3 kali,
sekurang-kurangnya dengan interval 1 jam, dan tidak melalui jalur infus. Pemeriksaan
kultur darah terdiri atas satu botol untuk kuman aerob dan satu botol untuk kuman
anaerob dan diencerkan sekurang-kurangnya 1:5 dalam broth media. Minimal jumlah
darah yang diambil 5 ml, lebih baik 10 ml pada orang dewasa. Jika kondisi pasien tidak
akut, terapi antibiotika dapat ditunda 2-4 hari.
Pemeriksaan ekokardiografi sangat berguna dalam menegakkan diagnosis
terutama jika kultur darah negatif. Demikian juga pada diagnosis bakteremia persisten
di mana sumber infeksi belum dapat diketahui. Deteksi ekokardiografi transtorakal
(TTE) pada pasien yang dicurigai EI sekitar 50%. Pada katup asli sekitar 20% TTE
memperiihatkan kualitas suboptimal. Hanya 25% vegetasi <5 mm dapat diidentifikasi,
persentase meningkat sampai 70% pada vegetasi >6 mm. Jika bukti klinis EI ditemukan,
ekokardiografi transesofageal (TEE) meningkatkan sensitivitas kriteria Duke untuk
diagnosis pasti EI. Sensitivitas TEE dilaporkan 88-100% dan spesifisitas 91-100%. Pada
kasus yang dicurigai terdapat komplikasi, seperti pasien dengan katup prostetik dan
kondisi tertentu seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), atau terdapat deformitas
pada dinding dada, ekokardiografi transesofageal lebih terpilih daripada transtorakal.
Penatalaksanaan
Pada keadaan EI akut, antibiotika yang dipilih haruslah yang mempunyai
spektrum luas yang dapat mencakup S. aureus, Streptokokus dan basil gram negatif.
Sedangkan pada keadaan EI subakut regimen terapi yang dipilih harus dapat membasmi
Streptokokus termasuk E. faecalis. Terapi empiris mi biasanya hanya diperlukan
beberapa hari sambil menunggu hasil tes sensitivitas yang akan menentukan modifikasi
terapi.

126
Untuk memudahkan dalam penatalaksanaan EI, telah dikeluarkan beberapa guidelines
(pedoman) yaitu: American Heart Association (AHA) dan European Society of
Cardiology (ESC). Rekomendasi yang dianjurkan kedua pedoman ini pada prinsipnya
hampir sama. Penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi penisilin ditambah
amitioglikpsida membasmi kuman lebih cepat daripada penisilin saja.
Regimen terapi yang pemah diteliti antara lain: seftriakson 1 x 2 gram IV selama
4 minggu, diberikan pada kasus EI karena Streptococcus. Pemberian regimen ini cukup
efektif dan aman, praktis karena pemberiannya satu kali dalam sehari, dan dapat
diberikan sebagai terapi rawat jalan. Beberapa penelitian lain juga melaporkan
efektivitas regimen terapi oral: siprofloksasin 2 x 750 mg dan rifampisin 2 x 300 mg
selama 4 minggu dan dapat diberikan pada pasien rawat jalan. Regimen terapi
vankomisin merupakan terapi pilihan pada kasus EI dengan methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), walaupun demikian respons klinis yang lambat masih
cukup sering ditemukan. Infeksi HIV sering ditemukan pada pasien EI yang disebabkan
PNIV, sekitar 75%. Penatalaksanaannya pada prinsipnya sama, terapi antibiotika
diberikan secara maksimal dan tidak boleh dengan regimen terapi jangka pendek.
Intervensi surgikal dianjurkan pada beberapa keadaan antara lain:
1. Vegetasi menetap setelah emboli sistemik: vegetasi pada katup mitral anterior,
terutama dengan ukuran >10 mm atau ukuran vegetasi meningkat setelah terapi
antimikroba 4 minggu.
2. Regurgitasi. aorta atau mitral akut dengan tanda-tanda gagal ventrikel.
3. Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis.
4. Perforasi atau ruptur katup.
5. Ekstensi perivalvular: abses besar atau ekstensi abses walaupun terapi antimikroba
adekuat.
6. Bakteriemia menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat.
Komplikasi
Komplikasi EI dapat terjadi pada setiap organ, sesuai dengan patofisiologi
terjadinya manifestasi klinis (lihat patofisiologi):
1. Jantung : katup jantung: regurgitasi, gagal jantung, abses
2. Paru : emboli paru, pneumonia, pneumotoraks, empiema dan abses.
3. Ginjal : glomerulonefritis.

127
4. Otak : perdarahan subaraknoid, strok emboli, infark serebral.

Melakukan Kultur Darah


Dianjurkan mengambil tiga set darah vena dengan lokasi pungsi yang berbeda
dalam 24 jam untuk mengevaluasi paisen yang diduga endokarditis. Setiap set terdiri
dari dua tabung yaitu satu tabung berisi medium aerob dan tabung kedua berisi
thyoglycollate broth (medium anaerob). Sekurang-kurangnya 10 ml darah dimasukkan
ke dalam setiap tabung.
Petugas laboratorium sebaiknya diberitahu bahwa kemungkinan diagnosisnya
adalah endokarditis dan bisa saja disebabkan oleh bakteri yang tidak biasa (misalnya
spesie legionella, spesies Bartonella, atau organism HACEK). JIka pasien stabil secara
klinis dan sudah mendapatkan pengobatan antibiotic selama beberapa minggu
sebelumnya maka jangan dulu diberikan antibiotic agar dapat diperoleh kultur positif
pada hari-hari berikutnya. Jika diduga penyebabnya kemungkinan besar jamur maka
maka darah yang dikultur harus dilisis dengan sentrifugasi (metode lisis-sentrifugasi).
Petugas laboratorium harus diberitahu agar menyimpan organism hasil kultur sampai
pengobatan endokarditis selesai. Pemeriksaan serologi kadang dilakukan untuk
diagnosis endokarditis yang diduga disebabkan oleh spesies Brucella, spesies
Legionella, spesies Bartonella, spesies Burnetii, atau spesies Chlamidya. Dengan teknik
khusus, misalnya teknik PCR organism yang sulit diketahui melalui biakan darah atau
serology dapat ditemukan dalam darah atau vegetasi.
Baktreremia menetap adalah khas pada EI. Bakteremia menetap adalah
bakteremia yang berlangsung minimal selama 1 jam. Jadi harus dibedakan dengan
bakteremia sementara yang berlangsung kurang dari 1 jam. Apabila beberapa hasil
kultur darah positif dalam 24 jam atau lebih ditambah bakteremia menetap maka sangat
kuat diagnosanya adalah EI. Jenis organism penyebab juga dapat menguatkan
diagnosis. Organisme penyebab dikelompokkan menjadi tiga yaitu yang sering
menimbulkan EI, yang jarang menimbulkan EI, dan organism netral yaitu jika
ditemukan dalam darah dapat menyebabkan EI atau bukan EI misalnya enterokokkus
dan S. aureus.

128
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan hematologi biasanya abnormal. Ditemukan anemia
normositik normokromik, kiadar zat besi dalam serum rendah, serum iron-binding
capacity rendah, pada 70 sampai 90 persen pasien. Anemia memburuk jika penyakit
semakin lama sehingga pada EI akut bisa tidak dijumpai anemia. Pada EI subakut,
jumlah lekosit normal akan tetapi pada EI subakut dijumpai peningkatan segmen
granulosit. Trombositopenia jarang.
Laju endap darah (LED) meningkat yaitu sekitar 55 mm/menit pada hampir
semua pasien EI. LED tidak meningkat pada CHF, gagalginjal, atau koagulasi
intravaskuler disseminate. Masih ada pemeriksaan lainnya tetapi tidak perlu dilakukan
karena biyanya mahal dan tidak efektif dalam mendiagnosis EI misalnya pemeriksaan
immune dan tanda-tanda peradangan yaitu kompleks immune dalam sirkulasi, factor
rheumatoid, immune globulin, cryio-globulin dan pemeriksaan kadar C-reactive
protein. Pemeriksaan kompleks immune dan komplemen dalam sirkulasi bisa
bermanfaat untuk mengevaluasi azotemia yang disebabkan oleh glomerulonefritis
kompleks immune difus.
Hasil urinalisis biasanya abnormal walaupun fungsi ginjal normal. Proteinuria
dan hematuria mikroskopik (hematuria samar) ditemukan pada 50 persen pasien.
Ekokardiografi
Ekokardiografi bermanfaat untuk mengetahui kerusakan anatomi/morfologi
yang ditimbulkan oleh infeksi. Ekokardiografi tidak perlu dilakukan pada pasien
dengan kultur darah positif atau pasien demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever
of unknown origin/FUO) jika dugaan kemungkinan EI rendah. Akan tetapi
ekokardiografi sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang klinisnya mengarah ke EI,
khususnya pasien yang kultur darahnya negative. Pada pasien endokarditis katup
digunakan TEE biplane (dua bidang) ata multiplane (banyak bidang) yang mempunyai
color dan pulsed Doppler karena lebih baik daripada TTE. Dengan TEE dapat terlihat
vegetasi kecil dan resolusinya lebih baik daripada TTE. Jadi TEE bukan hanya sangat
bermanfaat untuk pasien yang disuspect EI tetapi juga merupakan pilihan pemeriksaan
untuk mengevaluasi katup pulmonal, pasien endokarditis katup prostetik, dan pasien
yang beresiko tinggi mengalami komplikasi dalam jantung atau pasien yang tetap
mengalami infeksi atau invasi infeksi padahal sudah diberikan antibiotik.

129
Keputusan untuk pemeriksaan ekokardiografi untuk diagnosis endokarditis
katup pada pasien yang bakteremia, anggaplah jika pemeriksaan dengan TEE meningkat
kemunginan diagnosisnya sebesar 15 persen disbanding TTE, maka strategi untuk
menekan biaya pemeriksaan yang efektif adalah (1) apabila kemungkinan IE kurang
dari 2 persen maka obati pasien bakteremia tanpa perlu pemeriksaan ekokardiografi, (2)
apabila kemungkinan IE adalah 2-4 persen maka gunakan TTE dan ap-abila (3)
kemungkinan EI 5 sampai 45 persen gunakan TEE. Apabila kemungkinan IE lebih dari
45 persen maka pengobatan tanpa ekokardiografi cukup menghemat biaya akan tetapi
seringkali tetap dilakukan TEE untuk mengevaluasi komplikasi dan resiko lainnya.
Data-data hasil pemeriksaan TEE biasanya tidak mengubah rencana pengobatan dari
data yang diperoleh dari TTE sebelumnya apabila TTE berhasil mendeteksi
endokarditis.

PENYAKIT JANTUNG RHEUMATIK

Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat
karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah
penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR),
yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu
kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus
grup A pada saluran napas bagian atas.
PJR lebih sering terjadi pada penderita yang menderita keterlibatan jantung yang
berat pada serangan DR akut. PJR kronik dapat ditemukan tanpa adanya riwayat DR
akut. Hal ini terutama didapatkan pada penderita dewasa dengan ditemukannya kelainan
katup. Kemungkinan sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan karditis
rematik subklinis, sehingga tidak berobat dan tidak didiagnosis pada stadium akut.
Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah pada katup mitral, kira-kira tiga
kali lebih banyak daripada katup aorta.

130
Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral)
Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa
anak-anak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi
pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna.
Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah
dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat
kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara
bermakna. Hal ini dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan,
karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung.
Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada
penyakit ringanm tanda-tanda gagal jantung tidak ada. Pada insufisiensi berat terdapat
tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan
turun, pucat.
Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh
PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral
(tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat
membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah,
sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung
kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam
kondisi yang berat.
Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta)
PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar
kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat
disebabkan oleh dilatasi aorta, yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi
sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses
radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh
karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan.
Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka
klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat
dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk
menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung.

131
Stenosis Aorta
Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana
lokasi obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejala-gejala
stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat
didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat.
Diagnosis Penyakit Jantung Rematik
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk
pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal
sebagai kriteria Jones.
Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya
merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan
selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2
kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti
adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya
demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis
demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan
manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang
biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan
infeksi strepthkokus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai
suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa
overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Kriteria Mayor
1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena
merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita
pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung
rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya
salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b)
kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan

132
manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan
gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan
yang lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah
apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan
bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya
dilatasi ventrikel kiri.
2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan
keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling
sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya
berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah,
sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada
waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang
lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi
(monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar
dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-
kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus
didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi.
3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan
yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya
mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot
dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun
atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Syndenham
merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap
sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain.
Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga
tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai
timbul.
4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam
rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak
terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara
sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan
terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak

133
pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap,
berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan
oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini
hanya ditemukan pada kasus yang berat.
5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat
di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini
berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya,
dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya
tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
Kriteria Minor
1) Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria
minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada
kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara
baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis
2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau
keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau
jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi
pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila
poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C,
terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam
derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak
spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini
tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.
4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein
C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau
infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik,
kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung
kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi
mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein

134
C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif
tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat
dipertanyakan
5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan
abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada
demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik.
Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai
akan adanya karditis rematik.
Pemeriksaan Penunjang
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar
untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi
streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada
orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat
dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut.
Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan
tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut.
Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan
adanya infeksi streptokokus akut.

135
SKENARIO 6
Pak Ateng Yang Pasrah

Pak Ateng, 56 tahun, datang ke Puskesmas Lampoh Keudee karena sesak napas
berat. Awalnya sesak napas hanya muncul saat Pak Ateng sedang bekerja, namun akhir-
akhir ini sesak napas semakin sering muncul, bahkan saat ia beristirahat. Pak Ateng juga
mengeluhkan sering terbangun tiba- tiba karena sesak, ditambah lagi kedua tungkainya
yang semakin membesar (walaupun ia telah mengurangi konsumsi garam dapur), dan
nyeri dada yang semakin sering Pak Ateng rasakan.
Saat diperiksa didapatkan tekanan darah 130/110 mmHg (sebelumnya Pak
Ateng memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol), nadi 68x permenit, dan
frekuensi pernafasan 26x permenit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik,
tekanan vena jugular R+4 cmH2O, Ronchi di 2/3 lapang paru kanan dan kiri,
kardiomegali disertai dengan Gallop, serta refluks hepatojuguler, ascites dan oedema
pada kedua tungkai. Dari hasil tersebut, dokter langsung melakukan pemeriksaan EKG
dan didapatkan gambaran LVH yang disertai dengan Q patologis di sadapan aVL dan
V2-6. Akhirnya tanpa ragu dokter langsung merujuk Pak Ateng ke Rumah Sakit
terdekat, dan Pak Ateng hanya bisa pasrah dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter.
Menurut anda, Bagaimanakah kondisi Pak Ateng dan mengapa dokter langsung
merujuknya???

Tujuan Pembelajaran
Pada akhir tutorial mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan jenis- jenis penyakit jantung kongestif
2. Menjelaskan Etiologi dan faktor risiko penyakit jantung kongestif
3. Menjelaskan patogenesis dan patofisiologi penyakit jantung kongestif
4. Menjelaskan manifestasi klinis penyakit jantung kongestif
5. Menjelaskan pemeriksaan fisik penyakit jantung kongestif
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang pada penyakit jantung kongestif
7. Menjelaskan prinsip diagnosis dan diagnosis banding penyakit jantung kongestif

136
8. Menjelaskan penatalaksanaan komprehensif penyakit jantung kongestif
9. Menjelaskan jenis, etiologi ,patogenesis dan manifestasi klinis syok
10. Menjelaskan prinsip diagnosis syok dan penatalaksanaan nya

137
Dasar Teori

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Definisi Gagal Jantung Kongestif


Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Ada juga sumber yang mengatakan bahwa
gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan jantung menjadi kurang kuat,
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya, jantung tidak memompa darah
sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem
peredaran darah dan mulai membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam
pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.
Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang yang
menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu
penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi
aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan
pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk
hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung
seringkali timbul bersamaan.
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50
tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang
berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang
yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir
5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap
tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. Hal ini
menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif.
Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin.

138
Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan
angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.
Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat
dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis
pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah
satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun.
Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun
setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal
jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis, dan terdapat
lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.
Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya
abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju,
disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit katup
degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga merupakan
penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang memiliki kondisi komorbid,
misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru kronis.
Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga
terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah
mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada jantung, dapat
terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada
syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada
mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-
angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida.
Mekanisme Kompensasi pada Jantung
Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang
berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas. Ketika terjadi
penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan
yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif,
kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan

139
peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan
denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi
miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk
mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung
masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu
kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat
menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi sistolik,
disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik disebabkan oleh
hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark miokard akut yang
menyebabkan hilangnya viabilitas otot jantung untuk berkontraksi. Hal ini tergantung
pada dua faktor, yaitu elastisitas dan distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan
fenomena pasif dan suatu proses relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal
diastolik. Hilangnya distensibilitas atau relaksasi ventrikel kiri karena adanya
perubahan struktur (contohnya hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsi
(contohnya iskemia) dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).
Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau
volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium
kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravascular,
tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan
memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah
yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat,
hubungan ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.
Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung yang
menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi fraksi.
Sesuai dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama dengan stroke
volume yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan
ejeksi fraksi sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan adanya miokardium
yang nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak ukur akhir pada stroke
volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot
jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya
menunjukkan resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan

140
intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. Ketiga variabel ini terganggu pada
pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat
dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka
denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan
untuk mempertahankan cardiac output.
Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan
tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic menunjukkan berkurangnya
kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada saat diastolik. Selain itu, adanya
intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik yang disebabkan oleh
adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan
vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output
yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot
skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.
Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya
meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi
jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi sistem rennin-
angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan meningkatkan retensi air dan
garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan kontraktilitas otot jantung.
Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun aktivasi yang
memanjang mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive.
Miokardium akan mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu
fungsi paru-paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain.
Remodeling ini juga dapat menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi
mitral karena adanya peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena
adanya remodelling otot atrium. Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain
yang terjadi pada gagal jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.
Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon
Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida
natriuretik atrium. Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor

141
yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi
sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam
untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat.
Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan
meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam
dapat menyebabkan kongesti vena.
Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung
kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi
oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal.
Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh
penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi sintesis
aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya,
kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan
ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema,
peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat
memperberat kondisi gagal jantung.
Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah
aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin.
Untungnya, digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan
baroreseptor yang rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat
meningkatkan pelepasan neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin,
dan peptida natriuretik atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan
vasokonstriksi sistemik dan peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi
langsung pada miosit kardiak. Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan
miosit. Selain itu, peningkatan aktifitas norepinephrin dapat meningkatkan resiko
terhadap aritmia ventrikel dan kematian mendadak. Level norepinephrin plasma dalam
sirkulasi dapat berkorelasi negatif terhadap prognosis dan gejala gagal jantung
kongestif.
Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi
endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian
menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada

142
atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan
atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan
aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh
peningkatan level norepinephrin plasma.
Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk
mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena),
dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat
dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel
(yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan
edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa
faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan
endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan
dalam patogenesis gagal jantung.
Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi pembuluh
darah pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi sebagai hasil dari
penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal. Aktivasi
neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme kompensasi gagal jantung
kongestif karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.
Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor.
Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung
sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung
kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Sedangkan berdasarkan
gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I, NYHA II, NYHA III, dan NYHA IV.
Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari gejalanya, gagal jantung kongestif dapat dibagi
menjadi gagal jantung kongestif NYHA I sampai dengan NYHA IV. Pasien tanpa gejala
digolongkan sebagai NYHA I. Sedangkan NYHA II meliputi pasien dengan gejala pada
saat berakfitas berat. Jika dengan beraktifitas ringan pasien sudah menunjukkan gejala,
pasien digolongka sebagai NYHA III. NYHA IV merupakan klasifikasi gagal jantung
kongestif yang berhubungan dengan gejala yang timbul pada saat istirahat.

143
Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor.
Kriteria mayor
Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain:
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peningkatan tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit)
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis
adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup
ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat
progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini
berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.
1. Konsumsi alkohol

144
Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung kongestif.
Angka rawat inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang lebih sedikit pada
penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol mengandung 8 gram atau
10 mililiter etanol. Jumlah alcohol per unitnya dapat dihitung dengan mengalikan
volume alcohol yang dikonsumsi dan persentase alcohol.
Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiomiopati
khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah alkohol yang dapat
menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alcohol lebih dari
11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor resiko terjadinya kardiomiopati.
Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk menghindari
konsumsi alkohol.
2. Merokok
Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok
terhadap gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal
jantung kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal
jantung kongestif harus menghindari rokok.
3. Aktifitas fisik
Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung kongestif
masih kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki kondisi klinis
penderita gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita gagal jantung kongestif yang stabil. Pada salah satu penelitian, dibuktikan
bahwa penderita gagal jantung kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan
outcome yang lebih baik daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya
ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu
dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah
secara teratur.
4. Pengaturan diet
a. Membatasi konsumsi garam dan cairan
Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada
penderita gagal jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan
terhadap berat badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun percobaan klinis
lainnya menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal

145
jantung kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak
adanya edema dan fatique pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat
mengubah klasifikasi NYHA. Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal
jantung kongestif memiliki efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung
kongestif harus membatasi garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per
hari.
b. Monitor berat badan per hari
Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara
monitor berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun,
monitor terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan
berat badan atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif.
Penatalaksanaan Farmakologis
1. Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi
pada gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan
kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume
darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan
bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak
berubah.
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida dalam
tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide bekerja di
dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara tiazid,
metalosone, dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua diuretik ini
memiliki aksi farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat mengeluarkan lebih
banyak natrium, sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan pengeluaran air, dan mampu
mempertahankan efektifitasnya walaupun terdapat gangguan ginjal. Sementara itu,
tiazid lebih sedikit mengeluarkan natrium dan air, juga dapat kehilangan efektifitasnya
pada kondisi gagal ginjal.
Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat menurunkan
tekanan vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer. Pengukuran berat badan
diperlukan untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap pemberian diuretik. Pemberian

146
diuretik ini mampu mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi jantung maupun
toleransi aktifitas terhadap penderita gagal jantung. Namun demikian, peran diuretik
dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif
belum diketahui.
Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahan-lahan
ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5
hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan
diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan
dengan pembatasan konsumsi natrium.
Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang membaik
dan pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan obat-obatan
ini cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun beberapa
obat seperti diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton dapat
meningkatkan level potassium, sehingga level potassium harus diawasi dengan
ketat.
Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana secepat
mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan diuretik selesai,
kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap dilakukan
pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang, selama penderita
yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat asimptomatik.
Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid,
bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau
kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya
merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti
furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan
dengan ACE inhibitor akan memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan
karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan
pembesaran jantung.
2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal
jantung kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara
abnormal tinggi pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan

147
vasokonstriksi dengan meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara
langsung dapat menjadi toksik terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang
berlebihan.
ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif,
penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati
diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin,
tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan
penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan
menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang,
maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner.
ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya
dapat mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup
penderita gagal jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas
kerusakan jantung dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot
jantung. Namun demikian, ACE inhibitor juga memiliki beberapa efek samping.
Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin supresif dapat berupa hipotensi,
perburukan fungsi ginjal, dan retensi kalium. Sementara efek samping ACE
inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan angioedema.
3. Inotropik
Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat
meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan
pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap
pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin.
Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan
darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini
disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik
yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE
inhibitor dan beta bloker.
Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung kongestif
harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan beberapa
pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah
penggunaan vasodilator dan diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus

148
menerus. Digoksin merupakan obat lama yang digunakan pada lebih dari 200
tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari tumbuhan foxglove. Obat ini juga
dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi). Kelebihan
digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi aritmia. Resiko
aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak berfungsi optimal
sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara optimal, atau
potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian
diuretik).
4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB)
Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek
angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan,
irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-
obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak
dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif,
namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih
banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.
ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium,
Namun hal ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau
pada orang-orang yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti
triamterene atau spironolakton. Calcium channel blocker merupakan vasodilator
yang jarang digunakan pada pengobatan gagal jantung karena berdasarkan
percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat pemberian calcium channel
blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel blocker digunakan untuk
menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal jantung kongestif
adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon terhadap
ACE inhibitor atau ARBs.
5. Beta blocker
Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf simpatis
pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk menurunkan resiko
kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker terbukti secara klinis
dapat mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di bawah 35% hingga 45%)
yang telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau tanpa pemberian digitalis.

149
Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut jantung yang
rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85
mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan.
Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan
darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan
beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding
arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai
norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam
waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.
Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam
otot jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat
norepinefrin yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena
norepinefrin bersifat simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin
kuat. Namun, percobaan klinis telah membuktikan bahwa beta bloker dapat
memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri secara bertahap sehingga dapat
mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.
6. Hidralazin
Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita
gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus
vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal
tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat
dibuktikan secara klinis. Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat
menurunkan angka kematian penderita gagal jantung kongestif.21 Kombinasi obat
ini dapat menurunkan angka mortalitas sebesar 43%, menurunkan angka rawat
inap penderita gagal jantung kongestif sebesar 39%, dan menurunkan gejala gagal
jantung. Namun demikian, pemberian kombinasi kedua obat ini dapat memberikan
efek samping berupa sakit kepala dan keluhan gastrointestinal.

150
THE SEVEN JUMPS

No Langkah Uraian

1 Identifikasi istilah / konsep Agar dapat memahami, mahasiswa perlu berusaha


mencari istilah dan konsep yang belum jelas atau
asing, dari scenario kemudian menjelaskannya untuk
menyamakan persepsi.
2 Identifikasi masalah Mahasiswa berusaha mencari masalah inti dan
masalah tambahan dalam scenario.
3 Analisa masalah Brainstorming/curah pendapat dengan menggali
masalah dan berusaha menjelaskan konsep dengan
menjelaskan pengetahuan yang mereka kuasai
sebelumnya (walaupun konsep dan penjelasannya
masih salah, tutor tidak perlu segera berkomentar).
4 Strukturisasi Berdasarkan langkah 2 dan 3, mahasiswa
mengelompokkan masalah dan konsep lalu
membentuk pola / skema yang sistematis dan
terangkai secara logis.
5 Identifikasi tujuan belajar Merumuskan hal-hal yang perlu dipelajari lebih
lanjut secara mandiri.
Masa belajar mandiri: perpustakaan, diskusi kelompok kecil kuliah, internet, konsultasi
pakar, dll.
6 Presentasi hasil belajar Melaporkan hasil belajar mandiri / temuan informasi
mandiri terkait dengan tujuan belajar yang dirumuskan
bersama langkah ke-5.
7 Sintesis Menyimpulkan pengetahuan yang telah diperoleh.

151
MINGGU I (31 - 5 Januari 20113) Blok 9: Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/31 Des SELASA/1 Jan RABU/2 Jan KAMIS/3 Jan JUMAT/4 Jan SABTU/5 Jan
Kuliah Pakar II Kuliah Pakar III
08.00 - 10.00 Belajar Mandiri
Ruang Kuliah Lantai 1 Ruang Kuliah Lantai 1

Belajar Mandiri Belajar Mandiri


Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II
10.00 - 12.00 Skenario 1 Lantai 2 Skenario 1 Lantai 2

Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik


Kuliah Pakar I
12.00 - 14.00 Ruang Kuliah Lantai 1 Kelompok A Kelompok A Belajar Mandiri
Lab.Biomedik Belajar Mandiri Lab.Biomedik
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik Belajar Mandiri\
14.00 - 16.00 Kelompok B Kelompok B
Lab.Biomedik Lab.Biomedik
Belajar Mandiri
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik

16.00 - 18.00 Kelompok C Kelompok C


Lab. Biomedik Lab.Biomedik

152
MINGGU II (07- 12 Januari 2013) Blok 9 : Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/07 Jan SELASA/08 Jan RABU/09 Jan KAMIS/10 Jan JUMAT/11 Jan SABTU/12 Jan
Skill Lab I/Demo Skill Lab I /E
Kuliah Pakar V Kuliah Pakar VI
08.00 - 10.00 Belajar Mandiri Kelompok A Kelompok A
Ruang Kuliah Lantai 1 Ruang Kuliah Lantai 1
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab I/Demo Skill Lab I/ E
Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II
10.00 - 12.00 Kelompok B Belajar Mandiri Kelompok B
Skenario 2 Lantai 2 Skenario 2 Lantai 2
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab I/ BM
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik
Kuliah Pakar IV Kelompok A
12.00 - 14.00 Ruang Kuliah Lantai 1 Kelompok A Kelompok A Belajar Mandiri
Ruang Skill lab Lt.1
Lab.Biomedik Lab. Biomedik

Praktikum Biomedik Skill Lab I/ BM Praktikum Biomedik Belajar Mandiri\

14.00 - 16.00 Kelompok B Kelompok B Kelompok B


Lab. Biomedik Ruang Skill lab Lt.1 Lab. Biomedik
Belajar Mandiri\
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik

16.00 - 18.00 Kelompok C Kelompok C


Belajar Mandiri
Lab. Biomedik Lab. Biomedik

153
MINGGU III (14 – 19 Januari 2013) Blok 9: Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/14 Jan SELASA/15 Jan RABU/16 Jan KAMIS/17 Jan JUMAT/18 Jan SABTU/19 Jan
Skill Lab II/Demo Skill Lab II /E
Kuliah Pakar VIII Kuliah Pakar IX
08.00 - 10.00 Belajar Mandiri Kelompok A Kelompok A
Ruang Kuliah Lantai 1 Ruang Kuliah Lantai 1
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab II/Demo Skill Lab II/ E
Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II
10.00 - 12.00 Kelompok B Belajar Mandiri Kelompok B
Skenario 3 Lantai 2 Skenario 3 Lantai 2
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab II/ BM
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik
Kuliah Pakar VII Kelompok A
12.00 - 14.00 Ruang Kuliah Lantai 1 Kelompok A Kelompok A Belajar Mandiri
Ruang Skill lab Lt.1
Lab. Biomedik Lab. Biomedik
Belajar Mandiri\
Praktikum Biomedik Skill Lab II/ BM Praktikum Biomedik

14.00 - 16.00 Kelompok B Kelompok B Kelompok B


Lab. Biomedik Ruang Skill lab Lt.1 Lab. Biomedik
Belajar Mandiri
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik

16.00 - 18.00 Kelompok C Kelompok C


Belajar Mandiri
Lab. Biomedik Lab. Biomedik

154
MINGGU IV (21 - 26 Januari 2013) Blok 9: Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/21 Jan SELASA/22 Jan RABU/23 Jan KAMIS/24 Jan JUMAT/25 Jan SABTU/26 Jan
Skill Lab III/Demo Skill Lab III /E
Kuliah Pakar XI Kuliah Pakar XII
08.00 - 10.00 Belajar Mandiri Kelompok A Kelompok A
Ruang Kuliah Lantai 1 Ruang Kuliah Lantai 1
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab III/Demo Skill Lab III/ E
Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II
10.00 - 12.00 Kelompok B Belajar Mandiri Kelompok B
Skenario 4 Lantai 2 Skenario 4 Lantai 2
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab III/ BM
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik
Kuliah Pakar X Kelompok A
12.00 - 14.00 Ruang Kuliah Lantai 1 Kelompok A Kelompok A Belajar Mandiri
Ruang Skill lab Lt.1
Lab. Biomedik Lab. Biomedik
Belajar Mandiri\
Praktikum Biomedik Skill Lab III/ BM Praktikum Biomedik

14.00 - 16.00 Kelompok B Kelompok B Kelompok B


Lab. Biomedik Ruang Skill lab Lt.1 Lab. Biomedik
Belajar Mandiri
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik

16.00 - 18.00 Kelompok C Kelompok C


Belajar Mandiri
Lab. Biomedik Lab. Biomedik

155
MINGGU V ( 28 – 2 Februari 2013) Blok 9: Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/28 Jan SELASA/29 Jan RABU/30 Jan KAMIS/31 Jan JUMAT/01 Feb SABTU/02 Feb
Skill Lab IV/Demo Skill Lab IV /E
Kuliah Pakar XIV
08.00 - 10.00 Belajar Mandiri Kelompok A Belajar Mandiri Kelompok A
Ruang Kuliah Lantai 1
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab IV/Demo Skill Lab IV/ E
Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II
10.00 - 12.00 Kelompok B Belajar Mandiri Kelompok B
Skenario 5 Lantai 2 Skenario 5 Lantai 2
Ruang Skill lab Lt.1 Ruang Skill lab Lt.1
Skill Lab IV/ BM
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik
Kuliah Pakar XIII Kelompok A
12.00 - 14.00 Ruang Kuliah Lantai 1 Kelompok A Kelompok A Belajar Mandiri
Ruang Skill lab Lt.1
Lab. Biomedik Lab. Biomedik

Praktikum Biomedik Skill Lab IV/ BM Praktikum Biomedik Belajar Mandiri\

14.00 - 16.00 Kelompok B Kelompok B Kelompok B


Lab. Biomedik Ruang Skill lab Lt.1 Lab. Biomedik
Belajar Mandiri
Praktikum Biomedik Praktikum Biomedik

16.00 - 18.00 Kelompok C Belajar Mandiri Kelompok C


Lab. Biomedik Lab. Biomedik

156
MINGGU VI ( 04 – 09 Februari 2013) Blok 9: Gangguan Kardiovaskuler

KEGIATAN
JAM
SENIN/04 Feb SELASA/05 Feb RABU/06 Feb KAMIS/07 Feb JUMAT/08 Feb SABTU/09 Feb

08.00 - 10.00 Belajar Mandiri Belajar Mandiri

Diskusi Tutorial 1 Diskusi Tutorial II


10.00 - 12.00 Belajar Mandiri
Skenario 6 Lantai 2 Skenario 6 Lantai 2

Belajar Mandiri Belajar Mandiri UJIAN


12.00 - 14.00

Belajar Mandiri
14.00 - 16.00
PLENO
16.00 - 18.00

157

Anda mungkin juga menyukai