Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.


Peran pendidikan, sungguh penting untuk kemajuan suatu bangsa. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mencapai bangsa yang berkualitas adalah dengan melaksanakan wajib
belajar.
Untuk mencapai hal ini mantan Presiden Soeharto telah mencanangkan wajib belajar
enam tahun tepat pada hari Hardiknas tanggal 2 Mei 1984. Kemudian untuk percepatan
mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sepuluh tahun kemudian, Mei 1994.
mantan Presiden mencanangkan lagi wajib belajar sembilan tahun. Untuk mensukseskan wajib
belajar sembilan tahun itu sangat dituntut tenaga pendidik yang betul-betul ahli dalam
bidangnya (profesional) agar dapat mengelola pendidikan di lapangan secara baik.
Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan dalam pelaksanaan pembangunan
nasional jangka panjang tahap dua, khusus pembangunan sumber daya manusia, kita tidak
dapat menutup mata dan telinga terhadap sektor pendidikan kita yang mutunya masih
tertinggal .
Berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan
dan kita lihat. Begitu pula banyak pembaharuan demi peningkatan mutu yang sudah dilakukan.
Mengganti kurikulum yang diikuti oleh perubahan struktur buku-buku pelajaran yang
membanjir di pasaran. Membentuk proyek peningkatan kwalitas guru-guru yang dilaksanakan
dalam bentuk penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan
prasarana bidang pendidikan.
Namun usaha-usaha ini belum lagi menampakkan harapan dan pencapaian target. Kita
dapat mengetahuinya lewat hasil UASBN yang tetap rendah tiap tahun. Dan kita langsung
mem¬perhatikan betapa bertambahnya jumlah murid yang mengalami malas. Dari membaca
media massa atau langsung melihat fakta yang menunjukkan adanya keruwetan dalam sekolah
dan meningkatnya angka kenakalan pelajar.
Data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-
99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah
Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di
dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi
berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga
orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya
dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat
meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya
manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan
keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori
The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di
Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.

B. Batasan Permasalahan
Begitu Banyak dan komplek masalah yang dihadapi dunia pendidikan di Negara kita. Telah
banyak perbincangan, pengkajian dan pembahasan tentang permasalahan pendidikan ini. Dan
hal itu menjadi sebuah perjalanan yang panjang seiring panjangnya sejarah pendidikan di
Indonesia. Dalam kesempatan ini berkenaan dengan adanya tugas mandiri yang di berikan oleh
dosen mata kuliah kapita selekta pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah
(STAIMAS) Sukabumi, kami mencoba untuk sedikit membahas salah satu permasalahan
tersebut, yang kami susun dalam bentuk makalah yang bertemakan “Problematika Guru di
Indonesia”.
Sebagai batasan, maka pembahasan akan diskonsentrasikan pada :
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia ?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia ?
3. Bagaimana peran dan problematika Guru bagi pendidikan di Indonesia ?
4. Solusi yang bisa di berikan bagi permasalahan Guru di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan peran guru dalam pendidikan dan hal-hal yang menjadi penyebab
rendahnya mutu pendidik di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan guru di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia


Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan
pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan
yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-
pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan
ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap
melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-
perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

B. Kualitas Pendidikan di Indonesia


Seperti yang telah di uraikan pada bagian pendahuluan di atas, dapat terlihat bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat tertinggal jauh di banding dengan Negara maju
yang lain, bahkan dari Negara Malaysia sekalipun kita masih kalah dalam hal pendidikan.. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Guru-guru saat ini
masing dianggap kurang kompeten. Realitanya bahwa masih banyak orang yang menjadi guru
karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana (Pertimbangan financial). Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman
mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi
pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang
pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah
terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup
dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,
Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1. Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap
masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka
partisipasi.
2. Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti
ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
3. Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan
dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4. Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang
kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang
dibutuhkan.
5. Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah
jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6. Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan.
7. Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8. Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas
penddikan.
Memang semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan sektor
pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan prioritas yang
tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa dengan
pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil dengan baik. Didukung dengan
hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat
dilaksanakan pada tingkat yang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket
dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya
secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat menggembirakan.
Namun, dibalik itu semua, dunia pendidikan di Indonesia ternyata menghadapi problema
yang berat, yang dapat dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency,
dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency dalam sektor pendidikan
berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama).
Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar
tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan
pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan
memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan
penduduk desa dan antara kaya dan miskin
External in-efficiency pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang
lain, khususnya sektor ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan
teknologi sedemikian cepat, di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat.
Perubahan-perubahan pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan
cepat, karena adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang
sangat luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Pengalaman pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan
dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi keadaan
masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini sangat sulit atau dapat
dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan masa mendatang dengan tepat.
Akibat dari ketidakmampuan pendidikan memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa
mendatang, pendidikan juga tidak mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan
oleh sektor ekonomi dan industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot
karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja dengan tepat Maka rentetan
berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran terdidik tidak dapat terelakkan lagi.
Problema ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan.
Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut jenis kelamin, tempat tinggal, dan terutama menurut
status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang
antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan kritikan
dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari dunia ketiga,
menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri
pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977).
Kalau ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai
dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian
dengan ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan
pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk dipecahkan. Hal
ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan
menentukan status di masa depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh
sekolah "favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin
akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak mengherankan,
karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk sekolah favorit sebagian besar
adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai
Para ahli dan pengambil keputusan di bidang pendidikan terus menerus mengadakan
pembaharuan. Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan
ketiga problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency, dan ketidakmerataan
pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di sektor pendidikan: misalnya,
perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik dalam arti content dan instructional delivery
system, merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang canggih.
Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung
kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno
Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal
sulam dan kurang mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi
baru dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang
ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk sangat tepat
untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa
pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan karena keterbatasan
pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung
bersifat "technocratic perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi
dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di
samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah
berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan
sentris". Karena bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan
akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini
bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang
dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di
Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai
contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan.
Lebih mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan
pengambilalihan dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan
secara mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil
tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat
diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan
pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to be; pembaharuan harus
cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh
pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok
bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus
digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika pada tahun-
tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan
lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation dan
memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu
diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa diimplementasikan.
Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan iklim kelas yang tidak terlalu
formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid
sudah terpatri kecintaan dan kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai
pikiran-pikiran dan bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi.
Patut kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-
siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang
diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas,
oleh karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena
membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung
untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang
diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu
dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir dapat
dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum
terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas secara riil.
Di samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek
lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum
dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah
merupakan "a mini society".
Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana
sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga
dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak
didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi, terdapat interaksi
antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok, terdapat konflik-konflik interes baik
nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar
tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.

C. Peran dan Problematika Guru


Dalam setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab
merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di
Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan
pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak
bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk
berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat
bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa
keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap
usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan
memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan
tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru
sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan
pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima
pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu
untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan pendidikan
tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru.
Permasalahan pendidikan dapat diamati dengan pendekatan macrocosmics dan
microcosmics. Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya
dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas
guru dewasa ini di samping muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan faktor-
faktor luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan
guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan
guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen
sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.
Penguasaan guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan
sesuatu yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan
mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu, dengan materi
bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong
kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan
nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan
kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu dicatat bahwa,
kemampuan metode dalam pengajaran kalau diwujudkan dalam simbol bagaikan angka "0".
Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki
nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang
merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan
materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa
penguasaan bidang studi para guru kalau diwujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10,
terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi.
Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru
dan rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulum yang
mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama
ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP
1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan
kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan
guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa
mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum
pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus
lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan materi bidang
studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di lingkungan pendidikan guru
didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya, mata kuliah bidang studi jauh berkurang.
lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR
Hasilnya, lulusan pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana
seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di lingkungan
pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi antara penekanan
pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu hasil pendidikan guru masih juga
diragukan, khususnya di bidang penguasaan bidang studi.
Sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan
begitu saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan sebagai
hard profession atau soft profession. Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi yang
berbeda terhadap lembaga dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan
sebagai hard profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan
langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah
menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas
dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah
mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa
pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard
profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah diperlukannya kadar seni dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail
dan pasti. Sebab, langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh
kondisi dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan dapat
menghasilkan lulusan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan dibekali dengan
kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat
melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu,
lembaga in-service training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan, advokat,
dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini.
Berdasarkan pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession, maka diperlukan
perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu diperluas menjadi
universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas. Apakah ke dalam universitas yang
sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip. Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua
fakultas atau bidang studi di universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang
sudah menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan
mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan demikian, sistem
pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini. Pertama, pendidikan guru adalah
S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan guru tidak inferior dibandingkan dengan
pendidikan ilmu murni. Ketiga, pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas
dengan mengundang mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan
sangat sedikit mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya
bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing guru.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di
masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu
negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau tidak ditimbang
dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan
gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji
tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena
itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah
bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangat mulia dan
terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut diperdengarkan, dan hadirin
terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi guru sendiri akan lebih senang kalau lagu
diubah menjadi "Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”. Dengan demikian, kelak tidak hanya
muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo,
simbol kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu kemustahilan,
paling tidak untuk jangka pendek, untuk merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya
bersandarkan kepada anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan
mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau
untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak
bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak
diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kualitas guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen
pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan pengambilan
keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan
kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA, menempatkan guru
pada posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas
sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh
karena itu keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang
ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu
apa yang harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru lebih
ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh
instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan keadaan di lapangan. Oleh karena
itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tanggung jawab
ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat
tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari
siswa di fihak lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga
harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas tersebut
tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru. Karakteristik pertama
adalah pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative. Kedua, pekerjaan
guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam jangka waktu yang lama. Ketiga, ini
merupakan akibat pertama dan kedua, waktu guru untuk berdialog akademik dengan sesama
guru sangat terbatas. Karakteristik kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang
tidak pernah mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat
meningkatkan kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru.
Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan self-reflection, untuk
mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya.
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics dan microcosmics, menunjukkan
bahwa persoalan guru dapat dikategorikan ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model
analisis yang dikembangkan Boediono mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8
kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru
dapat dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang,
kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat
penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok guru: 1)
ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki
dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup,
tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5) ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh
dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang,
tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak
memiliki dedikasi.
Sudah barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan pada
kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu untuk direnungkan
dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru
dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain
yang perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam melaksanakan proses belajar
mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana dikemukakan di atas: aspek kemampuan,
aspek semangat dan dedikasi, dan aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang
tidak mencakup ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan.
Kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan
kemauan yang datang dari fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya
objek. Untuk pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting.
Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena
masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan perlu untuk
dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme
atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang
mungkin dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self
reflection, lewat action research.
Kemampuan untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan tumbuh subur manakala guru
memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis
yang berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan sama
sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan untuk mengembangkan
sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan. Sekolah, termasuk guru harus
menyusun program dan target kegiatan yang jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa
dan masyarakat. Hasil kerja sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas
oleh orang tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai
konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu,
sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus
dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based
management merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah.
Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab
memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan
meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya.
Upaya peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai
dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site based management menuntut
partisipasi dari fihak orang tua siswa dan masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama
berkaitan dengan upaya mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas
mereka dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua
dan sekolah perlu dikembang-suburkan.
Dalam mobilisasi dana pendidikan akan terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan
sekolah lain, sebagai akibat adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa
semakin berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk
memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah barang
tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi anggaran pendidikan
pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Anggaran pemerintah
seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang tidak mampu memobilisasi dana disebabkan
kemampuan orang tua siswa yang rendah.
Usaha yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk
meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang
dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun, seperti
Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai
tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang,
nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran
masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk Indonesia,
adalah bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang sudah
terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam upaya meningkatkan kemakmuran
bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut menyimak peringatan Task Force
on Teaching as a Profession on the Carnegie Forum on Education and the Economy bahwa
"Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua kebenaran yang
fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung pada keberhasitan
menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya, dan b). kunci
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan tergantung pada keberhasilan mempersiapkan
dan menciptakan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang
baru untuk merencanakan sekolah masa depan.

D. Solusi yang bisa di berikan


Untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah lewat sumber daya
manusia yang berkualitas pula. Maksudnya untuk memperoleh murid yang berkualitas tentu
dibutuhkan pula guru yang, berkualitas. Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar peran guru
tidak hanya sekedar membantu proses pembelajaran atau sebagai seorang pengambil
keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu yaitu guru harus dapat berperan sebagai konselor,
motivator dan fasilitator agar proses pembelajaran anak didik tidak asal-asalan saja.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas agaknya sederhana saja rumusnya, yakni
guru jangan mengajar asal-asalan. Sangat mustahil kalau guru-guru yang demikian dapat
bertindak atas nama peningkatan kualitas, berfungsi sebagai konselor, motivator dan fasilitator
bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru akan ikut berpartisipasi sempurna dalam
pendidikan kalau ia sendiri belum menampakkan, kualitas diri. Untuk itu kita mengharapkan
agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan diri sendiri. Andai
kata mereka mengikuti penataran atau sanggar, misalnya, janganlah hanya sekedar
mengharapkan sertifikat untuk kredit poin, mengharapkan sejumlah kecil maten dan begitu pula
jangan hanya bersikap pasif atau sekedar hura-hura.
Agar dapat memainkan peranan dengan baik dalam dunia pendidikan maka guru harus
senantiasa membelajarkan diri, otodidaktif, dan agaknya tidak ada alasan lagi bagi guru untuk
selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk
menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfikir dengan
harapan kita semua dapat menjadi guru yang berkualitas agar kita dapat mendidik murid-murid
menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kualitas mutu pendidikan di Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan Negara lain.
Hal ini terlihat dari aspek-aspek pendidikan itu sendiri yang realitanya masih belum baik. Hal
tersebut dipengaruhi dengan berbagai factor yang berkaitan dengan situasi dan kondisi bangsa
Indonesia yang memang belum se maju Negara-negara maju yang lain.
Permasalahan pendidikan di Indonesia bisa di generalisasikan menjadi tiga kategori yaitu :
1. Internal in-efficiency,
2. External in-efficiency, dan
3. Ketidakmerataan kesempatan pendidikan.
Permasalahan Guru dapat diamati melalui dua pendekatan. Yaitu :
1. Pendekatan macrocosmics, yaitu permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan
faktor-faktor lain di luar guru. Antara lain: a) penguasaan guru atas bidang studi, b)
penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen
guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h)
dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.
2. Pendekatan microcosmics. Yaitu pengkajian kualitas dan keberhasilan guru dilihat dari
pengaruh kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras
dari siswa di fihak lain
Kemajuan sebuah bangsa tergantung dari kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Dan
kualitas sumber daya manusia akan sangat tergantung dari kualitas pendidikan bangsa tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi
upaya memajukan bangsa dan Negara Indonesia.

B. Saran
Trend perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial
yang cepat menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Pandangan yang menafsirkan
bahwa pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global.
Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan, a). Bahwa
pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir secara global dan bertindak bersifat
lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis,
tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk
semuanya.
Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan kualifikasi hasil pendidikan juga
akan berubah. Pendidikan dituntut untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu
pada diri anak didik. Antara lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global
dengan pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang
sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan sehari-hari, c)
kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain secara kreatif, d)
meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga
semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih pada learning how to learn, dari pada learning
something.
Sebagai konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan
pendidikannya maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan
kemampuan baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut
pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada dasarnya di
arahkan agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan
kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA :

http://pakguruonline.pendidikan.net/pradigma_pdd_ms_depan_33.html
http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/
MAKALAH
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

PROBLEMATIKA GURU DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Asep Rijwan Suhendi
PAI / VII

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen


Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan di
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’udiyah (STAIMAS)

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Mas’Udiyah (STAIMAS)


SUKABUMI
2011 / 2012

Anda mungkin juga menyukai