Anda di halaman 1dari 33

Radiologi Emergensi Trauma Dan Non Trauma Kepala

Trauma pada tulang kepala adalah penyebab utama kematian/kecacatan pada trauma
multiple, tetapi 1/3 pasien dengan trauma otak yang parah tidak memiliki fraktur. Fraktur tulang
kepala dapat berbentuk linear, depressed, dan diastatic. Fraktur basis cranii dapat merusak
pembuluh darah, duramater, dan nervus cranialis yang dapat menyebabkan pneumocephalus,
kebocoroan cairan serebrospinal, kelumpuhan saraf dan stroke.1

Trauma kepala bisa menimbulkan berbagai macam kondisi, sebagian diantaranya bisa
berakibat pada kematian yang cepat. Salah satu prosedur penanganan trauma kepala adalah
penegakkan diagnosis yang tepat mengenai kondisi diakibatkan oleh trauma kepala.

1
Pencitraan kepala pada kondisi darurat dilakukan untuk mendeteksi lesi-lesi yang
mungkin dapat di obati sebelum terjadinya cedera neurologis sekunder.Sekalipun fraktur tulang
kepala dapat di deteksi dengan menggunakan pemeriksaan x-ray biasa, namun ini adalah
pemeriksaan yang sudah ketinggalan. Pemeriksaan CT dan MRI adalah teknik terbaik untuk
memeriksa pasien yang menderita cedera otak. Cihangiroglu et al (2002) melakukan penelitian
pada 20.000 studi pencitraan pada cedera otak dan membandingkan hasilnya dengan pengalaman
di literature dengan membandingkan CT, MRI, SPECT dan PET pada kondisi traumatis otak,
dan hasilnya tersaji dalam tabel 1.3

Secara umum, densitas yang dapat ditemukan pada lesi otak yang trauma pada CT adalah
hiperdens, hipodens, atau gabungan. Patoanatomik dari lesi hiperdens pada CT adalah adanya
perdarahan, sedangkan hipodens akan menunjukkan adanya edema atau penghancuran akson dan
nekrosis; karena itu, lesi hipodens sering kali ditemukan pada waktu scan yang berhubungan
dengan kondisi traumatis. Pada CT control kita dapat mengevaluasi lesi hiperdens tersebut
menjadi hipodens (terjadi resorbsi perdarahan), namun ia juga dapat sebaliknya yaitu evolusi
hipodens menjadi hiperdens. Karena itu, CT adalah metode yang cocok untuk melakukan follow
up pada lesi dinamik, sehingga memberikan gambaran umum pada perkembangan patologis
cedera otak.3

Gambar 1. CT scan yang dilakukan pada hari pertama, 5 hari dan 5 minggu setelah trauma, menunjukkan adanya resorbsi lesi
perdarahan pada area basal lobus frontalis dengan encephalomalacia dan hydrocephalus sebagai hasil akhirnya. Perhatikan
adanya pneumocephalus pada area frontal pada scan yang pertama (panah putih).

2
Wintermark et al. (2004) menunjukkan bahwa perfusi CT memberikan tambahan
informasi mengenai fokal lesi trauma otak ketika dibandingkan dengan CT kepala
konvensional.CT perfusi memiliki kelebihan pada sensitivitas diagnosis kontusio serebral bila
dibandingkan dengan CT kepala yang tidak di berikan kontras dengan sensitivitas 87,5%
banding 39.6% saja. CT perfusi memberikan pemeriksaan kuantitatif yang akurat mengenai
perfusi otak.3

Tidak diragukan lagi, pemeriksaan MRI dapat memberikan gambaran yang lebih baik
dibandingkan CT-scan. Namun penggunaan MRI untuk mengevaluasi pasien yang koma setelah
cedera kepala sangatlah langka, sebab pemeriksaan MRI sangatlah repot untuk dilakukan pada
pasien yang membutuhkan ventilasi. MRI sangat sensitive mendeteksi adanya perdarahan
hiperakut, namun karena pasien trauma biasanya dalam kondisi tidak stabil dan harus selalu di
monitor, maka MRI dalam hal ini lebih inferior dibandingkan CT scan pada trauma hiperakut.3

Karakterisitik Umum Fraktur Tulang Kepala

 Dapat disebabkan oleh adanya impak langsung pada tulang kepala


 Penanda untuk cedera otak yang terjadi membutuhkan usaha keras
 Klasifikasi nya dibagi menjadi : linear, depresi, dan basal
 Tipe-tipe fraktur yang terjadi tergantung pada jumlah kekuatan dan lokasi tulang kepala
yang terkena
 Secara klinis susah di deteksi. Apabila terdeteksi, maka biasanya terdapat cedera otak
tersembunyi dibawahnya.
 Kerusakan otak akan semakin signifikan pada fraktur terbuka, atau apabila fraktur
tersebut bersambung dengan sinus yang berisi udara, pada fraktur depresi atau fraktur
yang mengenai arteri atau sinus dural yang besar.
 Hati-hati dengan NAI; merupakan penyebab fraktur tulang kepala terbanyak pada anak-
anak bayi.2

3
Gambaran klinis

Linear :

- Biasanya tidak terdapat cedera otak dibawahnya dan karena itu biasanya asimptomatik
- Bila garis frakturnya melewati sinus, sutura, atau celah dural/vaskuler, maka terdapat
peningkatan resiko komplikasi seperti perdarahan atau infeksi.1,2

Depresi :

- Dapat teraba depresi pada tulang kepala. Hal ini dapat sulit dibedakan apabila terdapat
juga hematoma disekitarnya. Apabila terdapat fraktur terbuka, maka fragmen yang
terdepresi dapat tidak diraba akibat adanya ketidakstabilan kondisi tulang kepala.
- Resiko cedera kepala meningkat dengan semakin dalamnya kondisi fraktur depresi.
Sekitar 25% pasien akan datang dengan kondisi penurunan kesadaran. Deficit neurologis
tergantung dari cedera otak yang terjadi.
- Terdapat peningkatan resiko kejadian kejang dan meningitis.1,2

Diastatik :

- Tanda-tanda klinisnya adalah haemotympanum (akibat adanya darah dalam kanalis


auditorius), rhinorrhea, otorrhea, Battles’ sign (hematoma retroaurikuler), Racoon eyes
(ekimosis periorbital) dan deficit nervus cranialis ( nomer 3, 4 dan 5).
- Kertas “blotting” berguna pada pasien yang mengalami perdarahan hidung untuk
mendiagnosis adanya rhinorrhea. Letakkan kertas blotting maka bila terdapat kebocoran
CSF, maka CSFnya akan menyebar jauh dan muncul sebagai cinciin luscen di sekitar
darah.1,2

Gambaran Radiologis

- Pemeriksaan foto kepala polos adalah investigasi awal sebelum dilakukan CT-scan.

4
Fraktur Linear :

- Fraktur linear akan muncul sebagai garis yang tajam dan hitam. Dapat di salah artikan
sebagai garis sutura atau celah vaskuler. Celah vaskuler biasanya memiliki percabangan
dan margin yang sklerotik, serta lokasi celah vaskuler biasanya tipikal.
- Terdapat garis lusen berbatas tegas
- Hampir selalu terdapat pembengkakan jaringan lunak di atasnya.
- Dapat menyebabkan robeknya arteri meningea media, diikuti dengan hematoma
epidural.1,2

Gambar 2 : Fraktur linear tulang kepala bagian temporoparietal2

Fraktur Depresi :

- Fraktur depresi biasanya sulit terlihat. Carilah untuk densitas berbeda atau peningkatan
densitas sebab peningkatan densitas ini berhubungan dengan overlapping tulang atau
apabila frakturnya di foto dari posisi tangensial.
- Fragmen fraktur mengalami dislokasi kearah dalam, dapat menyebabkan laserasi dura,
arachnoid, dan cedera parenkim.1,2

5
Gambar 3 : (A) fraktur depresi (tanda panah putih), (B) gambaran CT scan fraktur depresi (pasien berbeda) 2

Fraktur Diastatik :

- Pelebaran sutura, dan dapat disertai fraktur linear


- Cranial “burst Fracture”
- Khas terjadi pada bayi ; diastasis melebar > 4 mm
- Herniasi otak melalui fraktur; menekan kulit kepala1

Gambar 4. Radiografi postmortem pada anak dengan fraktur multiple akibat trauma yang menyebabkan fraktur diastatik pada
sutura sagitalis.6

6
Fraktur basis cranii :

- Fraktur tulang basal kepala biasanya tidak muncul baik pada gambaran foto polos.
Carilah fluid-level pada sinus sphenoidalis. Bila di curigai terdapat fraktur tulang basal,
maka pasien harus diperiksa CT-scan.
- CT biasanya menunjukkan adanya fraktur kepala yang jelas bila gambar CT-nya di set
pada “bony window”. Hal ini lebih baik untuk memvisualisasikan adanya komplikasi
sekunder.1,2

Gambar 5. Fraktur Basis Cranii

Managemen :

- ABC, untuk mencegah cedera sekunder pada otak


- Lakukan observasi. Manajemen fraktur dan berbagai komplikasinya harus di diskusikan
dengan dokter bedah otak
- Sebagian besar kebocoran CSF akan berhenti sendiri dalam 1minggu tanpa komplikasi
berarti dan karena itu pemberian antibiotic profilaksis tidak seharusnya diberikan secara
rutin
- Bila fraktur segmen tertentu mengalami depresi dibawah tabula interna, maka tindakan
elevasi biasanya diperlukan.1,2

7
Hematoma Epidural (EDH)

Hematoma Epidural merupakan perdarahan arteri yang biasanya berasal dari arteri
meningea media (85-90%) atau dari vena atau sinus dural (10-15%) yang menyebabkan
pengumpulan darah/hematoma pada ruang epidural antara duramater dan tabula interna.
Biasanya terjadi pada 1-4% pasien trauma, dapat berakibat fatal, dan pada 50% kasusnya terjadi
lucid interval yang klasik. Penyebab kelainan neurologiknya disebabkan oleh terjadinya efek
massa dan herniasi, dapat menyebabkan kelumpuhan nervus III yang dapat dilihat pada pupil.
Kejadian tersering terjadi pada area temporoparietal, dan bila perdarahannya tidak banyak,
pasien biasanya tidak perlu di operasi.1

Hematoma epidural biasanya berhubungan dengan cedera lain seperti fraktur kepala
(pada anak-anak biasanya tidak terjadi fraktur karena tingginya elastisitas tengkorak kepala
anak), atau hematoma subdural (SDH) atau kontusio. Perdarahan arteri biasanya cepat terjadi
dalam 1 jam, sementara itu perdarahan vena biasanya terjadi dalam beberapa hari

Anatomi menings dan Vena serebral Superfisial `

Gambar 6. Anatomi menings dan vena serebral superfisial7

8
Gambaran klinis

- Biasanya terjadi setelah cedera kepala dengan hilangnya kesadaran dan lucid interval
- Gejalanya biasanya tergantung dengan kecepatan perkembangan hematoma, rasa
mengantuk, nyeri kepala, mual dan muntah haruslah dicurigai4

Gambaran radiologi

- Pada CT terdapat hiperdens bikonveks eliptikal dengan batas tegas. Densitas campuran
biasanya menunjukkan gejala perdarahan aktif
- Perdarahan ini tidak melewati garis sutura
- Dapat memisahkan sinus venosus/falx dari tulang kepala; hanya jenis hemorrhage ini lah
yang dapat menyebabkan kejadian ini
- Efek penekanan massa tergantung dari ukuran perdarahan dan udema yang tmenyertainya
- Perdarahan vena biasanya muncul dalam variasi bentuk yang berbeda-beda
- Garis fraktur yang berhubungan biasanya tampak juga
- Lokasi :
 Epidural antara tulang kepala dan dura
 Terjadi pada area impak (coup)
 95% unilateral, bila terjadi bilateral, biasanya double impak
 90-95% supratentorial (66% temporoparietal, 29% frontal, parietooccipital)
 5-10% di posterior fossa.
 Jarang terjadi di area vertex 4,5

9
Gambar 7 : Gambaran lentiformis hiperintens pada hematoma extradural (Panah). Perhatikan bahwa terdapat juga kontusio di
bagian contra-coup, yaitu di sebelah kanan temporal (Kepala Panah).2

Gambar 8 : Gambaran CT-scan non-kontras axial menunjukkan epidural hematoma dengan efek massa dan gambaran area
densitas rendah (swirl sign) yang menandakan adanya perdarahan aktif yang bercampur dengan bekuan darah (tanda panah) 5

Stadium EDH

- Tipe 1 : Akut EDH, perdarahan arteri (terjadi pada 58%)


- Tipe 2: EDH subakut (31%)
- Tipe 3 : EDH Kronik, akibat perdarahan vena (11%)3

10
Differensial diagnosis

Neoplasma :

- Meningioma
- Komponennya berupa jaringan lunak (subperiosteal),dapat berupa metastasis, limfoma,
atau sarcoma primer
- Massa di basis dura : metastasis, atau limfoma

Infeksi/inflammasi :

- Ekstensi hingga subperiosteal pada lesi osseus yang inflammasi


- Empyema epidural akibat osteomyelitis
- Bila terdapat komponen jaringan lunak pada osseous granulomatosa, maka itu adalah
gambaran tuberculosis

Penatalaksanaan dan Prognosis

- Biasanya baik apabila di deteksi secepatnya (hanya 5% kematian apabila di tangani


secepatnya)
- Bahkan pada EDH dengan volume besar, morbiditasnya masih rendah
- EDH kecil biasanya dapat menghilang sendiri tanpa operasi

Subdural Hematoma (SDH)

Subdural hematoma (SDH) merupakan cedera pada vena yang disebut juga “bridging
cortical vein”. Meskipun terjadi akibat trauma, berbeda dengan EDH yang sering muncul dengan
fraktur tulang kepala, pada SDH, fraktur tulang kepala mungkin tidak ada. Ia juga dapat terjadi
pada usia tua, atau korban kekerasan pada anak. Dapat pula terjadi SDH spontan akibat rupture
aneurisma atau malformasi arteriovenosa. Aneurisme ini biasanya terjadi pada sirkulus willisi,
pada bifurkasio yang mengalami aliran turbulensi.1,2

Saat terjadi perdarahan, darah ini akan menyebabkan iritasi pada menings, kemudian
memunculkan berbagai gejala klinis.2

11
Gejala Klinis :

- Nyeri kepala akut biasanya digambarkan sebagai nyeri yang amat sangat. Meskipun
demikian, nyeri yang ringan tidak mengekslusi kemungkinan terjadinya SAH
- Muntah, pucat, dan keringat dingin menyeluruh dapat terjadi
- Dapat muncul kaku kuduk, tanda-tanda neurologis fokal dan dapat pula disertai kejang-
kejang
- Hati-hati dengan peningkatan level kesadaran yang dapat tiba-tiba berubah menjadi koma
- Komplikasi yang dapat terjadi adalah hidrosefalus, vasospasme serebral yang dapat
menyebabkan infark dan herniasi transtentorial akibat peningkatan ICP
- Gejalanya dapat menyerupai ensefalitis, meningitis, glaucoma akut, dan migrain.2

Gambaran Radiologi

- CT-scan non-kontras sensitive dalam 4-5 jam setelah kejadian onset


- Carilah perdarahan akut (peningkatan densitas) pada sulkus kortikal, sisterna basal,
fissure sylvian, sisterna serebellar superior, dan pada ventrikel
- MRI biasanya tidak sensitive dalam 48 jam pertama namun ia berguna pada waktu
setelahnya dan pada perdarahan susulan untuk mengetahui deposit hemosiderin yang
terbentuk.2

SDH akut dan sub akut :

- Akumulasi darah berbentuk bulan sabit di sekeliling hemisfer


- Dapat melewati sutura, dan tidak dibatasi dura
- Biasanya meluas hingga melewati fisura interhemisfer, hingga sepanjang tentorium
- Pada fase akut cairan tampak berdensitas tinggi; pada fase subacute (2-4 minggu post
trauma), darah Nampak isodens terhadap otak
- Dapat terjadi lesi lainnya seperti SAH pada > 70% kasus 1,4

SDH subkronik :

- Berbentuk bulan sabit, dengan penurunan densitas atau campuran


- Bila terjadi perdarahan susulan, akan terjadi densitas campuran1,4

12
- Pada fase kronik (> 4 minggu setelah cedera) maka gambarannya akan muncul
dengan densitas rendah.

Gambar 9 : Perbedaan EDH dan SDH relatif terhadap menings.

Gambar 10 :gambaran SDH akut sebelah kanan yang menyebar secara konveks menuju fissure interhemisfer dengan edema di
parenkim otak dibawahnya, sehingga menyebabkan terjadinya midline shift. Perhatikan juga adanya hipodensitas di area
subarachnoid di bagian hemisfer kiri yang merepresentasikan adanya perdarahan subarachnoid akut.5

13
Gambar 11:(A) acute SDH, (B) sub-acute SDH, (C) Chronic SDH

Patologi

Etiologi-patogenesis

A. SDH akut
a. Terjadi spontan atau akibat trauma langsung
b. Terjadi energy tangensial atau akselerasi agular
c. Robeknya vena bridging parasaggital
d. Darah terkumpul antara lapisan dural dan membrane arachnoid
e. Peningkatan densitas antara ~ 35-45 H hingga 60-80 H
B. SDH sub akut
a. Bekuan darah dan sel darah merah mulai mengalami lisis dan resorbsi, Hb
mengalami degradasi
b. Densitasnya menurun dengan kecepatan 1,5 H/hari

14
C. SDH kronik
a. Terjadi dalam 2-3 minggu
b. Dapat mengalami enkapsulasi dengan jaringan granulasi
c. Terdapat neomembran dengan kapiler-kapiler yang rapuh
d. Dapat tejadi siklus perdarahan rekuren-koagulasi-fibrinolisis
e. Dapat terus membesar

Penatalaksanaan dan Prognosis

- Prognosis SDH akut adalah buruk (50% kematian)


o Berikan mannitol IV dalam 6 jam pertama untuk meningkatkan outcome
- Ketebalan hematoma, dan midline shift > 20 mm berhubungan dengan outcome yang
buruk
- Bersifat lethal apabila volume hematomanya lebih dari 8-10% volume intracranial

Resiko rekurensi pada SDH kronik bervariasi sesuai dengan tipenya

TRAUMA MAKSILOFACIAL

Fraktur maksilofacial diklasifikasikan berdasarkan tulang mayor yang terlibat yaitu tulang
maksila,mandibula,nasal,zigoma,frontoethmoid dan komplek fraktur lainya.1Fraktur
maksilofasial merupakan salah satu trauma yang serius sehingga memerlukan penanganan cepat
dan tepat,terutama menstabilkan jalan nafas,hemodinamika hal ini sering tertunda dengan lebih
mengutamakan anamnesa alamat dan lain-lain.(10)

Pada rumah sakit dengan fasilitas lengkap untuk menegakan diagnosa fraktur maksilo facial
lebih banyak menggunakan CT Scan resolusi tinggi,dengan menggunakan CT Scan dapat
mengevaluasi anatomy dan fraktur komplek dari tulang wajah dan komplikasi yang mengenai
jaringan lunak di sekitarnya.plain film wajah beberapa seri digunakan dalam keadaan tertentu
seperti fraktur wajah yang sangat fokal (fraktur nasal),CT Scan tidak tersedia.dalam menegakan
diagnosa dengan menggunakan plain film beberapa seri ada beberapa posisi yaitu
waters,caldwell,lateral dan kadang-kadang submentovertex.Beberapa tanda radiologi pada
fraktur maksilofasial,tanda langsung (garis lusen yang tidak normal,fragmen tulang yang

15
tumpang tindih (overlapping) menyebabkan “Double-Density”,wajah tidak simetris) dan tanda
tidak langsung (soft tissue swelling,udara di periorbital dan pericranial,cairan di sinus
paranasalis).(10)

I.Fraktur maksila

Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma maxillofacial cukup sering
ditemukan,walaupun lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula. Kecelakaan
kendaraan bermotormerupakan penyebab tersering fraktur maksila maupun fraktur wajah
lainnya. Pada frakturmaksila juga dapat muncul berbagai komplikasi yang cukup berat, dimana
apabila tidakditangani dengan baik dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian.3 Fraktur
maksila padaanak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari
segi pola,maupun treatment. Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacial harus
dapatdidiagnosis dan ditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan
masalah estetika yang mungkin terjadi.4 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey
pada tahun 1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1.Beberapa studi
terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit-rumah sakit dibeberapa negara
menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan frakturmandibula.2
Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1, bahwa diantara 663 pasien fraktur
tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila.(18)

Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang (buttress)vertikal
dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih tebal yang menyokong
unitfungsional wajah (otot, mata, oklusi dental, airway) dalam relasi yang optimal dan
menentukanbentuk wajah dengan cara memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical
buttressesterdiri dari sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic
buttress,maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress, pterygomaxillary
buttress,dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress. Horizontal buttresses juga
terdiri darisepasang maksilari tranversal atas (+ lantai orbital), maksilari transversal bawah (+
palatum),mandibular transversal atas dan mandibular tranversal bawah.(13,18)

Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang berkontribusiterhadap
pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung, dan palatum. Maksila berlubang
pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah bagi sinus maksila sehinggamembentuk bagian
besar dari orbit, nasal fossa, oral cavity, dan sebagian besar palatum, nasalcavity, serta apertura

16
piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal,zygomatic, palatina, adan
alveolar. Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Padamasa anak-anak, ukuran
sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar dan menembus sebagian besar
struktur sentral pada wajah.3

Klasifikasi
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola frakturmaksila,
yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat pula fraktur alveolar, dan vertikal atau
sagital maupun parasagital.(18)

a)Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas level gigiyang
menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum,7dan
prosesus pterigoid dalam blok tunggal. Fraktur membentang secara horizontal
menyeberangibasis sinus maksila.8 Dengan demikian buttress maksilaritransversal bawah akan
bergeserterhadap tulang wajah lainnya maupun kranium.(12)

b). Fraktur Le Fort II

Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal menimbulkanfraktur
dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary
dan frontomaxillary (buttress) mengalami fraktur maka keseluruhanmaksila akan bergeser
terhadap basis kranium.(12)

c). Fraktur Le Fort III

Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic arch berjalan kesutura
zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura nasofrontal. Garis frakturseperti itu
akan memisahkan struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebutdengan
craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur
nasal.Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh
softtissue.(11)

17
d). Fraktur Alveolar

Bagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur akibat pukulan langsungmaupun
secara tidak tidak langsung pada mandibula. Sebagian dari prosesus alveolar dapatmengalami
fraktur.

e). Fraktur Maksila Sagital atau VertikalFraktur sagital biasanya dihubungkan dengan fraktur
maksila lainnya. Fraktur seperti ini dapat meningkatkan lebar arkus denta dan wajah, dimana
cukup sulit untuk ditangani.12

Gambar.12: dari frontal Lefort 1-3

Gambar 13:dari lateral Lefort 1-3

18
Gambaran Klinis1

- Pasien datang dengan pembekakan jaringan lunak masif,mobilitas midface dan


maloklusi.jaringan periorbital bilateral bengkak dan ekimosis
- Pendarahan subkonjungtiva bilateral
- Deformitas wajah.
- Paraestesia infra-orbita
- Rhinorrhoea cairan serebrospinal akibat robekan dura maupun epistaksis dapat terjadi.
- Hemotimpanum (perdarahan pada telinga tengah.

Gambaran Radiologi1

- Dilakukan foto facial view


- CT scan bermanfaat untuk mengambarkan jumlah dan luas frraktur.

II.Fraktur Malar

Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya
insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol. Predileksi
terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan. Penyebab dari fraktur
zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur
zigoma jarang terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma
mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi
zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma
harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.10

Artikulatio zigoma dibentuk oleh empat tulang yaitu os frontal,os sphenoid,os temporal dan os
maksila.Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang.10 Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi kemungkinan adanya fraktur
pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda klinis.9 Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit
dilakukan karena adanya penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien

19
yang dapat mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif terhadap
adanya fraktur zigoma.10

Gambar 14:dari frontal fraktur malar/zigoma

Gambar 15:dari submentovertex fraktur malar/zigoma

20
# Gambaran klinis fraktur Malar

- Pembengkakan periorbita,ekimosis
- Pendarahan subkonjungtival.
- Diplopia akibat disfungsi muskulus ektraokuler.
- Enoftalmus.
- Epistaksis.
- Perhatikan adanya tulang pipi,lekukan yang teraba.
- Paraestesia regio yang dipersarafi nervus infraorbita (pipi,laterral hidung,bibir,gigi geligi)
- Trismus (keterbatasan kemampuan membuka mulut).

# Gambaran Radiologi

- Ada dua posisi proyeksi yang penting,yaitu stereoscopi view pada proyeksi waters dan
submentovertex view.facial view ditambah submentovertex (SMV) view untuk
menggambarkan arkus zigomatikus.
- CT scan potongan axial dan coronal sentrasi orbita dan midface.
- CT scan rekonstruksi 3-D,apabila tersedia akan memberikan tambahan informasi yang
penting pada trauma.

III.FRAKTUR INFRA ORBITA

Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-jaringan pada dinding
orbital dengan atau tanpa penglibatan tulang-tulang di daerah sekitarnya.Faktor penyebab
bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi yang dominan yang
bertanggungjawab menyebabkan terjadinya fraktur dinding inferior orbital. Faktor lain fraktur
dinding inferior orbital adalah akibat perkelahian.Selain itu, bisa juga diakibatkankarena senjata
yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang mengakibatkan fraktur dinding inferior orbital
adalah kecelakaan pekerjaan, contohnya jatuh dari tempat yang tinggi atau alat yang jatuh ke
kepala, atau kecelakaan ketika berolahraga terutamanya olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta
sepak bola, tembakan serta gigitan hewan.7-9Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan
terjadinya fraktur dinding inferior orbital, atau fraktur blow-out.Teori yang predominan
mengatakan bahwa fraktur ini disebabkankenaikan tekanan intraorbital yang terjadi secara

21
mendadak apabila suatu objek yang lebih besar dari diameter orbital rim memukul bola mata.
Pada tahun 1957, Smith dan Regan melakukan suatu eksperimen yang menegakkan teori ini.
Oleh karena kecederaan ini tidak melibatkan orbital rim, ianya disebut fraktur pure 10orbital
blow-out. Pada tahun 1974, Fujino mendemonstrasikan bahwa tipe fraktur ini juga bisa terjadi
pada mayat. 13,14Fraktur pureblow-outbiasanya terjadi apabila suatu objek tumpul yang lebih
besar dari diameter orbital rim seperti tinju, siku, bola baseball.bola tenis, atau bola hoki. Isi
orbital akan terkompresi ke posterior, mengarah ke arah apeks orbita. Oleh karena bagian
posterior orbita tidak bisa mengakomodasi peningkatan volume jaringan ini, tulang orbital akan
patah di titik yang paling lemah yaitu pada dinding inferiornya.

Gambar 16: normal anatomi os nasal

Klasifikasi Fraktur diding orbita

Secara umum, fraktur orbital dibagi kepada dua kategori yang luas. Yang pertama merupakan
fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan orbital rim serta tulang-tulang yang

22
berdekatan, sebagai contoh fraktur pada nasoethmoid (naso-orbital) dan fraktur malar. Yang
kedua adalah fraktur yang melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbital. Fraktur ini
terjadi tanpa (atau sedikit) penglibatan orbital rim.
Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-outatau blow-in. Istilah blow-out ini digunakan
oleh Converse dan Smith (1950) untuk menggambarkan fraktur pada dinding inferior orbital
yang mengarah ke bawah dan memasuki sinus maksilaris.13,15 Sebaliknya, blow-inmerupakan
fraktur yang mengarah ke atas, memasuki orbita.15 Tanpa penglibatan orbital rim, fraktur ini
dipanggil pure blow-out.Jika orbital rim terlibat, maka ianya dikenalisebagai impure blow-
out.Dalam kasus ini, lemak orbital dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris, menghasilkan
enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam hal ini,
pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal sebagai diplopia

Gambar.17 : A. Fraktur blow-out, B. Fraktur Blow-in (Robert H. Mathog, M.D,


Maxillofacial trauma, Williams & Wilkins, 1984:324)

23
# Gambaran Radiologi fraktur Infra orbita1

- Postero lateral view dalam proyeksi waters dapat digunakan untuk menegakan diagnosa.
- Evaluasi radiologi
1.tampak perselubungan pada foramen infra-orbita
2.fragmen fraktur dapat terlihat pada cavum sinus maksilaris.
3.Dasar orbita akan terlihat depresi dan herniasi ke dalam cavum sinus maksilaris yang
memberikan gambaran tear drop sign.
4.Opasifikasi yang komplit dari sinus maksilaris terjadi skunder akibat dipenuhi jaringan
orbita,pendarahan dan edema.
5.Udara dalam jaringan lunak dapat terlihat pada emfisema orbita.

- CT scan dapat mengevaluasi ,baik tulang maupun jaringan lunak yang mengalami
kerusakan.potongan axial dan reformat coronal merupakan potongan terbaik karena dapat
memberikan informasi komplit mengenai muskulus rektus superior dan inferior,serta sinus
paranasalis dan nervus optikus.

- MRI mempunyai kelebihan kelebihan di banding CT scan dalam hal mendeteksi kerusakan
jaringan lunak orbita,terutama mendeteksi hematom intra-ocular.1

IV.FRAKTUR MANDIBULA

Pada kasus trauma mandibula sangat penting untuk mengevaluasi garis fraktur mandibula
dengan gigi geligi.hal ini penting berkaitan penentuan terapi yang sesuai dan peralatan
imobilsasi.gejalala klinis berupa nyeri tekan dan lekukan yang terpalpasi dapat ditemukan.lokasi
fraktur dapat berjauhan dari lokasi impaksi.mati rasa pada bibir menyokong adanya kerusakan
N.Alveolar inferior.1

24
Gambar.18: lokasi fraktur mandibula10

Gambaran Radiologi

- Konfirmasi diagnosa dengan pemeriksaan panoramik,proyeksi kepala PA/lateral


diperlukan condilar view dapat memperlihatkan fraktur atau dislokasi sendi
temporomandibular (TMJ)1
- CT scan coronal berguna pada kesulitan memperlihatkan fraktur kondiloid.1

2.NON TRAUMA

 STROKE

Definisi :

Stroke didefinisikan sebagai defisit neurologis fokal yang berasal dari kelainan vaskular
dan berlangsung >24 jam . Seringkali didahului oleh transient ischemic attack (TIA) (10-15%)
dan akibat infark (80%) atau perdarahan (20%).(8)

Patofisiologi

Berdasarkan penyebabnya, stroke digolongkan menjadi 2 yaitu :

1.Sroke iskemik, disebabkan sumbatan pembuluh darah otak

2.Stroke hemoragik, disebabkan pecahnya pembuluh darah

25
Sumbatan pembuluh darah otak pada stroke iskemik dapat berupa emboli dan
kalsifikasi ditambah dengan kerusakan vaskuler oleh lipid. Sumbatan ini menyebabkan
terjadinya edema di daerah yang mengalami iskemik

Pecahnya pembuluh darah pada stroke hemoragik seringkali disebabkan oleh naiknya
tekanan intravaskuler sehingga dinding pembuluh darah tidak mampu menahan regangan.
Kerusakan pada dinding pembuluh darah mengakibatkan darah keluar dari vasa ke ruang
interstitial, kemudian menimbulkan tekanan ke jaringan sekitarnya .(9)

Gambaran klinis :

- Stroke iskemik biasanya datang dengan defisit neorologis fokal. Onset biasanya
mendadak, namun bisa juga dengan progresi yang bertahap (step-like). Sakit kepala,
kehilangan kesadaran, dan muntah jarang terjadi kecuali jika terdapat keterlibatan batang
otak.
- Cedera hemisfer secara klasik dengan kelemahan kontra-lateral, penurunan tonus otot
dan refleks, penurunan fungsi sensoris dan disfasia
- Manifestasi stroke perdarahan bervariasi bergantung pada lokasi dan tipe perdarahan.
Sakit kepala, muntah, defisit neurologis fokal dan penurunan kesadaran merupakan
temuan khas. Hati-hati akan progresi yang cepat menuju koma.

Peran pencitraan radiologi

- CT tanpa kontras saat ini merupakan teknik pencitraan terpilih untuk mengeksklusi
perdarahan intrakranial
- Pada 6 jam pertama, stroke iskemik sulit dilihat
- CT berguna untuk mendeteksi perdarahan dan juga untuk mengidentifikasi lesi struktural
yang menyerupai stroke, seperti tumor, perdarahan subdural atau ekstradural dan abses.
- Gambaran CT normal tidak mengeksklusi peningkatan tekanan intrakranial.
- Jaringan iskemik pada CT tampak hipodens akibat kombinasi penurunan perfusi darah
dan edema sitotoksik
- Dalam 3 jam window period untuk terapi trombolitik sistemik, hipodensitas biasanya
minimal jika terlihat.

26
- Jika gambaran hipodens jelas terlihat, maka harus waspada akan adanya kesalahan dalam
pengambilan riwayat onset stroke.
- Hal ini memiliki dampak besar dalam penetuan terapi karena semakin jelas gambaran
hipodens maka resiko perdarahan akibat trombolitik semakin besar.(8)

Gambaran CT pada stroke iskemik

Infark hiperakut ( < 12 jam)


- CT tanpa kontras dapat normal pada 60% kasus.
- Namun, bertentangan dengan pandangan sebelumnya, CT dapat menghasilkan
gambaran abnormal pada 75% pasien pada infark a.serebri media yang diperiksa
dalam 3 jam pertama setelah onset.
- Tanda hyperdens arteri serebri media (MCA) menunjukkan trombus intraluminar akut
dan terlihat pada 25-50% oklusi a.serebri media akut.
- Nukleus yang secara normal terlihat jelas, menjadi tidak jelas pada 50-80% oklusi
a.serebri media(8)

Gambar 19.Infark pada area arteri serebral media.Dua contoh a.serebral media yang hiperdens akibat trombus intraluminar akut
(8

Infark akut 12 – 24 jam


- Ganglia basalis yang berdensitas rendah
- Hilangnya batas substansia grisea dengan substansia alba akibat edema.
- Perhatikan insular ribbon sign
- Hilangnya pola sulkus yang normal mengesankan adanya edema yang mendasari(8)

27
Gambar 20.Dua contoh infark dini pada area arteri serbral media kiri.Batas substantia alba dan grisea yang menjadi
tidak jelas akibat edema, serta insular ribbon sign yaitu hipodensitas dan edema pada korteks insula ( area yang sensitif
terhadap iskemia akibat jaraknya paling jauh dari aliran darah kolateral. (8)

Infark akut 1 – 7 hari

- Area hipodens pada distribusi vaskular ( pada 70% pasien ) akibat edema sitotoksik
- Efek massa – kompresi lokal atau menyeluruh pada ventrikel, sisterna basalis dan
midline shift.
- Transformasi menjadi hemoragik dapat terjadi setelah 2-4 hari pada hampir 70%
pasien.(8)

Gambar 21.Area hipodensitas yang luas pada sisi kanan dari daerah vaskularisasi arteri serebral media yang diakibatkan edema
sitostoksik. (8)

28
Infark subakut/kronik ( > 7 hari – bulan )
- Efek massa berkurang dan terjadi dilatasi ex vacuo dari ventrikel.
- Hilangnya massa parenkim dengan pelebaran sulkus atau ventrikel akibat
ensefalomalasia.(8)

Gambar.22: Infark area kronik.Area infark memiliki densitas cairan serebrospinal karena hilangnya jaringan otak sekunder dari
ensefalomalasia ( CSS mengisi ruang yang bekas infark).sebagai akibat terdapat pelebaran sulkus lokal dan dilatasi dari ventrikel
di dekatnya. (8)

Terapi Iskemik serebral:

Pada fase akut (12 jam pertama) dapat diberikan:


- Pentoksifilin infus dalam cairan Ringer Laktat dosis 8 mg/kgBB/hari.
- Aspirin 80 mg per hari secara oral 48 jam pertama setelah onset
Dapat dipakai neuroprotektor:
- Piracetam
- Citicholine: bila kesadaran menurun
- Nimodipine
Pascafase akut:
- Pentoksifilin tablet : 2 x 400 mg
- ASA dosis rendah 80–325 mg/hari
- Neuroprotektor
Pencegahan sekunder:
- ASA dosis rendah 80–325 mg/hari

29
- Ticlopidin 2 x 250 mg
- Kombinasi ASA dan Tiklopidine

Stroke hemoragik

- Pada stroke hemoragik tampak lesi hiperdens dibandingkan dengan parenkim otak
- Hipertensif hemoragik paling sering di ganglia (80%)
- Subarachnoid hemoragik paling sering di aneurisma (90%)
- Adanya perifocal edema pada awal serangan dengan penekanan ke ventrikel dan
subarachnoid (1)

Gambaran CT pada stroke Perdarahan :

 CT tanpa kontras modalitas terpilih


 Perdarahan akut bersifat hiperdens
 Edema disekitarnya menyebabkan hilangnya batas substansia grisea dengan substansia
alba
 Efek massa akan menyebabkan kompresi sulkus di dekatnya, kompresi ventrikuler,
midline shift dan berkurangnya ukuran sisterna basalis
 Tempat dan ukuran perdarahan merupakan hal penting dan akan mempengaruhi pilihan
terapi (8)

Gambar .23:.Perdarahan yang besar di arteri serebral media dengan ruptur ke sistem ventrikel dan disertai efek massa (8

30
 Perdarahan Subarachnoid (SAH)
- Aneurisma subarachnoid hemoragik
- Menyebabkan 5% kasus stroke
- Ada riwayat keluarga dan diperberat dengan hipertensi dan kebiasaan merokok
- 85% karena ruptur aneurisma pada sirkulus Willisi
- 90-95% aneurisma dari bagian depan sirkulus Willisi
- Selebihnya karena trauma
- Gejala klinis meliputi sakit kepala, pusing dan nyeri pada orbita (1)

Gambaran CT SAH

 Lokasi pada aneurisma 70% kasus


 Bayangan hiperdens mengisi sisterna basalis, fisura sylvii, dan fisura interhemisfer
 Grading yang dipakai pada SAH adalah The Fisher Grading system :
1. Grade 1- pada CT tidak tampak SAH
2. Grade 2- difus atau tebal lapisan SAH kurang dari 1mm
3. Grade 3- hematoma difus/tebal lapisan SAH lebih dari 1mm
4.
Grade 4- hematoma intracerebral dan intraventrikel dan atau tanpa SAH (1)

Gambaran MRI SAH

 MRI relatif tidak sensitif pada 48 jam pertama namun berguna setelahnya dan pada
perdarahan rekuren untuk melihat deposit hemosiderin yang kecil
 Sequen yang paling sensitif adalah T2WI (1)

Gambar. 24:.Area linier berdensitas tinggi yang multipel terlihat di dalam sulkus serebri kanan ( ini menggambarkan area
perdarahan subarachnoid

31
Daftar Pustaka

1. Murtala, Bachtiar. Radiologi Trauma & Emergensi. 2013. IPB Press : Bogor
2. Holmes,EJ. Misra,RR. A-Z of Emergency Radiology. 2004. Cambridge University Press :
UK
3. Hansberger,et al. Diagnostic Imaging Head and Neck. 2004. AMIRSYS : Utah, Saltlake
City.
4. Novelline, Rhea, et al. Pocket Radiologist : ER-Trauma Top 100 Diagnoses. 2004.
AMIRSYS : Utah, Salt Lake City.
5. Emergency Radiology – Imaging and Intervention.
6. Khan, Ali N. Imaging in Skull Fracture. 2013. [online]. Available on :
www.emedicine.medscape.com. Accessed on : 1st Sept 2014.
7. Netter. Atlas of Netter : Meninges and Superficial Cerebral Veins.2013.
8. Soetikno, Ristaniah.Radiologi Emergency.2011.Refika Aditama :Bandung
9. Malueka.Rusdy.Radiologi Diagnostik.2006 UW Medicine Departement Of Radiology
(PDF)..Pustaka Cendikia Press:Yogyakarta
10. UW Medicine Departement Of Radiology (PDF)
11. Tiwana Paul S,et al.Maxillary Sinus Augmentation.Dent Clin N Am.2006;50:409-424.
12. .Alcala-Galiano Andrea,MD,et al.Pediatric Facial Fracture:Children Are Not Just Small
Adults.Radiographics.2008:28:441-461.
13. Hopper Rhicard A,MD,et al.Diagnosis of Midface Fractures With CT: What The Surgeon
Need to Know.Radiographics.2006;26;783-793.
14. .Werning John W,MD,et al.The Impact of Osteoporosis on Patients With Maxillofacial
Trauma.Arch OtolaringolHead Neck Surg.2004;130:353-356.
15. Fraioli Rebecca E,MD,et al.Facial Fracture:Beyond Le Fort,Otolaryngol Clin N
Am.2008;41:51-76.
16. .Prasetiyono A.Penanganan Fraktur Arkus dan Compleks Zigomatikus.Indonesian
journal of oral and amxillofacial surgeon.
17. .Ellis E.Fractures of the zigomatic complex and arch.Dalam: fonseca rj et al.oral and
maxillofacial trauma.st.louis : Elsevier.2005
18. Rhea James T,Novelline Robrt A.How To Simplify the CT Diagnosis Of Le Fort
Frracture.AJR.2005;184:1700-1705.

32
33

Anda mungkin juga menyukai