Mini Project Demam Tifoid Fix
Mini Project Demam Tifoid Fix
F7- MINIPROYEK
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO SANITASI LINGKUNGAN, HIGIENITAS
PERORANGAN, KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN SOSIOEKONOMI
DENGAN ANGKA KEJADIAN DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS
TAMBAKBOYO
Oleh:
dr. Cholifah Apriliana
dr. Emilia Puspita Sari
dr. Ersyad Kholid
dr. Mirna Ayu P.S
dr. Trisukma Arya Mahendra
dr. Wahyu Wulandari
Pendamping:
dr. H. Bambang Priyo Utomo
PUSKESMAS TAMBAKBOYO
DINAS KESEHATAN KABUPATEN TUBAN
2016
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari dan gangguan pada
saluran cerna. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau
thypus (Akhsin Zulkoni, 2010: 42). Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella
typhidan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit ini hampir
selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (T.H.
Rampengan, 2007 :46).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam
enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Sumarmo,
2002).
2.2 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Data World Health Organization
memperkirakan angka kejadian di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per
tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini dan 70%
kematiannya terjadi di Asia. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000
per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia.
Di Indonesia, penyakit Demam tifoid bersifat endemik. Penyakit ini
tersebar di seluruh wilayah dengan jumlah yang tidak berbeda jauh antar
daerah. Menurut data WHO, penderita Demam tifoid di Indonesia cenderung
meningkat setiap tahun dengan rata-rata 800 per 100.000 penduduk (Depkes
RI. 2013).
7
2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman S.typhi yang berhasil diisolasi
pertama kali dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafrrkey di German pada
tahun 1884. Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif yang motil,
bersifat aerob dan tidak membentuk spora yang menghasilkan endotoksin
sehingga merusak jaringan usus halus.13 S.typhi dapat tumbuh pada semua
media, dan pada media yang selektif bakteri ini memfermentasi glukosa dan
manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa. S.typhi masuk ke tubuh
manusia secara fecal-oral, dan melalui alat/ makanan yang terkontaminasi
(Soegijanto, 2002).
Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu : (Widodo,
2007)
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat
spesifik grup. 10
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul
yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan
melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. S.typhi
menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding
sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan
lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk
antibodi aglutinin.
8
2.5 Patogenesis
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah
berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus
halus (terutama plak payer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah
menyebabkanperadangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe
masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh sel-sel
fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada
akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk darah menyebar
ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ
tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut
dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan
reinfeksi usus. Dalam masa bekteremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin
yangsusunan kimianya sama dengan antigen somatic (lipopolisakarida), yang
semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari
demam tifoid.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa dan endotoksinnya
yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala
demam (T.H Rampengan, 2007: 47).
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada
penularan demam tifoid adalah :
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya:
makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
11
makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum
yang tidak masak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran,
dan sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Depkes RI, 2006: 7).
kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih, maka
kualitas air yang diperoleh menjadi baik.
b. Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin antara penderita pria dan wanita pada demam
tifoid tidak ada perbedaan, tetapi pria lebih banyak terpapar dengan kuman
S.typhi dibandingkan dengan wanita, karena aktivitas di luar rumah lebih
banyak. Hal ini memungkinkan pria mendapat risiko lebih besar untuk
menderita penyakit demam tifoid dibandingkan dengan wanita (Soeharyo
Hadisaputro, 1990: 14).
c. Tingkat Sosial Ekonomi
Faktor yang turut menjadi resiko terjadinya demam tifoid adalah
tingkat sosial ekonomi yang digambarkan dengan besarnya penghasilan.
Adanya hubungan status sosial ekonomi seseorang dengan masalah
kesehatan yang diderita bukan merupakan pengetahuan baru. Bagi mereka
yang keadaan sosial ekonominya baik tentu tidak sulit melakukan
pencegahan dan ataupun pengobatan penyakit. Sedangkan mereka dengan
status ekonomi rendah dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan
beberapa masalah kesehatan tertentu seperti misalnya infeksi dan kelainan
gizi (Sulistyaningsih, 2011: 47).
Sistem pangan dalam memproduksi, mengolah, mendistribusikan,
menyiapkan, dan mengkonsumsi makanan berkaitan erat dengan tingkat
perkembangan, pendapatan dan karakteristik sosiokultur masyarakat.
Sistem pangan pada penduduk kota berpenghasilan rendah lebih
mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu yang
rendah dan tidak terjamin keamanannya. Pencemaran mikroba patogen
pada makanan dalam kelompok ini terutama disebabkan oleh penggunaan
air yang tidak memenuhi syarat, pembuangan sampah tidak pada
tempatnya, higiene dan sanitasi yang tidak baik dalam penyiapan makanan
di rumah atau penyakit menular, dan penjualan makanan di tempat-tempat
yang kotor atau dipinggir jalan. Penyakit melalui makanan yang sering
menyerang penduduk berpenghasilan rendah pada umumnya adalah
penyakit menular seperti tifus, paratifus, kolera, dan disentri, serta
20
Minggu Keempat
Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami penyembuhan
(Soedarto, 2009: 128).
2.9 Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman Salmonella
typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah pasien (Arief Mansjoer,
2000: 433). Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat ditentukan
melalui tiga dasar diagnosis, yaitu berdasar diagnosis klinis, diagnosis
mikrobiologis, dan diagnosis serologis.
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Diagnosis klinis adalah diagnosis
kerja yang berarti penderita telah mulai dikelola sesuai dengan managemen
tifoid (Depkes RI, 2006: 19).
Diagnosis Mikrobiologis
Metode ini merupakan metode yang paling baik karena spesifik sifatnya.
Pada minggu pertama dan minggu kedua biakan darah dan biakan sumsum
tulang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada minggu ketiga dan keempat
hasilbiakan tinja dan biakan urine menunjukkan positif kuat.
Diagnosis Serologis
Tujuan metode ini untuk memantau antibodi terhadap antigen O dan
antigen H, dengan menggunakan uji aglutinasi Widal. Jika titer aglutinin 1/320
atau terjadi kenaikan titer lebih dari 4 kali, hal ini menunjukkan bahwa demam
tifoid sedang berlangsung akut (Soedarto, 2009: 128)
24
2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Terapi Farmakologis:
Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid.
Obat yang sering dipergunakan adalah:
1. Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mgselama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 2 gram/hari selama 3
hari).
2.10.2 Terapi Non farmakologis
Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah
bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar
dan air kecil
Terapi penunjang danDiet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan
yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan
kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar
dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011: 44).
2.11Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah : (Soegijanto, 2002;
Sudigdo et al, 1996).
1) Intra intestinal
a. Perforasi usus
25
2.12 Pencegahan
Sesuai dengan ilmu kesehatan masyarakat, pencegahan dibagi menjadi
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah :
Dari sisi manusia :
a., Vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari demam tifoid, kini
sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang disuntikan atau diminum dan dapat
melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun.
26
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid, perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid,
yaitu:
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat karena gejala klinis
yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama
dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam
tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam
tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik / pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik
dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya
positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah
pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%.
Meskipun demikian, kultur sumsum tulang tetap memperlihatkan
hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu selanjutnya,
hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke 3 dan ke 4. Organisme
27
BAB III
METODE PENELITIAN
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel 4.4 Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung
No. Kebiasaan mencuci bahan Jumlah Prosentase (%)
makanan mentah yang akan
dimakan langsung
2. Baik 13 21,67
Jumlah 60 100
1. Ya 31 51,67
2. Tidak 29 48,33
Jumlah 60 100
BAB V
PEMBAHASAN
5.2 Hubungan antara Kebiasaan Mencuci Tangan setelah Buang Air Besar
(BAB) dengan Kejadian Demam Tifoid
Hasil penelitian, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan setelah buang air besar (BAB) dengan kejadian demam tifoid pada
pasien di Puskesmas Tambakboyo Tuban dimana responden yang mempunyai
kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar kurang baik sebanyak 42
orang (70 %) dan responden yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
setelah buang air besar baik sebanyak 18 orang (30 %).
Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pentingnya mencuci tangan
setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman
merupakan cara mencegah penularan demam tifoid (James Chin, 2000:648).
Tinja orang berpenyakit klinis yang tidak dicurigai ataupun carriermerupakan
sumber kontaminasi yang lebih penting daripada kasus klinis yang
jelasdiisolasikan.(Jawetz, Melnick, Adelbergs, 2005: 369). Upaya
pencegahan demam tifoid dapat dilakukan dengan pemberian penjelasan
secara cukup kepada penderita, penderita yang telah sembuh dan kepada
carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan (James Chin, 2000: 649).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sanitasi lingkungan, higiene perorangan
dankarakteristik individu dengan kejadian demam tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
dengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Tambakboyo Kab. Tuban.
2. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah buang air
besardengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Tambakboyo Kab. Tuban.
3. Terdapat hubungan antarakebiasaan mencuci bahan makanan mentah
yang akan dimakan langsungdengan kejadian Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kab. Tuban.
4. Terdapat hubungan antarakebiasaan makan di luar rumah dengan
kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo
Kab. Tuban.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diajukan sebagai berikut:
6.2.1 Bagi Penderita Demam Tifoid
Diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran agar
mempunyaikebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan benar dan
sebaiknya mengurangi konsumsi makanan diluar rumah untuk mencegah
penularan penyakit demam tifoid.
6.2.2 Bagi Puskesmas Tambakboyo
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Tambakboyo yang
menanganipenyakit demam tifoid untuk menambah program kesehatan dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, khususnya penyakit
43
DAFTAR PUSTAKA
Andang Gunawan, 2001, Food Combining, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Anies, 2006, Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Elex Media
Konputindo.
Atikah Proverawati dan Eni Rahmawati, 2012, Perilaku Hidup Bersih & Sehat
(PHBS), Yogyakarta: Nuha Medika.
Crump JA, Mintz ED. The Global Burden of Typhoid Fever.Bulletin of the World
Health Organization. 2004; 82(5):346-53.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pengembangan Promosi Kesehatan di Daerah
Melalui Dana Dekon 2006. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2007. Informasi Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Depkes RI2007. Jakarta.
Depkes, 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2013. Laporan Tahunan Promkes Tahun 2006. Depkes
RI. Jakarta.
Dinas Kesehatan. 2002. Kabupaten Karanganyar Dalam Angka
2002.Karanganyar: Badan Pusat Statistik.
45
Luby SP, Faizan MK, Fisher-Hoch SP, Risk Factors for Typhoid Fever in an
Endemic Setting, Karachi, Pakistan. Epidemiology and Infection, 1998;p 120,
129–38.
Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2010, Tata Ruang Air, Yogyakarta : C.V
Andi
Sharma PK: Description and Evaluation of the Surveillance System for Typhoid
in Darjeeling District, West Bengal, India, 2005. In Bound volume for the
Master of Applied Epidemiology, (MAE) National Institute of Epidemiology,
Chennai, Tamil Nadu, India; 2007.
Siti Fathonah, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Semarang: UNNES Press.
Soeparman dan Suparmin, 2002, Pembuangan Tinja & Limbah Cair, Jakarta:
EGC
Sumarmo S, Garna H, Sri RSH, Hindra IS. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2002.
T.H Rampengan. 2007. Penyakit Infeksi T ropik pada Anak Jakarta: EGC.