Anda di halaman 1dari 47

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

F7- MINIPROYEK
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO SANITASI LINGKUNGAN, HIGIENITAS
PERORANGAN, KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN SOSIOEKONOMI
DENGAN ANGKA KEJADIAN DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS
TAMBAKBOYO

Oleh:
dr. Cholifah Apriliana
dr. Emilia Puspita Sari
dr. Ersyad Kholid
dr. Mirna Ayu P.S
dr. Trisukma Arya Mahendra
dr. Wahyu Wulandari

Pendamping:
dr. H. Bambang Priyo Utomo

PUSKESMAS TAMBAKBOYO
DINAS KESEHATAN KABUPATEN TUBAN
2016
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan


yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Muttaqin, 2011).Demam tifoid
ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar kuman S.typhi
(WHO, 2008).Masa inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan. Gejala awal
meliputi onset progresif demam, rasa tidak nyaman pada perut, hilangnya
nafsu makan, kosntipasi yang diikuti diare, batuk kering, malaise, dan ruam
bersama dengan bradikardi relatif.Tanpa pengobatan, demam tifoid dapat
menyebabkan delirium, perdarahan usus, perforasi usus dan kematian dalam
waktu satu bulan serta terjadi komplikasi neuropsikiatrik jangka panjang atau
permanen (Nelson, 2000).

Angka kejadian demam tifoid di seluruh dunia tergolong besar.Pada


tahun 2000, kejadian demam tifoid mencapai 21.650.974 jiwa di seluruh
dunia, dan menyebabkan 216.510 kematian (Crump, 2004). Sedangkan
insidensi demam tifoid diseluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar
16 juta per tahun, dan 600.000 diantaranya menyebabkan kematian (Sharma,
2007). Angka kejadian demam tifoid di Asia Tenggara masih tergolong
tinggi. Di Asia tenggara, yang menjadi faktor risiko terjangkit infeksi tifus
abdominalis adalah kontak dengan pasien tifus, rendahnya pendidikan, tidak
tersedianya jamban di rumah, minum air yang kurang bersih dan memakan
berbagai makanan seperti kerang, es krim, dan makanan yang dijual di
pinggir jalan (Luby, 1998).

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit


ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang–undang nomor
6 Tahun 1962 tentang wabah.Kelompok penyakit menular ini dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.Data pada
3

tahun 2009 menunjukkan bahwa kasus demam tifoid menduduki peringkat ke


tiga dari sepuluh jenis penyakit pada pasien rawat inap di rumah sakit seluruh
Indonesia. Total kasus demam tifoid mencapai 80.850 penderita yang terdiri
dari 39.262 laki-laki, 41.588 perempuan, dan 1.013 penderita telah meninggal
dunia. Case fatality rate (CFR) demam tifoid pada tahun 2009 sebesar 1,25%
(Kemenkes RI, 2009). Di Kabupaten Karanganyar jumlah penderita demam
tifoid mencapai 1.259 penderita dengan persentase 3,15% (Dinkes Kab.
Karanganyar, 2002).Berdasarkan kelompok umur, beberapa buku
menjelaskan bahwa angka kejadian demam tifoid sebagian besar terjadi pada
usia 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di
masyarakat yaitu anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di
sekolah atau di tempat lain di luar rumah (Depkes Semarang, 2010).

Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri


dan carrier, yang mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman
S.typhi dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan
(Rasmilah, 2002).Debu yang berasal dari tanah yang mengering, membawa
bahan-bahan yang mengandung kuman penyakit yang dapat mecemari
makanan yang dijual di pinggir jalan.Debu tersebut dapat mengandung tinja
atau urin dari penderita atau karier demam tifoid. Bila makanan dan minuman
tersebut dikonsumsi oleh orang sehat terutama anak-anak sekolah yang sering
jajan sembarangn maka rawan tertular penyakit infeksi demam tifoid. Infeksi
demam tifoid juga dapat tertular melalui makanan dan minuman yang
tercemar kuman yang dibawa oleh lalat (Muliawan, 1999).

Faktor-faktor yang sangat erat hubungannya dengan kejadian demam


thypoid adalah hygiene perorangan yang rendah meliputi kebiasan cuci
tangan, hygiene makanan dan minuman yang rendah seperti mencuci sayuran
dengan air yang terkontaminasi atau penyajian makanan yang kurang sehat
dan sanitasi lingkungan. Hal ini terlihat dari keadaan sanitasi lingkungan
secara keseluruhan di Kecamatan Ngemplak Boyolali yang masih kurang
memadai seperti kepemilikan sarana sanitasi dasar yang meliputi kepemilikan
4

jamban sehat dengan presentase 59,7%, kepemilikan tempat sampah dengan


presentase 61,8%, dan kepemilikan pengelolaan air limbah sebesar 58,3%
(Dinkes Boyolali, 2011).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan langsung ke tiap-tiap rumah


pada Agustus 2012 di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang
mengenai sanitasi lingkungan dan higiene perorangan diketahui yaitu sarana
air bersih responden 26,7% belum memenuhi syarat, 33,3% sarana
pembuangan tinja responden belum memenuhi syarat kesehatan, 20%
responden tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, 53,3%
responden tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, 73,3%
responden mempunyai kebiasaan makan di luar rumah, dan 46,7% responden
mempunyai kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung (sayuran lalapan dan buah-buahan) (Artanti, 2013).

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui


bagaimana pengaruh fakor resiko seperti sanitasi lingkungan, higienitas
perorangan, karakteristik individu dan sosial ekonomi terhadap kejadian
demam tifoid di Puskesmas Tambakboyo Kabupaten Tuban Bulan April-Juni
2016.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh faktor resiko sanitasi lingkungan, higienitas perorangan,


karakterisik individu dan sosial ekonomi terhadap kejadian demam tifoid di
Puskesmas Tambakboyo Kabupaten Tuban Bulan April-Juni 2016?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sanitasi lingkungan, higienitas


perorangan, karakteristik individu dan sosial ekonomi terhadap kejadian
demam tifoid di Puskesmas Tambakboyo Kabupaten Tuban Bulan April-
Juni2016.
5

1.4 Manfaat

Penulisan tugas mini project ini diharapkan dapat memberikan manfaat


sebagai berikut:

1. Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi tenaga kesehatan


mengenai penyakit demam tifoid dan penatalaksanaannya.
2. Dapat meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam
menurunkan angka morbiditas akibat penyakit demam tifoid.
3. Sebagai dasar pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut mengenai penyakit
demam tifoid.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari dan gangguan pada
saluran cerna. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau
thypus (Akhsin Zulkoni, 2010: 42). Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella
typhidan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit ini hampir
selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (T.H.
Rampengan, 2007 :46).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun
klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam
enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid (Sumarmo,
2002).

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Data World Health Organization
memperkirakan angka kejadian di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per
tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini dan 70%
kematiannya terjadi di Asia. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000
per tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000 per tahun di Asia.
Di Indonesia, penyakit Demam tifoid bersifat endemik. Penyakit ini
tersebar di seluruh wilayah dengan jumlah yang tidak berbeda jauh antar
daerah. Menurut data WHO, penderita Demam tifoid di Indonesia cenderung
meningkat setiap tahun dengan rata-rata 800 per 100.000 penduduk (Depkes
RI. 2013).
7

Pada penelitian Naelannajah Alladany (2010) mendapatkan hasil


bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan yang merupakan faktor
risiko kejadian demam tifoid adalah kualitas sumber air, kualitas jamban
keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga, praktek kebersihan diri,
pengelolaan makanan dan minuman rumah tangga.

2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman S.typhi yang berhasil diisolasi
pertama kali dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafrrkey di German pada
tahun 1884. Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif yang motil,
bersifat aerob dan tidak membentuk spora yang menghasilkan endotoksin
sehingga merusak jaringan usus halus.13 S.typhi dapat tumbuh pada semua
media, dan pada media yang selektif bakteri ini memfermentasi glukosa dan
manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa. S.typhi masuk ke tubuh
manusia secara fecal-oral, dan melalui alat/ makanan yang terkontaminasi
(Soegijanto, 2002).
Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu : (Widodo,
2007)
1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat
spesifik grup. 10
2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam
flagella dan bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul
yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat
menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan
melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. S.typhi
menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding
sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan
lipid A. Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk
antibodi aglutinin.
8

4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel


terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.OMP
berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke
dalam membran sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai
reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri
dari protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan
merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
pejamu. Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya belum
diketahui secara pasti.

Gambar 1. Kuman Salmonella typhy Sumber : World Health


Organization1

2.4 Sumber Penularan dan Cara Penularan


Sumber penularan Demam Tifoid atau Tifus tidak selalu harus
penderita tifus. Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh,
tetapi di dalam air seni dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita
ini disebut sebagai pembawa (carrier). Walaupun tidak lagi menderita
penyakit tifus, orang ini masih dapat menularkan penyakit tifus pada orang
lain. Penularan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, biasanya terjadi
melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang
dikonsumsi kurang bersih (Addin, 2009: 104).
9

Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-


kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur mentah
yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu atau produk susu yang
terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi
(JamesChin, 2006:647)
Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman
berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit
yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan
makanan. Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama
penularan penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang
terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap
penularan (Widoyono, 2011 :44).
Tifoid carrier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosadi
dalam ekskretnya. Mengingat carrier sangat penting dalam hal penularan yang
tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya
sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian (T.H Rampengan,
2007: 58).
Penularan tipes dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/ kuku),
Fomitus(muntah), Fly(lalat), dan Feses. Feses dan muntah dari penderita
typhoid dapat menularkan Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman
tersebut dapat ditularkan melalui minuman terkontaminasi dan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi
oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman Salmonella
thypimasuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut, selanjutnya orang sehat
akan menjadi sakit (Akhsin Zulkoni, 2010: 43).
10

2.5 Patogenesis
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah
berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus
halus (terutama plak payer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah
menyebabkanperadangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe
masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh sel-sel
fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada
akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk darah menyebar
ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ
tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut
dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan
reinfeksi usus. Dalam masa bekteremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin
yangsusunan kimianya sama dengan antigen somatic (lipopolisakarida), yang
semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari
demam tifoid.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa dan endotoksinnya
yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan
yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala
demam (T.H Rampengan, 2007: 47).
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada
penularan demam tifoid adalah :
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya:
makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
11

makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum
yang tidak masak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran,
dan sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Depkes RI, 2006: 7).

2.6 Faktor Resiko


2.6.1 Sanitasi Lingkungan
Sanitasi adalahusaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan
atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan
penyakit tersebut (Hiasinta A, 2001: 2). Menurut WHO, sanitasi lingkungan
adalah upaya pengendalian semua faktor lingkunganfisik manusia yang mungkin
menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi
perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia (Sri Winarsih,
2008: 1).

Faktor Sanitasi Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid:


1. Sarana Air Bersih
Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat
badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar
80%. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antaralain untuk minum,
masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Di negara-negara berkembang,
termasukIndonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di
antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan
untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus
mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit
(Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 152).
12

Dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan lingkungan, air dikaitkan


sebagai faktor perpindahan atau penularan penyebab penyakit. Air membawa
penyebab penyakit dari kotoran (feces) penderita, kemudian sampai ke tubuh
orang lain melalui makanan, susu dan minuman. Air juga berperan untuk
membawa penyebab penyakit infeksi yang biasanya ditularkan melalui air
yaitu typus abdominalis. Manusia menggunakan air untuk berbagai keperluan
seperti mandi, cuci, kakus, produksi pangan, papan, dan sandang. Mengingat
bahwa berbagai penyakit dapat dibawa oleh air kepada manusia, maka tujuan
utama penyediaan air bersih bagi masyarakat adalah mencegah penyakit
bawaan air (Juli Soemirat, 2006: 108). Setiap rumah tangga harus memiliki
persediaan air bersih dalam jumlah cukup. Di daerah yang padat
penduduknya, kebutuhan sumber air bersih tentu saja semakin banyak.
Kebutuhan air bersih yang berasal dari jenis sarana yang dianggap memenuhi
persyaratan antara lain melalui sistem perpipaan, mata air terlindung, sumur
terlindung, dan air hujan terlindung. Namun demikian untuk menjamin
tersedianya air bersih yang berkualitas secara berkala Departemen Kesehatan
melakukan pemantauan terhadap kualitas sampel air minum dari PDAM
maupun air bersih dari jenis sarana lainnya yang dilaksanakan secara berkala
(Alya D.R, 2008: 5).
Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah
pentingnya berkaitan dengan kejadian demam tifoid. Prinsip penularan demam
tifoid adalah melalui fecal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita
atau bahkan karieryang masuk ke dalam tubuh melalui air dan makanan.
Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara masal sering bertanggung
jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Di daerah endemik, air
yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit demam tifoid
(Widoyono, 2011: 43). Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai
sebagai sumber air bersih bagi penghuni rumahyang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian
sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat memenuhi syarat teknis
13

kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih, maka
kualitas air yang diperoleh menjadi baik.

Persyaratan kesehatan sarana air bersih sebagai berikut:


1) Sumur Gali (SGL) : jarak sumur gali dari sumber pencemar minimal 11
meter, lantai harus kedap air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan,
tidak tergenang air, tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai, dibuat
dari bahan yang kuat dan kedap air, dibuat tutup yang mudah dibuat.
2) Sumur Pompa Tangan (SPT) : sumur pompa berjarak minimal 11 meter
dari sumber pencemar, lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur,
lantai tidak retak atau bocor, SPAL harus kedap air, panjang SPAL
dengan sumur resapan minimal 11 meter, dudukan pompa harus kuat.
3) Penampungan Air Hujan (PAH) : talang air yang masuk ke bak PAH harus
dipindahkan atau dialihkan agar air hujan pada 5 menit pertama tidak
masuk ke dalam bak.
4) Perlindungan Mata Air(PMA) : sumber air harus pada mata air, bukan pada
saluran air yang berasal dari mata air tersebut yang kemungkinan tercemar,
lokasi harus berjarak minimal 11 meter dari sumber pencemar, atap dan
bangunan rapat air serta di sekeliling bangunan dibuat saluarn air hujan
yang arahnya keluar bangunan, pipa peluap dilengkapi dengan kawat kaca.
Lantai bak harus rapat air dan mudah dibersihkan,
5) Perpipaan : pipa yang digunakan harus kuat tidak mudah pecah, jaringan
pipa tidak boleh terendam air kotor, bak penampungan harus rapat air dan
tidak dapat dicemari oleh sumber pencemar, pengambilan air harus
memalui kran (Lud Waluyo, 2009: 137).

Di beberapa wilayah di Indonesia, air tanah masih menjadi sumber air


bersih utama. Air tanah yang masih alami tanpa ganguan manusia, kualitasnya
belum tentu bagus. Terlebih lagi yang sudah tercemar oleh aktivitas manusia,
kualitasnya akan semakin menurun. Pencemaran air tanah antara lain
disebabkan oleh kurang teraturnya pengelolaan lingkungan. Beberapa sumber
14

pencemar yang menyebabkan menurunnya kualitas air tanah antara lain


sampah dari TPA, tumpahan minyak, kegiatan pertanian, pembuangan limbah
cair pada sumur, pembuangan limbah ke tanah, dan pembuangan limbah
radioaktif (Robert J. Kodoatie, 2010: 35)

2. Sarana Pembuangan Tinja


Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk
buang air besar, berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang
mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat
jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa yang dilengkapi dengan unit
penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jenis-jenis jamban
yang digunakan :
a. Jamban Cemplung
Adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi
menyimpan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran kedasar
lubang.
b. Jamban Tangki Septik/Leher Angsa
Adalah jamban berbentuk leher angsa yang penampungannya berupa
tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian atau
dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapan (Atikah
Proverawati, 2012: 75).
Pembuatan jamban atau kakus merupakan usaha manusia untuk
memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat
(Sri Winarsih, 2008: 41). Menurut Atikah Proverasari(2012: 78), jamban sehat
adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak antara sumber air bersih dengan
luban penampungan minimal 10 meter).
2. Tidak berbau.
3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus.
4. Tidak mencemari tanah disekitarnya
5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan
15

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.


7. Penerangan dan ventilasi yang cukup.
8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai
9. Tersedia air, sabundan alat pembersih.
Dalam perencanaan pembuatan jamban, perhatian harus diberikan pada
upaya pencegahan keberadaan vektor perantara penyakit demam tifoid yaitu
pencegahan perkembangbiakan lalat. Peranan lalat dalam penularan penyakit
melalui tinja (fekal-borne diseases) sangat besar. Lalat rumah selain senang
menempatkan telurnya pada kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang
menempatkannya pada kotoran manusia yang terbuka dan bahan organik lain
yang sedang mengalami penguraian. Jamban yang paling baik adalah jamban
yang tinjanya segera digelontorkan ke dalam lubang atau tangki dibawah
tanah. Disamping itu, semua bagian yang terbuka ke arah tinja, termasuk
tempat duduk atau tempat jongkok, harus dijaga selalu bersih dan tertutup bila
tidak digunakan (Soeparman dan Suparmin, 2002: 51).
Pengelolaan kotoran manusia yang tidak memenuhi syarat dapat
menjadi sumber penularan penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat
banyak. Oleh karena itu kotoran manusia perlu ditangani dengan seksama
(Depkes RI, 2006: 184).

2.6.2 Higiene Perorangan


Higiene perorangan merupakan ciri berperilaku hidup sehat. Beberapa
kebiasaan berperilaku hidup sehat antara lain kebiasaan mencuci tangan dengan
sabun setelah BAB dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.
Peningkatan higiene perorangan adalah salah satu dari program pencegahan yakni
perlindungan diri terhadap penularan tifoid (DepkesRI, 2006: 49).

Faktor Higiene Perorangan yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid


a. Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun setelah Buang Air Besar
Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri atau
virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh karenanya
16

kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas tinggi,


walaupun hal tersebut sering disepelekan (Siti Fathonah, 2005: 12). Kegiatan
mencuci tangan sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan di
restoran, atau warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak.
Setiap tangan kontak dengan feses, urine atau dubur sesudah buang air besar
(BAB) maka harus dicuci pakai sabun dan kalau dapat disikat (Depkes RI,
2007: 49).
Pencucian dengan sabun sebagai pembersih, penggosokkan dan
pembilasan dengan air mengalir akan menghanyutkan partikel kotoran yang
banyak mengandung mikroorganisme (Siti Fathonah, 2005: 12).

b. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan


Kebersihan tangan sangatlah penting bagi setiap orang. Kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan harus dibiasakan. Dengan kebiasaan mencuci
tangan, sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan
kepada makanan (Depkes RI,2006:208). Budaya cuci tangan yang benar
adalah kegiatan terpenting. Setiap tangan yang dipergunakan untuk memegang
makanan, maka tangan harus sudah bersih. Pencucian dengan benar telah
terbukti berhasil mereduksi angka kejadian kontaminasi dan KLB demam
tifoid (Arisman, 2008: 175).
Cara mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut:
1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tidak perlu
harus sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang
berbentuk cairan.
2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.
3. Bersihkan bagian pergelangan tangan,punggung tangan, sela-sela jari
dan kuku.
4. Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.
5. Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.
17

c. Kebiasaan Makan di Luar Rumah


Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella
thyphi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang mereka konsumsi. Penularan tifus dapat terjadi dimana saja
dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan di luar rumah atau
di tempat-tempat umum, apabila makanan atauminuman yang dikonsumsi
kurang bersih. Dapat juga disebabkan karena makanan tersebut disajikan oleh
seorang penderita tifus laten (tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan
saat memasak. Seseorang dapat membawa kuman tifus dalam saluran
pencernaannya tanpa sakit, ini yang disebut dengan penderita laten. Penderita
ini dapat menularkan penyakit tifus ini ke banyak orang, apalagi jika dia
bekerja dalam menyajikan makanan bagi banyak orang seperti tukang masak
di restoran (Addin A, 2009: 104).

d. Kebiasaan Mencuci Bahan Makanan Mentah yang Akan Dimakan


Langsung
Dibeberapa negara penularan tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-
kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah
yang dipupuk dengan kotoran manusia (Dinkes Prov Jateng, 2006: 100).
Bahan mentah yang hendak dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu misalnya
sayuran untuklalapan, hendaknya dicuci bersih dibawah air mengalir untuk
mencegah bahaya pencemaran oleh bakteri, telur bahkan pestisida (Anies,
2006: 97).
Buah dan sayuran segar merupakan satu-satunya kelompok makanan yang
sekaligus memiliki kadar air tinggi, nutrisi dan pembentukan sifat basa.
Namun, pada kombinasi makanan serasi sudah banyak terbukti bahwa buah-
buahan tidak pernah menimbulkan masalah jika cara mengkonsumsinya benar
yaitu dengan dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
pestisida (Andang Gunawan, 2001: 68-70). Buah dan sayur dapat
terkontaminasi oleh Salmonella typhi, karena buah dan sayur kemungkinan
dipupuk menggunakan kotoran manusia (James Chin, 2006: 647).
18

2.6.3 Karakteristik Individu


Ciri-ciri yang mempengaruhi masalah kesehatan dalam epidemiologi dapat
dibedakan atas beberapa macam yakni umur, jenis kelamin, golongan ethnik,
agama,pekerjaan, pendidikan, dan keadaan status sosial ekonomi (Sulistyaningsih,
2011: 41).
Faktor Karakteristik Individu yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid:
a. Umur
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di
Indonesia.Penyakit ini banyak menimbulkan masalah pada kelompok umur
dewasa muda, karena tidak jarang disertai perdarahan dan perforasi usus
yang sering menyebabkan kematian penderita. Secara umum insiden tifoid
dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun (Depkes,
2006: 7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70-80% pasien berumur
12-30 tahun, 10-20% berumur 30-40 tahun dan lebih sedikit pada pasien
berumur diatas 40 tahun (Rasmilah, 2001: 2). Pada kelompok usia 3-19
tahun yaitu kelompok anak sekolah yang kemungkinkan besar diakibatkan
sering jajan di sekolah atau tempat lain di luar rumah.Sedangkan
kelompok umur 20-30 tahun merupakan kelompok pekerja dimana
kelompok usia tersebut sering melakukan aktivitas diluar rumah,
sehinggaberesiko untuk terinfeksi Salmonella typhi, seperti mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi Salmonella typhi(Siska
Ishaliani H, 2009:55).
19

b. Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin antara penderita pria dan wanita pada demam
tifoid tidak ada perbedaan, tetapi pria lebih banyak terpapar dengan kuman
S.typhi dibandingkan dengan wanita, karena aktivitas di luar rumah lebih
banyak. Hal ini memungkinkan pria mendapat risiko lebih besar untuk
menderita penyakit demam tifoid dibandingkan dengan wanita (Soeharyo
Hadisaputro, 1990: 14).
c. Tingkat Sosial Ekonomi
Faktor yang turut menjadi resiko terjadinya demam tifoid adalah
tingkat sosial ekonomi yang digambarkan dengan besarnya penghasilan.
Adanya hubungan status sosial ekonomi seseorang dengan masalah
kesehatan yang diderita bukan merupakan pengetahuan baru. Bagi mereka
yang keadaan sosial ekonominya baik tentu tidak sulit melakukan
pencegahan dan ataupun pengobatan penyakit. Sedangkan mereka dengan
status ekonomi rendah dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan
beberapa masalah kesehatan tertentu seperti misalnya infeksi dan kelainan
gizi (Sulistyaningsih, 2011: 47).
Sistem pangan dalam memproduksi, mengolah, mendistribusikan,
menyiapkan, dan mengkonsumsi makanan berkaitan erat dengan tingkat
perkembangan, pendapatan dan karakteristik sosiokultur masyarakat.
Sistem pangan pada penduduk kota berpenghasilan rendah lebih
mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu yang
rendah dan tidak terjamin keamanannya. Pencemaran mikroba patogen
pada makanan dalam kelompok ini terutama disebabkan oleh penggunaan
air yang tidak memenuhi syarat, pembuangan sampah tidak pada
tempatnya, higiene dan sanitasi yang tidak baik dalam penyiapan makanan
di rumah atau penyakit menular, dan penjualan makanan di tempat-tempat
yang kotor atau dipinggir jalan. Penyakit melalui makanan yang sering
menyerang penduduk berpenghasilan rendah pada umumnya adalah
penyakit menular seperti tifus, paratifus, kolera, dan disentri, serta
20

keracunan Staphylococcus aureus dan C. perfringens yang sering


mencemari makanan siap santap (Srikandi Fardiaz, 2001: 155).

2.7 Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Tifoid


1. Riwayat Penyakit Demam Tifoid Dalam Keluarga
Penyakit demam tifoid tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan
insidensi yang tidak berbeda jauh antar daerah. Serangan penyakit ini bersifat
sporadis, dalam suatu daerah terjadi kasus yang berpencar-pencar dan tidak
mengelompok. Sangat jarang ditemukan beberapa kasus pada satu keluarga
pada saat bersamaan. Sumber penularan utama demam tifoid selain dari
penderita tifoid adalah berasal dari carrier (Widoyono, 2011: 43).
Kontak dalam lingkungan keluarga dapat berupa carrier yang permanen
atau carrier sementara. Status carrier dapat terjadi setelah serangan akut atau
pada penderita subklinis. Sedangkan carrier kronis sering terjadi pada mereka
yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita, carrier biasanya
mempunyai kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu empedu.
Orang yang baru sembuh dari tifoid masih terus mengekresi Salmonella typhi
dalam tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat menjadi karier
kronik bila masih mengandung basil sampai 1 tahun atau lebih. Bagi penderita
yang tidak diobati dengan adekuat, insiden karier didilaporkan 5-10% dan
kurang lebih 3% menjadi karier kronik (Depkes, 2006: 42).
2. Sanitasi Peralatan Makan dan Minumpada RumahTangga
Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk
pertumbuhan mikroba yang patogen. Oleh karenanya, untuk mendapat
keuntungan yang maksimum dari makanan, maka perlu dijaga dalam sanitasi
makanan (Juli Soemirat, 2006: 171). Sanitasi makanan merupakan upaya
penghilangan faktor di luar makanan yang menyebabkan kontaminasi dari
bahan makanan sampai dengan makanan siap disajikan. Sedangkan tujuan dari
sanitasi makanan adalah mencegah kontaminasi terhadap bahan makanan dan
makanan siap saji sehingga aman dikonsumsi manusia. Kontaminasi pada
makanan terjadi saat agen atau kuman patogen penyebab penyakit masuk ke
21

dalam makanan saat penyiapan makanan, misalnya kuman patogen dari


peralatan pengolah makanan yang tidak saniter (Sri Winarsih, 2008: 25). Oleh
karena itu permukaan alat yang digunakan untuk makanan harus dijaga agar
selalu bersih untukmenghindari kontaminasi makanan (WHO, 2005: 110).
Perlengkapan dan peralatan masak yang digunakan dalam penyiapan
makan dapat menjadi sumber kontaminasi maka perlu dicuci agar menjadi
bersih sehingga dapat mencegah kemungkinan timbulya sumber penularan
penyakit. Tujuan dari tindakan pembersihan adalah untuk menghilangkan
tanah, debu, atau partikel lain pada daerah permukaan yang akan dipakai untuk
mengolah makanan, misalnya peralatan dapur, meja dapur, talenan, daerah
sekitar kompor dan sebagainya. Tindakan pembersihan meliputi pencucian
peralatan dengan larutan sabun atau deterjen dan pembilasan dengan air yang
mengalir dimaksudkan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme hingga
sampai batas aman (Sri Winarsih, 2008: 28).
Selain itu, setelah makanan yang siap disajikan, tempat penyimpanan
makanan harus bersih dan dalam keadaan tertutup untuk melindungi makanan
dari serangga, hewan pengerat dan binatang lain yang membawa
mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit (Siti Fathonah,
2005: 4).
Berbagai hama dan hewan peliharaan dapat menjadi vektor pembawa
penyakit saluran pencernaan manusia. Lalat, semut, kecoa, dan hama serangga
lain dapat memindahkan organisme dari sumber yang tercemar organisme
patogen ke dalam makanan (Siti Fathonah, 2005: 9).
Penularan penyakit tifus perut adalah melalui tinja penderita. Tinja
penderita yang dihinggapi kecoak, lalat atau semut, siap disebarkan ke mana
saja kecoak, lalat atau semut itu pergi. Kalau merayap di piring, pada makanan,
kue, sayuran dan lain-lain, bisa menular kepada orang lain,yang menggunakan
piring atau memakan makanan-makanan tersebut (Ircham Machfoedz, 2008:
57).
22

2.8 Manifestasi Klinis


2.8.1 Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah
khas, berupa:
1. Anoreksia
2. Rasa malas
3. Sakit kepala bagian depan
4. Nyeri otot
5. Lidah kotor
6. Gangguan perut (Rudi Haryono,2012 :67)
2.8.2 Gambaran klinis demam tifoid (Gejala Khas)
Gambaran klinis klasik yang sering ditemukan pada penderita demam
tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada minggu pertama,
minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat sebagai berikut:
Minggu Pertama (awal infeksi)
Demam tinggi lebih dari 400C, nadi lemah bersifat dikrotik, denyut nadi
80-100 per menit.
Minggu Kedua
Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak
kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa
teraba.
Minggu Ketiga
Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala dan keluhan
berkurang. Sebaliknya kesehatan penderita memburuk jika masih terjadi
delirium, stupor, pergerakan otot yang terjadi terus-menerus, terjadi
inkontinensia urine atau alvi. Selain itu tekanan perut meningkat. Terjadi
meteorismus dan timpani, disertai nyeri perut. Penderita kemudian mengalami
kolaps akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi miokardial
toksik.
23

Minggu Keempat
Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami penyembuhan
(Soedarto, 2009: 128).

2.9 Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman Salmonella
typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah pasien (Arief Mansjoer,
2000: 433). Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat ditentukan
melalui tiga dasar diagnosis, yaitu berdasar diagnosis klinis, diagnosis
mikrobiologis, dan diagnosis serologis.
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Diagnosis klinis adalah diagnosis
kerja yang berarti penderita telah mulai dikelola sesuai dengan managemen
tifoid (Depkes RI, 2006: 19).
Diagnosis Mikrobiologis
Metode ini merupakan metode yang paling baik karena spesifik sifatnya.
Pada minggu pertama dan minggu kedua biakan darah dan biakan sumsum
tulang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada minggu ketiga dan keempat
hasilbiakan tinja dan biakan urine menunjukkan positif kuat.

Diagnosis Serologis
Tujuan metode ini untuk memantau antibodi terhadap antigen O dan
antigen H, dengan menggunakan uji aglutinasi Widal. Jika titer aglutinin 1/320
atau terjadi kenaikan titer lebih dari 4 kali, hal ini menunjukkan bahwa demam
tifoid sedang berlangsung akut (Soedarto, 2009: 128)
24

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Terapi Farmakologis:
Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid.
Obat yang sering dipergunakan adalah:
1. Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari
2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4. Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mgselama 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 2 gram/hari selama 3
hari).
2.10.2 Terapi Non farmakologis
Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah
bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar
dan air kecil
Terapi penunjang danDiet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan
yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan
kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar
dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011: 44).

2.11Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah : (Soegijanto, 2002;
Sudigdo et al, 1996).
1) Intra intestinal
a. Perforasi usus
25

Perforasi merupakan komplikasi pada 1-5% pendSerita yang dirawat,


biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum.
b. Perdarahan Usus
Pada plak Payeri usu yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila sedikit hanya
ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Perdarahan
hebat dapat menyebabkan syok, tetapi biasanya sembuh spontan tanpa
pembedahan.
2) Ekstra intestinal
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis yaitu meninggal,
kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Pankreatitis merupakan komplikasi
yang jarang terjadi pada demam tifoid. Myokarditis terjadi pada 1-5%
penderita demam tifoid. Hepatitis tifosa merupakan komplikasi demam
tifoid yang jarang ditemukan. Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan
bakteri S.typhi melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Sehingga
sistitis bahkan pielonefritis merupakan penyulit demam tifoid. Dilaporkan
pula kasus dengan komplikasi neuro psikiatrik. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi,
stupor bahkan koma.

2.12 Pencegahan
Sesuai dengan ilmu kesehatan masyarakat, pencegahan dibagi menjadi
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah :
Dari sisi manusia :
a., Vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari demam tifoid, kini
sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang disuntikan atau diminum dan dapat
melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun.
26

b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene, sanitasi, personal


hygiene.
Dari sisi lingkungan hidup :
a. Penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan
b. Pembuangan kotoran manusia yang higienis
c. Pemberantasan lalat
d. Pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual
makanan (Akhsin Zulkoni, 2010: 48).

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid, perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid,
yaitu:
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat karena gejala klinis
yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama
dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam
tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam
tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik / pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik
dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya
positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah
pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%.
Meskipun demikian, kultur sumsum tulang tetap memperlihatkan
hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu selanjutnya,
hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke 3 dan ke 4. Organisme
27

dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90%


penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman
Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
♦ Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan
antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella
typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid , pada orang
yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah
mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium.Tujuan dari uji widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya
agglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer
aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji widal adalah sebagai berikut:
a. Titer O yang tinggi ( ≥ 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi (≥ 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
28

♦ Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)


Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen
Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai.Prinsip dasar uji
ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.Antibodi
yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen
yang dipakai.
Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi.Deteksi antigen
spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau
urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid
secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis
yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa:
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui peningkatan
usaha surveilans demam tifoid
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan
sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi.Bila klinis berat, penderita harus istirahat total.Bila penyakit
membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan
diet.Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral.Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
yang sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
makan.Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup.Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan
29

perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid biasanya


diklarifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Antibiotik segera diberikan bila diagnosa telah
dibuat.Kloramfenikol masih menjadi pilhan pertama, berdasarkan
efikasi dan harga.Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya
yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama
pada trimester III karena dapat menyebabkan partus premature serta
janin mati dalam kandungan.Oleh karena itu, obat yang paling aman
diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin, atau amoksisilin.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi.Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga
imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam
tifoid.Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan
laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau
tidak.
30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah penderita demam tifoid di wilaya
kerja Puskesmas Tambakboyo , Tuban, Jawa Timur.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah responden yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekskusi sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
1. Penderita demam tifoid yang berkunjung di Puskesmas Tambakboyo
periode bulan April – Juni 2016
2. Bersedia menjadi responden
Kriteria eksklusi :
Tidak bersedia menjadi responden

3.3 Variabel Penelitian


1. Variabel Dependen
Kejadian demam tifoid, dengan hasi laboratorium widal O dan H
lebih dari 1/320.
2. Variabel Independen
Sanitasi lingkungan, higienitas perorangan, karakteristik individu
dan sosial ekonomi.

3.4 Definisi Operasional Penelitian


Definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut :
31

a. Sanitasi lingkungan adalah ketersedian jamban dan BAB di pantai


b. Higienis perorangan adalah cuci tangan dengan sabun sebelum dan
sesudah makan, cuci tangan setelah buang air besar, mencuci buah dan
sayuran mentah sebelum dikonsumsi, dansering makan diluar rumah.
c. Karakteristik individu adalah umur dan jenis kelamin
d. Social ekonomi adalah pendapatan keluarga dalam 1 bulan

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.Semua
responden dalam mengisi kuisioner didampingi oleh peneliti.

3.6 Cara Pengambilan Data


Cara pengambilan data pada penelitian ini adalah primer langsung dari
responden

3.7 Teknik Analisis


Teknik penyajian data dengan penyajian data hasil penelitian yang
diperoleh dari pengukuran dalam bentuk tabel dan grafik.

3.8 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan antara bulan April – juni 2016 di Puskesmas
Tambakboyo, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten tuban, Provinsi Jawa Timur.

3.9 Keterbatasan dan Hambatan Penelitian


Keterbatasan dan hambatan dalam penelitian ini adalah
1. Jumlah sampel yang sedikit dan terbatas
2. Pengambilan sampel yang total sampel
3. Instrumen kuisioner tertulis
32

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Penelitian yang berjudul “Hubungan Faktor Risiko Sanitasi Lingkungan,
Higienitas Perorangan, Karakteristik Individu dan Sosioekonomidengan Angka
Kejadian Demam Tifoid di Puskesmas
Tambakboyo” tahun 2016, dengan responden kasus 60 orang. Penelitian ini
dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tambakboyo KabupatenTuban yang
mempunyai luas wilayah sebesar 7.297 km2 dengan jumlah penduduk 39.670
jiwa, dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 12. 791 KK. Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 19.808 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 19. 862 jiwa.
Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo meliputi 18 kelurahan, yaitu Kelurahan
Dasin, Kelurahan Klutuk, Kelurahan Sawir, Kelurahan Kenanti, Kelurahan Plajan,
Kelurahan Gadon,Kelurahan Dikir, Kelurahan Pulogede, Kelurahan Cokrowati,
Kelurahan Mander, Kelurahan Glondong gede, Kelurahan Sobontoro, Kelurahan
Pabeyan, Kelurahan Sotang, Kelurahan Ngulahan, Kelurahan Belikanget, dan
Kelurahan Merkawang.
Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Tambakboyo adalah:
Sebelah Utara : Laut jawa
Sebelah Selatan : Kecamatan Kerek
Sebelah Timur : Kecamatan Jenu
Sebelah Barat : Kecamatan Bancar
Berdasarkan data laporan Demam Tifoid yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Tuban Tahun 2015 diketahui bahwa jumlah kasus demam tifoid
di Puskesmas Tambakboyo tahun 2015 sebanyak 85 kasus. Hasil observasi
sanitasi lingkungan, masih terdapat sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat
kesehatan. Selain itu juga masih terdapat warga yang memiliki jamban yang tidak
memenuhi syarat yaitu jamban tidak dilengkapi dengan dinding, atap pelindung,
lantai tidak kedap air dan jamban langsung dialirkan ke sungai. Sedangkan hasil
observasi tentang higiene perorangan, masih banyak warga yang kurang
33

memperhatikan kebersihan dirinya seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan


mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan langsung, dan kebiasaan
jajan sembarangan sehingga penularan dan penyebaran penyakit demam tifoid
dapat terjadi di masyarakat.

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Karakteristik Responden
Responden terdiri dari responden kasussebanyak 60 orang. Responden
kasus yaitu penderita demam tifoid yang terdaftar dalam catatan rekam medik
Puskesmas Tambakboyo pada tahun 2016 dan berdomisili di wilayah kerja
Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban.
Tabel 4.1 Umur, Jenis Kelamin, dan Pendidikan responden di wilayah kerja
Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban Tahun 2016
Karakteristik Jumlah Prosentase (%)
Umur
< 15 tahun 54 90
15-30 tahun 6 10
30-45 tahun - -
45-60 tahun - -
≥60 tahun - -
Jenis Kelamin
Laki-laki 48 80
Perempuan 12 20

Karakteristik responden berdasarkan hasil survei umur pada penderita


demam tifoid di Puskesmas Tambakboyo menunjukkan bahwa jumlah responden
yang paling banyak mengalami demam tifoid terdapat pada kategori umur <15
tahun sebanyak 54 orang(90 %) dan yang paling sedikit kategori umur 15-30
tahun sebanyak 6 orang (10 %). Hasil analisis berdasarkan jenis kelamin
memperlihatkan bahwa jumlah responden yang paling banyak mengalami demam
tifoid adalah responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 48 orang (80 %),
34

sedangkan responden dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami demam


tifoid adalah sebanyak 12 orang (20 %).

4.2.2 Analisis Univariat


4.2.2.1 Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah Buang Air Besar
Distribusi hasil penelitian mengenai kebiasaan mencuci tangan setelah
buang air besar di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel
4.2).
Tabel 4.2 Kebiasaan Mencuci Tangan Setelah Buang Air Besar
No. Kebiasaan Mencuci Tangan Jumlah Prosentase (%)
Setelah Buang Air Besar
1. Kurang Baik 42 70
2. Baik 18 30
Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai


kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar kurang baik sebanyak 42 orang
(70 %) dan responden yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan setelah buang
air besar baik sebanyak 18 orang (30 %).

4.2.2.2 Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan


Distribusi hasil penelitian mengenai kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan
No. Kebiasaan Mencuci Tangan Jumlah Prosentase (%)
Sebelum Makan
1. Kurang Baik 32 53,33
2. Baik 28 46,67
Jumlah 60 100
35

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai


kebiasaan mencuci tangan sebelum makan kurang baik sebanyak 32 orang
(53,33%) dan responden yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan baik sebanyak 28orang (46,67%).

4.2.2.3 Kebiasaan Mencuci Bahan Makanan Mentah yang Akan Dimakan


Langsung
Distribusi hasil penelitian mengenai kebiasaan mencuci bahan makanan
mentah yang akan dimakan langsung di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo
Kota Tuban (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung
No. Kebiasaan mencuci bahan Jumlah Prosentase (%)
makanan mentah yang akan
dimakan langsung

1. Kurang Baik 47 78,33

2. Baik 13 21,67

Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa responden yang


mempunyai kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung kurang baik sebanyak 47 orang (78,33 %) dan responden yang
mempunyai kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung baik sebanyak 13 orang (21,67 %).
36

4.2.2.4 Kebiasaan Makan Di Luar Rumah


Distribusi hasil penelitian mengenai kebiasaan makan di luar rumah di
Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Kebiasaan Makan di Luar Rumah
No. Kebiasaan Makan di Luar Jumlah Prosentase (%)
Rumah

1. Ya 31 51,67

2. Tidak 29 48,33

Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai


kebiasaan makan di luar rumah sebanyak 31 orang (51,67%) dan responden yang
tidak mempunyai kebiasaan makan di luar rumah sebanyak 29 orang (48,33%).

4.2.2.5 Sarana Air Bersih


Distribusi hasil penelitian mengenai sarana air bersih di Wilayah Kerja
Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel 4.6).

Tabel 4.6Sarana Air Bersih


No. Sarana Air Bersih Jumlah Prosentase (%)
1. Tidak memenuhi syarat 5 8,33
2. Memenuhi syarat 55 91,67
Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa responden dengan sarana


airbersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 5 orang (8,33 %) dan
respondendengan sarana air bersih yang memenuhi syarat sebanyak 55 orang
(91,67%).
37

4.2.2.6 Sarana Pembuangan Tinja


Distribusi hasil penelitian mengenai sarana pembuangan tinja di
WilayahKerja Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel 4.7).
Tabel 4.7Sarana Pembuangan Tinja
No. Sarana Pembuangan Tinja Jumlah Prosentase (%)
1. Tidak memenuhi syarat 4 6,67
2. Memenuhi syarat 56 93,33
Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa responden dengan


saranapembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sebanyak 4 orang (6,67%)
danresponden dengan sarana pembuangan tinja yang memenuhi syarat sebanyak
56 orang (93,33 %).

4.2.2.7 Distribusi Tingkat Sosial Ekonomi


Distribusi hasil penelitian mengenai tingkat sosial ekonomi responden di
Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban (Tabel 4.8).

Tabel 4.8 Tingkat Sosial Ekonomi


No. Sarana Pembuangan Tinja Jumlah Prosentase (%)
1. Rendah 24 40
2. Tinggi 36 60
Jumlah 60 100

Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat


sosial ekonomi rendah sebanyak 24 orang (40 %) dan responden dengan tingkat
sosial ekonomi tinggi sebanyak 36 orang (60 %).
38

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Hubungan antara Kebiasaan Mencuci Tangan sebelum Makan dengan


Kejadian Demam Tifoid
Hasil penelitian, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan dengan kejadian demam tifoid pada pasien di
Puskesmas Tambakboyo Tuban dimana responden yang mempunyai
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan kurang baik sebanyak 32 orang
(53,33 %) dan responden yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan baik sebanyak 28 orang (46,67 %).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan bahwa pentingnya mencuci
tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan
minuman merupakan cara mencegah penularan demam tifoid. Sebab, tujuan
mencuci tangan adalah untuk membersihkan tangan dari segala kotoran,
mencegah penularan penyakit, dan melatih kebiasaan yang baik.
Kuman Salmonella typhi dapat tahan hidup di air, di tanah kering, dan
tempat pembuangan sampah selama dua minggu, dan dari sini mereka
menyebar ke manusia. Apabila terkena infeksi kuman ini, paling sedikit tiga
sampai empat minggu harus berbaring di rumah sakit, dan setelah itu dua
sampai empat minggu istirahat di rumah. Belum lagi apabila berlanjut
menjadi carrier yang seringkali akan mengganggu kesehatan. Sehingga
banyak waktu yang terbuang hanya karena cara hidup yang kurang bersih
pada kebiasaan makan, minum, serta buang air besar (Jan Takasihaeng: 2000:
87).
Membiasakan diri bersih merupakan upaya untuk mencegah penyakit,
maka kebiasaan bersih harus dibina baik pada anak-anak maupun dewasa.
Beberapa hal yang termasuk dalam kebiasaan bersih tersebut adalah mencuci
tangan setelah dari kamar mandi, mencuci tangan sebelum makan, mencuci
buah dan sayur sebelum dimakan, mencuci alat masak dan perabot untuk
makan dengan air bersabun (Rusli Lutan, dkk: 2000: 131).
39

5.2 Hubungan antara Kebiasaan Mencuci Tangan setelah Buang Air Besar
(BAB) dengan Kejadian Demam Tifoid
Hasil penelitian, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan setelah buang air besar (BAB) dengan kejadian demam tifoid pada
pasien di Puskesmas Tambakboyo Tuban dimana responden yang mempunyai
kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar kurang baik sebanyak 42
orang (70 %) dan responden yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
setelah buang air besar baik sebanyak 18 orang (30 %).
Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pentingnya mencuci tangan
setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman
merupakan cara mencegah penularan demam tifoid (James Chin, 2000:648).
Tinja orang berpenyakit klinis yang tidak dicurigai ataupun carriermerupakan
sumber kontaminasi yang lebih penting daripada kasus klinis yang
jelasdiisolasikan.(Jawetz, Melnick, Adelbergs, 2005: 369). Upaya
pencegahan demam tifoid dapat dilakukan dengan pemberian penjelasan
secara cukup kepada penderita, penderita yang telah sembuh dan kepada
carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan (James Chin, 2000: 649).

5.3 Hubungan antara Kebiasaan Mencuci Buah dan Sayuran Mentah


sebelum Dikonsumsi dengan Kejadian Demam Tifoid
Hasil penelitian, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan mencuci
buah dan sayuran mentah sebelum dikonsumsi dengan kejadian demam tifoid
pada pasien di Puskesmas Tambakboyo Tuban dimana responden yang
mempunyai kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung kurang baik sebanyak 47 orang (78,33 %) dan responden yang
mempunyai kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan
langsung baik sebanyak 13 orang (21,67 %).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Anies (2006: 97) bahwa bahan mentah
yang hendak dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu misalnya sayuran untuk
40

lalapan, hendaknya dicuci bersih dibawah air mengalir untuk mencegah


bahaya pencemaran oleh bakteri, telur cacing, bahkan pestisida.Sayuran
banyak yang secara langsung maupun tidak langsung terkontaminasi oleh
pupuk, air maupun udara dan umumnya tertinggal disekitar kulit atau
permukaan sayur, padahal vitamin dan mineralnya justru banyak terdapat
dibawah permukaan kulit. Maka, untuk mengurangi paparan pencemaran
tanpa mengurangi manfaatnya, sebaiknya sayuran dibersihkan dan
dipersiapkan dengan cara yang cermat sebelum diolah dan dimakan (Andang
Gunawan, 2001:73).
Buah-buahan dan sayuran segar merupakan satu-satunya kelompok
makanan yang sekaligus memiliki kadar air tinggi, nutrisi dan pembentuk
sifat basa. Olah sebab itu, porsi sayuran dan buah-buahan segar sebaiknya
menempati persentase 60-70% dari seluruh menu dalam satu hari. Namun,
pada kombinasi makanan serasi sudah banyak terbukti bahwa buah-buahan
tidak pernah menimbulkan masalah jika cara mengkonsumsinya benar yaitu
dengan dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi pestisida
(Andang Gunawan, 2001: 68-70).

5.4 Hubungan antara Kebiasaan sering Makan di Luar Rumah dengan


Kejadian Demam Tifoid
Hasil penelitian, menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan sering
makan di luar rumah dengan kejadian demam tifoid pada pasien di Puskesmas
Tambakboyo Tuban dimana responden yang mempunyai kebiasaan makan di
luar rumah sebanyak 31 orang (51,67 %) dan responden yang tidak
mempunyai kebiasaan makan di luar rumah sebanyak 29 orang (48,33 %).

Hal ini sesuai dengankebiasaan makan di luar rumah atau di tempat


umum dapat menyebabkan demam tifoid apabila makanan atau minuman
yang disajikan kurang bersih atau dimasak oleh penderita karier demam
tifoid.
41

Keracunan makanan kerapkali disebabkan pencemaran mikroba termasuk


bakteri.Bakteri bukan hanya terdapat di udara, air dan tanah, melainkan juga
pada usus dan saluran nafas hewan, bahkan rambut kita. Bakteri dapat sampai
ke makanan karena kebersihan diri, peralatan untuk memasak maupun makan
serta cara penanganan makanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan.
Sebagian kasus, terutama yang karena infeksi bakteri disertai demam,
misalnya demam tifoid (tyfus abdominalis) yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi atau diare yang disebabkan Escherichia coli (Anies, 2006:
95).
42

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sanitasi lingkungan, higiene perorangan
dankarakteristik individu dengan kejadian demam tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Tambakboyo Kota Tuban dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
dengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Tambakboyo Kab. Tuban.
2. Terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah buang air
besardengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Tambakboyo Kab. Tuban.
3. Terdapat hubungan antarakebiasaan mencuci bahan makanan mentah
yang akan dimakan langsungdengan kejadian Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo Kab. Tuban.
4. Terdapat hubungan antarakebiasaan makan di luar rumah dengan
kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tambakboyo
Kab. Tuban.

6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diajukan sebagai berikut:
6.2.1 Bagi Penderita Demam Tifoid
Diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran agar
mempunyaikebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan benar dan
sebaiknya mengurangi konsumsi makanan diluar rumah untuk mencegah
penularan penyakit demam tifoid.
6.2.2 Bagi Puskesmas Tambakboyo
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Tambakboyo yang
menanganipenyakit demam tifoid untuk menambah program kesehatan dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, khususnya penyakit
43

demam tifoid sehingga dapat menurunkan angka kesakitan, penularan maupun


angka kematian demam tifoid.Misalnya dengan memberikan penyuluhan kepada
masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang penyakit demam tifoid
sehingga diharapkan dapat meningkatkan sanitasi lingkungan dan hygiene
perorangan untuk mengurangi risiko penularan penyakit demam tifoid.
6.2.3 Bagi Peneliti Lain
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan memperluas sampel penelitian,
jenis desain penelitian dengan cross sectional dan variabel yang berbeda untuk
lebih mengetahui faktor lain yang berhubungan dengan kejadian demam tifoid.
44

DAFTAR PUSTAKA

Addin A, 2009, Pencegahan dan Penanggu langan Penyakit. PT. PuriDelco.


Jakarta

Alya D. R, 2008, Mengenal Teknik Penjernihan Air, Semarang: CV Aneka Ilmu.

Akhsin Zulkoni, 2010, Parasitologi, Yogya karta: Nuha Medika.

Andang Gunawan, 2001, Food Combining, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anies, 2006, Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Elex Media
Konputindo.

Arisman, 2008, Keracunan Makanan, Jakarta: EGC.

Artanti, N.W. 2013. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan


dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi, Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Ashkenazy S, Cleary TG. Infeksi Salmonella. In; Wahab AS, editor, Ilmu
Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. 15th ed. Jakarta: EGC, 2000;p.965-74.

Atikah Proverawati dan Eni Rahmawati, 2012, Perilaku Hidup Bersih & Sehat
(PHBS), Yogyakarta: Nuha Medika.

Crump JA, Mintz ED. The Global Burden of Typhoid Fever.Bulletin of the World
Health Organization. 2004; 82(5):346-53.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pengembangan Promosi Kesehatan di Daerah
Melalui Dana Dekon 2006. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2007. Informasi Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Depkes RI2007. Jakarta.
Depkes, 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2013. Laporan Tahunan Promkes Tahun 2006. Depkes
RI. Jakarta.
Dinas Kesehatan. 2002. Kabupaten Karanganyar Dalam Angka
2002.Karanganyar: Badan Pusat Statistik.
45

Dinas Kesehatan. 2010. Profil Kesehatan Jawa Tengah. Semarang: Dinas


Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

DKK Boyolali.2011. Profil Kesehatan Boyolali 2011. Boyolali: DKK Boyolali.

Hiasinta A. Purawijayanti, 2001, Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam


Pengolahan Makanan, Yogyakarta: Kanisius.

Ircham Machfoedz, 2008, Menjaga Kesehatan Rumah dari Beberapa


Penyakit.Yogyakarta:Fitramaya.

James Chin, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular.C.V Info Medika.


Jakarta.

Juli Soemirat,2006, Kesehatan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity


Press.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.(2009). Profil Kesehatan Indonesia
2009.Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Luby SP, Faizan MK, Fisher-Hoch SP, Risk Factors for Typhoid Fever in an
Endemic Setting, Karachi, Pakistan. Epidemiology and Infection, 1998;p 120,
129–38.

Lud Waluyo, 2009, Mikrobiologi Lingkungan, Malang : UMM Press

Muliawan SY, Surjawidjaya JE. Diagnosis Dini Demam Tifoid dengan


Menggunakan Protein Membran Luar S. Typhi Sebagai Antigen Spesifik.
Cermin Dunia Kedokteran.1999;124:11-3.

Muttaqin, A & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Naelannajah Alladany, 2010, Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku


Kesehatan terhadap kejadian Demam Tifoid di kota Semarang.Skripsi,
Universitas DiponegoroSemarang.

Rasmilah.Tifoid.Medan ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera


Utara; 2002
46

Rudi Haryono, 2012, Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan,


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2010, Tata Ruang Air, Yogyakarta : C.V
Andi

Sharma PK: Description and Evaluation of the Surveillance System for Typhoid
in Darjeeling District, West Bengal, India, 2005. In Bound volume for the
Master of Applied Epidemiology, (MAE) National Institute of Epidemiology,
Chennai, Tamil Nadu, India; 2007.

Siti Fathonah, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Semarang: UNNES Press.

SiskaIshaliani H, 2009, Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di


Rumah Sakit SriPamela PTPN 3 Tebing Tinggi. Skripsi, Universitas
Sumatera Utara.
Soedarto, 2009, Penyakit Menulardi Indonesia, Jakarta: CV Sagung Seto.

Soegijanto,S. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta:


Salemba Medika;2002.

Soekidjo Notoatmojdjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka

Soeparman dan Suparmin, 2002, Pembuangan Tinja & Limbah Cair, Jakarta:
EGC

Sri Winarsih, 2008, Pengetahuan Sanitasi dan Aplikasinya, Semarang: CV Aneka


Ilmu

Sudigdo S, Noerhamzah W. Buku Kumpulan Sajian Kasus. Jakarta: Bagian Ilmu


Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1996

Sulistyaningsih, 2011, Epidemiologi Dalam Praktik Kebidanan, Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Sumarmo S, Garna H, Sri RSH, Hindra IS. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2002.

Soeharyo Hadisaputro, 1990, Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap


Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid.
Disertasi, Universitas Diponegoro Semarang.

Srikandi Fardiaz, 2001, Pangan dan Gizi, Bogor: Sagung Seto.


47

Tarwoto dan Wartonah, 2006, Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan, Jakarta: SalembaMedika

T.H Rampengan. 2007. Penyakit Infeksi T ropik pada Anak Jakarta: EGC.

Widodo D. Demam Tifoid. In; Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiadi S, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta
Interna Publishing,2009;p.2797-805.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Erlangga. Jakarta

World Health Organization.Fact sheet on Typhoid.2008. [cited 2016 June 1st]


Available from :www.who.int/immunization/topics/typhoid/en/index.html.

World Health Organization. 2003. Backround Document: The Diagnosis


Treatment and Prevention of Typhoid Fever, WHO/V&B/03.07, Geneva :
World Health Organization, 2003:7 -18.

Anda mungkin juga menyukai