Anda di halaman 1dari 7

Judul Cerpen Hati Yang Merindui

Cerpen Karangan: Khaniffauzan


Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 4 March 2017

Segala puji bagi Rabb al-Izzati yang menanamkan kasih sayang dalam sanubari setiap jasad-jasad
hidup yang ia ciptakan, karena dengan limpahan karunianya itu, setiap insan manusia akan
merasakan yang dinamakan dengan cinta. Segala puji baginya yang maha mencinta, maha dicinta,
dimana dialah pusat dari seluruh rasa cinta dan menjadi sumber dari segala cinta. Dialah yang
menancapkan tombak-tombak keteguhan dalam dada setiap mukmin agar tetap dalam pendirian
mereka, sebagai hamba-Nya yang senantiasa mencurahkan helaian benang-benang cinta pada-Nya.
Ketika hati mereka telah tertambat dalam cinta yang lain, mereka tidak akan pernah goyah dengan
ujian cinta sebab hati mereka telah tertambat oleh-Nya.

Tentang cinta.
Semua yang ada di sekitarku, semua yang mengelilingiku, segalanya yang telah membuatku
merasakan nikmatnya hidup, aku cintai. Semua muslim, semua makhluk, aku mencintai mereka.
Ketika kurasakan wujud cintaku pada mereka, betapa indahnya kehidupan di dunia ini. Desiran angin
halus yang menyejukkan rongga-rongga dada adalah penggalan kecil kasih sayang Tuhan padaku.
Aku senang mencintai, dan dicintai. Oh ya Rabbi.

Tetapi ada sesuatu yang lain kurasakan. Desiran hati yang aneh, menggerakkan indera-indera perasa
sehingga mulai membangkitkan sesuatu yang berbeda. Sisi lain dari rasa cintaku muncul secara
perlahan, pelan-pelan mengikatku bagai lilitan ular, lalu sedikit demi sedikit mengambil kendali atas
hati dan pikiranku.

Apa yang terjadi?

Ketika aku mendengar namanya, hatiku senantiasa bergejolak tak keruan. Hampir-hampir kepalaku
meledak manakala gejolak hati membuat aliran darah bergerak naik memenuhi syaraf-syaraf dalam
kepala. Tak biasanya kurasakan sesuatu yang lain seaneh perasaan ini, kecuali bila kudengar nama-
Mu atau nama nabi-Mu. Hanya mendengar namanya saja dapat membuat kerongkonganku tercekat,
lidahku kelu, dadaku naik turun sehingga membuat telingaku memerah.
Dan gejolak hatiku bertambah tak keruan manakala kulihat bayangan wajahnya senantiasa menari-
nari di pelupuk mataku. Putih kulitnya, berwarna kuning langsat yang halus dan kemerah-merahan.
Wajahnya yang terlihat malu-malu dibalut kerudung putih yang menutupi badannya, terasa anggun
seperti melati yang meliuk-liuk terkena tepaan angin sepoi-sepoi. Apalagi senyuman tipis dua buah
bibir mungilnya itu, membuat keharuman cinta teresapi dalam hati dan memenuhi rongga-rongga
jiwaku. Pikiranku terbang kemana-mana, terbius oleh indahnya cinta dalam dada. Bagaimanakah cara
mengatasinya? Apakah rasa ini selamanya kan bercokol dalam hatiku, membuatku tak dapat
merasakan apapun di sekitarku saking besarnya auranya hingga melakukan sesuatu itu rasanya
hampa?

Aku tak mengerti sebenarnya apa rasa ini, karena sangat lain dengan semua yang telah kuresapi.
Seiring waktu berjalan, ketika kucoba secara perlahan memahaminya, aku baru sadar kalau ini
memanglah cinta yang lain. Sangat lain dari semua yang pernah kualami. Sebuah ungkapan cinta
yang tulus dari sanubari yang bersumber cahaya hati paling kecil. Cinta yang senantiasa merengek
minta diselimuti sayang dari sang kekasih.

Ya Rabbi, aku ingin sekali. Aku ingin menatapnya terus menerus, mengukirnya dengan indah
menggunakan pisau cinta berbalut kasih sayang, menyentuh jari jemarinya yang lentik hingga aku
dapat memegang tangannya erat-erat untuk melindunginya dari semua bahaya yang ada. Dan akhir
dari semua pengharapanku yaitu, ku ingin memilikinya untuk menjadi pendampingku selama hidupku
terus melaju.
Tetapi aku sadar, agama melarangku bertindak di luar batasan. Sekiranya agama tidak membatasi
perilakuku, telah kuumbar semua perasaanku yang ingin kusampaikan tanpa rasa malu. Dan ketika
kudapatkan dia, senantiasa dia kan selalu kugunakan sebagai pemuas nafsu yang membuncahkan
semua aliran rasa, sebagai wujud cintaku padanya. Inilah wujud dari cinta, bila tidak didasari dengan
agama. Apabila cinta yang terwujud tanpa agama, maka akal sehat tidak lagi dipakai karena nafsulah
yang akan menguasai. Selalu saja, nafsu mencemari perasaan suci ini sampai membuatnya tidak lagi
pada tempat semestinya.

Agama telah membuatku merasa benar-benar menjadi seorang pecinta yang suci. Oh Rabbi,
biarkanlah sekuncup mawar cinta mekar dalam hatiku untuknya demi merahmati tiap jengkal
kehidupanku, dengan harumnya yang membawa perasaanku pada kebahagiaan. Cinta ini tak ingin
memalingkanku dari kasih sayang-Mu, maka biarkanlah cinta yang bagai sekuncup mawar tetap
mekar dalam hatiku untuk menyampaikan tebaran dari pada rahmat-Mu pada setiap amalanku untuk
saudara-saudaraku, sebagai wujud bahwa cinta tertinggi hanyalah pada-Mu.

Suatu hari, kutemui saudara seiman untuk meminta pendapatnya mengenai keadaanku ini. Tentang
cinta, saudaraku lebih mampu tuk mengatasinya. Ia tak hanya pandai merangkai kata-kata, tetapi ia
juga pandai tuk melesatkan panah asmara kepada para gadis yang memikat hatinya, dan apa yang ia
katakan?
“Ya A’la, segeralah engkau mengungkap perasaanmu sekarang juga. Mengapa? Lihatlah perasaanmu
yang begitu tulus! Hatimu terus menerus senantiasa meminta untuk menyambungkannya dengan
yang dicinta. Kau harus bertemu dengannya, A’la. Kau tak tahu kapan cinta akan menghancurkanmu
bila terus engkau pendam dalam-dalam. Ungkapkanlah segala yang engkau rasakan, kau harapkan,
dan kau kasihi padanya dengan segenap jiwa dan ragamu. Torehkan pena-pena kejujuran yang
dipenuhi keberanian dengan gaya bahasa yang begitu membiusnya. Lampauilah para pujangga
dengan ketulusan hati dimana tak ada satupun karya sastra yang dapat menggambarkan keelokan
pancaran sinarnya. Tapi saat kau mulai melangkah, hati-hatilah ya A’la! Jangan sampai setan
menjerumuskanmu dalam kebinasaan!”

Hingga siang berganti malam, hingga matahari memancarkan sinarnya kembali, dan hingga sang
rembulan dengan paras indahnya menerangi langit malam yang gelap, semua kalimat itu terngiang-
ngiang dalam telingaku. Ia menyuruhku untuk melangkah maju, demi menyampaikan perasaan yang
sebenarnya meletup-letup dalam dadaku. Dan apa yang harus kulakukan bila keberanian saja aku tak
punya? Oh ya Rabb, aku bingung bagaimana ini agar segera berakhir. Bila Aku jujur dan mengatakan
semua isi hatiku padanya, kubayangkan betapa sakit kurasakan manakala ia menolak cintaku. Dan
jika ia menerimanya, aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan?

Akhirnya dengan segala ketetapan hati, ku bermohon pada sang Ilahi Rabbi, yang menjadi pusat
segala cinta agar yang dikasihi dapat menjadi milikku.
Cinta tidak hanya membutuhkan doa tuk mendapatkannya. Namun dibutuhkan usaha yang penuh
harap demi mewujudkannya di depan mata. Tapi bagaimanakah caranya?
Ah! Aku punya ide bagus! Ku kan menulis untuknya bait per bait yang memikat. Ku kan
menggoreskan tinta berisi ungkapan seorang pujangga hati, pemuja cinta yang suci. Ungkapan-
ungkapan kata bagai aliran lembut yang kan membuat siapapun tenggelam dalam ketulusannya.
Kata-kata sederhana, yang menyimpan sejuta makna mutiara. Berkilauan diterpa cahaya sang surya,
sehingga pantulannya merasuk ke dalam rongga-rongga jiwa.
Secarik kertas pun kuambil.

Kepada yang dicinta.


Salam untukmu demi Dia yang menguasai segala hati yang suci.
Dengan menyebut nama-Nya yang maha pengasih dan penyayang, kurajut benang-benang suci yang
terus menerus helaiannya meliuk-liuk bagai bunga mawar tertiup angin lembut. Rajutannya
menghubungkan potongan demi potongan hati, hingga menjadi kain yang terhampar dari ujung ke
ujung. Sepanjang itulah perasaan suci yang terus menerus tumbuh dalam hati ini sehingga hamparan
kainnya menutupi setiap pandangan mataku. Aku tak lagi dapat mengendalikan diriku, manakala
hatiku telah tertutupi dengan kain suci yang telah kurajut. Kuresapi setiap harum kesuciannya yang
membius pikiran dan perasaanku, sampai-sampai ruhku bagai melayang menembus langit sap tujuh.
Dan tahukah engkau apa hamparan kain suci itu?
Itulah cinta. Itulah wujud dari cintaku.
Dan telah kusadari bahwa setiap jengkal hamparan suci itu tertuju padamu, manakala sepasang bola
mata memandangku dengan senyuman tipis yang menghujam pangkal jiwaku. Aku mencintaimu!
Sungguh aku menyukaimu dengan segenap jiwa ragaku. Kasihku meledak-ledak manakala namamu
senantiasa kulantunkan. Bayangan wajahmu senantiasa menari-nari di pelupuk mataku, dimana
setiap kerlingannya menyentuh kalbu. Terasa hangat. Terasa memabukkan kendali jiwaku. Selalu ku
memohon pada sang Ilahi agar aliran cinta ini senantiasa untuk-Nya, namun ia menghendaki aliran ini
untukmu sebagai wujud kasih sayangnya padaku. Aku menyukaimu karena-Nya. Aku mengasihimu
karena-Nya. Sungguh indah apa yang saat ini kurasakan.
Kau baik. Kau anggun. Sempurna dengan semua yang kuharapkan untuk wanita yang kupilih sebagai
pengisi hatiku. Aku tercekat dalam kasih saat kulihat langkah anggunmu menuju masjid. Saat kau
membuka majelis-Nya dengan tutur kata bagai permata yang menyejukkan jiwa, dan saat kau dengan
sabar menuntun anak-anak kecil mengeja ‘alif’ dan ‘ba’ dengan hembusan dari senyumanmu yang
memikat. Kau cantik, lebih cantik daripada seribu bidadari surga. Bila bidadari itu anggun karena
memang dasarnya adalah keanggunan, maka engkau sejuta lebih anggun daripada para bidadari.
Syetan-syetan dan hawa nafsu berada di sekelilingmu, tapi kau selalu berlindung pada-Nya dengan
semua ketaatan yang kau lakukan untuk mengatasinya.

Wahai yang terkasih, kumohon kerelaan hatimu tuk menerima diriku yang senantiasa merinduimu,
agar mengisi bagian kosong dalam hatimu. Ku kan melindungimu. Ku kan menjagamu. Ku kan
menggenggam tiap-tiap ruas jemari tanganmu yang lentik untuk menuntunmu demi meraih pancaran
kasih sayang Ilahi, demi kita, dan semua yang kita cintai.

Itulah pintaku padamu ya sayangku. Aku sadar dan sepenuhnya tahu kalau hati tak ada yang boleh
memaksa. Apapun jawaban atas permintaanku ini, ku siap tuk mendengarnya, meresapi kata-kata
terlontar yang kan menjadikan perasaanku melambung tinggi, atau lapang dengan segala kerendahan
hati. Sungguh indah rasaku ketika mencintaimu, dan kuucapkan terima kasihku karena telah menjadi
potongan hatiku sebagai selimut kasih-Nya untukku.
Terimalah cinta dan sayangku padamu, wahai yang kukasihi.

Ku menunggu jawabanmu, besok sepulang sekolah di belakang gedung sekolah. Apapun jawabanmu,
ku siap mendengarkannya sepenuh hati.
Salam dari yang mencinta untukmu, dan kepada Dia yang senantiasa menebarkan cinta-Nya.

Air mataku menetes, manakala pena telah kuletakkan setelah kutulis semua yang bersarang dalam
hatiku untuknya, untuk yang senantiasa kurindui, untuk yang senantiasa kuharap kehadirannya dalam
mimpi-mimpiku.
Ku kan meletakkan goresan hati ini ke dalam loker sepatunya. Namaku takkan kucantumkan dalam
lembaran ini agar dia mengetahui sendiri siapakah yang berani mengungkapkan cinta padanya.
Harapan untuk mendapatkannya sebentar lagi akan terwujud bila ini berhasil, meskipun sejenak ku
ragu, apa Aku benar-benar mencintainya karena Allah? Apakah semua ungkapan hatiku itu adalah
dusta yang kubuat-buat sendiri untuk pamer akan kefasihan lidahku, dan untuk mendapatkan hatinya
guna pemuas nafsuku? Aku tak tahu. Bahkan diriku sendiripun tak mengerti mengapa juga kok aku
bisa-bisanya mencintainya!

Hari yang kunanti, sekarang terlaksana dengan baik. Tanpa siapapun mengetahuinya, Aku telah
sukses meletakkan lembaran ini dalam loker sepatunya. Bagaimana Aku akan menghadapi hari esok
saat kedua mata kita saling bertatapan secara langsung? Oh Rabbi, aku tak bisa menghentikan
bunga-bunga cinta yang terus bermekaran dalam hatiku ini hingga harum baunya begitu
menyesakkan dada!
Jantungku bisa meledak jika terus-terusan merasa seperti ini. Besok aku harus siap menerima,
apapun reaksinya.

Dalam sepi, ku bertutur. Dalam tutur, ku bicara. Dalam bicara, kuungkap sejuta makna dalam dada.
Dalam dada, dapat engkau lihat cahaya. Dan dibalik cahaya, dapatlah engkau menemukan cinta yang
bersemi indah bagai permata. Hari ini pun datang dengan semua keelokannya.
Detik-detik kulalui dalam kebingungan karena semua isi kepalaku hanya tertuju olehnya. Pelajaran
dari sang guru tidak sedikit pun hinggap ke dalam kepalaku, bahkan menguap begitu saja. Teman
temanku pun terheran-heran manakala mereka merasakan sesuatu yang aneh tampak dari sorot
mataku. Mereka merasakan kalau aku sedang berbahagia karena sesuatu, namun tak ada yang
menyangka kalau ini karena cinta.

Setiap langkahku tak sedikit pun ku perhatikan bagaimana kedua kaki ini menuju kemana, dan tak
bisa kuhitung berapa kali diriku terseok-seok saat berjalan saking tak fokusnya pikiranku saat ini.
Pikiranku hanya tertuju padanya. Yang tampak dimataku hanya kerlingan dan senyuman
menawannya. Yang kudengar hanya suara anggunnya. Dan semua yang kuhirup adalah harumnya
bunga-bunga yang bermekaran dalam dada. Oh cinta, dahsyat sekali engkau rupanya, bisa
memalingkanku dari segalanya!

Dan saat-saat yang kuharapkan pun tiba, setelah sekian lama waktu yang terasa hampa.
Dia melangkahkan kakinya secara halus, bagai seorang puteri raja yang lembut. Perlahan, ia
mendekat padaku dengan ekspresi datar yang tak dapat kutebak. Dalam jarak yang cukup jauh, kami
berdua tenggelam dalam keheningan.
Di belakang gedung sekolah, tepat pada waktu sepulang sekolah, dan tak ada seorang pun kecuali
kita berdua di tempat ini.

“Apakah engkau yang memberikan surat ini padaku A’la?” Dia mulai bertanya. Suaranya yang begitu
halus, membuat tenggorokanku tercekat hingga kulupa harus berkata apa.
“Ya” Hanya itu jawabanku.
“Dan apa engkau mencintaiku dengan seluruh jiwamu, ya A’la?”
Jantungku meledak!
“Ya! Aku mencintaimu. Aku menyukaimu dengan segenap jiwa dan ragaku beserta semua yang
kumiliki di dunia. Rasa ini begitu bergejolak, meledak-ledak dan bahaya sekali bila jantungku hancur
karena tak kuasa menahannya. Karena-Nya, Aku menyukaimu. Karena-Nya, kusayang padamu, dan
karena-Nya senantiasa kurindui dirimu. Aku berharap engkau menjadi milikku karena-Nya. Kau jadi
pengisi hatiku karena-Nya. Engkau selalu di sampingku karena-Nya. Dan karena-Nya pula engkau kan
kulindungi dari marabahaya dunia yang mendera diri. Oh, betapa kata-kata tak dapat menjelaskan
ketulusan hati bagai lembutnya sutera, betapa kilauan permata dan mutiara takkan sanggup
mengalahkan pancaran rasa dalam dada karena cinta. Oleh karena semua telah kutuangkan
perasaanku dalam lembaran itu, sudikah kudengar jawabanmu sekarang juga?”
Nafasku naik turun tak keruan saking banyaknya kata-kata yang kuucapkan. Saking derasnya aliran
darah karena ledakan hati. Dan saking kerasnya godam palu cinta yang meretakkan semua dalam
diri.
Ia mulai berkata-kata.
“Telah kudengar semua yang kau ungkapkan ya A’la. Dan telah kurasakan tiap-tiap helai benang-
benang cintamu di dalam surat itu. Begitu tulus dan indah, lebih indah daripada kilauan emas, dan
begitu suci semua yang kau rasa. Ku tak menyangka ternyata engkaulah orang yang mengungkapkan
perasaannya padaku dalam surat itu. Kukira kau hanyalah orang yang sedang bermain-main dengan
perasaan seperti halnya mereka-mereka yang dusta ketika mengatakan cinta padaku. Kutolak semua
lelaki yang ingin hadir dalam hatiku, karena mereka adalah pendusta. Rayuan gombal tak berlaku
untukku manakala aura ketulusan tak dapat kurasakan dari sorot mata mereka. Dan kini, engkau
hadir di hadapanku.
Ketahuilah bahwa aku mencintai semuanya yang berada di sekitarku sepenuh hati. Semua kusayangi.
Dan yang paling kusayang adalah Dia yang maha kuasa. Maka karena cinta terbesarku adalah Dia,
apakah kau sanggup jika kutinggalkan karena Dia?
Kemudian, atas dasar apa engkau ingin memilikiku manakala ikatan suci pada saat ini tak bisa kita
rajut karena keadaan? Kita masih sekolah, masih berstatus sebagai pelajar. Jika kusia-siakan waktuku
hanya untuk mencintaimu, oh rugilah masa depanku hanya karena cinta yang semu. Cinta abadi kan
selalu menanti saat tiba waktunya tuk benar-benar siap memiliki. Jika engkau siap tuk memilikiku,
apa kau siap tuk menafkahiku? Apa kau siap tuk menjamin seluruh kehidupanku? Apa engkau siap tuk
terus disampingku dan meninggalkan nyamannya kehidupan fana’ mu? Tulusnya cintamu kuterima
diseluruh relung-relung hati. Namun kalau soal memilikiku, apakah engkau siap menghadapi semua
itu?
Remaja masih labil. Bisa saja kau mengatakan cinta padaku, namun ternyata kau mendua pada yang
lain. Aku tak ingin itu terjadi padaku. Kusadar, bahwa remaja adalah saat terindah merasakan cinta.
Tapi lebih indah lagi manakala cinta ini bisa menghasilkan senyuman untuk semua yang ada di sekitar
kita!
Terima kasih kuucapkan padamu yang telah mengungkapkan rasa tulus dari kedalaman hatimu
padaku. Engkau boleh mencintai siapapun, kau boleh mempunyai fitrah ini pada apapun. Namun, ia
tak harus selalu memiliki. Cinta punya waktunya sendiri, kalaupun engkau memaksakannya, tak lain
hanyalah gambaran dari keserakahan nafsu yang menginjak-injak harga dirimu.
Dari semua perkataanku, tentulah engkau bisa menangkap apa maksudku ya A’la”

Telapak kakiku terasa berat untuk kugeser walau sedikit saja. Kata-katanya yang sangat tajam
menusuk-nusuk kalbu bagai disayat sembilu. Saat ini kutersadar dengan perkataanya yang
menghujam itu bahwa cinta punya waktunya sendiri. Tak harus memiliki manakala belum tiba
waktunya. Tak harus untuk senantiasa diharapkan jika keadaan tak dapat dipaksa. Dan harus
senantiasa menerima, bila ini yang terbaik untuknya.

“Terima kasih kuucapkan padamu karena telah sudi mendengar apa yang telah kukatakan padamu.
Terima kasih juga kuhaturkan dengan semua perkataanmu yang menyadarkanku akan tulus yang
sesungguhnya. Semua memiliki saatnya sendiri, dan telah kudengar jawabanmu dimana kuterima
apapun yang kau katakan sekarang. Dengan semua ini, kuberharap senantiasa tuk mencintaimu
dalam hatiku meski ku tak tahu kapankah cinta ini padam dengan sendirinya. Wahai yang kukasihi,
terima kasih telah menjadi tambatan hatiku yang pertama kali dalam hidupku”
Kulemparkan senyum tipis ke arahnya, sembari menahan sakit yang sangat mendera dalam dada. Ku
baru sadar akan itu semua, bahwa aku masih terlalu dini untuk mengenal makna kata cinta. Maka
demi cintaku padanya, semua aliran rasa dalam dada kuhaturkan pada Tuhanku yang Mahakuasa.
Dengannya kumohon, tuk menunjukkan cinta sebenar-benar cinta.
Ya Rabbi.
Kuserahkan seluruh cintaku padamu. Maka tolong rahmati dengan menjadikan aku seorang lelaki
sejati yang senantiasa selalu menebarkan wangi rahmat-Mu untuk dunia dan akhirat, serta masukkan
aku dalam golongan hamba-hambamu yang saleh dan senantiasa merindu.
Segala puji bagimu, Rabb al-Izzati, Tuhan pemilik hati yang suci.

Cerpen Karangan: Khaniffauzan


Blog: khaniffauzan.blogspot.com
Memiliki nama lengkap M. Fauzan Al-Khanif, lahir di Boyolali, 21 Juni 1998. Alamat di Jl. Pandanaran
No. 105 Boyolali / Kampung Koplak, Rt. 03, Rw. 06, Siswodipuran, Boyolali. Penulis bisa dihubungi
lewat alamat email fauzankhanief@gmail.com, Fb Khaniefalfauzan, atau no. telepon 08978814948.
kunjungi blog penulis di khaniffauzan.blogspot.com

Cerita Hati Yang Merindui merupakan cerita pendek karangan Khaniffauzan, kamu dapat
mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

Share ke Facebook Twitter Google+

« Celoteh Seorang Guru (Sebelumnya) | (Selanjutnya) Perjalanan »

" Baca Juga Cerpen Lainnya! "

Status Ikhtiar
Oleh: Ari Irawan
Sani, namanya begitu akrab di telinga teman-temannya. Kediamannya itu menjadi julukan
sebagai gadis pendiam seribu bahasa. Setiap ada masalah yang menjelma, ia tak mau berbagi
kepada siapa pun, hanya
InsyaAllah Istiqomah
Oleh: Moeksa Dewi
“Alhamdulillah semangat baru.” kataku dalam hati. Ku pancarkan sebuah senyuman bahagia di
siang hari yang sangat terik ini. Ada rasa damai, tatkala aku melewati pematang sawah yang
menghijau. Ditambah
Jawaban Yang Aku Dan Kau Cari
Oleh: Riska
Teman temanku selalu menggodaku dengan kata “kamu normal atau tidak” entah apa yang
mereka pikirkan tentang diriku. Mereka terus bertanya apakah aku pernah jatuh cinta. Padahal
setiap manusia hidup
Antara Dua Pilihan
Oleh: Wira Tew
Dalam hidup kita selalu dihadapkan pada pilihan yang pasti antara pilihan ada yang baik dan
buruk. Baik buruknya suatu pilihan tergantung kepada kita yang menentukannya dan bagaimana
kita menjalani
Asan, Sang Lelaki Romantis
Oleh: Nadhira Hifzhani Alyzzah
“Mir, tuh… Ada si Asan. Di depan masesjid itu loh!” goda Arifah. Aku menoleh. “Ciee.. Mau
ngelihat sang pujaan hatimu itu ya..” goda Arifah lagi. Aku menginjak kaki Arifah.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”


"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman
yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut
meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

Anda mungkin juga menyukai